Mungkin beginilah perasaan orangtua ketika tahu bahwa kita
berhenti berusaha, padahal mereka telah memberikan segalanya untuk kita. Telah mengusahakan
seluruh tenaganya hanya untuk membantu kita menggapai mimpi dan tujuan hidup
yang lebih baik. Pesimistis yang terbangun dalam diri sungguh membunuh apa yang
telah diperjuangkan selama ini.
Serupa aku telah berjuang membantu langkah kelulusanmu. Namun
pagi ini kau telah pasrah dan berhenti untuk berusaha. Aku cukup (kembali)
kecewa dan terpaksa ikut menyerah. Bukan aku tak lagi ingin membantumu. Hanya saja
kau telah cukup dewasa untuk mengerti bahwa hidup di dunia tidaklah mudah. Rezeki
Tuhan tidaklah datang serupa air mengalir di sungai dekat rumahmu. Ia adalah
telur-telur ayam di kebun belakang rumah yang harus kita cari dengan teliti. Salah
langkah, kita menemukannya dalam keadaan rusak di kaki kita.
Tidakkah kau cinta pada dirimu? Aku tak peduli kau mencintai
berpuluh-puluh wanita dalam satu waktu. Karena nyatanya, kau belum mampu
mencintai dirimu sendiri. Sebuah temuan yang membuatku ingin hilang dari
duniamu. Aku menyerah. Aku tak mencintai insan lain selain dirimu. Pun sama
dengan dirimu, aku merasa kurang mencintai diriku sendiri. Maka, baiknya aku
melangkah ke arah perbaikan diri. Aku akan belajar mencintai diriku—menghargai segala
perjalanan yang telah kulalui baik denganmu atau sendirian.
Salam sayang dari ibuku untukmu. Semoga kau dapati apa yang
telah kau jalani dan kau mampu merangkul cita-citamu. Meski harus berputar
jauh, jangan ragu untuk berfikir gila dan melangkah. Aku tahu kau menumpuk
ide-ide brilliant di kepala dan juga
hatimu. Semoga itu semua tidak hanya sebatas angan-angan di kala senggang yang
kelak akan kau sesali di atas kursi reot. Aku pamit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar