Jumat, 12 Juni 2015

Surat Untukmu



Mungkin beginilah perasaan orangtua ketika tahu bahwa kita berhenti berusaha, padahal mereka telah memberikan segalanya untuk kita. Telah mengusahakan seluruh tenaganya hanya untuk membantu kita menggapai mimpi dan tujuan hidup yang lebih baik. Pesimistis yang terbangun dalam diri sungguh membunuh apa yang telah diperjuangkan selama ini.
Serupa aku telah berjuang membantu langkah kelulusanmu. Namun pagi ini kau telah pasrah dan berhenti untuk berusaha. Aku cukup (kembali) kecewa dan terpaksa ikut menyerah. Bukan aku tak lagi ingin membantumu. Hanya saja kau telah cukup dewasa untuk mengerti bahwa hidup di dunia tidaklah mudah. Rezeki Tuhan tidaklah datang serupa air mengalir di sungai dekat rumahmu. Ia adalah telur-telur ayam di kebun belakang rumah yang harus kita cari dengan teliti. Salah langkah, kita menemukannya dalam keadaan rusak di kaki kita.
Tidakkah kau cinta pada dirimu? Aku tak peduli kau mencintai berpuluh-puluh wanita dalam satu waktu. Karena nyatanya, kau belum mampu mencintai dirimu sendiri. Sebuah temuan yang membuatku ingin hilang dari duniamu. Aku menyerah. Aku tak mencintai insan lain selain dirimu. Pun sama dengan dirimu, aku merasa kurang mencintai diriku sendiri. Maka, baiknya aku melangkah ke arah perbaikan diri. Aku akan belajar mencintai diriku—menghargai segala perjalanan yang telah kulalui baik denganmu atau sendirian.
Salam sayang dari ibuku untukmu. Semoga kau dapati apa yang telah kau jalani dan kau mampu merangkul cita-citamu. Meski harus berputar jauh, jangan ragu untuk berfikir gila dan melangkah. Aku tahu kau menumpuk ide-ide brilliant di kepala dan juga hatimu. Semoga itu semua tidak hanya sebatas angan-angan di kala senggang yang kelak akan kau sesali di atas kursi reot. Aku pamit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar