Kamis, 16 April 2015

Surat April..



Terbitan Koran Suara NTB Sabtu (11/4) ini simalakama. Sedih. Senang :)
Mengetahui tulisan terbit memang suatu hal yang menyenangkan. Namun seketika gumpalan debu empat tahun mampir tepat ke depan mataku ketika melihat tahun puisi tersebut. Jika kalian jeli, maka terjawablah apa alasannya. Omooo..





Metro

telinga serampangan di tengah lidah
menelurkan bebaris kalimat sumpah
dipikirnya ini hikayat kitab suci
padahal seramping pinggul ibunya
kami hanya lonte di balik versa chi

anak-anak bersolek
hendak mencium aroma buah sintetik
dipikirnya itu lampu-lampu disko
padahal sebuntal perut ayahnya
kami hanya buruh kotak sampah

2015



Rantau

menara menari di bibir radio
rautan wajahmu; literasi serat
            kain sofa di ruang tunggu
hari kian tunduk
debu-debu beranak-pinak
pulanglah.

2014 




Selamat Tidur

semalam ia meraba botaknya
serupa porselen, tulen, licin benar
selimut sepanas pandan
bertanda pagi acungkan sinar
maka tiba waktunya
membuat santan

yang serupa porselen
tulen, masih harum
membelit sesuji di
            sudut hati
pada bulan ia bercium;
selamat tidur,
Bapak Kaur

2013




Kuning Angsana

aroma matahari menapak
di dinding kayu keriput

waktu yang hangat,
ketiganya merekah
dalam rimbun belukar, dekat
            bengkel di seberang portal

kelopak yang gatal
beronggeng bersama angin
lalu hilang dalam kuning genangan
dijadikan objek foto kenangan

2012



Jadi, sudah sepanjang itukah prosesku? Masih kurang. Belum. Jalan terus!


Jumat, 10 April 2015

Reflection (1)

Sedikit refleksi dari empat tahun mengenyam pendidikan di universitas, aku kini cukup tahu siapa sebenarnya anak umat bernama Baiq Ilda Karwayu ini. Hidupku tidak akan bisa diam di satu tempat. Tidak mampu hidup sendiri dalam sunyi tanpa sesuatu untuk digenggam, seseorang teman berbicara, atau pena-kertas teman bergulat.
Kehidupan kelas tidaklah semeriah saat sekolah. Seperti yang sudah-sudah, aku menarik diri dari kehidupan (yang kata orang) hedon. Sudah menjadi pilihanku untuk  bersanding dengan kegiatan ekstra kelas. Lantas, apa yang sudah kudapatkan sekarang ini? serupa aku membangun rumah-rumah di setiap tanah yang kupijak. Merpati Putih yang kubangun saat SMP, Teater TeRENG saat SMA, dan Pena Kampus saat kuliah; mereka menemani perjalanan hidupku. Hingga kini, aku tidak habis pikir mengapa masih saja aku mampu penginjakkan kaki di ketiga rumah cantik itu.
Mengapa tidak fokus pada satu saja? aku tidak bisa. Hidup terlalu sempit jika hanya bergelut di satu talenta. Nah, bagaimana dengan kehidupan akademik? biasa saja. Kunikmati proses di kelas, yang jujur saja, hanya 40% berhasil lolos di kepala. Sisanya kupelajari di luar. Kegiatan di ataslah salah satunya. Banyak bergaul dengan masyarakat, berteman dengan banyak orang, dll. Jadi, mungkin bisa dikatakan aku ini tidak setia pada satu bidang.

Well, berbicara masalah setia, aku teringat kisah cinta yang sudah berdebu. Kukatakan demikian karena sudah tidak ada lagi yang harus kuperebutkan. Aku hanya berjuang mempertahankan. Atau memang aku tidak pernah memperebutkan siapa-siapa? atau mencari? iya. Aku hanya menunggu, menerima, lalu mempertahankan. Jika banyak yang mengatai aku bodoh atau miskin pengalaman akan cinta, biarlah. Perlu juga kuingat bahwa aku banyak belajar dari kawan-kawan di sekitar. Jadi, berpengetahuan tidak mesti berpengalaman (atau mengalami langsung), kan?
Bagiku, boleh saja "tidak setia" pada kegiatan karena itu membuat hidup menjadi lebih berwarna dan tentunya bermanfaat. Namun lain sudah halnya jika menyangkut masalah pasangan hidup. Aku bersyukur penuh pada Tuhan atas anugerah sikap dan sifat yang tidak pernah mengkhianati pasangan. Tak pernah aku niati untuk melukai atau meninggalkan kekasih.
Menjalin hubungan pertama kali saat SMA, awal kelas X dan berakhir di kelas XII membuatku cukup paham akan tabiatku sendiri. Namun ada kalanya memang Tuhan selalu memberikan apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Nafsu hanya jembatan keduanya. Bagaimana menyikapi hal tersebut, hanya kita sendirilah yang tahu.
Singkat kisah, meski ia (mantan kekasih: red) menyesal telah mengakhiri hubungan, namun tidak denganku. Aku bersyukur atas penantianku yang bertahun-tahun hanya untuk mendengar kata penyesalan darinya. Aku bersyukur atas kesabaran yang telah Tuhan berikan melalui ujian tersebut. Dan kini aku telah kembali menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Seketika lantunan "When I Was Your Man" Bruno Mars mengiringi penyesalannya. Hingga detik ini.
Pun kisahku dengan kekasih yang juga telah hampir tiga tahun bersamaku, tak jauh beda. Entah aku yang salah; karena selalu mengalah tanpa mengekang, atau terlalu penurut, entahlah. Sebenarnya malas juga membahas ini. Tapi otak ini rasanya cukup berat untuk membawa pikiran ini ke alam mimpi. Jadi baiknya kutulis saja.

Seorang penulis pantang bahagia. Kenapa? karena kebahagiaan akan menutup jiwa peka mereka dan akan lahir tulisan-tulisan pop. Membuat mata sakit. Membuat otak turun derajat kualitasnya. Meski hanya sekedar coretan sampah seperti ini, namun inilah endapan yang menutupi ide-ide di kepalaku. Membuat puisi dan cerpen milikku serupa teenlit murahan karena melulu bicara tentang cinta. bosan!
Namun apa mau dikata, tulisan adalah rekam jejak penulisnya. Sejarah hidup mereka yang mau tidak mau harus terjadi. Dan inilah kisahku sekarang. Semakin tinggi pohon, semakin tinggi terjangan angin menantang. Aku makhluk hidup yang bisa saja tumbang ketika angin sedang marah. Aku bukan menara listrik yang tanpa nyawa; pun kehidupan. Jikalau segala yang hidup ini tiada Tuhan yang ciptakan, mungkin jemariku tidak sedang mengetik kegusaran sekarang ini.
Ingin rasanya mengambil perjalanan mandiri ke suatu tempat. Menetap di sana selama beberapa tahun, lalu kembali kemari setelah segalanya beres. Aku muak. Jujur, aku muak.  Pertahanan ini tidak stagnan. Hanya doa orangtua dan uluran tangan Tuhan yang membuat kakiku bertahan di jalur ini. Hanya itu yang membuat tanganku masih kuat menggenggamnya.
Rasa dalam hatiku sudah terpaku beku dalam api yang nantinya membakar segala keraguan. Aku tidak lagi butuh rumah hati yang lain. Dipikirnya mungkin tak ada orang lain yang datang padaku. Tidak. Memang tak kutunjukkan padanya. Aku tak ingin ia cemburu, karena aku tahu sakitnya cemburu hingga buta. Aku ingin ia tetap berdiri tegap dengan wibawa rapi yang selalu ia pancarkan. Jikalau ia telah lampaui batas dalam menyiksaku dengan sikapnya, biarlah. Ia tahu, mana "keinginan" dan mana "kebutuhan". Ia tahu kemana harus pulang.