Minggu, 23 Agustus 2015

MEA 2016: Izinkan Saya Bunuh Diri Sekarang Saja



Adakah yang menyimpan nomor telepon presiden Indonesia? Adakah yang menyimpan surat cinta untuknya namun tak kunjung mengirim karena takut dipenjara? Adakah yang masih mengira ini zaman menakutkan? Ada. Saya. Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris semester akhir yang sedang duduk ternganga menonton siaran berita; pemerintah pusat akan menghapus kewajiban berbahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing dengan alasan dapat mengganggu iklim investasi di Indonesia.
Sungguh itu bukan alasan yang logis, mengingat upaya para pemikir negara yang sempat mencetuskan untuk menasionalkan Bumi Pertiwi. Potong segala akses luar negeri dalam penjamahan sumber daya Indonesia. Serahkan segalanya pada masyarakat pribumi.
Belum puaskah ia belajar dari ibunya—dengan gincu yang merona di ujung moncongnya—bagaimana cara menjual negaranya sendiri dengan adil dan makmur (bagi golongannya)? Masih kurangkah kesengsaraan masyarakat Indonesia hingga 70 merdeka ini? Atau ia takut hasil belajar bahasa asingnya sia-sia karena seluruh tenaga kerja asing telah fasih berbahasa Indonesia? Konyol. Miris.
Hal ini sontak membuat otak saya mendidih. Belum lama ini, mungkin satu bulan yang lalu, saya dan kawan-kawan Pena Kampus mendiskusikan sebuah opini yang ditulis oleh seorang pakar bahasa—yang saya lupa siapa namanya—tentang kecenderungan masyarakat urban di ibu kota yang bangga mendengar anaknya fasih berbahasa Inggris di keseharian mereka. Bahkan mereka mengaku bahwa bahasa Indonesia kini tidak perlu ditekankan sebagai bahasa pertama karena kita akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). “Bagaimana mungkin kami mampu bertahan dengan generasi yang tak pandai matematika dan bahasa Inggris?” penggal kalimat dalam opini tersebut (seingat saya).
Lah, apa salah MEA sehingga dijadikan tameng ambisi orangtua dalam menjejali anak-anaknya dengan bahasa orang asing? Sedang nutrisi bahasa sendiri tidak diberikan. Serupa si anak dicekoki susu formula tanpa tahu bagaimana nikmatnya air susu ibunya sendiri. Tenanglah, ini sekedar celotehan otak saya yang masih tidak habis pikir tentang kebijakan tersebut. begitu banyak ketimpangan yang terjadi, tidak sedikit kenyataan yang paradoks. Mengapa memilih kebijakan demikian?
Memberi ruang selebar mungkin kepada investor diharapkan mampu membantu negara dalam menggarap sumber daya alam. Alasannya, karena kita ini belum punya alat yang memadai seperti para investor yang negaranya (katanya) kaya-raya (padahal juga punya hutang berlimpah). Alasannya, karena sumber daya manusia kita masih belum ahli. Padahal di perusahaan asing, bahkan sampai iklan-iklannya di televisi pun, memperlihatkan bagaimana tangguhnya pekerja Indonesia yang ada di kantor mereka. maka pertanyaannya, jika mereka mampu, kenapa harus datangkan orang asing?
Masalah modal? Saya yakin Indonesia tidak kekurangan uang. Apalagi kekurangan sapi sampai harus impor. Maaf, ini hanya celotehan saya. Sekali lagi, celotehan seorang (calon) warga sipil yang awam akan pengetahuan ekonomi dan kenegaraan. Tapi jika orang seperti saya saja berpikiran seperti ini, bagaimana dengan inaq-inaq atau amaq-amaq yang kalau ditempatkan di piramida makanan, mereka bisa jadi adalah pengurai sekaligus produsen. Demokrasi kocar-kacir.
“Uang”, di Indonesia, adalah sebuah benda yang menjadi petaka ketika disandingkan dengan kata “hutang”. Namun menjadi sebuah anugerah ketika ditempelkan dengan kata “gaji”. Terlepas dari itu, uang di Indonesia sebenarnya tidaklah kurang; dengan catatan, mereka berputar! Bukan berputar seperti dzikirnya orang-orang Turki, namun berputar dari masyarakat satu ke masyarakat lainnya melalui transaksi ekonomi. Sehingga ia akan seperti air yang mengalir ke sudut-sudut serupa sistem irigasi di sawah.
Akan tetapi, kenyataannya, uang sekarang banyak terbendung di rumah-rumah dinas yang sangat mewah. Mereka membangun bendungan dengan susah payah sehingga sulit untuk berbagi ketika air (baca: uang) mengucur ke bendungan tersebut. Setiap tahun umat muslim di Indonesia membayar zakat tak kurang dari Rp.20.000,-/orang. Dengan mayoritas pemeluk agama Islam, rasanya agak keterlaluan konyolnya jika di hari lebaran masih saja ada masyarakat yang kelaparan dan duduk bersama keluarga dengan keadaan kompor dingin. Sedingin hati yang tersembunyi dibalik kata “Menyucikan diri.” Maka artinya uang di Indonesia tidak berputar sesuai dengan kodratnya. Ups, ini hanya pemikiran bodoh saya, loh. Dan hal ini berlaku juga untuk sapi-sapi di Indonesia. Hai sapi-sapi! Masih betah bersembunyi? Tidakkah kalian bosan terus-terusan dianaktirikan? Mereka lebih menyukai daging impor!
Baiklah, saya sepertinya terlalu berhalusinasi dan ngelantur kesana-kemari. Kembali ke pokok bahasan: bahasa. Hal sederhana yang tercuat di kepala saya adalah bagaimana bisa Indonesia yang rajin berkunjung ke negara-negara antar benua untuk studi banding ini tidak belajar dari negara yang dikunjungi? Hei, kita adalah negara terbesar dan tercantik sumber daya alamnya di lingkup ASEAN! Kenapa harus menundukkan kepala di depan mereka yang sebenarnya mengemis uang di negara kita? Mereka rela mempelajari bahasa kita demi mengeruk harta yang kita punya. Saya yakin si presiden sadar akan hal ini, tapi mengapa? Mengapa, pak?
Pun, agak ketulenan konyolnya ketika ini menjadi suatu kebanggaan bagi sebagian orang. Saya berkali-kali bertemu warga asing yang datang ke Lombok yang belajar bahasa Indonesia untuk kepentingan penelitian. Mereka legowo untuk belajar demi sebuah tujuan. Lantas mengapa kita harus “mengalah”? Kalau tidak salah ingat, saya pernah membaca berita bahwa Indonesia akan menjadi bahasa resmi dalam MEA. Nah, kemana itu? Bahkan Thailand dan Myanmar telah menobatkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua demi MEA. Mengapa kita harus tunduk?!
Entah, mungkin ini hanya ketakutan saya yang berlebihan. Biarlah. Saya takut bangsa Indonesia lambat laun akan kehilangan jati dirinya atas kebijakan ini. Masyarakat tidak lagi bangga berbahasa Indonesia, tidak lagi mau memperkenalkan budaya asli Indonesia—dan hanya akan mengamuk brutal marah-marah saar budaya itu diterapkan oleh Malaysia. Sebuah kenyataan ironi. Seperti meludah ke atas. Sekarang, apa yang diinginkan bangsa ini setelah menyepakati penjajahan modern  macam itu? Apa lagi yang harus dibanggakan? Saya jadi ingin bunuh diri sekarang saja; karena sebagai guru Bahasa Inggris yang bercita-cita mengajar BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing), saya merasa akan dibunuh pada 2016 mendatang dengan pedang berlabel MEA. Salam.