Minggu, 19 Juli 2015

Kreativitas Menulis Siswa: Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari



Senin yang bijaksana untuk merefleksikan pendidikan dewasa ini. Seperti yang sudah-sudah, kegiatan menulis masih saja menjadi momok yang berat untuk dijadikan suatu budaya positif; baik di kalangan pekerja maupun di kalangan pelajar.
Membaca berita Suara NTB (8/6)—agak telat, memang—dalam Kolom Pendidikan: “Rendah, Kreativitas Menulis Siswa”, membuat saya kembali meringis akan kenyataan yang masih saja dianggap biasa oleh masyarakat, terutama para pengajar. Sudah banyak penulis, pemerhati pendidikan, sastrawan, dan kelompok masyarakat lainnya yang menyuarakan budaya menulis. Banyak mengadakan pelatihan serta lomba-lomba menulis. Namun hal tersebut dirasa masih kurang greget untuk membangkitkan kreativitas menulis siswa.
Senada dengan ucapan Kepala Kantor Bahasa NTB yang terlampir dalam berita tersebut, Dr. Syarifudin, mengatakan bahwa kemampuan menulis siswa berbanding lurus dengan kemampuan mengajar Bahasa Indonesia para pengajar di sekolah. Jika dipantau dengan teliti, hal tersebut benar adanya.
Banyak guru yang menuntut siswa di kelas harus pandai menulis esai, cerita pendek (cerpen), puisi, resensi buku, dan banyak lagi jenisnya. Akan tetapi mereka lupa bahwa keteladanan justru muncul dari mereka. Sehingga secara tidak langsung, kinerja guru dalam mengajar tercermin jelas dari belum pandainya para siswa menuangkan ide-ide mereka ke dalam tulisan karena guru mereka pun mencontohkan hal yang sama.
Fungsi LPTK Dipertanyakan
   Di sini, saya teringat akan lembaga tempat saya kuliah yang notabene adalah gudangnya pencetak guru-guru. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) adalah sebuah lembaga yang bertujuan mencetak tenaga pendidik. Dalam lingkupnya, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) di setiap Perguruan Tinggi (PT)—baik negeri maupun swasta— dan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), juga Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP), bertanggung jawab penuh dalam membentuk calon-calon guru di negeri ini.
Lantas, yang menjadi pertanyaannya adalah: Apakah kurikulum di LPTK tersebut telah memenuhi kebutuhan para calon guru untuk mengajar siswa kelak? Kurikulum LPTK dievaluasi setiap lima tahun sekali. Para ketua jurusan dan ketua program studi (prodi) bertugas mengkaji ulang setiap kurikulum yang telah mereka jalankan; apakah telah sesuai dengan kebutuhan masa depan ataukah telah ketinggalan zaman.
Sebagai contoh saat ini, tujuan guru Bahasa Indonesia untuk membuat siswanya mampu menulis ternyata belum ter-cover oleh LPTK. Bukti nyatanya adalah berita Suara NTB halaman 13 ini. Jikalau sudah tercapai, tentu wartawan tidak perlu bersusah payah meliput hal tersebut. Oleh karena itu, rasanya kita semua—calon guru, guru, pihak pengelola kurikulum, serta masyarakat—perlu bekerjasama dalam meloloskan tujuan mulia ini: meningkatkan kreativitas menulis siswa untuk masa depan bangsa yang lebih baik. Menumbuhkan budaya komuniskasi intelektual di kalangan terpelajar seperti harapan Ki Hajar Dewantara kala memperjuangkan pendidikan Indonesia.
Terlebih, kini kita perlu bersorot ke calon guru semasa kuliah. Bagaimana mereka mampu memantapkan diri untuk kelak menjadi seorang guru. Menyalurkan ilmu—dalam Islam—adalah amal jariyah, yang artinya akan terus mengalir hingga penyalur ilmunya wafat. Hal tersebut penting dilakukan karena dampak yang akan didapat sangatlah besar. Bisa kita bayangkan jika LPTK hanya menjadi “batu loncatan” untuk mendapatkan gelar, sehingga yang terisi di lembaga ini hanyalah orang-orang yang sama sekali tidak ada niatan  menjadi guru.
Maka wajarlah jika cetakan yang keluar dari sini adalah mereka yang tidak mau tahu tentang materi ajar, metode didik, serta hal-hal lainnya yang menjadi poin penting dalam mendidik siswa. Terlebih mengajarkan hal yang sifatnya praktik: menulis, olahraga, musik, tata krama, dan lain-lain. Demikian daripada itu, perlu dipertegas oleh pihak pengelola LPTK untuk menyaring ketat calon mahasiswa yang memang bercita-cinta menjadi guru. Jika hal tersebut tidak mampu dilakukan oleh LPTK, maka keberadaannya perlu dipertanyakan.
Sebuah Praktik mengalahkan 1000 Teori
Salah seorang kawan saya—sarjana pendidikan—kini mengajar Bahasa Indonesia di sebuah sekolah favorit di Selong Lombok Timur. Ia, selain sebagai seorang guru, juga dikenal sebagai seorang penulis. Banyak tulisannya yang sering dimuat di media cetak; antara lain opini, esai, dan cerpen. Saat  masih menjadi seorang mahasiswa, ia pun rajin menulis naskah lakon.
Saya sangat mengagumi setiap tulisannya. Di sekolahnya kini pun ia aktif membina kegiatan siswa di bidang teater dan kepenulisan. Saya berfikir, hal tersebut tentu tidak ia dapatkan dengan proses yang sebentar. Rekam jejaknya dalam menulis membuatnya menjadi orang kepercayaan dalam membina siswa. Di kelas pun ia disegani karena terbukti tidak sekedar mengajar menulis, tapi juga mencontohkan kepada para siswa bagaimana menulis yang baik.
Inilah goal yang diinginkan pendidikan kita. Seorang individu guru yang mampu menjadi contoh dari tujuan pendidikan. Akan tetapi, tidak kita pungkiri, masih banyak gkuru yang meremehkan pendidikan. Sekedar masuk kelas, menjelaskan materi sesuai dengan isi buku, memberi tugas, lalu pulang. Tidak ada bekas ilmu kehidupan yang disampaikan secara cair dan terbuka. Semua berpatokan pada buku. Tidak ada tutorial yang mampu mengajarkan seseorang untuk mahir dalam satu kali praktik. Seribu teori menulis yang dijabarkan oleh para guru akan lenyap dengan mudah ketika guru tersebut tidak mampu menunjukkan satu praktik pun kepada siswanya.
Lain halnya jika menulis diajarkan dengan lebih mengedepankan praktik menulis setiap jam ajarnya. Siswa yang setiap hari membaca tulisan milik gurunya, apalagi tulisan yang terbit di media cetak, itu akan menjadi pecut sakti memotivasi mereka untuk ikut menulis. Percaya atau tidak, para siswa tidak akan pernah melupakan guru yang telah menginspirasi mereka dalam belajar. Guru yang telah memberikan pelajaran hidup yang aplikatif tidak akan pernah hilang dari hati siswanya. Mereka akan terus menyelimuti guru mereka dengan rasa terima kasih juga doa-doa.
Akhir dari tulisan ini, saya menyimpulkan bahwa tugas guru sebagai seorang pendidik tidak boleh dianggap remeh. Kemampuan mendidik harus ditempa sejak menjadi mahasiswa di LPTK. Pihak LPTK pun bertanggung jawab atas isi kurikulum yang menjadi bekal calon guru dalam mendidik siswanya kelak. Harus ada keselarasan di antara keduanya. Oleh karena itu, jika guru telah mampu membangun budaya menulis kreatif dalam dirinya, maka tidak akan sulit bagi mereka untuk menempa siswa-siswa mereka. Senada dengan pepatah, “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.”

Happy Birthday, Ilda!



Yeah, this was the late post—at least my desire to write this moment is still lovely burned. I’m 22 now. Tuhan, umur darimu berkurang lagi satu. Ini adalah refleksi diri yang serius. Di umur segini, belum punya pekerjaan tetap—masih serabutan—belum wisuda, belum menikah, rasanya agak “lelet” dalam menjalani hidup. Oleh karena itu, momen ini sangat pas untuk menyusun jati diri.
Tidak ada kado di hari itu. Ibu dan kekasihku cukup banyak berdoa untuk masa depanku. Kami berkumpul di rumah dan melakukan apa yang telah  kami rencanakan jauh-jauh hari: memasak! Ibuku yang merasa “merdeka” karena hari itu bebas dari dapur, sama sekali tidak beranjak dari depan televisi. Akhirnya kami berdua yang sibuk memilah bumbu, pergi ke pasar, dan memasak di dapur. Kami membuat kue serikaya—yang konon adalah makanan khas raja-raja Taliwang kala itu. Makanan manis berbahan dasar telur ini memang nikmat! Singkatnya, meski belum sempurna, karena itu kue pertama kami, tapi rasanya tidak mengecewakan. Aku menganggap itu kado terindah tahun ini. Kenyataan ia lebih pandai memasak dariku telah jelas terlihat di dapur ini. Benar-benar menguntungkan. Hahaa…. #dilemparbaskom
Tapi, yang terpenting untuk tahun ini bukanlah itu. Bukan. Itu hanyalah kebahagiaan kecil yang Tuhan lampirkan atas kado yang aku butuhkan. Lampiran surprises dari kawan-kawan Pena pun sebenarnya adalah porses dari kado Tuhan ini sendiri: perbanyak mendengar, kurangi bicara banyak.
22 tahun ini, aku telah banyak melalui tahapan hidup, menjalani banyak proses pencarian jati diri sehingga inilah aku sekarang. Akan tetapi, satu yang menjadi permasalah dalam diriku—kelak tentu akan menyusahkan—aku kurang mendengarkan orang lain dan terlalu banyak berbicara.
Ini sifat yang buruk, melihat Rasulullah SAW pun lebih sering mengingatkan kita untuk lebih banyak menyimak dan mengurangi bicara jika tidak penting (banyak ruginya). Pun setelah tak memimpin, kesempatan mendengarkan aku rasa lebih tenang untuk dijalani. Hidup selama 22 tahun, memiliki banyak persepsi. Bagi orang “sederhana” dengan pendidikan yang sederhana pula, umur itu sudah dikatakan tua dan yang belum menikah, telah matang menyandang gelar perawan tua. Namun bagi orang yang mengenyam pendidikan sepanjang rezekinya hidup, umur ini adalah tunas yang sedang dalam masa emas. Usia produktif yang sangat rugi jika tidak diberdayakan sebaik mungkin. Umur yang menjadi syarat masuk kerja ke sana-sini, syarat pertukaran pemuda di sana-sini, pun syarat jaminan masyarakat mengatainya “pemuda/i” yang jernih keras pemikirannya. Ide-ide di kepalanya sangat cemerlang. Semua orang di  usia 22. Pantaslah Taylor Swift menciptakan lagu “22”—padahal usianya kala itu telah menginjak 25.

Gagal Berkali-kali
By the way, tahun ini aku berencana untuk mendaki puncak Rinjani. Namun ternyata sama seperti tahun-tahun sebelumnya yang kujanjikan pada diriku sendiri, aku  kembali gagal: deadline pekerjaan merantai langkahku kali ini.
2011, aku sedang ada di Bali untuk Kejuaraan Nasional (Kejurnas) Merpati Putih ketika paman-pamanku mengajak dengan semangat 45 mereka. Ini awal mula kekecewaan “eqek” mereka padaku. Hahaa..
2012, menjadi Pimpinan Redaksi (Pimred) LPM Pena Kampus membuatku kembali harus mengurungkan niat untuk ikut mereka karena terbitan khusus Ospek menjadi tanggung jawabku kala itu. Paman-pamanku sedikit geram dan selalu mencekik leherku saat aku pulang ke rumah.  Mereka jahat, ya.. L
2013, lagi-lagi jabatan menghalangiku untuk pergi! Menjadi Sekretaris Umum (Sekum) tentu membuatku tidak dapat meninggalkan kampus karena kala itu aku menjadi delegasi sebagai panitia Ospek. Dan paman-pamanku mulai tidak peduli lagi dengan janjiku. Sungguh  menohok mereka itu. Sedih..
2014, tenang, kali ini bukan karena organisasi, melainkan akademis. Aku menjalani PPL selama satu semester dan kembali terurungkan niat menjemput Rinjani ke hati dan mataku. Aku hanya bisa menahan iri ketika kekasihku memamerkan foto-fotonya saat di Rinjani. “Namamu sudah naik dua kali, masa orangnya gagal-gagal terus mau naik?” ejek lelaki kesayanganku itu. Sekali lagi: menyedihkan.
2015, heihoo…. Aku sudah terbebas dari segala jenis kegiatan organisasi dan kuliah yang menjerat. Dan kami—aku, paman-paman, dan kekasih—sudah menyiapkan segalanya untuk berangkat H+2 lebaran. It was fun till me and my beloved got news about our jobs. And, no more words, we canceled it. Paman-pamanku hanya bisa bergeleng-geleng kepala. “Cukup. Lalo mesaq bae kau jemaq!” ujarnya kesal. Dan kami berdua ditinggal pergi.
Itu kisahku bersama Rinjani. Bagaimana denganmu? Ah, sudahlah. Selalu ada hikmah di balik semuanya. Aku percaya akan ada masanya untuk mendaki dengan tenang tanpa “gangguan” di kota ini. Mungkin memang belum rezeki, atau memang aku belum pantas untuk menginjakkan kaki di sana. Percaya atau tidak, banyak mitos yang terhembus tentang Rinjani di telingaku, membuatku semakin ingin pergi, namun harus ingat diri bahwa mendaki adalah suatu hal yang bukan main-main.
Satu hal yang perlu kutanyai dalam diri sebelum pergi: “Apa tujuanmu mendaki?” dan mungkin Tuhan ingin aku menjawab itu dengan baik sebelum diizinkan mengenal ciptaanNya yang Maha Indah. Tuhan So Sweet banget, sih.. Terima kasih atas kado indahnya tahun ini—refleksi diri untuk lebih mendengarkan daripada berbicara, juga pertanyaan dariMu yang harus aku jawab. #peluk