Senin, 30 Desember 2013

Sebelum Mandi

Adalah bukan lagi jamannya kita membandingkan isi dari setiap anak di dalam rumah. Sudah bukan waktunya kita sombong dengan piala dan piagam di dalam lemari. Membuat saudara iri satu sama lain dan merasa tidak disayang. Bukan.
Ibuku memang pandai. Termasuk kuat dalam mengurusi tiga anak dengan bawaan berbeda. Namun ada kalanya ia meringkuk di pojok kasur dengan tetesan lelah di wajahnya. Entah suaminya ikut menemani atau tidak. Sosok kuat itu rasanya tetap duduk manis di samping Tuhan. Tanpa kita tahu, ia datang atau tidak.
Serupa ia, aku ingin duduk di samping ibu. Merangkul pundak dan mencium kakinya. Jika tidak dapat kutuang isi otakku untuk ditukar dengan lelahnya, maka cukup tanganku hangatkan bahunya. Yah, tetaplah beda aku dengan ayahku. Intimnya berbeda. Anak tetaplah anak. Kemesraan keluarga dengan kemesraan pasangan tentu ber-level. Aku yang telah berkekasih ini cukup paham.
Pun adik perempuanku yang beranjak remaja kini mulai pandai berpikir. Ia rajin menyendiri di kamar, kadang pulang pukul sepuluh malam. Mulai pandai mengurus rumah, syukurnya belum lihai bersolek. Sebagai kakak perempuan, aku mengenal fase-fase umurnya. Tidak ingin dikekang. Harus dihalus-halusi.
Dan inilah bom waktu di rumah. Warisan ayah paling sadis. Anak kesayangan yang membuatnya rela gopoh-gopoh menahan asam urat di kaki kirinya demi mengawal ibuku melahirkan. Adik laki-lakiku. Laki-laki sendirian, namun manjanya bak lima perempuan labil. Entah salah asuhan atau lingkungan. Seingatku, kami bertiga diasuh dengan metode yang sama. Tapi mungkin ia lebih gagal karena tanpa ayah.
Ayah, sudikah kau berbisik pada Tuhan agar kami berempat cepat bergandeng di sisimu juga? Kami lelah. Rasanya kami lelah. Darah tinggi serasa rendah. Rendah serasa tinggi inginnya  marah-marah. Anak kesayanganmu selalu berulah. Membuatku tidak betah di rumah. Pun mungkin adik perempuanku. Tapi rasanya tidak ibuku. Isterimu yang paling kuat. Paling tangguh menghadapimu dulu.
Malam ini, ia jual telepon genggamnya yang minggu lalu ibu belikan untuknya. Umurnya dua belas tahun. Kudengar di siaran berita radio, anak usia itu sudah boleh ber-handphone. Jadilah ibu membelikannya untuk ber-halo-halo dengan kami. Ibu bekerja pagi hingga sore. Anak-anak berkegiatan pagi hingga malam. Maka kami semua harus menggenggam handphone.
Malam ini aku memukul adik laki-lakiku lagi. Baru sedetik kurasa dinginnya air kamar mandi,  kusambar handuk lalu melaju ke ruang depan. Entah. Kutampar dan kuceramahi dengan isakan tangis spontan. Ibuku diam. Adik perempuanku terus menggiling sambal tomat untuk makan malam kami. Mandiku tak tuntas. Tangisku pecah serupa anak umur empat tahun yang ketahuan mencuri mangga tetangga.
Ibuku masih diam. Tak kuasa lagi bercucur kata. Kami diam. Adik laki-lakiku memalingkan muka. Telepon genggam itu dijualnya seharga lima puluh ribu. Rupiah. Untuk apa, kami tak tahu. Ia tak mau kembalikan itu. Ibuku lelah. Bisik istigfar bibirnya seirama dengan isak tangisku. Jika tidak sedang berhanduk, mungkin kaki ini tak segan-segan menabrak otak dungu adikku yang laki-laki ini.
Namun, dari mana ia warisi kedunguan itu? Entah. Aku tak mau tahu untuk saat ini. Aku harus kembali ke kamar mandi. Basuh mataku yang malu dan tuntaskan mandiku. Air di bahu telah kering. Pipiku tetap basah. Pula asin.
Sebelum mandi, aku sempat memesan pancake durian untuk dimakan ramai-ramai. Sama-sama mencicipi kudapan asal Medan itu rumah. Kuhitung sisa beasiswa dengan rapi, supaya jalinan mesra yang coba kubangun dalam keluarga ini bisa menjulang. Terlalu mimpi, memang. Tapi peduli setan. Aku ingin merasa lebih cinta pada keluarga. Jangan durhaka. Jika cinta kekasih, lantas tak cinta keluarga. Tidak boleh.
Sialnya, anak laki-laki ini berulah lagi. Merusak mimpiku dengan menjual telepon genggam barunya seharga lima puluh ribu. Rupiah. Rupiah. Untuk apa, kami tak tahu.
Uang bisa dicari. Ilmu bisa digali. Tapi mana yang lebih kekal, sudah rahasia umum. Remah-remah otakku untuk membangun keluarga bahagia tanpa ayah selalu berhasil digubrisnya! Dia anak kesayangan ayah. Tapi. Tapi tidak sayang ayah!
Siapa yang tahu isi hati orang. Dalam buangan mukanya saat aku ceramah sambil memukul, siapa yang tahu isi otaknya? Ayah, kau sedang duduk di samping Tuhan. kata orang, hanya Tuhan yang tahu isi hati orang. Sudikah kau bertanya padaNya? Kau tahu maksudku.
Jika uang menjadi tujuan lima puluh ribu itu, dimana salah asuhnya ibuku? Lingkungan? Mari salahkan lingkungan. Kami pun besar di lingkungan yan hampir sama. Namun entah generasi apa yang ada sekarang, rahasia umum. Kami butuh ayah.
Kami butuh tamparan keras dari ayah saat orang-orang di lingkungan mencoba membodohi kami. Ibu hanya tegas. Tidak keras. Kalian saling melengkapi. Dulu aku ingin sekali ayah mati. Kini Tuhan mendengar, dan aku mendengar inginku sendiri. Mati disesali mati. Aku ingin ayah jangan mati.
Kini tugasmu ada di pundakku. Namun sekali lagi, kemesraan aku dan ibu tak se-level kemesraan ayah dan ibu. Percayalah. Kini anak kesayangannya telah salah asuhan. Lingkungan tak lagi mampu dibendung karena keras tak lagi ada. Kami  mengasuhnya sendiri-sendiri. Serupa dosen dengan pahamnya masing-masing saat mengajar di kelas. Begitulah mungkin rasanya. Maka, tidaklah pantas kami menyalahkan lingkungan. Asuhan haruslah seiya-sekata. Asuhan orangtua tidak se-level asuhan saudara.
Sebelum mandi, aku merancang rencana manis untuk keluarga kecil ini. Sebelum mandi, salah satu anggota keluarga ini berulah. Aku mandi dengan isakan bodoh menghujam diri. Mengutuk ketidakpandaianku mengasuh adik. Anak kesayangan ayah. Aku keluar dengan handuk sesal berwarna merah jambu. Warna yang paling tak kusuka! Setelah mandi, kutulis kisah beberapa  menit yang lalu. Dengan harapan ketikkan ini ditukar dengan uang lima puluh ribu. Akan kubeli telepon genggam adik laki-lakiku kembali. Anak kesayangan ayah.

Minggu, 24 November 2013

Belajar dari Mamak

"sementara hari terus berganti 
engkau pergi dengan dendam membara 
di hati.."
sepenggal lirik lagu dari musisi gagah, Iwan Fals.

sebenarnya ini tulisan yang tak perlu diberi judul. keluhan lebih tepatnya. pernahkah kalian memberi judul pada umpatan dan keluhan atas otak dan hari-hari kalian?
ini ditulis ketika saya sedang haid. PMS menjadi musuh terbesar karena ia selalu membunuh hasrat saya dalam menyulam ide-ide. sangat pandai menyuburkan rasa malas. jadilah ide-ide saya berserakan dan tertumpuk di otak sampai akhirnya dilupakan. sungguh menjijikkan!
saya membenci sifat buruk ini. saya tidak ingin sifat emosional dan introvert seperti ini yang mengaliri darah. tidakkah kalian jengah jika berada di dekat saya? saya saja malu dengan onggokkan otak ini. apalagi teman-teman sebagai penonton atas kalon saya.
mungkin saya hanya lelah dengan segala kesibukkan. jenuh dengan kekasih yang juga mulai jenuh dengan saya. ketidakbahagiaan ini mungkin terlalu berlebihan jika saya keluhkan.

dari semuanya, yang tidak mungkin saya tuang semua, yang hanya beberapa saja, sebisanya, begitulah. hanya satu penguatnya: telapak kaki ibu. teori kasih sayang ibu. hanya memberi, tak harap kembali.
saya harus tetap mencintai kesibukkan yang telah membesarkan nama saya. yang telah membantu saya mewujudkan cita-cita.
saya harus tetap mencintai kekasih saya. meski saya kerap harus menangis di punggungnya karena ia sedang jenuh. meski saya harus mengambil alih posisinya sebagai pemimpin dalam hubungan. karena Tuhan tahu saya lebih kuat secara batiniah.
saya harus belajar dari mamak yang kuat. sangat kuat. sangat mencintai kesibukkannya. sangat  mencintai suaminya yang sedang duduk menatapnya dari langit. sangat telaten merawat bocah-bocahnya yang mulai banyak akal. sangat pandai mengartikan 'hanya memberi, tak harap kembali.'
mak, Iing minta maap..

Selasa, 12 November 2013

Mid-term Test (60’)



Crik! Lembar terakhir telah siap cetak dalam ruang ujian. Tentu hanya di mataku. Semoga berhasil. Untuk kali ini, saja, Tuhan, izinkan aku mencurangi dosen ini. Ia cukup baik dalam kuliahnya. Hanya saja mungkin aku kurang tertarik belajar dengan hafalan copy-paste seinginnya dia. Hingga jariku mengetik tulisan ini, aku akan ceritakan bagaimana seumur hidupku, telah kutemukan diriku seorang penakut! Padahal tinggal membuka file Gallery dalam HP dan nilai akan sempurna. Dalam  Mid-term Test dengan alokasi waktu enam puluh menit.

Untuk hari ini, pukul sembilan lebih lima belas menit, ringan telapak sepatuku memasuki ruangan berkapasitas tiga puluh orang. Yang nyatanya dijejal dengan empat puluh delapan orang tanpa AC. Kuubah kebiasaanku dengan duduk di barisan belakang, demi meluncurkan niat pagiku yang buta.

Mulai duduk menunggu dosen dengan soal ujiannya, kumuntahkan isi tas dengan rapi. Berjejer hand-book mata kuliah yang kududuki ini dengan sebuah novel milik Lang  Fang. Oh, Tuhan, sumpah demi pepohonan di luar sana, aku lebih  memilih melahap isi otak Tuan Fang ketimbang kertas sok penting ini.

Begitu juga kuingat foto-foto lebaran hand-book yang telah kupotret, menjadikan aku seorang pelajar yang tega membungkam kembali tas dengan hand-book itu di dalamnya. Tenang saja, ada file foto. Maka kuhabiskan waktu menunggu laki-laki paruh baya itu dengan membaca Ciuman di bawah Hujan.

Akhirnya ia datang tepat di lembar kesepuluh bacaanku. Teman-teman sibuk menata bangku sambil berbisik-bisik. Nanti bagi jawaban, ya! Nanti jangan pelit! Nanti.. nanti.. nanti. Tak ada kata nanti untuk lembar soal dan jawaban. Soal berisi empat butir dan empat telur pecahan.

Mulailah kususur kata perkata isi soal tersebut. Tuhan, soal macam apa ini? Sama sekali tidak ada dalam file potretku. Asal kalian tahu, ini rahasia! Beberapa kakak tingkatku berkata bahwa bahan ujian yang sering dosen ini keluarkan adalah yang berasal dari otaknya. Jadi sudah pasti apa yang dia katakan. Kucatat tiap perkataannya. Atau mungkin lebih tepatnya, aku meminjam catatan teman. Maklumlah, tulisanku buruk, tak mampu dibaca dalam keadaan normal. Apalagi mencatat cepat.

Jadi kurasa tamatlah sudah ujianku kali ini. Waktu yang diberikan hanya enam puluh menit. Sixty minutes, kata dosenku. Melihat soal-soal ini, mataku merasa bersalah. Terlebih tanganku yang telah tega terbujuk setan dengan memotret hand-book pagi tadi.

Lelah melihat tulisan yang kuanggap asing. Otakku mulai membuka pintu dari batok di bawah rambutku. Menyusur di balik kerudung, lalu menyisir tiap jari teman-temanku yang sok tekun mengerjakan soal. Dengan wajah empat puluh lima derajat, mata kanan pura-pura membaca soal, mata kiri menjorok ke layar BB, i-pad, dan benda canggih lainnya.

Bolehkah aku menyesal lagi? Kali ini aku menyesal duduk di baris belakang. Entahlah, mungkin ini sebabnya aku nyaman duduk di barisan depan. Supaya dikira memiliki jiwa pemimpin, juga aman dari tuduhan menyontek. Nah, menyontek! Benar-benar kapoklah aku duduk di bangku pojok ini. Ternyata tanganku pandai menebus dosa. Sengaja ia rutunkan suhunya hingga beku hingga malas  bertemu HP. Apalagi membuka potret dalam Gallery milikku.

Kaki detik masih terus berlari. Putaran masih banyak jumlahnya. Sebaiknya aku mengaku dosa. Jika dalam hidup kita mendapat ujian sebelum belajar darinya, maka lain halnya dengan sekolah. Pengajar tentu memberi pelajaran terlebih dahulu sebelum akhirnya menguji dengan soal-soal seperti ini. Maka aku dengan licik, sedikit ingin membela diri.

Boleh juga aku anggap ini perjalanan hidup. Bukan perjalanan sekolah. Toh, akhirnya juga sekolah dijalani dalam hidup, kan? Aku akan belajar sekeluarnya kaki dari ruangan ini. Akan kubujuk hand-book dalam mulut tasku untuk menjelaskan apa maksud soal-soal ini. Tidakkah ini cukup menyesal rasanya? Oo, sudahlah, jangan membela diri terlalu jauh.

Kaki detik masih harus berputar sepuluh kali lagi. Masih harus berdetik enam ratus kali lagi. Lembar jawabanku bersih. Hanya ada promosi identitas. Lalu apa yang aku dapat? Sudah kubilang, kan, aku mengaku dosa. Aku mengakui kepengecutan diriku dalam mencontek. Kujilat niat burukku yang ingin mencoba kursi di barisan belakang.

Semakin sedikit putaran kaki detik. Ia berlari dengan rutin. Tik, tik, tik, seperti sintaks suara hujan. Telah kudapati jawaban. Namun bukanlah jawaban soal ujian ini yang ada di otakku. Hasil susurku bukanlah fakta bahwa teman-temanku kehilangkan kepercayaan dirinya dalam menjawab soal. Sehingga harus mengemis jawaban dari bangku kiri, kanan, depan, dan belakang.

Jawaban yang hanya aku pemilik soalnya. Sekolah memang bagian dari hidup. Namun cara menghadapinya tentu berbeda. Seperti Lexical Entailment dalam Semantics siang tadi. Maka, hasil dari ujian ini adalah: aku telah mengenal diriku lebih dalam. Aku akan tetap duduk di barisan terdepan, karena aku memang seorang pemimpin, setidaknya bagi diriku sendiri. Jangan pernah tumbuhkan niat mencontek karena itu bukan sikap seorang pemimpin.

“Okay, time is over. Hand in!” seru dosenku. shit! ops, astagfirullah….

Selasa, 29 Oktober 2013

Di Balik Tirai Kegombalan

memiliki kekasih seorang populer bukanlah perkara mudah. begitu banyak sayatan cemburu dan jengkel yang harus diperam dalam-dalam setiap hari. namun, jangan sampai hanya karena hal itu, lantas kaki mundur dan meninggalkan dia yang dicinta. begitupun dia yang mencintai kita.
saya, bersama seorang laki-laki bernama lengkap Maulana Rosihan Islam, telah menjalin hubungan kasih selama setahun. Rossi, atau saya biasa akrab menyapanya dengan 'Abang', adalah salah satu tipe laki-laki populer yang banyak dilirik perempuan. bukan bermaksud meninggikan apalagi sombong. dia memiliki kharisma, ya, saya sebut itu kharisma. karena memang itulah yang ada pada tutur katanya. kemampuannya mengolah kata di depan perempuan hingga mereka merasa disanjung serasa ratu, namun tidak begitu maksudnya.
lama saya perhatikan sifat dan sikapnya ini. saya sadar, itu salah satu kelebihannya sebagai laki-laki. sebagai kekasihnya, haruslah saya mengerti dan pandai menjaga emosi jikalau ia berlaku seperti itu di depan saya. benar-benar kesabaran tingkat lutut. mengapa lutut? karena hari-hari yang saya lakukan tidak sepeti pasangan Primus dan Jihan Fahira di televisi (meski kami cukup terkenal di kampus sebagai pasangan aktivis *uhuk!*), kami bukan Habibi dan Ainun yang hubungannya diwarnai ilmu pengetahuan. jadi tidak begitu selevel lah jika terlalu tinggi. hehee
sering saya merasa bahwa ia memanfaatkan sifatnya yang seperti itu. berlagak gombal di depan orang lain. sedikit mencandai saya seperti teman laki-lakinya, juga seperti tidak menganggap saya ada di saat sedang mengobrol dengan perempuan lain. benar-benar panas hati saya saat itu. ingin rasanya menjauh sejauh-jauhnya dan tidak mengenalnya lagi sebagai pasangan. sering. sering sekali. tapi, jika ingat bapak (orangtua si Abang) yang begitu baik dan welcome menerima saya, rasanya seluruh kegeramman ini menguap tanpa asap. saya selalu rindu pada mamiq di mana saja. dan kehadiran bapak, sedikitnya mampu menghadirkan kehangatan seorang ayah dalam hari-hari saya. semoga ini memiliki ujung yang baik. kugenggam tanganMu, Tuhan..

siklus kecemburuan saya sebenarnya tidaklah terlalu rumit. saya hanya tidak suka jika ia membiarkan saya menahan bara iri ini dalam diri terlalu lama. lelah dengan ketidakpekaannya, saya ceritakan hal ini padanya. ia hanya berkata, "Jangan mikir macam-macam. Abang ini miliku, and you are mine." diakhiri dengan cubitan di pipi, lalu berlalu begitu saja. dan, sikapnya tidak berubah. tetap saya ramah pada perempuan. tetap serupa gombal dan membuat mereka melayang-layang setiap mendengar suaranya yang renyah.
dan untuk siang hari tadi (29/10), saya hampir menangis haru mengetahui suatu kenyataan dalam dirinya. dibalik ketidakpekaannya terhadap kecemburuan saya, kegombalannya di hadapan yang lain, ia benar-benar menatap dan memiliki hati ini. mungkin bagi orang lain, ini hal kecil, dan hal kecil inilah yang saya inginkan darinya. ia menyimpan rapi foto-foto kami dengan folder khasnya ia  memanggil saya; "my Baiq"
berputarlah seluruh kenangan dari awal bertemu, hingga detik ini saya menulis. dibalik acuhnya ia di depan orang lain, ia tetap  menggandeng tangan saya di belakang punggungnya. dalam ketidakpeduliannya yang saya anggap tidak romantis ataupun tidak perhatian, ia diam-diam menjadi 'tim infestigasi' dan sayalah berita kriminalnya.
selama ini, di balik tirai kegombalannya, ia selalu membisikkan cinta pada setiap indera yang menyusun raga Baiq Ilda Karwayu. kini, apa saya masih merasa cemburu? Hmm... ia terlalu 'terbuka' untuk dicemburui.
I am a man,
who sees,
the shadow in your eyes..
^_^

Minggu, 27 Oktober 2013

Menjelang Sumpah Pemuda

 Malam ini. setelah membaca dua BAB bahan UTS Morphology esok hari, mata saya terlambat dijemput mimpi. bola-bola ini kembali melebar kerana diskusi online bersama kawan-kawan UKPKM MEDIA Unram via sos-med. kami membahas pemberlakuan jam malam yang katanya akan mulai berpatroli pada 1 November 2013.
lalu berbagai statement dan buah pikiran terketik dalam kotak comment. begitu banyak, begitu lugas, begitu panjang. entah hati lelah atau tangan mulai keriting. saya membuka tautan baru dan mengetikkan alamat blog ini. saya lelah ber-vocal pada ranah diskusi. saya takut, ide-ide yang keluar dari otak melalui mulut ini tidak mampu dipertanggungjawabkan sepenuhnya. hingga Tuhan masih berbaik hati memberi nafas pada saya, apalah arti sebuah lidah yang diam?
kini cobalah untuk duduk dan berfikir. segala permasalahan yang kita diskusikan, segala kebijakan yang kita tentang atas nama mahasiswa, bisakah sebelum melakukan itu, kita tenang dan melakukan analisis mendalam? bukan berarti kita harus diam, berfikir, lalu terlena dan akhirnya lupa. mari bergerak! namun tidak dengan kaki yang gegabah hingga terperosok lumpur jebakan birokrasi!
kita banyak tahu. kita banyak mengumbar cerita tentang kebijakan buruk pada mahasiswa lain, terlebih pada yang tidak mau tahu. sungguh, saya lelah. saya merasa bersalah telah banyak bicara. harus saya biarkan mulut ini menikmati masa istirahatnya. jikalau ini bukan waktu yang tepat, saya akan tetap ber-vocal. namun tidak dengan mulut. saya akan mencari tahu kebenaran, mendengar diskusi-diskusi, lalu menulis. saya akan menulis!
demi 28 Oktober 2013 esok hari. saya ingin meminta maaf pada pemuda pejuang 28 Oktober 1928. janganlah saya menjadi orang yang berseberangan dari mereka. karena jika demikian, saya pantas disebut penghianat pemuda! pemuda Indonesia haruslah yang cinta tanah air. yang menguasai Bahasa Indonesia. yang rela mati membela bangsanya. harapan saya, lagu Darah Juang, pun Mars Mahasiswa tidak luntuk dari hati. juga do'a orangtua dalam tujuan utama mereka menyekolahkan saya di jenjang perguruan tinggi. saya harus menjadi orang Indonesia yang baik!
namun, saya masih lelah berbicara yang terkadang kosong. di kamar ini. di rumah ini, hanya ada tiga anak dan si sulung sedang menunggu ibunya pulang. ayahnya memantau dari kaki Tuhan. dan saya menangis dengan diam dalam situasi ini. karena saya telah berjanji pada mulut, ia akan memiliki waktunya dalam peristirahatan sementara.
sekian. saya lelah..

Jumat, 25 Oktober 2013

Mari Menulis Mading dan Bulletin!

Tulisan ini mungkin lebih kepada pengalaman saya sebagai penulis di provinsi kecil ini. Menurut saya, menulis tidaklah sulit. Seperti kata Kiki Sulistyo, salah seorang sastrawan Nusa Tenggara Barat (NTB), “Jika ingin belajar menulis, hanya ada satu cara; menulis, menulis, menulis!” 
Kegiatan menulis adalah menuangkan ide di dalam bentuk tulisan. Ide pun bisa didapat di mana saja, kapan saja, dan dari siapa saja. Oleh karena itu, sebagai siswa yang cerdas, mulailah merasakan peka terhadap kondisi sekeliling kita. Untuk memancing ide yang kita miliki, baiknya menulis tentang hal yang disukai. Begitu juga dengan pengalaman pribadi dan kegiatan-kegiatan yang pernah dilihat. 
Ada banyak rubrik dan jenis tulisan yang ada dalam dunia kepenulisan. Untuk Majalah Dinding  (Mading) dan Bulletin sekolah, ada beberapa jenis rubrik yang diterbitkan, yaitu: (1) Berita, (2) Opini, (3) Sastra. Dari ketiga jenis rubrik tersebut, terdapat pula beberapa jenis tulisan. 
Berita adalah rubrik yang wajib ada pada mading dan bulletin karena tugas kedua media cetak ini adalah menyebarkan informasi. Ada dua jenis berita yang cocok untuk keduanya, yaitu Straight News dan Feature. 
Straight News (SN) adalah jenis tulisan berita paling ringan namun sangat padat informasi. Dalam SN, isi berita di dalamnya harus mampu menjawab  pertanyaan  umum dari pembaca ketika berita itu diterbitkan, yaitu: What, Why, When, Where, Who, How (5W+1H). Ingat, usahakan tidak ada lagi pertanyaan yang dilontarkan oleh pembaca karena kekurangan 5W+1H. 
Tidak seperti SN, Feature ini lebih seperti menceritakan berita dengan gaya menulis cerpen. Biasanya berita di dalamnya, selain menulis unsur 5W+1H, juga menyisipkan banyak informasi tambahan. Antara Feature dan SN dapat dibedakan dengan  melihat panjang berita. Feature jauh lebih panjang dari SN. 
Selain dari berita, mading dan bulletin pun menyediakan rubrik opini, tentu yang berisikan tulisan sejenis opini. Opini adalah tulisan yang mengandung gagasan dan pemikiran. Selain itu, opini biasanya membahas masalah yang berkaitan dengan sosial masyarakat. Jika mading dan bulletin ini berada di lingkungan sosial sekolah, maka opini yang cocok adalah opini yang berbicara mengenai sekolah. Namun tidak salah  juga bila membicarakan hal-hal umum di luar sekolah seperti masalah kemacetan di pusat kota, curanmor di sekitar rumah, dll. 
Rubrik yang paling menarik dari semuanya adalah rubrik sastra. Dalam rubrik ini pun ada dua jenis tulisan umum yang menjadi favorit, yakni Puisi dan Cerpen. Saya rasa kedua jenis tulisan ini sudah akrab di telinga penggiat mading dan bulletin. Ini adalah jenis tulisan yang tidak hanya sebagai ruang apresiasi tapi juga menjadi nilai tambah karena penulisnya mampu menuliskan ide-ide dalam bahasa sastra yang halus, dan mau menerbitkannya untuk dibaca orang lain. 
Selain dari ketiga rubrik tersebut, ada pula rubrik tambahan yang mungkin bisa menjadi ruang informasi yang menyenangkan. Rubrik tersebut ialah Resensi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Resensi adalah pertimbangan atau pembicaraan tentang buku; ulasan buku (majalah itu memuat), (buku-buku yang baru terbit). Namun saat ini, tidak hanya buku yang menjadi ulasan resensi, ada pula film dan gadget terbaru. 
Menarik kesimpulan dari semuanya, saya hanya ingin memperkenalkan beberapa rubrik dan jenis tulisan yang  wajib ada dalam mading dan bulletin. Selebihnya dapat dikembangkan sesuai kreativitas. Inilah salah satu skill (keahlian) atau kelebihan yang dimiliki anggota mading dan bulletin. Sebuah kreativitas akan mengubah pola pikir manusia. Sehingga bila pola pikir tersebut dapat diarahkan ke arah yang positif seperti kegiatan mading dan bulletin, maka akan terciptalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang kreatif dan berdaya saing. Mari menulis mading dan bulletin!

Selasa, 22 Oktober 2013

Surat Puisi (3)

Puisi-puisi ini pernah terbit di Radar Seni Edisi 9 Maret 2013 :)




Pagi di Jantung Kota

pada pancuran kasih
di tepian kolam sukma
digenggamnya mesra pula
titik-titik sinar bayi bintang
pukul sembilan merekah
di jantung kota jantung
di sudut taman hati
masyarakat bening
pun mengamati
sycamore tidak lebih cantik
dari ibu penyihir aspal

2013



Katak di Talas

katak di talas
daunnya kecupi hara
sepagi bulan merengek
pada matahari
giliranmu berjaga

katak di talas
sinar si penjaga
        tusuki hari
nyata rupa ia diburu
tangan-tangan uang
untuk kepulan
tetusuk bambu

tak ingin tamat cepat-cepat
dari atas talas ia melompat
lalu kembali ke parit
dengan perasaan pahit

2013



Epilepsi

setelah kuteguk
gas ensefalogram
aku jadi punya kawan
mereka menari layang
           di koridor
entah berasal
dari penyakit yang mana
bagiku,
kami berjodoh
dengan dokter E
pada jas putihnya
ia hobi berkata :
epilepsi, pisauku
akan berdansa
dengan otakmu

2013



Plang Putih Itu Bisu

plang putih itu bisu
roda-roda tetap menggigit
                 kulit bumi
tetap melukiskan tato
berampas porselen

plang putih itu bisu
tak mengapa jika perutmu
menuntut keadilan
dalam periode
       pengisian
namun sungguh
Ia tak citptakan kau
untuk durhakai
Gumi Paer!

2013



Akar-akar Rumput

akar-akar rumput
inginkan rumpun
disayang para buah
telah tumpah-ruah
kini ia hanya memeluk
                    sakit
pada gaun yang lusuh
jangankan berumpun
tangan pun telah rabun

2013



Sejarah di Otakku

sejarah sebagian telah melahap
masa nina bobokku
buku-buku di bangku
            sekolahku
seperti setan dalam
cerita Nabi Adam

sedang mataku melihat
sejarah seperti penggali
                   kubur
yang salah menaruh
nama pemesan

namun sudahlah
sejarah yang utuh
baiknya kunobatkan
sebagai nama
salah satu jalan
di otakku

2013



Panggungnya Serasa Kain
                                    : T.T.08
sudah kubilang
bangunkan tukang baja
untuk panggung kita
ia tak mungkin patahkan rerima
hanya ia jaminkan kebengkokan
bila keok
butiran mimpi melompat
cantik pada pupilmu
gagah pada pupilku
namun panggungnya
          serasa kain

sudah kubilang
buatlah panggung
    serupa baja
agar lusa
hingga kita berkaki tiga
masih ada rumah bergelora
yang siap menyambut kita

2013

Surat Puisi (2)

Puisi-puisi ini pernah terbit di Kendari Pos Edisi 20 Juli 2013 :)



Mengunyah Rindu

petang tak halangi dua mata pelornya
untuk terangi bebatu
selama ia masih mengunyah rindu
sesamanya bersuka-suka
melepeh geram
meludah kelam

2013



Petang di Desa

bebudak berkejaran
hendak grogoti sarung
                 tjak tuan
semalam-malam berkidung
walau bibir tersandung sedu
lepau ia sumpal masa kelu
tunggulah semasa hujan lagi
sebelum sesurya merengek
akan ada fragmen, kata orang
saat sesurya telah berserah
hujan pun menyambut riang

2013



Pengerat Kenari

sebatas kenari
ia telaten meremah
               biji tetaji
sebelum naluri rawi
        berburu bumi
dari tangan ke tangan
lompati ladang sigaret
           sebatas kenari
ia rentang jarak bebarak
dari tangan ke tangan
     menabuh pangan
hingga sempoyongan

2013



Nisan Menangis

kau sapu dedaun basah
dalam kesukaan terperah
semusim nisan menangis
tubuh tak lagi manis
masih memeluk tanah
pada kesukaan gelisah
kau pun, pantang memelas
hingga ia mengecup putas

2013