Senin, 04 Januari 2016

Tentang Kurikulum 2013: “Saya lebih memilih menjadi preman saja.”




            2008, saya lulus tes seleksi salah satu sekolah teknik menengah di Mataram. Sekolah yang membuat saya membenarkan istilah, “Masa-masa terindah adalah masa SMA.” Ilmu yang selalu diperbaharui, kegiatan ekstrakulikuler yang canggih, kawan-kawan yang super keren, dan guru-guru yang beragam kepribadiannya.
            Selama tiga tahun berada di sini, pergi pagi pulang sore, buku tulis setebal 78 halaman pun takkan mampu menjadi wadah tuangan untuk menuliskan isi kegiatan saya. Namun saya akan tetap menceritakannya sepenggal demi sepenggal dengan rangkuman yang dirasa cukup mewakili. Saya lulus di 2011 dengan—alhamdulillah—tidak sempat merasakan sakitnya tidak naik kelas. Meski telah lulus, saya masih sering mengunjungi sekolah beridentitas “preman” ini.
            Berdiri lebih dari 30 tahun lalu, budaya premanisme tidak pernah lepas dari sekolah teknik ini. Akan tetapi meski pernah menorehkan prestasi tawuran dengan sekolah-sekolah tetangganya, para siswanya mampu bertanggung jawab dalam hal akademik. Tidak bisa kita pungkiri bahwa industri dunia akan tetap membutuhkan tenaga teknik bermental kuat. Sehingga beruntunglah mereka yang terjun di bidangnya.
            Khususnya di sekolah teknik, begitu mudah menemukan dan menciptakan apapun yang mereka butuhkan. Butuh kursi-meja untuk di kelas, ada Jurusan Teknik Perkayuan. Modifikasi kendaraan bermotor, ada Jurusan Otomotif. Instalasi listrik, Jurusan Teknik Instalasi Tenaga Listrik. Desain bangunan dan segala materialnya, ada Teknik Gambar Bangunan dan Konstruksi Batu Beton. Begitu juga dengan Teknik Mesin yang berperan penting dalam menggarap mesin-mesin kecil namun penting. Ditambah lagi dengan kehadiran Teknik Informasi di awal 2000-an semakin melengkapi ketangguhan mereka dalam menciptakan generasi teknisi.
            Mereka mencipta secara mandiri. Memperbaiki sendiri. Membuka lapangan kerja sendiri. Idealnya: mandiri. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) membutuhkan mereka. Lantas, apa hubungannya dengan sikap premanisme yang dimiliki siswanya? Tentu ada. Mental preman yang mereka punya adalah turunan kepribadian milik sekolah teknik ini. Dan itu berbanding lurus dengan keahlian yang juga menjadi warisan berharga. Anak-anak “este’em” dikenal sebagai preman di luar, dan dikenal sebagai teknisi di dalam. Seperti kata salah seorang guru—yang saya tidak ingin sebutkan identitasnya—pada 2010 dulu saat memberikan amanat sebagai pembina upacara, “Nakal boleh, asal cerdas.” Sekolah ini memiliki warnanya sendiri. Identitas, bagi kami selaku siswa, adalah harga mati.
            Beralih dari sistem pendidikan dan identitas sekolah, mari kita ke ekstrakulikuler—sering disingkat “ekskul”. Sekolah ini memiliki 14 ekskul. Di kelas saya dulu, 90% siswa aktif terlibat dalam ekskul. Kegiatan di luar kelas ini sangat membantu siswa dalam menyalurkan bakat dan minat. Teori saya, jika kelas telah mengasah otak kiri kami, maka kegiatan ekskul adalah pengasah otak kanan. Dibantu oleh Pembina yang juga guru-guru, este’em terasa hidup dengan kegiatan bermanfaat sedari pagi hingga sore. Kami tidak pernah membiacarakan kurikulum. Mungkin karena saya waktu itu hanyalah seorang siswa. Belum peduli akan hal tersebut. Mungkin hanya para guru yang membahasnya.
Saya sendiri aktif di hampir tiga ekskul. Dengan pengalaman organisasi yang saya dapatkan selama tiga tahun, saya berharap kelak itu akan berguna. Dan, benar saja, itu memang berguna. Terlepas dari itu, setelah saya puas menumpahkan “pengantar”, kini saya akan fokus ke masalah pendidikan.
2016 ini, saya menginjak semester sepuluh di sebuah fakultas keguruan dan sedang melakukan penelitian untuk data skripsi. Saya memilih kembali ke sekolah teknik tersebut dengan harapan dapat mengabdikan diri di sana. Bagi kami yang mencintainya, maka akan selalu ada cara untuk kami kembali. Entah mengajar, membina ekstrakulikuler, menjadi tool-man, atau sekedar berkunjung sesering mungkin. Dan, salah satu cara saya adalah dengan melakukan penelitian di sana.
Penelitian yang saya lakukan ini sangatlah sederhana. Penggunaan alihkode oleh guru dalam memberi instruksi pelajaran di kelas. Selama satu bulan saya akan wara-wiri di sekolah yang sudah tidak lagi memiliki kolam ikan tersebut. sesederhana penelitian saya, berbanding terbalik dengan kondisi dan keadaan yang saya dapatkan.
Sistem pendidikan yang dulu memberi kami identitas, sepertinya sudah lama punah. Kini siswa sekolah teknik ini tak ubahnya anak "baru gede" yang jika ke sekolah harus dengan modal "keren". Saya katakan demikian berdasarkan pantauan mata dan telinga.
Kurikulum sebelumnya memang tidak sempurna, namun minimal mampu membawa kami ke pola pikir, “Sekolah itu tidak mudah. Jika ingin lulus, belajarlah. Jika merasa tak mampu, carilah keahlian lain.” Tidak naik kelas adalah hal yang biasa. Setidaknya sejak awal kami tidak dimanjakan dengan kemudahan menggenggam kartu pelajar sekolah teknik ini.
Peraturan pemerintah terbaru, bina lingkungan menjadi bunerang bagi sekolah yang menolaknya. Dan, inilah menjadi tombak awal kemerosotan kualitas siswa sekolah ini. Menjadi cikal bakal hilangnya identitas pereman (yang sudah saya curhatkan panjang lebar di atas). Mereka dimanjakan dengan kemudahan masuk tanpa tes yang ketat. Semisal angkatan saya, 2008, kami harus melewati tes masuk tambahan untuk jurusan IT. Bina lingkungan tidak sebanyak sekarang. Penerima kaminan kesehatan masyarakat tidak sebanyak sekarang pula.
Saya tidak menyalahkan mereka yang  banyak menerima bantuan tersebut. Begitu juga bina lingkungan. Kita toh tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap pendidikan, kan? Akan tetapi, tidak dapat pula kita pungkiri bahwa pendidikan dibentuk per-level memiliki tujuan tersendiri. Terselip sedikit sentilan saat beberapa siswa kekinian yang bangga bercerita tentang alur dana Jamkesmas yang ia dapat dari sekolah. Dana yang diniatkan pemerintah semula untuk membantu kebutuhan buku dan kelengkapan sekolah, kini lebih banyak mendarat di kantong pedagang gadget. Ini masalah pola pikir. Ini tentang mental yang salah prioritas. Dan, itu hanyalah dampak awal menuju pribadi siswa yang manja. Mereka seperti  menerima gaji ke sekolah sehingga tujuan bersekolah bukanlah haus akan ilmu.
Kembali berbicara tentang bina lingkungan, mari kita berandai-andai: saya anak dengan kemampuan diri senilai 40, ditempatkan sekelas dengan anak yang kemampuan dirinya senilai 80. Secara logika, saya tidak akan mampu mengejar kecepatan tanggap-pikir si anak senilai 80. Begitu juga dia yang akan jenuh belajar karena harus menunggu saya untuk memahami pelajaran. Maka, pengelompokkan kelas berdasarkan kemampuan pun diperlukan. Nilai rapot tidak dapat menjadi patokan. Itu sudah menjadi rahasia umum, ya..
Itulah mengapa tes tulis dan tes wawancara dibutuhkan. Terlebih untuk dunia industri, kepribadian sangatlah mempengaruhi kinerja. Kita tidak berbicara orang bertato yang lantas kita pandang ia tidak cakap bekerja. Kita negara berkembang, masih belum masuk ke dalam tahapan tidak memandang tampilan fisik—dan saya pun tidak akan membahasnya di sini.
Kurikulum 2013 membuat este’em menghapus tes wawancara tersebut dengan alasan diskriminasi. Semua orang harus mendapatkan hak yang sama untuk masuk sekolah impian. Sehingga dari awal, input yang ada telah mlempem. Jiwa preman tetap ada, namun salah sasaran. Bukan preman yang berkepribadian pantas duduk di kelas teknik, melainkan preman yang sekedar menyombongkan diri. Silakan diteliti lebih lanjut. Saya membandingkan ini dari 2008 hingga 2016. Hampir lima, enam tahun.
Di kelas, kami telah biasa mendapat nilai 20, 30. Itulah hukuman bagi kemalasan kami. Membolos, tidak mengumpulkan tugas, dll. Kurikulum, 2013 menutup lubang kejujuran tersebut. Ada tiga aspek yang dinilai dengan cara ranking. Anehnya, dari pola ranking yang ada, jika kita hanya lulus di satu aspek maka itu sudah mewakili kelulusan sehingga kita pun lulus. Saya boleh bertanya, “Darimana logikanya?” Maka inilah yang menjadi dasar saya mengatakan identitas preman telah berganti baju menjadi cabe-terong tunuq: lembek. Lambat laun pola pikir dan tujuan sekolah berubah. Niat pemerintah memudahkan dengan pola pikir siswa yang haus ilmu jadi mudah meraih ilmu, malah dicerna dengan pola pikir “Ambil uangnya, berlajar nanti saja.”
Mereka dimanjakan oleh sistem tersebut. Guru-guru semakin sulit mengontrol tata krama karena HAM melarang mereka untuk mendisplinkan siswa dengan cara fisik. Jangankan menjewer telinga ketika rambut ditemukan gondrong, menyentuh saja sudah kena pasal HAM. Kurikulum 2013 pun mendukung e-learning, oleh karenanya sekolah membolehkan siswa membawa smartphone.
Silakan simpulkan apa yang terjadi jika keadaan tersebut tercipta. Sekarang, bandingkan kembali dengan pengalaman diri, bagaimana menurut Anda? Jika kemegahan gedung justru meruntuhkan identitas, saya lebih memilih menjadi  preman saja. Ini hanyalah isi kepala saya. Dimohon maaf bila sedikit tidak enak dibaca dan dicerna. Saya hanya tidak ingin tutup mata tutup telinga apalagi tutup mulut karena saya mencintai sekolah ini.

Jumat, 01 Januari 2016

RSUD Provinsi NTB “Lahir Prematur”



            17 Desember 2015 merupakan har bersejarah untuk provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Bukan sekedar merayakan hari jadi, namun juga menjadi catatan peresmian sebuah rumah sakit umum daerah (RSUD) terbesar di provinsi ini. Merasakan suka cita yang sangat, ternyata mata tak mampu berbohong melihat fisik rumah sakit ini yang ternyata lahir prematur. Ia diresmikan sebelum seluruh bangunannya rampung.
            Dibangun sejak delapan tahun silam ternyata tidak membuat rumah RSUD Provinsi NTB siap untuk ditempati setiap sudut bangunannya. Ini hanyalah sekilas pandanganku sebagai orang awam yang “ternganga” melihat kemegahan bangunan tersebut dari seberang jalan. Sembari mengisi bensin kendaraan, aku mengagumi rumah sakit tersebut. Dengan harapan dapat memberikan fasilitas yang belih baik, aku berdoa. Pagi ini pun kembali kulewati rumah sakit tersebut. Desas-desus terdengar bahwa hari ini—sebagai rangkaian perayaan HUT Provinsi NTB—RSUD ini akan diresmikan. Sontak aku terkejut dan bertanya, “Yakin?”
            Pertanyaanku semakin bertambah ketika membuka Harian Suara NTB halaman sembilan. Ulasan berjudul, “RSUD Provinsi NTB Diresmikan: Hadir dengan Fasilitas Representatif, Siap Melayani dengan Tulus dan Santun” menarik sekali. Rampung membaca, otak ini semakin banyak pertanyaan. Melihat foto-foto yang tercetak diantara tulisan, hatiku semakin merasa dibohongi.
            Di satu sisi, kita patut berbangga hati dengan dibangunnya sarana kesehatan terbesar di NTB ini. Ditambah dengan pengelompokkan degung yang lebih khusus membuat pelayanan untuk masyarakat nantinya akan lebih terarah. Begitu juga dengan luas bangunan yang tentunya mampu menampung pasien lebih banyak dari bangunan sebelumnya. Sungguh aksi positif dari pemerintah daerah yang perlu kita apresiasi.
            Akan tetapi, diharapkan juga hal tersebut tidak menimbulkan kebohongan publik. Angan-angan masyarakat yang mendambakan sarana kesehatan telah di depan mata. Namun kesiapan dari angan tersebut belumlah rampung dan siap. Ibarat pendatang melewati jembatan setengah rampung; runtuh atau tidak, ia tak tahu. Sewaktu-waktu bisa mengancam nyawa namun ia tak tahu. Sama halnya dengan rumah sakit kita tercinta ini.
Tower crane masih “bertengger” di tengah bangunan seper-entah rampung tersebut. para pekerja bangunan masih lalu-lalang. Tanpa dibelakali peralatan standar keamanan, mereka masih tetap bekerja merampungkan bangunan di bagian belakang. Bercengkerama dengan tukang parkir, nasib mereka terbaca jelas di raut wajahnya. Berpapasan pula mereka dengan para dokter yang turun dari mobil. Para pedagang asongan yang berlomba mencari rezeki hanya melihat-lihat dari luar pintu samping jalur keluar mobil proyek bangunan.
Sekilas gambaran tersebut tentu tak dijabarkan di media manapun. Hanya mata masyarakat—aku, misalnya—yang sudi merekam dan menyimpan pemandangan tersebut di dalam otak. Sesak dengan pertanyaan, aku menulis isi pikiran yang mengusik ini. Jika masyarakat hanya melihat dari jalan raya, hanya membaca koran dan melihat di televisi lokal, maka sempurnalah citra RSUD yang siap dioperasikan. Jika kelak ada masyarakat yang tertimpa atau tersandung material bangunan, siapa yang akan bertanggungjawab?
Sekali lagi, tidakkah kita lelah menutup mata akan lahirnya harapan besar ini secara prematur? Sudahlah. Kuputuskan untuk memotong jalan tulisan ini dan tidak mengirimnya ke koran lokal. Tentu bukan hanya aku sadar bahwa koran tersebut tidak lagi seperti koran yang aku kenal. Atau aku terlalu berprasangka? Boleh saja aku berdemikian karena aku masyarakat—bebas beropini untuk berita yang disuguhi.
Sebelum aku melanjutkan isi tulisan ini, aku meminta maaf atas penurunan kualitas tulisanku. Sadar betul ini kurasakan karena jelas cara penggarapan ide ini bukanlah metode tulis, melainkan metode lisan. Aku seperti anak yang sedang belajar menulis serius (kembali). Pergeseran gaya hidup mungkin menjadi penyebabnya. Frekuensi membacaku mulai berkurang, aku lebih sering mengomentari tanpa cukup landasan, dan masih banyak lagi faktor yang membuatku agak tutup mata atas kepribadianku. Duh.. menyusahkan.
Rumah sakit itu sebenarnya memiliki masalah sederhana: jangan dulu diresmikan jika memang belum rampung. Dengan kondisi bangunan 1/3 rampung, jelas kenyamanan dan keamanan manusia takkan terjamin di sana. Sarana kesehatan kok mengancam keselamatan? Lucu. Geram rasanya melihat “fenomena” ini terjadi. Terlebih saat kita menyadari betapa logika berfikir manusia sudah mulai dikesampingkan. Tidak percaya? Lihatlah kasus RSUD ini. Masih perlu bukti? Lihatlah Islamic Center yang notabene menggusur sekolah negeri demi sebuah simbol agama. Aku tak tahu apakah bangunan yang 90% rampung ini sudah diresmikan atau belum. Pasalnya Rabu kemarin (16/12) ia telah mulai digunakan dalam kegiatan “Doa Akbar”. Entahlah.
Meski aku seorang muslim, namun tidak elok jika kita mendepak sarana penyebar ilmu hanya untuk itu—terlebih ia dibangun sangat dekat dengan Majid Raya yang lebih dulu menjadi icon di Mataram. Kemana larinya sekolah negeri tersebut? Ia ditempatkan di kawasan terbuka hijau—yang notabene ditanami peraturan: dilarang membangun gedung permanen dalam radius 100  meter dari awasan tersebut. Nah, bagaimana logika, peraturan, realita, dan kepentingan bisa bertubrukan sedemikian rupa? Entahlah.
Belum puas? Mari tengok Taman Budaya NTB yang kini berubah serupa taman bermain anak-anak yang kaku. Yang lucu dari pembangunan tersebut adalah sepetak musholla kecil di dalam area taman tersebut sama sekali tak tersentuh tangan tukang renovasi. Dan, ia memiliki cerita yang sama dengan RSUD: diresmikan prematur.
Di sini, kita seperti kehilangan generasi cerdas anak Mataram. Aku yakin tidak sedikit sarjana tata kota yang ada di Mataram. Dan pastinya di pemerintahan sudah ada orang-orang seperti mereka, iya, kan? Jika tidak, ya sudahlah~
Dari kacamata orang awam sepertiku, tata kota Mataram yang semakin dipenuhi hotel tanpa pemusatan wilayah ini membuat rumit. Aku tak paham masalah tata kota. Yang aku tahu hanyalah kawasan Jalan Pejanggik adalah pusat pemerintahan dan pendidikan. Namun ternyata dapat kutemui spot makanan cepat saji dan caffee di sana. Jalan Pendidikan dan Jalan Pemuda adalah pusat pendidikan tinggi dan perdagangan. Namun aku mulai banyak menemukan hotel. Yang aku tahu, kita semua menginginkan kota yang berkarakter agar cita-cita presiden 2015 ini yaitu revolusi mental dapat bersinergi di daerah.
Yang aku tahu, Mataram banyak memiliki ahli-ahli tata kota. Namun mungkin ide brilian mereka terdepak oleh kepentingan dan uang jilatan dari luar. Entah luar yang mana. Luar daerah, luar negeri, atau luar hati nurani, aku mulai tak peduli. Yang kutahu, aku warga Mataram; sekedar bisa menulis dan berkomentar karena aku menggunakan hak warganegaraku seperti yang ada dalam iklan layanan masyarakat—Cak Lontong (kala itu berperan sebagai pak camat) berkata, “Jika tidak nyaman, laporkan! Warga harus turut berperan dalam pembangunan daerah.” itu saja.
Solusiku, jangan membangun dengan nafsu “asal jadi”. Itu seperti anak kecil yang ingin cepat pergi ke toko mainan, sehingga mandi pun hanya sekedar cebar-cebur. Bangunlah gedung sarana yang dibutuhkan masyarakat. Jaminkan keamanan, kekokohan gedung, dan rampungkan terlebih dahulu baru kemudian diresmikan sehingga layak operasi. Biarkan para ahli tata kota bekerja di Mataram sesuai dengan fungsinya.
Sekian uneg-uneg dariku. Semoga masyarakat Kota Mataram semakin cerdas dan ikut turut andil dalam pembangunan daerahnya. Minimal dengan komentar solutif. Jika tidak dimuat di media, paling tidak jurnalisme warga masih menjadi alternatif untuk mewaraskan kegelisahan kita bersama. SEMANGAT!