Minggu, 24 November 2013

Belajar dari Mamak

"sementara hari terus berganti 
engkau pergi dengan dendam membara 
di hati.."
sepenggal lirik lagu dari musisi gagah, Iwan Fals.

sebenarnya ini tulisan yang tak perlu diberi judul. keluhan lebih tepatnya. pernahkah kalian memberi judul pada umpatan dan keluhan atas otak dan hari-hari kalian?
ini ditulis ketika saya sedang haid. PMS menjadi musuh terbesar karena ia selalu membunuh hasrat saya dalam menyulam ide-ide. sangat pandai menyuburkan rasa malas. jadilah ide-ide saya berserakan dan tertumpuk di otak sampai akhirnya dilupakan. sungguh menjijikkan!
saya membenci sifat buruk ini. saya tidak ingin sifat emosional dan introvert seperti ini yang mengaliri darah. tidakkah kalian jengah jika berada di dekat saya? saya saja malu dengan onggokkan otak ini. apalagi teman-teman sebagai penonton atas kalon saya.
mungkin saya hanya lelah dengan segala kesibukkan. jenuh dengan kekasih yang juga mulai jenuh dengan saya. ketidakbahagiaan ini mungkin terlalu berlebihan jika saya keluhkan.

dari semuanya, yang tidak mungkin saya tuang semua, yang hanya beberapa saja, sebisanya, begitulah. hanya satu penguatnya: telapak kaki ibu. teori kasih sayang ibu. hanya memberi, tak harap kembali.
saya harus tetap mencintai kesibukkan yang telah membesarkan nama saya. yang telah membantu saya mewujudkan cita-cita.
saya harus tetap mencintai kekasih saya. meski saya kerap harus menangis di punggungnya karena ia sedang jenuh. meski saya harus mengambil alih posisinya sebagai pemimpin dalam hubungan. karena Tuhan tahu saya lebih kuat secara batiniah.
saya harus belajar dari mamak yang kuat. sangat kuat. sangat mencintai kesibukkannya. sangat  mencintai suaminya yang sedang duduk menatapnya dari langit. sangat telaten merawat bocah-bocahnya yang mulai banyak akal. sangat pandai mengartikan 'hanya memberi, tak harap kembali.'
mak, Iing minta maap..

Selasa, 12 November 2013

Mid-term Test (60’)



Crik! Lembar terakhir telah siap cetak dalam ruang ujian. Tentu hanya di mataku. Semoga berhasil. Untuk kali ini, saja, Tuhan, izinkan aku mencurangi dosen ini. Ia cukup baik dalam kuliahnya. Hanya saja mungkin aku kurang tertarik belajar dengan hafalan copy-paste seinginnya dia. Hingga jariku mengetik tulisan ini, aku akan ceritakan bagaimana seumur hidupku, telah kutemukan diriku seorang penakut! Padahal tinggal membuka file Gallery dalam HP dan nilai akan sempurna. Dalam  Mid-term Test dengan alokasi waktu enam puluh menit.

Untuk hari ini, pukul sembilan lebih lima belas menit, ringan telapak sepatuku memasuki ruangan berkapasitas tiga puluh orang. Yang nyatanya dijejal dengan empat puluh delapan orang tanpa AC. Kuubah kebiasaanku dengan duduk di barisan belakang, demi meluncurkan niat pagiku yang buta.

Mulai duduk menunggu dosen dengan soal ujiannya, kumuntahkan isi tas dengan rapi. Berjejer hand-book mata kuliah yang kududuki ini dengan sebuah novel milik Lang  Fang. Oh, Tuhan, sumpah demi pepohonan di luar sana, aku lebih  memilih melahap isi otak Tuan Fang ketimbang kertas sok penting ini.

Begitu juga kuingat foto-foto lebaran hand-book yang telah kupotret, menjadikan aku seorang pelajar yang tega membungkam kembali tas dengan hand-book itu di dalamnya. Tenang saja, ada file foto. Maka kuhabiskan waktu menunggu laki-laki paruh baya itu dengan membaca Ciuman di bawah Hujan.

Akhirnya ia datang tepat di lembar kesepuluh bacaanku. Teman-teman sibuk menata bangku sambil berbisik-bisik. Nanti bagi jawaban, ya! Nanti jangan pelit! Nanti.. nanti.. nanti. Tak ada kata nanti untuk lembar soal dan jawaban. Soal berisi empat butir dan empat telur pecahan.

Mulailah kususur kata perkata isi soal tersebut. Tuhan, soal macam apa ini? Sama sekali tidak ada dalam file potretku. Asal kalian tahu, ini rahasia! Beberapa kakak tingkatku berkata bahwa bahan ujian yang sering dosen ini keluarkan adalah yang berasal dari otaknya. Jadi sudah pasti apa yang dia katakan. Kucatat tiap perkataannya. Atau mungkin lebih tepatnya, aku meminjam catatan teman. Maklumlah, tulisanku buruk, tak mampu dibaca dalam keadaan normal. Apalagi mencatat cepat.

Jadi kurasa tamatlah sudah ujianku kali ini. Waktu yang diberikan hanya enam puluh menit. Sixty minutes, kata dosenku. Melihat soal-soal ini, mataku merasa bersalah. Terlebih tanganku yang telah tega terbujuk setan dengan memotret hand-book pagi tadi.

Lelah melihat tulisan yang kuanggap asing. Otakku mulai membuka pintu dari batok di bawah rambutku. Menyusur di balik kerudung, lalu menyisir tiap jari teman-temanku yang sok tekun mengerjakan soal. Dengan wajah empat puluh lima derajat, mata kanan pura-pura membaca soal, mata kiri menjorok ke layar BB, i-pad, dan benda canggih lainnya.

Bolehkah aku menyesal lagi? Kali ini aku menyesal duduk di baris belakang. Entahlah, mungkin ini sebabnya aku nyaman duduk di barisan depan. Supaya dikira memiliki jiwa pemimpin, juga aman dari tuduhan menyontek. Nah, menyontek! Benar-benar kapoklah aku duduk di bangku pojok ini. Ternyata tanganku pandai menebus dosa. Sengaja ia rutunkan suhunya hingga beku hingga malas  bertemu HP. Apalagi membuka potret dalam Gallery milikku.

Kaki detik masih terus berlari. Putaran masih banyak jumlahnya. Sebaiknya aku mengaku dosa. Jika dalam hidup kita mendapat ujian sebelum belajar darinya, maka lain halnya dengan sekolah. Pengajar tentu memberi pelajaran terlebih dahulu sebelum akhirnya menguji dengan soal-soal seperti ini. Maka aku dengan licik, sedikit ingin membela diri.

Boleh juga aku anggap ini perjalanan hidup. Bukan perjalanan sekolah. Toh, akhirnya juga sekolah dijalani dalam hidup, kan? Aku akan belajar sekeluarnya kaki dari ruangan ini. Akan kubujuk hand-book dalam mulut tasku untuk menjelaskan apa maksud soal-soal ini. Tidakkah ini cukup menyesal rasanya? Oo, sudahlah, jangan membela diri terlalu jauh.

Kaki detik masih harus berputar sepuluh kali lagi. Masih harus berdetik enam ratus kali lagi. Lembar jawabanku bersih. Hanya ada promosi identitas. Lalu apa yang aku dapat? Sudah kubilang, kan, aku mengaku dosa. Aku mengakui kepengecutan diriku dalam mencontek. Kujilat niat burukku yang ingin mencoba kursi di barisan belakang.

Semakin sedikit putaran kaki detik. Ia berlari dengan rutin. Tik, tik, tik, seperti sintaks suara hujan. Telah kudapati jawaban. Namun bukanlah jawaban soal ujian ini yang ada di otakku. Hasil susurku bukanlah fakta bahwa teman-temanku kehilangkan kepercayaan dirinya dalam menjawab soal. Sehingga harus mengemis jawaban dari bangku kiri, kanan, depan, dan belakang.

Jawaban yang hanya aku pemilik soalnya. Sekolah memang bagian dari hidup. Namun cara menghadapinya tentu berbeda. Seperti Lexical Entailment dalam Semantics siang tadi. Maka, hasil dari ujian ini adalah: aku telah mengenal diriku lebih dalam. Aku akan tetap duduk di barisan terdepan, karena aku memang seorang pemimpin, setidaknya bagi diriku sendiri. Jangan pernah tumbuhkan niat mencontek karena itu bukan sikap seorang pemimpin.

“Okay, time is over. Hand in!” seru dosenku. shit! ops, astagfirullah….