Kamis, 28 April 2016

Ndak Pahaaam (T_T)



Isu Lingkungan dalam Kacamata Mahasiswa

            Membaca berita Harian Suara NTB pada Selasa 26 April 2016, yang berjudul “Mahasiswa Harus Pahami Isu Lingkungan”, membuat saya teringat akan gagasan cerdas salah seorang dosen muda Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram (FKIP Unram). Ia mencetus ide cetak skripsi dua sisi. Kurang peka apa ia tentang isu lingkungan?
            Hal tersebut memiliki korelasi kuat antara pemanasan global—global warming—dan eksistensi kepekaan mahasiswa terhadap kesehatan lingkungan. Dalam berita tersebut, Koordinator Program Lembaga Transform NTB, Mukhtar Sakra Mukti, isu tersebut harus tetap digaungkan agar kesadaran cinta lingkungan tetap terjaga. Dan, kegiatan nyata yang dipaparkan antara lain, tidak membuang sampah sembarangan dan memberlakukan sistem daur ulang di setiap sampah—organik, non-organik, B3.
            Terlepas dari isi berita yang hanya memuat satu narasumber—terlihat dengan tidakadanya narasumber dari sisi mahasiswa, sehingga terkesan bahwa mahasiswa masih “buta” akan isu lingkungan, saya ingin menjabarkan beberapa keterbukaan ide mahasiswa terkait isu lingkungan. Terlebih, apa saja yang sudah dilakukan oleh agen perubahan ini.
            Seperti yang dituliskan di awal, dosen  muda tersebut menyelesaikan studi S1-nya dengan sedikit-banyak berbekal ilmu dari organisasi intra Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) FKIP Unram. Salah satu organisasi yang konsenterhadap isu lingkungan. Rekam jejak kegiatan organisasi ini dalam mengawal isu lingkungan tidak hanya sekedar program kerja. Diantaranya penghijauan di daerah kering di seputaran Lombok, membuat pojok daur ulang sampah organik menjadi pupuk kompos, dan lain sebagainya. Sampai di ujung trobosan mereka yang terbaru ialah cetak skripsi dua sisi.
            Lingkungan tidak hanya sebatas menyelamatkan melalui sampah yang sudah “menjadi sampah”, akan tetapi juga mencegah “yang nantinya akan menjadi sampah”. Mencetak skripsi dua sisi ini adalah gagasan nyata untuk mencegah semakin banyaknya sampah kertas di dunia. Jika mendengar kata “dunia” kita sudah merasa pesimis, mari kita tengok ke lingkungan terdekat kita: rumah, sekolah, kampus, kota tempat kita berdomisili. Salah satu tempat penghasil kertas terbanyak adalah sekolah atau kampus. Terlebih di kampus, momen mencetak skripsi adalah momen “mahal” yang menguras kantong lumayan dalam. Selain dari segi ekonomi, tentu penyelamatan lingkungan menjadi faktor utama akan ide tersebut. Esei gagasan ini pun  pernah terbit di Majalah Pena Kampus FKIP Unram Edisi 12 Tahun 2015; “CEKRIPSI, Cetak Skripsi Dua Sisi”.

Tanggapan Dingin
            Dengan gagasan yang sedemikian cerdas, jika masih ada pihak yang mengatakan bahwa mahasiswa belum memiliki kesadaran akan isu lingkungan

---KAMPUS TANGGAPANNYA JAHAT---
---MAHASISWA MEMILIKI PARADIGMA JONGKOK---



Daaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnn, sampai di sini isi kepala saya tertuang. Saya tahu, tulisan tersebut sangatlah tidak runut dan hanya akan menjadi bahan tawaan redaksi Suara NTB—menurut saya. Perasaan akan tulisan dangkal masih menghantui saya. Tulisan di atas lahir atas kegeraman saya akan tulisan salah seorang wartawan yang menulis berita hanya dengan satu narasumber! Bayangkan, SATU NARASUMBER! Jelas saja itu tidak bisa dikatakan berita berimbang. Asas cover both sides tidak muncul dalam berita tersebut karena tidak dijabarkan keterangan dari (minimal) dua belah pihak narasumber. Sehingga hal tersebut membuat berita menjadi tidak imbang.
Dan, lagi, inilah yang membuat saya memupuk rasa sentiment pribadi terhadap oknum wartawan tersebut. Dan, lagi, lagi, kenapa sampai ia disebut dalam blog saya ini, saya merasa ia terlalu tidak penting. Tapi nyatanya penting!! (sebagai penjelas atas ketidakwarasan saya dalam menuang ide kali ini). Hei, wartawan—yang malas malas mencari narasumber! bersyukurlah kisahmu pernah masuk ke dalam blog ini. Mungkin ini satu-satunya tulisan yang (sedikitnya) membahas tentang dirimu. Belajarlah!
Saat menulis, isi kepala terlempar keluar. Saya harus mencari sekian ide dan memungut mereka. Mana yang sama, mana yang tidak. Mana yang sejalan, mana yang berlawanan. Maka selesailah esei premature yang telah gugur karena saya tidak (lagi) mampu menyelesaikannya. Sebenarnya bisa saja. Namun karena tulisan tersebut bersifat tanggapan dari suatu berita, maka baiknya dikirim sesegera mungkin sehingga tidak terlalu basi untuk dibaca—jika dimuat.
Oleh karena itu, saya masih berkutat dengan ketidakpercayadirian saya. Bahkan saya takut untuk kembali membaca tulisan di atas. Entahlah. Kualitas saya terasa sangat menurun. Saya takut. Takut ditertawakan. Takut mereka mencemooh tulisan saya. Semakin tua malah semakin jelek. Duh, saya harus bersembunyi di mana?

Rabu, 20 April 2016

KARTINI 2016: UNEG-UNEG PENGENDAPAN

Hari Kartini selalu diperingati setiap tahun. Berbagai cara dilakukan untuk membuatnya meriah. Mengenakan kebaya sebagai simbol identitas perempuan Indonesia, menyanyikan lagu “Ibu Kita Kartini”, mengadakan lomba-lomba ke-perempuan-an, hingga—di kalangan dewasa—mengadakan forum diskusi mengenai tokoh perempuan asal Jepara ini. Topik diskusinya pun biasanya tidak hanya sekedar napak tilas perjuangan Kartini dalam “merebut” hak perempuan. Namun juga bagaimana hal tersebut bisa dijadikan hari nasional. Bahkan, yang lebih ekstrim, mempertanyakan mengapa Kartini seolah-olah hanya satu-satunya pahlawan perempuan di Indonesia. Dan, apakah keharuman namanya dalam sejarah hanya sebagai propaganda Belanda kala itu? Dan masih banyak “dugaan” manipulasi sejarah lainnya. Dari yang baik hingga yang buruk.
Betapa tidak, nama Kartini masih hidup dalam telinga dan ingatan masyarakat yang masih hidup jauh setelah ia meninggal pada usia 29 tahun. Saya 23 tahun sekarang, berarti jika saya berandai-andai menjadi seorang Kartini, saya sedang berjuang melalui tinta pena dan juga kepala yang dibalik sanggul ada segudang benang intelektual, dan, akan mati enam tahun lagi. Begitu? Ah, saya pun belum bersuami seperti beliau yang menikah muda. Saya juga bukan keturunan bangsawan kaya seperti ayah beliau.
Akan tetapi kehidupan Kartini tidaklah sesedih itu. Dan juga tidak sebahagia itu. Di zamannya, hidup di keluarga bangsawan adalah tiada beda dari mereka—para perempuan buruh. Bahkan dari segi kebebasan, kebangsawanan lebih menekan kehendak mereka. Seperti dalam bertindak tutur, berpakaian, tidak ada yang tidak diatur. Memang dasar naluri manusia yang tidak ingin diatur namun ingin mengatur. Celakanya, mereka mengatur, namun juga diatur. Pun, para buruh masih lebih untung. Mereka diatur hanya pada saat bekerja. Saat kembali ke rumah, mereka bebas. Ah, ini hanya pendapat saya saja. Buku-buku sejarah mengatakan bahwa mereka ditindas sedemikian kejam. Namun tidak dengan Pram dalam bukunya Panggil Aku Kartini Saja. Seorang Kartini, memupuk rasa peduli sosialnya—yang kelak dan kini—menjadi bibit awal perjuangannya.
2013 lalu, saya pernah mendiskusikan esensi perjuangan Kartini di sekretariat Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasisa (UKPKM) MEDIA Universitas Mataram. Pengurus kala itu mengundang kawan-kawan dari Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian (Himatekta)—kalau tidak salah, ini kepanjangannya. Maafkan jika keliru, saya lupa. Sebelum saya melajutkan proses disksusi, saya teringat akan keadaan kedua organisasi ini sekarang. 2016. Himatekta tidak lagi menjadi organisasi legal di kampus setelah program studi teknik pertanian dipisah hari Fakultas Pertanian. Ya, mereka berdiri sendiri menjadi sebuah fakultas. Seluruh anggotanya diancam tidak dapat melanjutkan kuliah jika tidak mau melebur dengan himpunan mahasiswa program studi (HMPS) dan tidak tunduk di bawah badan eksekutif mahasiswa (BEM) fakultas. Akhirnya, mereka memutuskan untuk berdiri secara independen dan menjadi organisasi ekternal kampus. Anggotanya masih tetap ada. Namun kini, saya hilang kontak.
UKPKM MEDIA Unram? Ini telah saya bahas di beberapa tulisan sebelumnya. Organisasi tempat saya lahir pertama kali sebagai insane pers ini, mungkin sebentar lagi akan mengikuti jejak Himatekta. Berdiri sendiri sebagai organisasi eksternal kampus. Keduanya  pernah duduk dalam satu lingkarang membahas Kartini. Kartini yang setiap tahun dibahas oleh setiap organisasi kemahasiswaan dari berbagai sudut pandang. Kala itu, kami membahas, “Sebenarnya Kartini memperjuangkan apa?”
Dari sekian pembahasan, kami mengerucut pada kesimpulan bahwa Kartini hanya menginginkan keadilan dalam hak memperoleh pendidikan. Di usianya yang masih belia—jika saat ini mungkin masih tergolong anak SMA—ia telah dinikahi oleh raden sesama bangsawan. Di rumah yang mewah, ia mendapat berbagai bacaan dari Belanda. Ia sering berkeliling di sekitaran rumahnya, ditemani beberapa pelayan perempuan. Sambil berbincang, ia pun kerap mendengar keluhan para perempuan muda yang ingin sekali belajar membaca. Sekedar membaca! Belum sampai dalam tahap berhitung. Betapa sederhana namun sulit didapat. Betapa tidak adilnya dunia jika pendidikan hanya dicecap oleh orang-orang berada. Hingga akhirnya para perempuan berhasil mengenyam pendidikan, ia tetap dikenang. Harum namanya.
Ia tidak menyesali pernikahannya yang “dini”. Ia hanya ingin menjadi orang yang berguna. Dan ia telah mewujudkannya. Kini, mari kita pertolak ke 2016. 21 April 2016, saya membuat sebuah status di akun facebook, “Dulu Kartini ingin sekolah. Sekarang Kartini ingin apa?” dan kawan-kawan yang memenuhi kolom komentar serentak menjawab: WISUDA LALU MENIKAH, SHOPPING, SMARTPHONE. Tidak ada yang lain. Agaknya, sedikit mundur, ya, dari fitrah Kartini? Jika dulu Kartini, meski menikah muda, namun tetap menjadikan pendidikan sebagai jalan hidup. Maka kini hal tersebut telah terbalik. Wisuda dijadikan tolak ukur telah menyelesaikan pendidikan. Melihat mereka yang belum wisuda, seperti melihat sekawanan orang bodoh yang tak pantas berada di lingkaran pendidikan. Menikah dijadikan cita-cita dangkal setelah lulus sekolah, seolah-olah setelah menikah, kewajiban menuntut ilmu telah usai.
Kehidupan hedon membuat perempuan kekinian lebih senang pergi ke pusat berbelanjaan ketimbang di perpustakaan. Kan sudah ada smartphone yang menjamin! Tinggal download aja beberapa buku di benda pintar ini, baca, deh! Yakin semudah itu? Saya pun melakukannya. Namun ternyata, semakin kencang internet yang saya miliki, semakin lambat otak saya bekerja.
Mas Kiki Sulistyo selalu menasehati saya—dan kawan-kawan Akarpohon lainnya—untuk tetap membaca buku dalam bentuk hard-copy. Memang terlihat kuno. Namun rasakanlah perbedaan imajinasi dan dampak psikologis yang kita dapatkan. Membuka telepon pintar tidak akan membuat kita fokus membaca karena akan selalu digoda dengan berbagai macam notifikasi dari segudang media sosial yang kita miliki.
Begitu juga dengan kemudahan yang ditawarkan oleh internet. Tidak mungkin, kan, perangkat telepon pintar tidak disertai dengan internet? Segalanya dipermudah. Peringatan ulang tahun kawan telah ada di sana. Lambat laun kita melupakan buku harian yang menjadi “tempat rahasia” kita mencatat tanggal penting dari sahabat kita. Juga segala uneg-uneg. Hanya kita, buku harian, dan Tuhan yang tahu. Namun kini, saya yakin kita semua merasakannya. Hanya enggan mengakui dan mulai memperbaiki. Mengapa tidak menulis surat seperti Kartini dulu?
Ya’elah, nggak gitu juga, kalii…
Cukuplah. Cukup. Tulisan ini telah mewakili isi kepala saya tentang Kartini di tahun ini. Saya tahu bahwa tulisan ini masih kurang karena kepala saya masih terasa berantakan sehingga sulit memilah ide. Dan, tulisan ini pun masih “loncat-loncat”. Yah, saya sedang dalam masa pengendapan. Tapi sumpek rasanya kita tidak menulis! Maka saya tetap menulis semampu ingatan saya. Meski badan masuk angin, saya ingin tetap memelihara kemampuan saya yang masih secuil ini. Selamat Hari Kartini! Semoga kita tidak salah memahami. Jikalau salah, ya maafkan (+_+)

Selasa, 12 April 2016

Refleksi Diri ala Akarpohon


Ketika tuntuntan untuk terus produktif dalam menulis, sepertinya kita juga harus memahami siklus proses kreatif. Jika perekonomian hidup diibaratkan dengan roda—yang kadang di bawah, dan kadang di atas, maka proses kreatif kepenulisan bisa diibaratkan ombak. Abstrak. Sukar dimengerti. Tergantung angin dan cuaca. Aku baru memahami ini setelah Sabtu malam kemarin “membedah diri” bersama kedua tetua sastra pembimbingku, Mas Kiki Sulistyo dan Mbak Irma Agryanti.
Sebelumnya kuucapkan selamat kepada Mbak Irma yang berhasil berangkat ke Makassar International Writer Festival (MIWF) 2016. Kami semua di lingkaran Akarpohon, bulan lalu mengirim karya untuk seleksi mengikuti acara tersebut. Dan, pilihan kurator jatuh kepada wanita berparas imut ini. Kami pun semakin mengaguminya. Dengan semangat, aku meminta oleh-oleh sebuah tulisan jejak perjalanan dalam bentuk karya sastra. “Untuk bahan jurnal, mbak!” ujarku.
Sekilas, memang terlihat mudah perjalanan Mbak Irma. Kirim ke sini, dimuat. Kirim ke sana, lolos. Namun satu hal yang mudah pula dilupakan orang: proses kreatif seorang penulis. Di sini, setiap individu pemegang tinta, dengan latar belakang hidup dan pemikiran juga kepribadian yang berbeda, tentunya juga memiliki perjalanan proses yang berbeda. Kita tidak bisa samakan perjalanan Bayu Pratama dengan Iin Farliani karena keduanya memiliki minat bakat dan latar belakang yang berbeda. Sehingga tulisan yang dihasilkan pun berbeda.
Oleh karena itu, dalam kejenuhan isi kepalaku ini, yang akan menjadi pembahasan adalah siklus proses kreatif kepenulisan—ala diri sendiri tentunya. Sebelumnya aku berpendapat bahwa berproses itu serupa pencernaan. Jika kita tidak makan, maka kita tidak akan buang air besar (BAB). Begitu juga dengan asupan makanan. Kotoran yang keluar saat BAB adalah berupa apa yang kita makan sebelumnya. Isi tulisan kita adalah “perasan” dari bacaan yang kita konsumsi.
Sejauh kemarin, hanya sampai situ pemaknaan aku tentang sebuah proses. Namun saat Mas Kiki membaca beberapa puisi terbaruku,
“Saya beri tanda bintang bagian yang saya suka.”
Begitu kulihat, hanya ada satu tanda bintang dari 13 puisi.
“Mas, cuma satu?”
“Iya.”
“Kenapa? Yang lain kenapa?”
“Jelek.”
“Apa yang salah?”
Kayaknya kamu butuh pengendapan. Dalam. Dan lama.”
Sampai di sini, aku bingung. Pengendapan yang dalam dan lama? Selama ini yang kupahami dari pengendapan dalam menulis hanyalah melepas sejenak tulisan yang baru saja rampung untuk kemudian dibaca kembali beberapa waktu. Akan tetapi itu tidaklah lama. Hanya selang beberapa hari saja agar tidak lupa tentang esensi cerita atau ide. Pergeseran ide sangatlah memusingkan karena akan penimbulkan pemikiran baru. Bisa jadi melahirkan karya bercabang dan proses penyuntingan tulisan akan semakin menumpuk.
Aku memutuskan untuk “meniriskan” tulisanku dan bertanya lebih lanjut mengenai pengendapan dalam dan lama. Mas Kiki pun menjelaskan bahwa proses kreatif tidak berhenti di lingkaran membaca—menulis. Meskipun terkadang perlu riset kecil berupa diskusi atau pengamatan luar, namun pengendapan adalah hal yang lain. Lebih dari itu. Dari sekian penjelasan lelaki berambut lurus ini, aku menyimpulkan bahwa melepas sejenak hal yang berbau output adalah kunci dari pengendapan dalam dan lama tersebut. Dalam artian, stop sejenak menulis. Kalaupun menulis, tahanlah sejenak hasrat untuk melakukan penyuntingan.
Perbanyak membaca, mengamati, menyimak, dan hal lainnya yang menambah khasanah isi kepala kita. Aku pun tertegun. Menurutku, kepala ini sudah terlalu banyak input sehingga perlu banyak tulisan untuk membuatnya lega dan diisi kembali. Akan tetapi kenyataannya berbeda. Mas Kiki lebih mampu membaca isi kepalaku ketimbang diriku sendiri. Si empunya kepala. Hadeuh.. bagaimana aku ini..
Lantas, apa lagi yang harus dilakukan? Mas Kiki menyarankanku untuk membaca dan menonton filem. Baiklah, aku lakukan. Melenceng dari pengendapan, aku mulai tertarik untuk mengenal diriku sendiri. Bagaimana pola pikirku, sifat dan tabiat, dan lain-lain. Pertanyaan demi pertanyaan mulai dilontarkan, beranjak ke ranah diskusi, pembukaan diri secara psikologis—atau “penerimaan diri” ala Paulo Coelho. Kepalaku penat. Aku mulai bertanya-tanya. Mengapa aku selalu melontarkan kesimpulan negatif dari setiap kehidupanku? Apa aku memang orang yang negatif? Entah. Aku menyadari itu, namun aku tidak menampik bahwa hal positif bukanlah hal yang buruk. Dan, dari sepanjang percakapan, guru kesayanganku ini menyimpulkan: “Kamu berkepribadian ganda.”

Insan Pers dalam Kebutaan Fungsinya



            Sudah terlalu sering kita mendengar sejarah pers mahasisa (persma) di setiap peringatan hari persejarah, hari Pers Nasional (HPN), Diesnatalis setiap organisasi kewartawanan/jurnalisme, Hari Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Hari hak asasi manusia (HAM), dan lain sebagainya. Akan tetapi, sebuah paradoks telah terjadi di sini; semakin sering diperbincangkan sejarah persma tersebut, semakin jauh kita dari langkah sejarah yang menjadi ruh itu sendiri. Bahkan kini, persma di kota saya—Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB)—nyaris buta akan arah fungsinya sendiri.
            Mari kita kerucutkan pokok ide “kebutaan” ini kepada eksistensi persma. Dewasa ini, permasalahan persma cenderung terlihat pada sempitnya langkah kebebasan mereka dalam beraktivitas. Entah dari segi proses peliputan berita, akses narasumber, lokasi berproses, izin berkegiatan, dan segelintir lainnya yang mungkin luput dari mata saya. Bisa kita lihat dari nasib Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa (UKPKM) MEDIA Universitas Mataram yang menjadi salah satu persma yang sedang berjuang mempertahankan diri.
Hal tersebut menjadi semakin parah ketika para insan persma—yang telah disibukkan dengan upaya mempertahankan eksistensi—tiba-tiba menjadi lelah untuk mengingat sejarah kehadiran mereka di dunia. “Jangankan memperjuangkan hak mahasiswa lainnya untuk menjadi media alternatif, menjaga anggota yang mau berjuang saja kini semakin sulit,” begitulah sedikitnya keluhan yang muncul di benak saya.
Sejarah munculnya persma yang bertujuan sebagai media alternatif—yang menyampaikan berita tanpa kepentingan orang ketiga—bagi mahasiswa dan masyarakat mungkin terdengar klasik dan idealis. Merawat semangat dalam ruh sejarah ini agaknya membutuhkan kerja keras di “era abu-abu” ini. Bagaimana tidak, jika polemik yang dialami UKPKM MEDIA Unram saja sudah menurunkan semangat, bisa kita bayangkan betapa lemahnya kita—para insan persma—yang hidup di zaman ini.
Hal yang hampir sama pun terjadi di beberapa lembaga pers mahasisa (LPM) di Kota Mataram. Jika UKPKM MEDIA Unram “dihadang” secara terang-terangan, maka LPM lainnya saat ini sedang menikmati dayungan perjalanan di hulu air yang tenang, belum melihat curamnya tebing yang nantinya akan dilewati oleh sampan perjuangan mereka. Kebijakan kampus yang samar-samar terlihat memihak, ditanggapi oleh mereka dengan santai. Seolah tidak ingin memulai masalah dengan birokrat, isi berita mereka menjadi dangkal. Hampir tidak ada bedanya dengan biro hubungan masyarakat (humas) di kampus-kampus. Setelah ini, masihkah LPM mampu melakukan napak tilas tentang sejarah kelahiran mereka? masihkah semangat perjuangan untuk memberikan informasi kebenaran itu ada dalam hati mereka? entahlah.
Kecenderungan berpikir pendek kini seolah menjadi hal yang biasa di kalangan insan pers. Menyamakan fungsi antara persma dan media profit membuat kebutaan di mata mereka semakin melukai perjalanan eksistensi persma itu sendiri sebagai media alternatif. Seandainya semangat itu masih ada—sedikit saja—maka bukan tidak mungkin kebangkitan persma akan kembali terjadi. Arus pengawalan isu terberitakan dengan baik, kesolidan antar LPM terjalin dengan kuat, dan hak mahasiswa juga masyarakat—untuk mendapatkan informasi alternatif yang mencerahkan—mampu terpenuhi sebagaimana mestinya.
Terlepas dari sekian masalah yang dihadapi oleh persma, alangkah baiknya mereka tetap memelihara mata mereka untuk membaca peta sejarah. Atau mungkin sekedar pergi ziarah ke masa lalu melalui buku-buku perjuangan persma. Atau, paling lemah, membaca panduan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) sebagai pengetahuan dasar untuk menulis berita. Atau, mungkin, gantung saja kartu pers masing-masing? Salam Persma!

Oleh:
BAIQ ILDA KARWAYU