Hari Kartini selalu diperingati setiap tahun. Berbagai cara
dilakukan untuk membuatnya meriah. Mengenakan kebaya sebagai simbol identitas
perempuan Indonesia, menyanyikan lagu “Ibu Kita Kartini”, mengadakan
lomba-lomba ke-perempuan-an, hingga—di kalangan dewasa—mengadakan forum diskusi
mengenai tokoh perempuan asal Jepara ini. Topik diskusinya pun biasanya tidak
hanya sekedar napak tilas perjuangan Kartini dalam “merebut” hak perempuan. Namun
juga bagaimana hal tersebut bisa dijadikan hari nasional. Bahkan, yang lebih
ekstrim, mempertanyakan mengapa Kartini seolah-olah hanya satu-satunya pahlawan
perempuan di Indonesia. Dan, apakah keharuman namanya dalam sejarah hanya
sebagai propaganda Belanda kala itu? Dan masih banyak “dugaan” manipulasi
sejarah lainnya. Dari yang baik hingga yang buruk.
Betapa tidak, nama Kartini masih hidup dalam telinga dan
ingatan masyarakat yang masih hidup jauh setelah ia meninggal pada usia 29
tahun. Saya 23 tahun sekarang, berarti jika saya berandai-andai menjadi seorang
Kartini, saya sedang berjuang melalui tinta pena dan juga kepala yang dibalik
sanggul ada segudang benang intelektual, dan, akan mati enam tahun lagi. Begitu?
Ah, saya pun belum bersuami seperti
beliau yang menikah muda. Saya juga bukan keturunan bangsawan kaya seperti ayah
beliau.
Akan tetapi kehidupan Kartini tidaklah sesedih itu. Dan juga
tidak sebahagia itu. Di zamannya, hidup di keluarga bangsawan adalah tiada beda
dari mereka—para perempuan buruh. Bahkan dari segi kebebasan, kebangsawanan
lebih menekan kehendak mereka. Seperti dalam bertindak tutur, berpakaian, tidak
ada yang tidak diatur. Memang dasar naluri manusia yang tidak ingin diatur
namun ingin mengatur. Celakanya, mereka mengatur, namun juga diatur. Pun, para
buruh masih lebih untung. Mereka diatur hanya pada saat bekerja. Saat kembali
ke rumah, mereka bebas. Ah, ini hanya
pendapat saya saja. Buku-buku sejarah mengatakan bahwa mereka ditindas
sedemikian kejam. Namun tidak dengan Pram dalam bukunya Panggil Aku Kartini Saja. Seorang Kartini, memupuk rasa peduli
sosialnya—yang kelak dan kini—menjadi bibit awal perjuangannya.
2013 lalu, saya pernah mendiskusikan esensi perjuangan
Kartini di sekretariat Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasisa (UKPKM) MEDIA
Universitas Mataram. Pengurus kala itu mengundang kawan-kawan dari Himpunan
Mahasiswa Teknik Pertanian (Himatekta)—kalau tidak salah, ini kepanjangannya. Maafkan
jika keliru, saya lupa. Sebelum saya melajutkan proses disksusi, saya teringat
akan keadaan kedua organisasi ini sekarang. 2016. Himatekta tidak lagi menjadi
organisasi legal di kampus setelah program studi teknik pertanian dipisah hari
Fakultas Pertanian. Ya, mereka berdiri sendiri menjadi sebuah fakultas. Seluruh
anggotanya diancam tidak dapat melanjutkan kuliah jika tidak mau melebur dengan
himpunan mahasiswa program studi (HMPS) dan tidak tunduk di bawah badan
eksekutif mahasiswa (BEM) fakultas. Akhirnya, mereka memutuskan untuk berdiri
secara independen dan menjadi organisasi ekternal kampus. Anggotanya masih
tetap ada. Namun kini, saya hilang kontak.
UKPKM MEDIA Unram? Ini telah saya bahas di beberapa tulisan
sebelumnya. Organisasi tempat saya lahir pertama kali sebagai insane pers ini,
mungkin sebentar lagi akan mengikuti jejak Himatekta. Berdiri sendiri sebagai
organisasi eksternal kampus. Keduanya
pernah duduk dalam satu lingkarang membahas Kartini. Kartini yang setiap
tahun dibahas oleh setiap organisasi kemahasiswaan dari berbagai sudut pandang.
Kala itu, kami membahas, “Sebenarnya Kartini memperjuangkan apa?”
Dari sekian pembahasan, kami mengerucut pada kesimpulan bahwa
Kartini hanya menginginkan keadilan dalam hak memperoleh pendidikan. Di usianya
yang masih belia—jika saat ini mungkin masih tergolong anak SMA—ia telah
dinikahi oleh raden sesama bangsawan. Di rumah yang mewah, ia mendapat berbagai
bacaan dari Belanda. Ia sering berkeliling di sekitaran rumahnya, ditemani
beberapa pelayan perempuan. Sambil berbincang, ia pun kerap mendengar keluhan
para perempuan muda yang ingin sekali belajar membaca. Sekedar membaca! Belum sampai
dalam tahap berhitung. Betapa sederhana namun sulit didapat. Betapa tidak
adilnya dunia jika pendidikan hanya dicecap oleh orang-orang berada. Hingga akhirnya
para perempuan berhasil mengenyam pendidikan, ia tetap dikenang. Harum namanya.
Ia tidak menyesali pernikahannya yang “dini”. Ia hanya ingin
menjadi orang yang berguna. Dan ia telah mewujudkannya. Kini, mari kita
pertolak ke 2016. 21 April 2016, saya membuat sebuah status di akun facebook, “Dulu Kartini ingin sekolah. Sekarang
Kartini ingin apa?” dan kawan-kawan yang memenuhi kolom komentar serentak
menjawab: WISUDA LALU MENIKAH, SHOPPING, SMARTPHONE. Tidak ada yang lain. Agaknya,
sedikit mundur, ya, dari fitrah
Kartini? Jika dulu Kartini, meski menikah muda, namun tetap menjadikan
pendidikan sebagai jalan hidup. Maka kini hal tersebut telah terbalik. Wisuda dijadikan
tolak ukur telah menyelesaikan pendidikan. Melihat mereka yang belum wisuda,
seperti melihat sekawanan orang bodoh yang tak pantas berada di lingkaran
pendidikan. Menikah dijadikan cita-cita dangkal setelah lulus sekolah,
seolah-olah setelah menikah, kewajiban menuntut ilmu telah usai.
Kehidupan hedon membuat perempuan kekinian lebih senang pergi
ke pusat berbelanjaan ketimbang di perpustakaan. Kan sudah ada smartphone yang menjamin! Tinggal download aja beberapa
buku di benda pintar ini, baca, deh! Yakin semudah itu? Saya pun
melakukannya. Namun ternyata, semakin kencang internet yang saya miliki,
semakin lambat otak saya bekerja.
Mas Kiki Sulistyo selalu menasehati saya—dan kawan-kawan
Akarpohon lainnya—untuk tetap membaca buku dalam bentuk hard-copy. Memang terlihat kuno. Namun rasakanlah perbedaan
imajinasi dan dampak psikologis yang kita dapatkan. Membuka telepon pintar
tidak akan membuat kita fokus membaca karena akan selalu digoda dengan berbagai
macam notifikasi dari segudang media sosial yang kita miliki.
Begitu juga dengan kemudahan yang ditawarkan oleh internet. Tidak
mungkin, kan, perangkat telepon
pintar tidak disertai dengan internet? Segalanya dipermudah. Peringatan ulang
tahun kawan telah ada di sana. Lambat laun kita melupakan buku harian yang menjadi
“tempat rahasia” kita mencatat tanggal penting dari sahabat kita. Juga segala
uneg-uneg. Hanya kita, buku harian, dan Tuhan yang tahu. Namun kini, saya yakin
kita semua merasakannya. Hanya enggan mengakui dan mulai memperbaiki. Mengapa tidak menulis surat seperti Kartini
dulu?
Ya’elah, nggak gitu
juga, kalii…
Cukuplah. Cukup. Tulisan ini telah mewakili isi kepala saya
tentang Kartini di tahun ini. Saya tahu bahwa tulisan ini masih kurang karena
kepala saya masih terasa berantakan sehingga sulit memilah ide. Dan, tulisan
ini pun masih “loncat-loncat”. Yah,
saya sedang dalam masa pengendapan. Tapi sumpek rasanya kita tidak menulis! Maka
saya tetap menulis semampu ingatan saya. Meski badan masuk angin, saya ingin
tetap memelihara kemampuan saya yang masih secuil ini. Selamat Hari Kartini! Semoga
kita tidak salah memahami. Jikalau salah, ya
maafkan (+_+)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar