Rabu, 20 April 2016

KARTINI 2016: UNEG-UNEG PENGENDAPAN

Hari Kartini selalu diperingati setiap tahun. Berbagai cara dilakukan untuk membuatnya meriah. Mengenakan kebaya sebagai simbol identitas perempuan Indonesia, menyanyikan lagu “Ibu Kita Kartini”, mengadakan lomba-lomba ke-perempuan-an, hingga—di kalangan dewasa—mengadakan forum diskusi mengenai tokoh perempuan asal Jepara ini. Topik diskusinya pun biasanya tidak hanya sekedar napak tilas perjuangan Kartini dalam “merebut” hak perempuan. Namun juga bagaimana hal tersebut bisa dijadikan hari nasional. Bahkan, yang lebih ekstrim, mempertanyakan mengapa Kartini seolah-olah hanya satu-satunya pahlawan perempuan di Indonesia. Dan, apakah keharuman namanya dalam sejarah hanya sebagai propaganda Belanda kala itu? Dan masih banyak “dugaan” manipulasi sejarah lainnya. Dari yang baik hingga yang buruk.
Betapa tidak, nama Kartini masih hidup dalam telinga dan ingatan masyarakat yang masih hidup jauh setelah ia meninggal pada usia 29 tahun. Saya 23 tahun sekarang, berarti jika saya berandai-andai menjadi seorang Kartini, saya sedang berjuang melalui tinta pena dan juga kepala yang dibalik sanggul ada segudang benang intelektual, dan, akan mati enam tahun lagi. Begitu? Ah, saya pun belum bersuami seperti beliau yang menikah muda. Saya juga bukan keturunan bangsawan kaya seperti ayah beliau.
Akan tetapi kehidupan Kartini tidaklah sesedih itu. Dan juga tidak sebahagia itu. Di zamannya, hidup di keluarga bangsawan adalah tiada beda dari mereka—para perempuan buruh. Bahkan dari segi kebebasan, kebangsawanan lebih menekan kehendak mereka. Seperti dalam bertindak tutur, berpakaian, tidak ada yang tidak diatur. Memang dasar naluri manusia yang tidak ingin diatur namun ingin mengatur. Celakanya, mereka mengatur, namun juga diatur. Pun, para buruh masih lebih untung. Mereka diatur hanya pada saat bekerja. Saat kembali ke rumah, mereka bebas. Ah, ini hanya pendapat saya saja. Buku-buku sejarah mengatakan bahwa mereka ditindas sedemikian kejam. Namun tidak dengan Pram dalam bukunya Panggil Aku Kartini Saja. Seorang Kartini, memupuk rasa peduli sosialnya—yang kelak dan kini—menjadi bibit awal perjuangannya.
2013 lalu, saya pernah mendiskusikan esensi perjuangan Kartini di sekretariat Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasisa (UKPKM) MEDIA Universitas Mataram. Pengurus kala itu mengundang kawan-kawan dari Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian (Himatekta)—kalau tidak salah, ini kepanjangannya. Maafkan jika keliru, saya lupa. Sebelum saya melajutkan proses disksusi, saya teringat akan keadaan kedua organisasi ini sekarang. 2016. Himatekta tidak lagi menjadi organisasi legal di kampus setelah program studi teknik pertanian dipisah hari Fakultas Pertanian. Ya, mereka berdiri sendiri menjadi sebuah fakultas. Seluruh anggotanya diancam tidak dapat melanjutkan kuliah jika tidak mau melebur dengan himpunan mahasiswa program studi (HMPS) dan tidak tunduk di bawah badan eksekutif mahasiswa (BEM) fakultas. Akhirnya, mereka memutuskan untuk berdiri secara independen dan menjadi organisasi ekternal kampus. Anggotanya masih tetap ada. Namun kini, saya hilang kontak.
UKPKM MEDIA Unram? Ini telah saya bahas di beberapa tulisan sebelumnya. Organisasi tempat saya lahir pertama kali sebagai insane pers ini, mungkin sebentar lagi akan mengikuti jejak Himatekta. Berdiri sendiri sebagai organisasi eksternal kampus. Keduanya  pernah duduk dalam satu lingkarang membahas Kartini. Kartini yang setiap tahun dibahas oleh setiap organisasi kemahasiswaan dari berbagai sudut pandang. Kala itu, kami membahas, “Sebenarnya Kartini memperjuangkan apa?”
Dari sekian pembahasan, kami mengerucut pada kesimpulan bahwa Kartini hanya menginginkan keadilan dalam hak memperoleh pendidikan. Di usianya yang masih belia—jika saat ini mungkin masih tergolong anak SMA—ia telah dinikahi oleh raden sesama bangsawan. Di rumah yang mewah, ia mendapat berbagai bacaan dari Belanda. Ia sering berkeliling di sekitaran rumahnya, ditemani beberapa pelayan perempuan. Sambil berbincang, ia pun kerap mendengar keluhan para perempuan muda yang ingin sekali belajar membaca. Sekedar membaca! Belum sampai dalam tahap berhitung. Betapa sederhana namun sulit didapat. Betapa tidak adilnya dunia jika pendidikan hanya dicecap oleh orang-orang berada. Hingga akhirnya para perempuan berhasil mengenyam pendidikan, ia tetap dikenang. Harum namanya.
Ia tidak menyesali pernikahannya yang “dini”. Ia hanya ingin menjadi orang yang berguna. Dan ia telah mewujudkannya. Kini, mari kita pertolak ke 2016. 21 April 2016, saya membuat sebuah status di akun facebook, “Dulu Kartini ingin sekolah. Sekarang Kartini ingin apa?” dan kawan-kawan yang memenuhi kolom komentar serentak menjawab: WISUDA LALU MENIKAH, SHOPPING, SMARTPHONE. Tidak ada yang lain. Agaknya, sedikit mundur, ya, dari fitrah Kartini? Jika dulu Kartini, meski menikah muda, namun tetap menjadikan pendidikan sebagai jalan hidup. Maka kini hal tersebut telah terbalik. Wisuda dijadikan tolak ukur telah menyelesaikan pendidikan. Melihat mereka yang belum wisuda, seperti melihat sekawanan orang bodoh yang tak pantas berada di lingkaran pendidikan. Menikah dijadikan cita-cita dangkal setelah lulus sekolah, seolah-olah setelah menikah, kewajiban menuntut ilmu telah usai.
Kehidupan hedon membuat perempuan kekinian lebih senang pergi ke pusat berbelanjaan ketimbang di perpustakaan. Kan sudah ada smartphone yang menjamin! Tinggal download aja beberapa buku di benda pintar ini, baca, deh! Yakin semudah itu? Saya pun melakukannya. Namun ternyata, semakin kencang internet yang saya miliki, semakin lambat otak saya bekerja.
Mas Kiki Sulistyo selalu menasehati saya—dan kawan-kawan Akarpohon lainnya—untuk tetap membaca buku dalam bentuk hard-copy. Memang terlihat kuno. Namun rasakanlah perbedaan imajinasi dan dampak psikologis yang kita dapatkan. Membuka telepon pintar tidak akan membuat kita fokus membaca karena akan selalu digoda dengan berbagai macam notifikasi dari segudang media sosial yang kita miliki.
Begitu juga dengan kemudahan yang ditawarkan oleh internet. Tidak mungkin, kan, perangkat telepon pintar tidak disertai dengan internet? Segalanya dipermudah. Peringatan ulang tahun kawan telah ada di sana. Lambat laun kita melupakan buku harian yang menjadi “tempat rahasia” kita mencatat tanggal penting dari sahabat kita. Juga segala uneg-uneg. Hanya kita, buku harian, dan Tuhan yang tahu. Namun kini, saya yakin kita semua merasakannya. Hanya enggan mengakui dan mulai memperbaiki. Mengapa tidak menulis surat seperti Kartini dulu?
Ya’elah, nggak gitu juga, kalii…
Cukuplah. Cukup. Tulisan ini telah mewakili isi kepala saya tentang Kartini di tahun ini. Saya tahu bahwa tulisan ini masih kurang karena kepala saya masih terasa berantakan sehingga sulit memilah ide. Dan, tulisan ini pun masih “loncat-loncat”. Yah, saya sedang dalam masa pengendapan. Tapi sumpek rasanya kita tidak menulis! Maka saya tetap menulis semampu ingatan saya. Meski badan masuk angin, saya ingin tetap memelihara kemampuan saya yang masih secuil ini. Selamat Hari Kartini! Semoga kita tidak salah memahami. Jikalau salah, ya maafkan (+_+)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar