Senin, 15 Februari 2016

Kita Masih Harus Melangkah!


Menulis Sejarah ‘Orang’



       Awal belajar menulis, saya pernah membayangkan mampu menghasilkan tulisan yang menggugah hati setiap pembacanya. Menjadi inspirasi dan dikagumi banyak orang. Niatan naïf seorang amatir, ya, memang begitu. Betapa saya saat itu tidak (atau belum) menyadari bahwa tulisan adalah salah satu mulut sejarah. Tulisan adalah rekam jejak peristiwa dan suasana dunia pada saat itu. Entah saat  ia ditulis, atau saat dikenang—dengan keterangan waktu sebagai penjelas. 
     Dan, awal 2016 ini menjadi pengalaman baik. Seorang kawan dari Komunitas Pasir Putih Lombok Utara mengajak saya untuk terlibat dalam kegiatan yang mereka laksanakan. Jauh-jauh bertandang dari Kabupaten Lombok Utara (KLU) ke Mataram demi mengumpulkan kawan-kawan seniman, sungguh menggugah semangat! Bernama Akumassa Chronicle, kegiatan ini menjadi penebus janji saya kepada Komunitas Pasir Putih karena berkatnya saya benar-benar berkunjung—bahkan menginap—di kantor komunitas ini. sebelumnya saya hanya sempat berjanji ketika bertemu mereka di Mataram.
Sekilas tentang Akumassa Chronicle, kegiatan ini diprakarsai oleh Forum Lenteng dari Jakarta. Mereka datang ke Lombok dan meminta kawan-kawan Pasir Putih sebagai menyelenggara. Akumassa, secara kekata telah menyatukan dua kata; aku dan massa. Sejatinya dalam kehidupan sosial, kedua kata tersebut sering bersama hanya di waktu-waktu tertentu. ‘aku’ dalam konteks ini adalah seorang pemimpin, ia adalah tunggal. Ia memimpin ‘massa’ yang disebut rakyat, masyarakat, warga, dan segala jenis kemajemuka lainnya. Maka Forum Lenteng menyatukan kedua kata tersebut dengan tujuan menyatukan kedua peran sosial yang selama ini tersekat oleh formalitas. Melalui seni, hal tersebut sangatlah mungkin. Saya tidak begitu pandai mengulas teori seni. Jadi cukup sampai di sini.
Kegiatan yang berlangsung di Kecamatan Pemenang ini dimulai sejak Januari dan akan berakhir sekitar awal Maret 2016. Bagi saya, tidak menjadi soal jikalau kegiatan berkesenian berbasis riset ini dijadwalkan sedemikian lama karena memang membutuhkan waktu cukup lama. Akan tetapi, yang menjadi sorotan saya secara pribadi sebagai “orang baru” di sini adalah: menulis sejarah kampung orang.
Saya bukanlah warga Pemenang—paling tidak memiliki tempat domisili tetap seperti kebanyakan orang. Saya adalah salah satu masyarakat dengan latar belakang hidup bercampur baur. Tidak mentok di satu budaya, di satu rumah, di satu tradisi, dan di satu adat. Bagaimana mungkin saya mampu menggali dan menulis sejarah tentang Pemenang?
Ibarat seorang pejabat yang ingin menulis tentang kemiskinan. Namun ia hanya duduk nyaman di balik meja dengan pendingin ruangan yang selalu menyala. Sedang potret kemiskinan hanya ia dapatkan melalui jendela kantornya yang kebetulan menghadap persimbangan jalan. Ia hanya mampu melihat pengemis cilik dengan telapak tangan sebagai wadah uang receh. Ia hanya mampu membaca mimik wajah pengamen kepanasan dengan kaki berjingkrak-jingkrak menahan panasnya aspal. Ia hanya melihat. Ia tidak merasakan.
Seperti itulah saya sekarang ini. saya orang Mataram yang sedang berusaha merasakan hati masyarakat Penemang. Mencoba menuliskan realita sedalam-dalamnya. Namun, mungkin ini hanya kegelisahan saya pribadi karena kawan-kawan yang lainnya pun datang dari jauh, bahkan dari pulau yang berbeda. Mereka dengan antusias bergerak sesuai bidang masing-masing. Saya terlalu memusingkan diri dan takut membuka pintu kesempatan baru. Pikiran sempit untuk menyebut diri seorang seniman masih memeluk kepala saya dengan ponggah dan sulit lepas. Kini, tugas saya adalah memulai pendekatan dengan tidak lagi egois meributkan hal yang tidak perlu di kepala. Jalan saja. Bergaul secara cair.
Akan tetapi, tepatkah jika ini disebut sebagai sejarah orang, sedang saya sendiri memiliki darah Sasak? Apa pula bedanya Sasak Timur dengan Sasak Utara? Saya mulai berpikir, pokok ketakutan saya bukanlah tidak mengenal sejarah tempat ini, melainkan ketidakmampuan saya menuangkan sejarahnya ke dalam tulisan. Sekedar kecemasan. Atau karena saya sedang PMS?

Rabu, 03 Februari 2016

Kemunduran Sistem Adminstrasi Akademik: Celoteh Mahasiswa (sok) Peduli

Ketika setiap orang menganggap segalanya mudah, maka lancarlah pula segala urusan. Termasuk dalam hal pendataan mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidkan Universitas Mataram (FKIP Unram). Semester genap di 2016 ini, mahasiswa kembali membayar kewajibannya sebagai pelajar di Kampus Putih. Setelah membayar, mahasiswa biasaya mengurus iuran orangtua mahasiswa (IOMA)—yang pada 2016 ini tidak lagi wajib dibayarkan. Sehingga setelah membayar sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), mereka fokus mengurus pengisian kartu rencana studi (KRS), lalu menunggu waktu masuk kuliah.
Sebab akibat dari pembayaran SPP mahasiswa adalah terteranya nama mereka dalam buku daftar hadir kelas. Sehingga—dibalik proses setelah pembayaran SPP tersebut—pihak kampus akan meminta data dari bank mitra. Bank Mandiri menjadi mitra FKIP dalam proses administrasi tersebut. Jika sejak lama keduanya telah melakukan kerjasama dan belum ada protes terkait kesalahan data, lantas, mengapa tahun ini harus tidak lagi bekerjasama?
Dikatakan demikian, pasalnya baru kali ini Kabbag Akademik FKIP mengeluarkan pengumuman yang isinya meminta seluruh mahasiswa tahun ajaran 2015/2016 mengumpulkan foto-copy bukti pembayaran SPP. Dalam pengumuman tersebut, tujuan pengumpulannya adalah untuk memudahkan pihak akademik dalam menyusun daftar hadir kelas.
Ini bukan masalah tidak mampu membayar foto-copy sebesar seratus lima puluh rupiah. Tapi ini lebih kepada esensi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dari bidang akademik itu sendiri. Bagaimana hal yang mudah—menyalin data bank—menjadi begitu rumit sehingga “merepotkan” mahasiswa dengan harus kembali mengumpulkan bukti pembayaran SPP? Salah seorang petugas akademik menjelaskan kepada saya ketika bertanya. “Meminta data ke bank itu kan sulit. Apalagi fakultas. Sekarang mau dianggap ndak bayar SPP?”
Pengumuman yang agak merepotkan

Sekali lagi saya katakan, bukan masalah foto-copy. Namun masalah tupoksi. Setelah informasi dari Akademik tersebut tersebar di dunia maya, santer ia menjadi buah bibir; baik di kalangan mahasiswa aktif maupun alumni. Salah seorang alumni berkomentar di halaman Page Facebook LPM Pena Kampus FKIP Unram, “Ini kampus kok nggak maju-maju, ya? Apa sulitnya minta data ke Mandiri? Toh dari dulu juga nggak pernah ada yang beginian.”
Begitu juga dengan hasil diskusi singkat beberapa mahasiswa di kantin kampus. Bahwa data mahasiswa yang telah membayar SPP tidak hanya dipegang oleh Akademik, tetapi juga wakil dekan (WD) I selaku pemegang segala urusan terkait akademik. Hal ini pun dibuktikan dengan mudahnya para jurnalis LPM Pena Kampus saat meminta data terkait keperluan mereka dalam penelitian oleh bidang pelatihan dan pengembangan (Litbang) pada 2015 lalu. Maka, dari sekian banyak pengalaman, bukti, diskusi, dan komentar, apa yang membuat pihak Akademik FKIP Unram menikmati kemundurannya dalam mengelola sistem administrasi?
Setelah ini, saya tidak tahu apa yang akan terjadi dengan mahasiswa yang enggan mempertanyakan hal di atas. Saya tidak tahu nasib saya yang mau repot-repot menuangkan isi pikiran melalui tulisan ini. Mungkin tidaklah penting. Mungkin juga akan mengancam perjuangan saya yang tidak lagi butuh daftar hadir kelas. Mungkin, mungkin saya mengganggu kenyamanan orang lain. Mungkin..