Awal belajar menulis, saya pernah membayangkan mampu
menghasilkan tulisan yang menggugah hati setiap pembacanya. Menjadi inspirasi
dan dikagumi banyak orang. Niatan naïf seorang amatir, ya, memang begitu. Betapa saya saat itu tidak (atau belum)
menyadari bahwa tulisan adalah salah satu mulut sejarah. Tulisan adalah rekam
jejak peristiwa dan suasana dunia pada saat itu. Entah saat ia ditulis, atau saat dikenang—dengan
keterangan waktu sebagai penjelas.
Dan, awal 2016 ini menjadi pengalaman baik. Seorang kawan dari
Komunitas Pasir Putih Lombok Utara mengajak saya untuk terlibat dalam kegiatan
yang mereka laksanakan. Jauh-jauh bertandang dari Kabupaten Lombok Utara (KLU)
ke Mataram demi mengumpulkan kawan-kawan seniman, sungguh menggugah semangat! Bernama
Akumassa Chronicle, kegiatan ini
menjadi penebus janji saya kepada Komunitas Pasir Putih karena berkatnya saya
benar-benar berkunjung—bahkan menginap—di kantor komunitas ini. sebelumnya saya
hanya sempat berjanji ketika bertemu mereka di Mataram.
Sekilas tentang Akumassa Chronicle, kegiatan ini
diprakarsai oleh Forum Lenteng dari Jakarta. Mereka datang ke Lombok dan
meminta kawan-kawan Pasir Putih sebagai menyelenggara. Akumassa, secara kekata
telah menyatukan dua kata; aku dan massa. Sejatinya dalam kehidupan sosial,
kedua kata tersebut sering bersama hanya di waktu-waktu tertentu. ‘aku’ dalam
konteks ini adalah seorang pemimpin, ia adalah tunggal. Ia memimpin ‘massa’
yang disebut rakyat, masyarakat, warga, dan segala jenis kemajemuka lainnya.
Maka Forum Lenteng menyatukan kedua kata tersebut dengan tujuan menyatukan
kedua peran sosial yang selama ini tersekat oleh formalitas. Melalui seni, hal
tersebut sangatlah mungkin. Saya tidak begitu pandai mengulas teori seni. Jadi
cukup sampai di sini.
Kegiatan yang berlangsung di Kecamatan Pemenang ini dimulai
sejak Januari dan akan berakhir sekitar awal Maret 2016. Bagi saya, tidak
menjadi soal jikalau kegiatan berkesenian berbasis riset ini dijadwalkan
sedemikian lama karena memang membutuhkan waktu cukup lama. Akan tetapi, yang
menjadi sorotan saya secara pribadi sebagai “orang baru” di sini adalah:
menulis sejarah kampung orang.
Saya bukanlah
warga Pemenang—paling tidak memiliki tempat domisili tetap seperti kebanyakan
orang. Saya adalah salah satu masyarakat dengan latar belakang hidup bercampur
baur. Tidak mentok di satu budaya, di satu rumah, di satu tradisi, dan di satu
adat. Bagaimana mungkin saya mampu menggali dan menulis sejarah tentang Pemenang?
Ibarat seorang
pejabat yang ingin menulis tentang kemiskinan. Namun ia hanya duduk nyaman di
balik meja dengan pendingin ruangan yang selalu menyala. Sedang potret
kemiskinan hanya ia dapatkan melalui jendela kantornya yang kebetulan menghadap
persimbangan jalan. Ia hanya mampu melihat pengemis cilik dengan telapak tangan
sebagai wadah uang receh. Ia hanya mampu membaca mimik wajah pengamen kepanasan
dengan kaki berjingkrak-jingkrak menahan panasnya aspal. Ia hanya melihat. Ia
tidak merasakan.
Seperti itulah
saya sekarang ini. saya orang Mataram yang sedang berusaha merasakan hati
masyarakat Penemang. Mencoba menuliskan realita sedalam-dalamnya. Namun,
mungkin ini hanya kegelisahan saya pribadi karena kawan-kawan yang lainnya pun
datang dari jauh, bahkan dari pulau yang berbeda. Mereka dengan antusias
bergerak sesuai bidang masing-masing. Saya terlalu memusingkan diri dan takut
membuka pintu kesempatan baru. Pikiran sempit untuk menyebut diri seorang
seniman masih memeluk kepala saya dengan ponggah dan sulit lepas. Kini, tugas
saya adalah memulai pendekatan dengan tidak lagi egois meributkan hal yang
tidak perlu di kepala. Jalan saja. Bergaul secara cair.
Akan tetapi,
tepatkah jika ini disebut sebagai sejarah orang, sedang saya sendiri memiliki
darah Sasak? Apa pula bedanya Sasak Timur dengan Sasak Utara? Saya mulai
berpikir, pokok ketakutan saya bukanlah tidak mengenal sejarah tempat ini,
melainkan ketidakmampuan saya menuangkan sejarahnya ke dalam tulisan. Sekedar
kecemasan. Atau karena saya sedang PMS?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar