Jumat, 27 Maret 2015

Memupuk Empati di Taman Kota Mataram



Di setiap kota besar dengan produktifitas masyarakat yang tinggi, taman kota sangat dibutuhkan ruang publik sebagai penyegar mata. Ruang publik ini antara lain taman kota, tempat bermain, sarana olahraga, trotoar, gedung yang memenuhi prasyarat kesehatan dan keselamatan kerja, dan jalur sepeda (Kompas, 01/02/2009).
Untuk taman kota, hingga 2014 ini Kota Mataram telah memiliki enam buah taman kota; yakni Taman Sangkareang, Taman Udayana, Taman Loang Baloq, Taman Kota Selagalas, Taman Adipura, dan Taman Ampenan. Dengan tujuan yang sama, keenam taman ini dibangun guna menyeimbangkan ekosistem alam di dalam kota. Namun, seiring perkembangan mobilitas masyarakat di Kota Mataram, keberadaan taman kota dirasa semakin paradoks.
Ketumpangtindihan yang terjadi antara pembangunan taman dengan mobilitas masyarakat terletak pada perawatan dan aturan umum dalam mengunjungi taman. Kota dengan daratan seluas 61,30 km2 ini, membangun enam taman dengan titik yang terbilang menyebar. Taman Sangkareang yang terletak di pusat Kota Mataram dapat menjadi bukti pertama sifat bertentangan tersebut. Setelah melakukan renovasi beberapa kali, kini taman seluas satu hectare tersebut semakin cantik dengan tetangga barunya; Hotel Santika.
Dengan keindahan dan letak yang strategis, sudah selayaknya Sangkareang mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Kota (Pemkot) Mataram. Hal yang menonjol saat ini adalah rumput hias yang ditancapkan papan-papan peringatan bertuliskan, “Jangan injak rumput!” tak sekalipun diindahkan oleh masyarakat yang menunjunggi taman tersebut. Jika dikatakan budaya masyarakat yang kurang peduli akan sebuah papan peringatan –atau mungkin enggan untuk sekedar membaca tiga huruf tersebut– maka baik adanya jika petugas keamanan diamanahkan untuk menegur mereka. Sehingga empati masyarakat pun terpancur serupa air mancur utama yang berdiri kokoh di tengah-tengah taman. Begitu juga dengan kebersihan taman yang cukup memprihatinkan.
Tersedianya tong sampah dengan tiga jenis (Organik, Non-organik, B3) di setiap sudut taman menjadi wujud nyata Pemkot dalam memberikan fasilitas kebersihan. Senada dengan ‘saudaranya’, Taman Udayana, Taman Ampenan, Taman Adipura, dan Taman Loang Baloq pun telah memiliki fasilitas tempat sampah lengkap dengan pemilahan jenisnya. Namun dari kesamaan yang ada, terlihat satu taman yang hampir dialihfungsikan; yakni Loang Baloq.
Seperti yang terlihat di awal 2014, sebuah patok calon bangunan hotel telah terpasang tapi dengan baliho rencana rancangan yang megah. Taman tepi pantai kini semakin kecil dan kumuh jika dibandingkan dengan hotel tersebut. Terlepas dari program kerja Pemerintah Provinsi (Pemprov) yang mengedepankan pembangunan sehingga kelak Kota Mataram terlihat maju dengan tumpukkan bangunan tersebut, hal ini tidaklah menyelamatkan kota.
Saya katakan demikian karena Ruang Terbuka Hijau (RTH) harusnya tidak tergusur oleh bangunan komersial serupa hotel atau lapak usaha lainnya. Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) kota Mataram, Lalu Martawang mengatakan, “Komitmen kita di Perda tata ruang itu untuk memenuhi 20% ruang terbuka publik dan 10% ruang terbuka privat ini senantiasa kita berusaha wujudkan. Sekarang posisinya adalah 12,48%.” (http://www.tataruangntb.net/, 08/11/2013)
Lain halnya dengan Taman Selagalas yang terletak di seberang Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Selagalas. Taman ini adalah yang terhijau dari semuanya. Meski dengan kapasitas mini namun tidak lebih kecil dari Taman Adipura dan Taman Ampenan, Taman Selagalas mampu menjadi bukti modern di tengah hamparan sawah. Sangat disayangkan bahwa kenyataan taman yang mirip dengan Loang Baloq ini tidak memiliki fasilitas tong sampah sama sekali. Meski pengunjung meningkat setiap waktunya, Pedagang Kaki Lima (PKL) kian menjamur di sekitar taman, tetap tong sampah penyelamat kebersihan tidak pernah hadir di tengah-tengah tawa masyarakat yang dengan santai membuang sampah selagi berkunjung.
Memupuk Empati
Dari sejumlah pemaparan kondisi di tiap taman, setidaknya hal tersebut bukan hanya menjadi tanggung jawab Pemkot maupun Pemprov. Sebagai masyarakat yang menikmati oksigen dari tiap taman kota, hendaklah kita turut membantu dalam mewujudkan tujuan taman kota ini dibangun.
Sikap empati; terlihat sepele namun tidak mudah dijalankan. Terbukti dengan masih kurangnya kesadaran masyarakat akan penaatan aturan dan rasa ingin berjuang demi eksistensi taman kota. Jika masyarakat  masih berfikir bahwa sampah akan dibersihkan oleh petugas kebersihan, maka sebaiknya di setiap keluarga ada yang berprofesi sebagai petugas kebersihan kota. Tidakkah sejak kecil, bahkan dalam mata pelajaran Kewarganegaraan Sekolah Dasar (SD) kita telah diajarkan bagaimana menjaga kebersihan dengan tidak membuang sampah sembarangan? Masalah tidak tersedianya fasilitas tong sampah, kita dapat menyontek kebiasaan dari negara Singapura yang warganya selalu mengantongi sampahnya jika tidak menemukan tong sampah di sekitarnya. 
Pemerintah telah membantu dengan menyediakan aturan tertulis serta mengadakan petugas kebersihan. Kali ini peran masyarakat khususnya orangtua untuk membimbing buah hatinya membiasakan positif tersebut. Begitu pula dengan para pendidik di lingkungan sekolah. Bisa kita bayangkan jika hal sepele ini ditaati dan dijalankan dengan baik, maka tidak hanya taman kota yang terjaga kebersihannya, seluruh kota pun akan bebas dari kebersihan. Taman kota tidak lagi hanya sebagai simbolisasi kebersihan dan kehijauan sebuah kota, namun menjadi pusat pembentukkan budaya hidup sehat.
Dari empati yang membentuk kebiasaan tersebut kita dapat menumbuhkan jiwa-jiwa pejuang. Jiwa yang mau bergerak kala tanah bermainnya dicaplok semen bangunan permanen seperti yang terjadi di kawasan Taman Udayana dan Taman Loang Baloq. Sehingga dalam upaya mencapai target 30% sebagaimana amanat UU, Pemkot masih kurang tegas pada komitmennya untuk menjalankan amanat tersebut. Oleh karena itu, masyarakat pun harus membantu agar tidak saling menyalahkan ketika terjadi suatu bencana akibat ketidakterurusan taman kota.
Secara keseluruhan, Pemkot, Pemprov, dan masyarakat memiliki peran penting dalam memelihara taman kota dengan bidang dan wewenangnya masing-masing. Jangan biarkan taman kota hanya menjadi miniatur kota yang mudah diangkat dan diganti dengan miniatur lainnya sesuai keinginan ‘orang lain’. Dengan menumbuhkan jiwa empati masyarakat, semoga taman kota mampu menjadi taman sesungguhnya dan wadah singgah yang menyejukkan.

DILEMA “ISI” PERPUSTAKAAN SEKOLAH

   Membaca berita Suara NTB pojok kolom Pendidikan memang selalu dinanti oleh para praktisi pendidikan, termasuk kami mahasiswa calon guru. Khusus Edisi 12 Januari 2015 pada halaman 13 ini, salah satu berita berjudul “Hampir 50 Persen SD di KLU Belum Punya Perpustakaan” menjadi butir pikiran di sudut mata saya.
        Terlepas dari bagaimana situasi dan kondisi di stiap sekolah, sehingga adanya kesulitan untuk memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM), tidak menjadikan perpustakaan sebagai salah satu faktor penting adalah kurang tepat. Dikatakan demikian berdasarkan pernyataan, “Di level SD, SMP, dan SMA, pemenuhan buku tidak terlalu jadi faktor penentu, karena sifatnya mengacu pada jenis mata pelajaran.”
       Disebutkan juga bahwa pemenuhan buku ini berdasarkan Kurikulum yang diacu, yakni Kurikulum 2013 (K-13). Sekarang marilah kita mencoba untuk berfikir ke arah pendidikan bukan lagi pengajaran. Saya—bisa dikatakan—kurang setuju jika perpustakaan dihempaskan dari faktor penentu mutu pendidikan. Selama pengalaman sekolah, sejak TK hingga SMA, saya selalu mencintai perpustakaan. Namun buka berarti ini sepenuhnya keegoisan diri atas kecintaan tersebut.
       Anak-anak atau peserta didik di jenjang SD, seperti pendapat Peaget dalam mata kuliah keguruan yang pernah saya ikuti, adalah mereka yang sedang gemar melakukan ekspolari melalui indera mata dan telinga. Terlebih sifat-sifat “bandel” gemar bermain di lapangan membuat mereka sedikit enggan untuk memberati otak dengan buku pelajaran yang membosankan. Meski hal tersebut dapat ditanggulangi oleh kreativitas guru, namun anak-anak tetap membutuhkan ilmu di luar mata pelajaran sebagai bekal pengetahuan umum.
       Sehingga untuk memenuhi hasrat tersebut, mereka membutuhkan perpustakaan. Biasanya, ada banyak kumpulan ensiklopedia dari berbagai tema dan bahasa yang disimpan. Begitu juga dengan kumpulan tulisan para penulis nasional bahkan internasional. Sebut saya salah satu penulis favorit saya sewaktu SD, Fahri Aziza dengan novelnya “Menjaring Matahari” yang masih terkenang hingga kini di benak saya. Pelajaran akan nilai kejujuran yang tertulis di dalamnya sangatlah mengena untuk diamalkan.
       Belum lagi sederet ensiklopedia Islam dan dunia yang berjejer rapi di perpustakaan saya semasa SMP. Setiap jam istirahat siang, ruangan sejuk ini selalu ramai. Meski sekedar duduk dan ngadem, paling tidak ada saja satu atau dua buku yang dibaca oleh para siswa di sana. Kita tidak melihat hasil baca mereka yang harus sempurna, namun lebih kepada budaya membaca yang mulai merambat ke mata dan akhirnya kelak akan berakar di otak hingga  berbuah ke sikap perilaku mereka.
       Jika K-13 mengagung-agungkan perbaikan sikap/akhlak/mental pada pelajar, maka salah satu sikap yang harus ditanamkan adalah budaya membaca. Tidak ada alasan kita sebagai pelajar untuk tidak gemar membaca karena seperti pepatah lawas, “Buku adalah jendela dunia.” Baikalah, di zaman modern, tidak lagi banyak kita katakan buku sebagai jendela dunia, akan tetapi yang menjadi makna dari pepatah tersebut adalah mata harus tetap membaca.

“Isi” Perpustakaan
      Isi perpustakaan yang termaksud dalam tulisan ini ada dua hal. Pertama, koleksi buku yang dimiliki oleh setiap sekolah baik SD, SMP, maupun SMA. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa anak pada masa sekolah memerlukan pengetahuan umum yang mampu dijamin oleh orangtua di sekolah yakni bapak dan ibu guru. jika kecanggihan internet tidak mampu dibendung oleh generasi tua—karena dewasa ini, generasi muda lebih menguasai internet—maka salah satu jalan aman adalah dengan menyediakan buku atau sumber bacaan yang terpercaya.
      Oleh karena itu, pihak sekolah harus jeli menelaah situasi masyarakat. Saya katakan demikian, sebab kelak anak didik akan terjun ke masyarakat. Terlepas mereka akan melanjutkan kuliah setelah taman 12 tahun belajar ataupun langsung mencari kerja. Jika kita sebagai pendidik tidak memfasilitasi itu, maka jangan heran jikalau kelak kita akan melahirkan generasi katrok atau kuper (kurang pergaulan).
      Saat ini, di Mataram saja, telah banyak toko buku yang menyediakan berbagai jenis buku yang cocok untuk anak sekolah. Andaikan juga tidak atau belum tersedia, maka memesan buku ke luar daerah pun bisa jadi alternatif seperti yang pernah dilakukan oleh SMP Negeri 6 Mataram 2007 silam. Dan bukankah seharusnya untuk penyediaan buku bacaan, sekolah tidak kehabisan jaringan ke pusat?
      Hal yang kedua adalah kualitas siswa pembaca. Sering tidak disadari bahwa tidak semua siswa, ketika berkunjung ke perpustakaan, memiliki tujuan membaca atau meminjam buku. Ada saja dari mereka yang hanya menumpuang tidur, mengobrol, ngaso karena suasana adem, dan asalan lainnya di luar tujuan seharusnya. Kegiatan tersebut adalah dampak dari kualitas buku yang ada. Secara tersirat, minat baca para siswa gagal terbentuk.
      Kita berbelok sedikit ke program gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Dr. TGH. M. Zainul Majdi, tentang Buta Aksara yang ditargetkan untuk masyarakat lanjut usia rasanya agak timpang dengan kenyataan para pelajar di sekolah. Alangkah mirisnya suaru daerah jika generasi tua yang diperjuangkan untuk mengenal huruf namun generasi mudanya tidak berhasrat untuk melakukan hal yang sama. Padahal mereka memiliki kesempatan yang jauh lebih luas.
      Namun keacuhan generasi muda tidak sepenuhnya tanpa alasan. Contoh kecil terlihat dalam berita tersebut. Seandainya 50 persen SD di Kabupaten Lombok Utara (KLU) mendapatkan isi perpustakaannya dengan segera, maka dengan segera  pula otak para siswa ter”isi” dengan ilmu pengetahuan yang membuat mereka segera merangkai mimpi. Saya yakin, tidak ada orang besar yang tidak berangkat dari mimpi.