Membaca berita
Suara NTB pojok kolom Pendidikan memang selalu dinanti oleh para praktisi pendidikan,
termasuk kami mahasiswa calon guru. Khusus Edisi 12 Januari 2015 pada halaman
13 ini, salah satu berita berjudul “Hampir 50 Persen SD di KLU Belum Punya
Perpustakaan” menjadi butir pikiran di sudut mata saya.
Terlepas dari bagaimana situasi dan kondisi di stiap
sekolah, sehingga adanya kesulitan untuk memenuhi Standar Pelayanan Minimal
(SPM), tidak menjadikan perpustakaan sebagai salah satu faktor penting adalah
kurang tepat. Dikatakan demikian berdasarkan pernyataan, “Di level SD, SMP, dan
SMA, pemenuhan buku tidak terlalu jadi faktor penentu, karena sifatnya mengacu
pada jenis mata pelajaran.”
Disebutkan juga bahwa pemenuhan buku ini berdasarkan
Kurikulum yang diacu, yakni Kurikulum 2013 (K-13). Sekarang marilah kita
mencoba untuk berfikir ke arah pendidikan bukan lagi pengajaran. Saya—bisa
dikatakan—kurang setuju jika perpustakaan dihempaskan dari faktor penentu mutu
pendidikan. Selama pengalaman sekolah, sejak TK hingga SMA, saya selalu
mencintai perpustakaan. Namun buka berarti ini sepenuhnya keegoisan diri atas
kecintaan tersebut.
Anak-anak atau peserta
didik di jenjang SD, seperti pendapat Peaget dalam mata kuliah keguruan yang
pernah saya ikuti, adalah mereka yang sedang gemar melakukan ekspolari melalui
indera mata dan telinga. Terlebih sifat-sifat “bandel” gemar bermain di
lapangan membuat mereka sedikit enggan untuk memberati otak dengan buku
pelajaran yang membosankan. Meski hal tersebut dapat ditanggulangi oleh
kreativitas guru, namun anak-anak tetap membutuhkan ilmu di luar mata pelajaran
sebagai bekal pengetahuan umum.
Sehingga untuk memenuhi
hasrat tersebut, mereka membutuhkan perpustakaan. Biasanya, ada banyak kumpulan
ensiklopedia dari berbagai tema dan bahasa yang disimpan. Begitu juga dengan
kumpulan tulisan para penulis nasional bahkan internasional. Sebut saya salah
satu penulis favorit saya sewaktu SD, Fahri Aziza dengan novelnya “Menjaring
Matahari” yang masih terkenang hingga kini di benak saya. Pelajaran akan nilai
kejujuran yang tertulis di dalamnya sangatlah mengena untuk diamalkan.
Belum lagi sederet
ensiklopedia Islam dan dunia yang berjejer rapi di perpustakaan saya semasa
SMP. Setiap jam istirahat siang, ruangan sejuk ini selalu ramai. Meski sekedar
duduk dan ngadem, paling tidak ada
saja satu atau dua buku yang dibaca oleh para siswa di sana. Kita tidak melihat
hasil baca mereka yang harus sempurna, namun lebih kepada budaya membaca yang
mulai merambat ke mata dan akhirnya kelak akan berakar di otak hingga berbuah ke sikap perilaku mereka.
Jika K-13
mengagung-agungkan perbaikan sikap/akhlak/mental pada pelajar, maka salah satu
sikap yang harus ditanamkan adalah budaya membaca. Tidak ada alasan kita
sebagai pelajar untuk tidak gemar membaca karena seperti pepatah lawas, “Buku
adalah jendela dunia.” Baikalah, di zaman modern, tidak lagi banyak kita
katakan buku sebagai jendela dunia, akan tetapi yang menjadi makna dari pepatah
tersebut adalah mata harus tetap membaca.
“Isi” Perpustakaan
Isi perpustakaan yang termaksud
dalam tulisan ini ada dua hal. Pertama, koleksi buku yang dimiliki oleh setiap
sekolah baik SD, SMP, maupun SMA. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa
anak pada masa sekolah memerlukan pengetahuan umum yang mampu dijamin oleh
orangtua di sekolah yakni bapak dan ibu guru. jika kecanggihan internet tidak
mampu dibendung oleh generasi tua—karena dewasa ini, generasi muda lebih
menguasai internet—maka salah satu jalan aman adalah dengan menyediakan buku
atau sumber bacaan yang terpercaya.
Oleh karena itu, pihak
sekolah harus jeli menelaah situasi masyarakat. Saya katakan demikian, sebab
kelak anak didik akan terjun ke masyarakat. Terlepas mereka akan melanjutkan
kuliah setelah taman 12 tahun belajar ataupun langsung mencari kerja. Jika kita
sebagai pendidik tidak memfasilitasi itu, maka jangan heran jikalau kelak kita
akan melahirkan generasi katrok atau
kuper (kurang pergaulan).
Saat ini, di Mataram
saja, telah banyak toko buku yang menyediakan berbagai jenis buku yang cocok
untuk anak sekolah. Andaikan juga tidak atau belum tersedia, maka memesan buku
ke luar daerah pun bisa jadi alternatif seperti yang pernah dilakukan oleh SMP
Negeri 6 Mataram 2007 silam. Dan bukankah seharusnya untuk penyediaan buku
bacaan, sekolah tidak kehabisan jaringan ke pusat?
Hal yang kedua adalah
kualitas siswa pembaca. Sering tidak disadari bahwa tidak semua siswa, ketika
berkunjung ke perpustakaan, memiliki tujuan membaca atau meminjam buku. Ada
saja dari mereka yang hanya menumpuang tidur, mengobrol, ngaso karena suasana adem, dan asalan lainnya di luar tujuan
seharusnya. Kegiatan tersebut adalah dampak dari kualitas buku yang ada. Secara
tersirat, minat baca para siswa gagal terbentuk.
Kita berbelok sedikit
ke program gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Dr. TGH. M. Zainul Majdi,
tentang Buta Aksara yang ditargetkan untuk masyarakat lanjut usia rasanya agak
timpang dengan kenyataan para pelajar di sekolah. Alangkah mirisnya suaru
daerah jika generasi tua yang diperjuangkan untuk mengenal huruf namun generasi
mudanya tidak berhasrat untuk melakukan hal yang sama. Padahal mereka memiliki
kesempatan yang jauh lebih luas.
Namun keacuhan generasi muda tidak sepenuhnya tanpa alasan. Contoh kecil terlihat dalam berita tersebut. Seandainya 50 persen SD di Kabupaten Lombok Utara (KLU) mendapatkan isi perpustakaannya dengan segera, maka dengan segera pula otak para siswa ter”isi” dengan ilmu pengetahuan yang membuat mereka segera merangkai mimpi. Saya yakin, tidak ada orang besar yang tidak berangkat dari mimpi.
Namun keacuhan generasi muda tidak sepenuhnya tanpa alasan. Contoh kecil terlihat dalam berita tersebut. Seandainya 50 persen SD di Kabupaten Lombok Utara (KLU) mendapatkan isi perpustakaannya dengan segera, maka dengan segera pula otak para siswa ter”isi” dengan ilmu pengetahuan yang membuat mereka segera merangkai mimpi. Saya yakin, tidak ada orang besar yang tidak berangkat dari mimpi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar