Jumat, 27 Maret 2015

DILEMA “ISI” PERPUSTAKAAN SEKOLAH

   Membaca berita Suara NTB pojok kolom Pendidikan memang selalu dinanti oleh para praktisi pendidikan, termasuk kami mahasiswa calon guru. Khusus Edisi 12 Januari 2015 pada halaman 13 ini, salah satu berita berjudul “Hampir 50 Persen SD di KLU Belum Punya Perpustakaan” menjadi butir pikiran di sudut mata saya.
        Terlepas dari bagaimana situasi dan kondisi di stiap sekolah, sehingga adanya kesulitan untuk memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM), tidak menjadikan perpustakaan sebagai salah satu faktor penting adalah kurang tepat. Dikatakan demikian berdasarkan pernyataan, “Di level SD, SMP, dan SMA, pemenuhan buku tidak terlalu jadi faktor penentu, karena sifatnya mengacu pada jenis mata pelajaran.”
       Disebutkan juga bahwa pemenuhan buku ini berdasarkan Kurikulum yang diacu, yakni Kurikulum 2013 (K-13). Sekarang marilah kita mencoba untuk berfikir ke arah pendidikan bukan lagi pengajaran. Saya—bisa dikatakan—kurang setuju jika perpustakaan dihempaskan dari faktor penentu mutu pendidikan. Selama pengalaman sekolah, sejak TK hingga SMA, saya selalu mencintai perpustakaan. Namun buka berarti ini sepenuhnya keegoisan diri atas kecintaan tersebut.
       Anak-anak atau peserta didik di jenjang SD, seperti pendapat Peaget dalam mata kuliah keguruan yang pernah saya ikuti, adalah mereka yang sedang gemar melakukan ekspolari melalui indera mata dan telinga. Terlebih sifat-sifat “bandel” gemar bermain di lapangan membuat mereka sedikit enggan untuk memberati otak dengan buku pelajaran yang membosankan. Meski hal tersebut dapat ditanggulangi oleh kreativitas guru, namun anak-anak tetap membutuhkan ilmu di luar mata pelajaran sebagai bekal pengetahuan umum.
       Sehingga untuk memenuhi hasrat tersebut, mereka membutuhkan perpustakaan. Biasanya, ada banyak kumpulan ensiklopedia dari berbagai tema dan bahasa yang disimpan. Begitu juga dengan kumpulan tulisan para penulis nasional bahkan internasional. Sebut saya salah satu penulis favorit saya sewaktu SD, Fahri Aziza dengan novelnya “Menjaring Matahari” yang masih terkenang hingga kini di benak saya. Pelajaran akan nilai kejujuran yang tertulis di dalamnya sangatlah mengena untuk diamalkan.
       Belum lagi sederet ensiklopedia Islam dan dunia yang berjejer rapi di perpustakaan saya semasa SMP. Setiap jam istirahat siang, ruangan sejuk ini selalu ramai. Meski sekedar duduk dan ngadem, paling tidak ada saja satu atau dua buku yang dibaca oleh para siswa di sana. Kita tidak melihat hasil baca mereka yang harus sempurna, namun lebih kepada budaya membaca yang mulai merambat ke mata dan akhirnya kelak akan berakar di otak hingga  berbuah ke sikap perilaku mereka.
       Jika K-13 mengagung-agungkan perbaikan sikap/akhlak/mental pada pelajar, maka salah satu sikap yang harus ditanamkan adalah budaya membaca. Tidak ada alasan kita sebagai pelajar untuk tidak gemar membaca karena seperti pepatah lawas, “Buku adalah jendela dunia.” Baikalah, di zaman modern, tidak lagi banyak kita katakan buku sebagai jendela dunia, akan tetapi yang menjadi makna dari pepatah tersebut adalah mata harus tetap membaca.

“Isi” Perpustakaan
      Isi perpustakaan yang termaksud dalam tulisan ini ada dua hal. Pertama, koleksi buku yang dimiliki oleh setiap sekolah baik SD, SMP, maupun SMA. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa anak pada masa sekolah memerlukan pengetahuan umum yang mampu dijamin oleh orangtua di sekolah yakni bapak dan ibu guru. jika kecanggihan internet tidak mampu dibendung oleh generasi tua—karena dewasa ini, generasi muda lebih menguasai internet—maka salah satu jalan aman adalah dengan menyediakan buku atau sumber bacaan yang terpercaya.
      Oleh karena itu, pihak sekolah harus jeli menelaah situasi masyarakat. Saya katakan demikian, sebab kelak anak didik akan terjun ke masyarakat. Terlepas mereka akan melanjutkan kuliah setelah taman 12 tahun belajar ataupun langsung mencari kerja. Jika kita sebagai pendidik tidak memfasilitasi itu, maka jangan heran jikalau kelak kita akan melahirkan generasi katrok atau kuper (kurang pergaulan).
      Saat ini, di Mataram saja, telah banyak toko buku yang menyediakan berbagai jenis buku yang cocok untuk anak sekolah. Andaikan juga tidak atau belum tersedia, maka memesan buku ke luar daerah pun bisa jadi alternatif seperti yang pernah dilakukan oleh SMP Negeri 6 Mataram 2007 silam. Dan bukankah seharusnya untuk penyediaan buku bacaan, sekolah tidak kehabisan jaringan ke pusat?
      Hal yang kedua adalah kualitas siswa pembaca. Sering tidak disadari bahwa tidak semua siswa, ketika berkunjung ke perpustakaan, memiliki tujuan membaca atau meminjam buku. Ada saja dari mereka yang hanya menumpuang tidur, mengobrol, ngaso karena suasana adem, dan asalan lainnya di luar tujuan seharusnya. Kegiatan tersebut adalah dampak dari kualitas buku yang ada. Secara tersirat, minat baca para siswa gagal terbentuk.
      Kita berbelok sedikit ke program gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Dr. TGH. M. Zainul Majdi, tentang Buta Aksara yang ditargetkan untuk masyarakat lanjut usia rasanya agak timpang dengan kenyataan para pelajar di sekolah. Alangkah mirisnya suaru daerah jika generasi tua yang diperjuangkan untuk mengenal huruf namun generasi mudanya tidak berhasrat untuk melakukan hal yang sama. Padahal mereka memiliki kesempatan yang jauh lebih luas.
      Namun keacuhan generasi muda tidak sepenuhnya tanpa alasan. Contoh kecil terlihat dalam berita tersebut. Seandainya 50 persen SD di Kabupaten Lombok Utara (KLU) mendapatkan isi perpustakaannya dengan segera, maka dengan segera  pula otak para siswa ter”isi” dengan ilmu pengetahuan yang membuat mereka segera merangkai mimpi. Saya yakin, tidak ada orang besar yang tidak berangkat dari mimpi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar