Jumat, 20 November 2015

Apresiasi Seni 2015—Baca Sastra: RUANG SASTRA MASIH “MENTOK” DI PINTU PEMAHAMAN



“Puisi adalah kejujuran.”—Wayan Sunarta (Bali)
“Sastra: mendengar sesuatu di balik sesuatu.”—Ahda Imran (Bandung)
“Karya sastra yang bagus, ia akan melintasi ruang dan waktu.”—A.S. Laksana (Jakarta)

            Menghadiri Apresiasi Sastra 2015 di Museum Negeri Nusa Tenggara Barat (NTB), saya merasa seperti sedang berada di ruang imunisasi. Atmosfir kesusastraan menjadi vitamin positif bagi saya. Berkumpul dengan orang-orang yang juga mengagumi sastra pun sangat menyenangkan. Pengorbanan para sastrawan nasional yang rela berjauh dari tempat domisili, hanya untuk membagi ilmunya di pulau kecil ini, sungguh sangat tinggi apresiasi saya. Akan tetapi hal tersebut sepertinya tidak dirasakan oleh seluruh peserta di sini.

            Acara yang terhelat pada Selasa 17 November 2015 ini diselenggarakan pukul sembilan pagi. Lahan parkir telah dipenuhi oleh berbagai kendaraan adalah pemandangan “tumben”. Dengan enteng saya katakan demikian karena memang di hari-hari biasa, museum bukanlah tempat yang ramai dikunjungi. Jika ada yang tidak setuju, saya mungkin akan dengan enteng pula menyebut mereka sebagai orang buta—atau minimal hobi berkacamata hitam tiap kali melewati museum.
            Masuk ke gerbang museum, kawan-kawan panitia telah seiap dengan buku tamu dan kudapan berbungkus kotak jajan limaribuan. Isi kotaknya standar. Namun isi acaranya istimewa. Ahdan Imran dari Bandung, A.S. Laksana dan Yusi Pareanom dari Jakarta, Joko Pinurbo dari Yogyakarta, Wayan Sunarta dari Bali, serta Sindu Purta dan Kiki Sulistyo dari Mataram—tujuh “nabi” sastra 2015 yang sedang duduk berderet di panggung, menjadi pemandangan emas di mata saya. Dan, serupa kupu-kupu duduk di antara para kumbang, Kepala Museum NTB—yang saya lupa namanya siapa—anteng duduk rapi sambil menyembunyikan rasa gugupnya.
            Oh, sebelum saya lanjutkan, untuk dimaklumi, ulasan ini mungkin lebih seperti catatan harian saya. Jadi saya akan mengulas menggunakan sudut pandang seorang pencinta sastra.
Para sastrawan membacakan karya masing-masing. Ada puisi, ada cerita pendek. Saya seperti kembali ke masa kecil, dimana ibu saya sering membacakan buku dongeng hadiah sekotak susu. Saya menikmati bacaan di tiap-tiap diksinya. Saya kembali hidup.
Wayan Sunarta membalut isu reklamasi Teluk Benoa dengan lima puisi pergerakannya. Sungguh bergelora dan bersemangat! Lain lagi dengan Joko Pinurbo dengan puisi kocak namun berserat filosofis agama. A.S. Laksana membacakan cerita pendek yang menyentuh realita ibu kota. Sekilas otak saya bertanya, “Ia dapat meramu cerita seperti itu pasti karena pernah melihat, atau merasakan suasana demikian. Lantas, bisakah kita mengolah imajinasi tanpa replika dari kehidupan nyata?” dan saya menjawab sendiri: TIDAK. Mereka saling melengkapi. Dan dengan sombong, saya menganggap mereka bertujuh sependapat dengan saya.
Saat pembacaan apresiasi, saya meluaskan pandang ke penonton, tidak lagi ke depan panggung. Tercenung, mungkin lebih kepada diam dan malas berkata-kata; banyak penonton yang keluar, mengobrol sendiri, sibuk dengan gawai di tangan, bahkan “tega” menikmati lagu dengan perangkat headset di telinga! Jika bisa, saya ingin melempar anak berseragam sekolah itu dengan kotak jajan. Sungguh miris.
Dalam suasana ini, saya agak menyimpulkan: penikmat akan merasa sangat terganggu jika duduk bersama orang yang sekedar duduk dan “numpang eksis”. Ini terjadi saat saya dan kawan-kawan sastrawan muda merasa terganggu dengan tingkah seorang anak yang menyeletuki Sindu Putra saat sedang membaca puisinya.

“Mentok”
Ketika sesi diskusi dimulai, banyak tangan-tangan kanan muncul di permukaan kepala para penonton. Mulai dari siswa, mahasiswa, dan para sipil. Dari sekian banyak pertanyaan, satu intinya: “ Mengapa sulit memahami sastra?”
Entah, mungkin saya sedang merasa sombong. Saya merasa tidak ada yang perlu ditanyakan karena saya menikmati acara ini. Jika ada yang perlu ditanyakan, mungkin saya ingin seperti dikusi saja. Kita mendiskusikan sastra kekinian—jadi bukan hanya gawai dan sosialita yang kekinian, tetapi sastra juga! Akan tetapi, yang terjadi di sini adalah pembahasan mentah soal bagaiman memahami makna sastra. Yusi Paraenom mengawali jawabannya dengan santai: “Jika tidak pernah bersentuhan langsung dengan sastra, pasti merasa sulit.” Yap, saya setuju.
Begitu pula dengan Kiki Sulistyo yang menyuguhkan pernyataan lain tentang memahami sastra, “Saya bersyukur tidak sekolah. Bersyukur pula tidak mengenal sastra melalui bangku sekolah.” Ia menjelaskan bahwa memahami sastra di sekolah dengan di luar sekolah tidaklah sama. “Jika di sekolah, kalian akan disuguhi pertanyaan ‘apa pesan moral dari cerita pendek ini?’ lalu diberi pilihan A, B, C. Sedangkan penarsiran karya sastra sangatlah luas, tidak bisa dibatasi dengan pilihan ganda seperti itu,” ujarnya. Ia pun berpesan kepada kita semua untuk tidak lagi mencari pesan moral di dalam karya sastra; karena tidak semua karya sastra memiliki pesan moral yang sesuai dengan keinginan orang banyak. Maksudnya, di sini, ya yang hidupnya lurus-lurus saja. Saya pun sepakat. Sastra di sekolah mungkin hanya pemanis buatan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Atau, pemeran figuran dalam sinetron. Atau, buruh di sebuah pabrik. Ia sesuatu yang bergumul dan abstrak, kerap dilupakan. Namun tanpanya, sinetron dan pabrik tidak akan hidup.
Ini adalah hal yang sederhana. Ah, sudahlah.. saya agak malas menjabarkannya lagi karena memang itu sederhana. Jika ingin tahu, maka cari tahu. Selesai.
Ada satu pertanyaan yang “nyelekit” dari seorang  perempuan berkerudung merah muda: “Mengapa tujuh orang di depan semuanya laki-laki? Apa memang tidak ada perempuan yang mampu menjadikan dirinya sastrawan? Apakah dalam sastra, laki-laki dan perempuan itu memiliki hak dan derajat yang sama?” Bagus, kan?
Ada juga laki-laki berkaus putih yang bertanya tentang makna spanduk acara yang menampilkan sosok anak lelaki duduk dengan mata ditutup kain putih, juga di atasnya ada sangkar burung kosong.
Joko Pinurbo menjawab pertanyaan dengan lugas. Sangkar kosong dalam spanduk berlatar biru itu adalah perumpamaan bagi pola pikir kita. “Ini adalah simbolis untuk keluar dari hal yang memenjarakan kita dari pengembangan diri untuk menulis. Sangkar itu bisa diibaratkan rasa malas, merasa cukup untuk belajar, dan lain-lain. Keluar dari zona nyaman!”
Sedangkan lelaki yang ditutup  matanya adalah perumpanaan untuk mereka yang suka, atau terlena dengan hal-hal visual. Joko Pinurbo pun menganalogikan dengan manusia; tutuplah mata manusia selama lima menit, maka yang akan bekerja dalam dirinya adalah imajinasi. Ia akan mulai membayangkan apa  saja, berfikir apa saja. Akan lebih, ia akan mulai mengasah kepekaannya. Kece!
Namun agak mengecewakan ketika moderator menjawab pertanyaan mengenai sastrawan perempuan yang tidak hadir. Ia hanya menjawab, “Maaf, sastrawan perempuan tidak hadir karena sakit.” Itu saja.
Hal yang menjadi ujung diksusi ini adalah pemahaman masyarakat tentang sastra masih terkungkung oleh makna. Selalu bertanya tentang makna rasanya tidak akan menjadikan seorang manusia memahami sesuatu secara utuh—setidaknya itu pendapat saya. Bagaimana kita mampu mencintai atau menikmati sesuatu tanpa mau mengenal dan mengaguminya? Begitu pula dengan sastra. Jadi, jika masih mentok dengan makna, sibuk dengan aturan-aturan kaku sastra di buku sekolah, maka ruang sastra akan tetap tertutup pintunya.

BAIQ ILDA KARWAYU
Litbang LPM Pena Kampus FKIP Unram

Senin, 16 November 2015

MANUSIA ATAS KEMANUSIAAN

Manusia itu kejam, ya. Bahkan tidak lebih baik dari makhluk Tuhan lainnya ketika berkomunikasi dengan sesamanya. Pantaslah Tuhan menuliskan kerusakan di bumi akibat ulah manusia di dalam kitabNya. Betapa saya, kita, kalian, mereka, berfikir bahwa manusia adalah makhluk Tuhan paling sempurna—dengan akal pikiran yang dimiliki. Namun sungguh itu justru menjadi bumerang atas kehidupan yang dijalaninya di dunia.
Melihat progress rantai makanan di tanah Afrika, sering membuat mata dan hati kita bergidik ngeri, “Mengapa Tuhan menciptakan makhluk yang kejam dan saling bunuh membunuh? Saling makan dan mencincang tiada ampun?” manusia menilai hewan liar dengan enteng tanpa refleksi di depan cermin. Manusia menggigit sesamanya tidak dengan gigi. Bahkan itu lebih. Manusia mampu menggigit dengan lidah, tangan, kaki, rambut, bahkan matanya.
Keajaiban alam oleh Tuhan yang sebenarnya mengerikan jika kita mau menelaah lebih jauh. Saya sedang menonton film CART ketika  menulis ini. Film produksi tanah ginseng yang telah membuka secuil sudut mata saya, bahwa tidak hanya di negara berkembang saja ketidakadilan buruh terjadi. Negara maju sekelas Korea Selatan (Korsel) pun masih merasakan itu. Negara dengan tingkat kemapanan pendidikan nomor satu di dunia tahun 2015 ini masih menyisakan tubuh-tubuh teka terbayar adil dari hasil kerja mereka.
Kesenjangan sosial pun tampak dari film ini. Manusia kelas atas—kaya—enggan menaruh empati kepada para buruh yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak dan tanpa alasan. Anak-anak dan  keluarga dari buruh menjadi korban. Sekolah tak terbayarkan. Makan tak tertanggung. Anak akhirnya bekerja paruh waktu. Saya tidak sedang menonton Joshua Oh Joshua, saya menonton CART.

Setelah ini, kemanusiaan, kehewanan, ketumbuhan, dimana letak bedanya? Bentuk tubuh? Mungkin. Kita manusia, seperti apa hakikat sifat dan sikap seorang manusia sejatinya? Saya mulai berfikir bahwa sebenarnya kita semua sama saja dengan hewan dan tumbuhan. Hanya saja kita ini mampu berpindah tempat—tidak seperti tumbuhan. Juga kita mampu mengolah akal secara logis dan lebih  kompleks dari hewan. Nah, sekarang apa lagi? Bukan berarti saya menyetujui Teori Darwin, loh. Ini konteksnya berbeda. Ini  kemanusiaan antar sesama manusia. Makanya disebut ke-manusia-an.
Saya melihat hukum rimba berjalan dengan jelas dalam film ini. Uang akan melancarkan segala kebutuhan manusia. Tidak hanya kebutuhan pokok (primer), tambahan (sekunder), bahkan hal mewah (tersier). Siapa yang mampu menimbun uang lebih banyak, mereka akan menguasai sikap berkuasa dan menindas yang  kurang pandai menimbun uang. Namun, benarkah mereka kurang pandai? Jawabannya adalah TIDAK. Mereka dipaksa “kurang pandai” karena sistem. Keserakahan orang-orang penimbun uang terdahulu yang membuat sistem menjadi sulit untuk adil. Mereka takut jika uang mengalir rata ke kantong setiap manusia. Mereka hanya ingin uang mengalir ke kantong, tas, dan bermuara di rumah  mereka. Tidak ada kata berbagi.
Berbicara soal berbagi, jangankan Korsel—yang notabene berpenduduk atheis banyak—di Indonesia saja, dengan mayoritas penduduk Muslim, perjalanan atau perputaran uang masih belum merata. Berarti manusia beragama tidak menjamin kesejahteraan, ya. Manusia tetaplah  manusia. Bisa jadi hewan yang liar dan agresif serta angkuh, bisa jadi tumbuhan yang hanya diam di tempat ketika ketidakadilan menghempas hak sesamanya. Lantas, dimana nilai kemanusiaan itu hidup?
Ini hanya masalah buruh kerja. Manusia yang bekerja untuk menghidupi dirinya dan keturunannya. Jika tidak, mereka akan mati dan punah. Hanya seperti itu. Bekerja, dapat gaji berupa uang, ditukar dengan makanan, dimakan, kenyang, bekerja lagi, dan begitu seterusnya. Belum lagi ditambah beli pakaian untuk menutup tubuh, memperbaiki tempat tinggal agar tidak sakit dan  mati, juga memenuhi nutrisi otak dengan belajar—setidaknya begitulah kehidupan primer.
Sekunder?  Tersier? Jangan ditanya. Ini hanya berlaku untuk mereka yang pintar menimbun uang. Ah, sudahlah. Sepertinya saya menulis terlalu “kesana-kemari”. Tentang manusia atas kemanusiaan; terlalu luas. Terlalu kompleks. Terlalu rumit. Terlalu membosankan. Karena, toh, akan tetap seperti itu. Skenario Tuhan masih akan berlanjut hingga ujung waktu memangkas gelagat seluruh umatNya. Dan saya semakin merasa tidak waras dengan realita kemanusiaan ini tak mampu sepenuhnya saya tuangkan ke dalam tulisan.

Sabtu, 14 November 2015

Semua Itu Hanya Alasan (!)

Tuhan, betapa ide di kepala telah menumpuk. Tapi, ya.. ketekunan memang sulit. Susah! "Susah"? Benarkah susah? Awalnya memang saya berfikir demikian karena untuk menuangkan ide yang cantik dan runut tidaklah seperti mengurutkan angka-angka di atas meja. Untuk mendapatkan tulisan berkualitas, ide dan cara menulis haruslah sejalan. Bisa jadi sebuah tulisan memuat ide yang keren, namun hal tersebut urung tersampaikan dikarenakan cara menulis yang buruk. Akan tetapi, entah mengapa, jika cara menulis telah lancar dan kece, maka ide sesederhana apapun menjadi indah dan masuk akal.
Saya teringat Seno Gumira Ajidarma. Tulisan-tulisannya begitu sederhana dan menyentuh. Betapa ia tidak kehabisan ide untuk dipindahkan ke atas kertas tulis. Tentu keahlian tersebut tidak didapat secara instan. Proses keras dibarengi dengan progres yang tekun telah mengantarkannya ke tahap "menulis indah dan damai" (ini hanya istilah saya saja).
Lantas, apa korelasi antara kisah tersebut dengan judul saya di atas? tentu ada. Guru kece saya, Kiki Sulistyo, selalu menekankan kami untuk praktik menulis setiap hari. Membiasakan diri menulis setiap hari adalah salah satu cara untuk mencapai titik menulis indah dan damai. Hahahaa...
Hei, meski terkesan ringan dan bercanda, tips itu benar adanya. Dan itulah yang susah dijalankan. Berbagai alasan terlontar untuk membenarkan ketidaksempatan saya untuk menulis setiap hari. Padahal ada saja yang harus ditulis; selain skripsi tentunya. "Tulislah apapun itu," kata Mas Kiki. Nah, kebanyakan karena teknik menulis yang kurang pengayaan, maka tulisan saya hanya itu-itu saja. Berbagai ide keren menjadi biasa saja karena penyampaiannya monoton.
Alasan yang sibuk, tidak sempat, laptop rusak, malas, sedang lelah, sedang membaca buku lain, susah untuk diterapkan setiap hari, sedang fokus skripsi, blablablaa... sebenarnya hanyalah alasan. Memang kesusahan tidak bisa dipungkiri, namun hal konyol itu sebenarnya mampu diatasi dengan sedikit paksaan. Lihatlah bagaimana N. Riantiarno memaksa dirinya untuk menulis satu naskah dengan kurun waktu berkala. Lihat juga Putu Wijaya yang tetap kekeuh menuangkan isi kepalanya meski saat sedang sakit. Meski harus melisankan idenya, dibantu sang isteri untuk mengetik, ia tetap berkarya hingga kini. Mereka hanyalah secuil penulis tua yang tetap menjaga semangat menulisnya. 
Sekarang, bercerminlah, penulis muda. Apakah kau telah pantas menyebut dirimu seorang penulis? Dengan semangat sempit bin seiprit, tidakkah kau malu memanjakan rasa malasmu untuk menyia-nyiakan ide di kepala? Sebelum semua itu terkulum alasan dan akhirnya menjadi debu yang tersapu umur, alangkah baiknya segera ubah diri. Paksa tulis apapun yang perlu setiap hari! PAKSA!

Kamis, 12 November 2015

Should I Get Lost?

Setelah mengeluh dengan cantik, saya merasa ingin pergi dari pulau ini. Entah apa gerangan yang hinggap di otak, tapi saya serius ingin pergi. Pergi mencari hal baru, suasana baru, teman baru, kehidupan baru, bersama orang-orang baru. Hal ini jelas penting karena saya merasa isi kepala saya jalan di tempat. Saya tak lagi mampu menelurkan ide-ide segar nan bernutrisi yang nantinya saya olah menjadi tulisan sehat bin bermanfaat.
Dengan  umur matang, emosi dan kedewasaan seseorang tak selamanya berbanding lurus dengan itu. Saya merasa semakin seperti anak kecil. Anak kecil yang liar. Berlari membawa sepeda dengan tujuan "semau gue". Berharap menemukan sejuput ilmu dari gudang pengalaman. Lantas, saya mulai berfikir, yang membedakan kita semua bukanlah postur tubuh melainkan usia. Hanya usia. Segi sikap dan sifat, semua orang dari segala umur masih bisa bertingkah sama. Hanya keluhan-keluhan yang membuat topiknya menjadi berbeda. Tentang mimpi-mimpi, cita-cita, cinta, pujaan, segalanya mirip dan nyaris sama.
Jika demikian, apa yang sedang tertulis dan tertuang ini hanyalah sampah sisa-sisa mimpi anak kecil yang ingin segera melang-lang buana. Otaknya sedang butuh bacaan waras. Ia sedang mual dengan rutinintas yang dijalaninya sekarang ini. Menyedihkan. Obatnya hanya satu: tidur di pangkuan Tuhan.

Sabtu, 24 Oktober 2015

Buku-buku Antologiku

Menulis sejak 2012 bersama Komunitas Akarpohon Nusa Tenggara Barat (NTB), membuat saya kian fasih mengasah bakat dan mimpi yang telah ada sejak kecil. Pencapaian yang masih seumur jagung ini pun akhirnya membuahkan beberapa antologi puisi. Semacam kumpulan tulisan bersama kawan-kawan penulis, begitu.
Saya sangat berterima kasih kepada tangan-tangan yang turut membantu. Tuhan pun masih setia menggenggam dan merajut mimpi umat-Nya ini. Sekedar mengenang perjalanan kepenulisan saya, inilah hasilnya: 
  1. Antologi Puisi 100 Penyair Perempuan (2013)
    Meski buku ini tak sampai di tangan karena saya tidak hadir dalam acara penerbitan perdananya di Jakatra sana, saya cukup bangga. ssttt, dari sekian banyak, puisi saya ternyata hanya satu. hahaa... namun tetap saja itu adalah torehan proses yang menyenangkan karena satu puisi itu justru membuat saya secara otomatis menjadi anggota Komunitas Penulis Perempuan Indonesia (KPPI).                                                                                                                                            
  2. ISIS dan Musim-musim; Antologi Puisi 17 Penyair Indonesia Timur (2014)
    Ini buku pertama yang hadir di rak buku saya! ada dua kiriman buku, satu saya putuskan untuk menaruhnya di Sekretariat LPM Pena Kampus. Betapa bangga saya bisa menyumbang buku walaupun hanya satu. Melalu buku ini, saya mendapat banyak kawan baru. Salah satunya adalah Kakak Diana yang tinggal di Sumba. Kami cukup akrab saat membicarakan puisi dan sastra. Saya berencana ingin berkunjung ke Sumba setelah wisuda nanti. Bukankah berteman akan lebih dekat jika saling bertatap muka? cannot wait to do that!                                                              
  3. Antologi Puisi Penyair Perempuan Nusa Tenggara Barat (2015)
    Ayaai.... ini buku produksi Akarpohon pertama saya. Setelah ini, insyaAllah saya akan merilis buku puisi tunggal pertama saya di 2016 mendatang. Diproduksi oleh Akarpohon tentunya ^_^                                                                                                            
  4. Kembang Mata; Puisi Pilihan Suara NTB 2014 (2015)
    Well, saat postingan ini ditulis, buku ini belum sampai ke tangan saya. Akan tetapi saya sudah melihatnya secara langsung dari salah seorang  kawan yang juga namanya ada dalam antologi ini. Terima kasih untuk Mas Kiki Sulistyo yang selama bertahun-tahun telah berhasil memperjuangkan Kolom Satra dalam Koran Harian Suara NTB. Hingga akhirnya kami di daerah ini semangat membangkitkan ruh sastra di koran lokal kami. Dan, inilah hasil apresiasinya. Alhamdulillah..
 Nah, itulah awal kisah dalam meniti mimpi bersama tinta dan bulir-bulir pikiran.  Semoga saya tetap gila untuk menghasilkan karya yang lebih berkualitas. Aamiin..

Senin, 19 Oktober 2015

Hai, Semester 9! stay smart, please..

Bukan alasan juga (sebenarnya) untuk saya menikmati tahun keempat saya di Kampus Putih ini. Terlampau nikmat menjajaki dunia kerja membuat tugas akhir itu menjani berjamur di sudut meja kamar. Ditambah dengan dosen pembimbing yang super duper perfect in every ways, it makes me stuck in every ideas. Too much worry and less steps.
Saya telah banyak menyusun langkah kedepan setelah wisuda kelak. Tawaran kerja makin banyak, pemasukan pasang surut, kegiatan di Pena pun tak berubah. Nah, saya pun suatu hari bertanya dalam diri, "You never walked at all. You stay at your spot. Getting worse, smartless, no reading, no writing. What the hell are you doing?!"
Yap, and I am feeling useless, even for my own self. Saya pun memutuskan untuk menghilang sejenak dari kehidupan kampus. Pergi  berjalan-jalan bersama kekasih dan kembali menyusun rencana. Hanya rencana. Sekali lagi, saya tidak berjalan maju ataupun mundur. Lantas, penghilangan saya tidak berhasil; harus apalagi? Kekasih saya menyarankan untuk napak tilas, siapa saya dan bagaimana seharusnya saya hidup (sekarang ini).
I lost many friends. I was busy with my Pena Kampus. Serupa sempurna namun cacat fatal: saya menjalani hidup yang tak utuh. Menyelesaikan masalah orang namun lupa akan masalah sendiri. Tak berani pergi dari zona nyaman karena takut dilupakan. Pengecut. Haruslah saya berani bergerak untuk diri sendiri agar tak lupa arah. Saya harus kembali menulis meski sekedar mencurahkan reremah kesakitan dan hal-hal yang tak runut. Agar hati tenang. Agar saya kembali menjadi siapa saya sesungguhnya. Membacalah. Menulislah, Ilda! stay smart ^_^

Minggu, 23 Agustus 2015

MEA 2016: Izinkan Saya Bunuh Diri Sekarang Saja



Adakah yang menyimpan nomor telepon presiden Indonesia? Adakah yang menyimpan surat cinta untuknya namun tak kunjung mengirim karena takut dipenjara? Adakah yang masih mengira ini zaman menakutkan? Ada. Saya. Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris semester akhir yang sedang duduk ternganga menonton siaran berita; pemerintah pusat akan menghapus kewajiban berbahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing dengan alasan dapat mengganggu iklim investasi di Indonesia.
Sungguh itu bukan alasan yang logis, mengingat upaya para pemikir negara yang sempat mencetuskan untuk menasionalkan Bumi Pertiwi. Potong segala akses luar negeri dalam penjamahan sumber daya Indonesia. Serahkan segalanya pada masyarakat pribumi.
Belum puaskah ia belajar dari ibunya—dengan gincu yang merona di ujung moncongnya—bagaimana cara menjual negaranya sendiri dengan adil dan makmur (bagi golongannya)? Masih kurangkah kesengsaraan masyarakat Indonesia hingga 70 merdeka ini? Atau ia takut hasil belajar bahasa asingnya sia-sia karena seluruh tenaga kerja asing telah fasih berbahasa Indonesia? Konyol. Miris.
Hal ini sontak membuat otak saya mendidih. Belum lama ini, mungkin satu bulan yang lalu, saya dan kawan-kawan Pena Kampus mendiskusikan sebuah opini yang ditulis oleh seorang pakar bahasa—yang saya lupa siapa namanya—tentang kecenderungan masyarakat urban di ibu kota yang bangga mendengar anaknya fasih berbahasa Inggris di keseharian mereka. Bahkan mereka mengaku bahwa bahasa Indonesia kini tidak perlu ditekankan sebagai bahasa pertama karena kita akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). “Bagaimana mungkin kami mampu bertahan dengan generasi yang tak pandai matematika dan bahasa Inggris?” penggal kalimat dalam opini tersebut (seingat saya).
Lah, apa salah MEA sehingga dijadikan tameng ambisi orangtua dalam menjejali anak-anaknya dengan bahasa orang asing? Sedang nutrisi bahasa sendiri tidak diberikan. Serupa si anak dicekoki susu formula tanpa tahu bagaimana nikmatnya air susu ibunya sendiri. Tenanglah, ini sekedar celotehan otak saya yang masih tidak habis pikir tentang kebijakan tersebut. begitu banyak ketimpangan yang terjadi, tidak sedikit kenyataan yang paradoks. Mengapa memilih kebijakan demikian?
Memberi ruang selebar mungkin kepada investor diharapkan mampu membantu negara dalam menggarap sumber daya alam. Alasannya, karena kita ini belum punya alat yang memadai seperti para investor yang negaranya (katanya) kaya-raya (padahal juga punya hutang berlimpah). Alasannya, karena sumber daya manusia kita masih belum ahli. Padahal di perusahaan asing, bahkan sampai iklan-iklannya di televisi pun, memperlihatkan bagaimana tangguhnya pekerja Indonesia yang ada di kantor mereka. maka pertanyaannya, jika mereka mampu, kenapa harus datangkan orang asing?
Masalah modal? Saya yakin Indonesia tidak kekurangan uang. Apalagi kekurangan sapi sampai harus impor. Maaf, ini hanya celotehan saya. Sekali lagi, celotehan seorang (calon) warga sipil yang awam akan pengetahuan ekonomi dan kenegaraan. Tapi jika orang seperti saya saja berpikiran seperti ini, bagaimana dengan inaq-inaq atau amaq-amaq yang kalau ditempatkan di piramida makanan, mereka bisa jadi adalah pengurai sekaligus produsen. Demokrasi kocar-kacir.
“Uang”, di Indonesia, adalah sebuah benda yang menjadi petaka ketika disandingkan dengan kata “hutang”. Namun menjadi sebuah anugerah ketika ditempelkan dengan kata “gaji”. Terlepas dari itu, uang di Indonesia sebenarnya tidaklah kurang; dengan catatan, mereka berputar! Bukan berputar seperti dzikirnya orang-orang Turki, namun berputar dari masyarakat satu ke masyarakat lainnya melalui transaksi ekonomi. Sehingga ia akan seperti air yang mengalir ke sudut-sudut serupa sistem irigasi di sawah.
Akan tetapi, kenyataannya, uang sekarang banyak terbendung di rumah-rumah dinas yang sangat mewah. Mereka membangun bendungan dengan susah payah sehingga sulit untuk berbagi ketika air (baca: uang) mengucur ke bendungan tersebut. Setiap tahun umat muslim di Indonesia membayar zakat tak kurang dari Rp.20.000,-/orang. Dengan mayoritas pemeluk agama Islam, rasanya agak keterlaluan konyolnya jika di hari lebaran masih saja ada masyarakat yang kelaparan dan duduk bersama keluarga dengan keadaan kompor dingin. Sedingin hati yang tersembunyi dibalik kata “Menyucikan diri.” Maka artinya uang di Indonesia tidak berputar sesuai dengan kodratnya. Ups, ini hanya pemikiran bodoh saya, loh. Dan hal ini berlaku juga untuk sapi-sapi di Indonesia. Hai sapi-sapi! Masih betah bersembunyi? Tidakkah kalian bosan terus-terusan dianaktirikan? Mereka lebih menyukai daging impor!
Baiklah, saya sepertinya terlalu berhalusinasi dan ngelantur kesana-kemari. Kembali ke pokok bahasan: bahasa. Hal sederhana yang tercuat di kepala saya adalah bagaimana bisa Indonesia yang rajin berkunjung ke negara-negara antar benua untuk studi banding ini tidak belajar dari negara yang dikunjungi? Hei, kita adalah negara terbesar dan tercantik sumber daya alamnya di lingkup ASEAN! Kenapa harus menundukkan kepala di depan mereka yang sebenarnya mengemis uang di negara kita? Mereka rela mempelajari bahasa kita demi mengeruk harta yang kita punya. Saya yakin si presiden sadar akan hal ini, tapi mengapa? Mengapa, pak?
Pun, agak ketulenan konyolnya ketika ini menjadi suatu kebanggaan bagi sebagian orang. Saya berkali-kali bertemu warga asing yang datang ke Lombok yang belajar bahasa Indonesia untuk kepentingan penelitian. Mereka legowo untuk belajar demi sebuah tujuan. Lantas mengapa kita harus “mengalah”? Kalau tidak salah ingat, saya pernah membaca berita bahwa Indonesia akan menjadi bahasa resmi dalam MEA. Nah, kemana itu? Bahkan Thailand dan Myanmar telah menobatkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua demi MEA. Mengapa kita harus tunduk?!
Entah, mungkin ini hanya ketakutan saya yang berlebihan. Biarlah. Saya takut bangsa Indonesia lambat laun akan kehilangan jati dirinya atas kebijakan ini. Masyarakat tidak lagi bangga berbahasa Indonesia, tidak lagi mau memperkenalkan budaya asli Indonesia—dan hanya akan mengamuk brutal marah-marah saar budaya itu diterapkan oleh Malaysia. Sebuah kenyataan ironi. Seperti meludah ke atas. Sekarang, apa yang diinginkan bangsa ini setelah menyepakati penjajahan modern  macam itu? Apa lagi yang harus dibanggakan? Saya jadi ingin bunuh diri sekarang saja; karena sebagai guru Bahasa Inggris yang bercita-cita mengajar BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing), saya merasa akan dibunuh pada 2016 mendatang dengan pedang berlabel MEA. Salam.

Minggu, 19 Juli 2015

Kreativitas Menulis Siswa: Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari



Senin yang bijaksana untuk merefleksikan pendidikan dewasa ini. Seperti yang sudah-sudah, kegiatan menulis masih saja menjadi momok yang berat untuk dijadikan suatu budaya positif; baik di kalangan pekerja maupun di kalangan pelajar.
Membaca berita Suara NTB (8/6)—agak telat, memang—dalam Kolom Pendidikan: “Rendah, Kreativitas Menulis Siswa”, membuat saya kembali meringis akan kenyataan yang masih saja dianggap biasa oleh masyarakat, terutama para pengajar. Sudah banyak penulis, pemerhati pendidikan, sastrawan, dan kelompok masyarakat lainnya yang menyuarakan budaya menulis. Banyak mengadakan pelatihan serta lomba-lomba menulis. Namun hal tersebut dirasa masih kurang greget untuk membangkitkan kreativitas menulis siswa.
Senada dengan ucapan Kepala Kantor Bahasa NTB yang terlampir dalam berita tersebut, Dr. Syarifudin, mengatakan bahwa kemampuan menulis siswa berbanding lurus dengan kemampuan mengajar Bahasa Indonesia para pengajar di sekolah. Jika dipantau dengan teliti, hal tersebut benar adanya.
Banyak guru yang menuntut siswa di kelas harus pandai menulis esai, cerita pendek (cerpen), puisi, resensi buku, dan banyak lagi jenisnya. Akan tetapi mereka lupa bahwa keteladanan justru muncul dari mereka. Sehingga secara tidak langsung, kinerja guru dalam mengajar tercermin jelas dari belum pandainya para siswa menuangkan ide-ide mereka ke dalam tulisan karena guru mereka pun mencontohkan hal yang sama.
Fungsi LPTK Dipertanyakan
   Di sini, saya teringat akan lembaga tempat saya kuliah yang notabene adalah gudangnya pencetak guru-guru. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) adalah sebuah lembaga yang bertujuan mencetak tenaga pendidik. Dalam lingkupnya, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) di setiap Perguruan Tinggi (PT)—baik negeri maupun swasta— dan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), juga Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP), bertanggung jawab penuh dalam membentuk calon-calon guru di negeri ini.
Lantas, yang menjadi pertanyaannya adalah: Apakah kurikulum di LPTK tersebut telah memenuhi kebutuhan para calon guru untuk mengajar siswa kelak? Kurikulum LPTK dievaluasi setiap lima tahun sekali. Para ketua jurusan dan ketua program studi (prodi) bertugas mengkaji ulang setiap kurikulum yang telah mereka jalankan; apakah telah sesuai dengan kebutuhan masa depan ataukah telah ketinggalan zaman.
Sebagai contoh saat ini, tujuan guru Bahasa Indonesia untuk membuat siswanya mampu menulis ternyata belum ter-cover oleh LPTK. Bukti nyatanya adalah berita Suara NTB halaman 13 ini. Jikalau sudah tercapai, tentu wartawan tidak perlu bersusah payah meliput hal tersebut. Oleh karena itu, rasanya kita semua—calon guru, guru, pihak pengelola kurikulum, serta masyarakat—perlu bekerjasama dalam meloloskan tujuan mulia ini: meningkatkan kreativitas menulis siswa untuk masa depan bangsa yang lebih baik. Menumbuhkan budaya komuniskasi intelektual di kalangan terpelajar seperti harapan Ki Hajar Dewantara kala memperjuangkan pendidikan Indonesia.
Terlebih, kini kita perlu bersorot ke calon guru semasa kuliah. Bagaimana mereka mampu memantapkan diri untuk kelak menjadi seorang guru. Menyalurkan ilmu—dalam Islam—adalah amal jariyah, yang artinya akan terus mengalir hingga penyalur ilmunya wafat. Hal tersebut penting dilakukan karena dampak yang akan didapat sangatlah besar. Bisa kita bayangkan jika LPTK hanya menjadi “batu loncatan” untuk mendapatkan gelar, sehingga yang terisi di lembaga ini hanyalah orang-orang yang sama sekali tidak ada niatan  menjadi guru.
Maka wajarlah jika cetakan yang keluar dari sini adalah mereka yang tidak mau tahu tentang materi ajar, metode didik, serta hal-hal lainnya yang menjadi poin penting dalam mendidik siswa. Terlebih mengajarkan hal yang sifatnya praktik: menulis, olahraga, musik, tata krama, dan lain-lain. Demikian daripada itu, perlu dipertegas oleh pihak pengelola LPTK untuk menyaring ketat calon mahasiswa yang memang bercita-cinta menjadi guru. Jika hal tersebut tidak mampu dilakukan oleh LPTK, maka keberadaannya perlu dipertanyakan.
Sebuah Praktik mengalahkan 1000 Teori
Salah seorang kawan saya—sarjana pendidikan—kini mengajar Bahasa Indonesia di sebuah sekolah favorit di Selong Lombok Timur. Ia, selain sebagai seorang guru, juga dikenal sebagai seorang penulis. Banyak tulisannya yang sering dimuat di media cetak; antara lain opini, esai, dan cerpen. Saat  masih menjadi seorang mahasiswa, ia pun rajin menulis naskah lakon.
Saya sangat mengagumi setiap tulisannya. Di sekolahnya kini pun ia aktif membina kegiatan siswa di bidang teater dan kepenulisan. Saya berfikir, hal tersebut tentu tidak ia dapatkan dengan proses yang sebentar. Rekam jejaknya dalam menulis membuatnya menjadi orang kepercayaan dalam membina siswa. Di kelas pun ia disegani karena terbukti tidak sekedar mengajar menulis, tapi juga mencontohkan kepada para siswa bagaimana menulis yang baik.
Inilah goal yang diinginkan pendidikan kita. Seorang individu guru yang mampu menjadi contoh dari tujuan pendidikan. Akan tetapi, tidak kita pungkiri, masih banyak gkuru yang meremehkan pendidikan. Sekedar masuk kelas, menjelaskan materi sesuai dengan isi buku, memberi tugas, lalu pulang. Tidak ada bekas ilmu kehidupan yang disampaikan secara cair dan terbuka. Semua berpatokan pada buku. Tidak ada tutorial yang mampu mengajarkan seseorang untuk mahir dalam satu kali praktik. Seribu teori menulis yang dijabarkan oleh para guru akan lenyap dengan mudah ketika guru tersebut tidak mampu menunjukkan satu praktik pun kepada siswanya.
Lain halnya jika menulis diajarkan dengan lebih mengedepankan praktik menulis setiap jam ajarnya. Siswa yang setiap hari membaca tulisan milik gurunya, apalagi tulisan yang terbit di media cetak, itu akan menjadi pecut sakti memotivasi mereka untuk ikut menulis. Percaya atau tidak, para siswa tidak akan pernah melupakan guru yang telah menginspirasi mereka dalam belajar. Guru yang telah memberikan pelajaran hidup yang aplikatif tidak akan pernah hilang dari hati siswanya. Mereka akan terus menyelimuti guru mereka dengan rasa terima kasih juga doa-doa.
Akhir dari tulisan ini, saya menyimpulkan bahwa tugas guru sebagai seorang pendidik tidak boleh dianggap remeh. Kemampuan mendidik harus ditempa sejak menjadi mahasiswa di LPTK. Pihak LPTK pun bertanggung jawab atas isi kurikulum yang menjadi bekal calon guru dalam mendidik siswanya kelak. Harus ada keselarasan di antara keduanya. Oleh karena itu, jika guru telah mampu membangun budaya menulis kreatif dalam dirinya, maka tidak akan sulit bagi mereka untuk menempa siswa-siswa mereka. Senada dengan pepatah, “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.”