Tuhan, betapa ide di kepala telah menumpuk. Tapi, ya.. ketekunan memang sulit. Susah! "Susah"? Benarkah susah? Awalnya memang saya berfikir demikian karena untuk menuangkan ide yang cantik dan runut tidaklah seperti mengurutkan angka-angka di atas meja. Untuk mendapatkan tulisan berkualitas, ide dan cara menulis haruslah sejalan. Bisa jadi sebuah tulisan memuat ide yang keren, namun hal tersebut urung tersampaikan dikarenakan cara menulis yang buruk. Akan tetapi, entah mengapa, jika cara menulis telah lancar dan kece, maka ide sesederhana apapun menjadi indah dan masuk akal.
Saya teringat Seno Gumira Ajidarma. Tulisan-tulisannya begitu sederhana dan menyentuh. Betapa ia tidak kehabisan ide untuk dipindahkan ke atas kertas tulis. Tentu keahlian tersebut tidak didapat secara instan. Proses keras dibarengi dengan progres yang tekun telah mengantarkannya ke tahap "menulis indah dan damai" (ini hanya istilah saya saja).
Lantas, apa korelasi antara kisah tersebut dengan judul saya di atas? tentu ada. Guru kece saya, Kiki Sulistyo, selalu menekankan kami untuk praktik menulis setiap hari. Membiasakan diri menulis setiap hari adalah salah satu cara untuk mencapai titik menulis indah dan damai. Hahahaa...
Hei, meski terkesan ringan dan bercanda, tips itu benar adanya. Dan itulah yang susah dijalankan. Berbagai alasan terlontar untuk membenarkan ketidaksempatan saya untuk menulis setiap hari. Padahal ada saja yang harus ditulis; selain skripsi tentunya. "Tulislah apapun itu," kata Mas Kiki. Nah, kebanyakan karena teknik menulis yang kurang pengayaan, maka tulisan saya hanya itu-itu saja. Berbagai ide keren menjadi biasa saja karena penyampaiannya monoton.
Alasan yang sibuk, tidak sempat, laptop rusak, malas, sedang lelah, sedang membaca buku lain, susah untuk diterapkan setiap hari, sedang fokus skripsi, blablablaa... sebenarnya hanyalah alasan. Memang kesusahan tidak bisa dipungkiri, namun hal konyol itu sebenarnya mampu diatasi dengan sedikit paksaan. Lihatlah bagaimana N. Riantiarno memaksa dirinya untuk menulis satu naskah dengan kurun waktu berkala. Lihat juga Putu Wijaya yang tetap kekeuh menuangkan isi kepalanya meski saat sedang sakit. Meski harus melisankan idenya, dibantu sang isteri untuk mengetik, ia tetap berkarya hingga kini. Mereka hanyalah secuil penulis tua yang tetap menjaga semangat menulisnya.
Sekarang, bercerminlah, penulis muda. Apakah kau telah pantas menyebut dirimu seorang penulis? Dengan semangat sempit bin seiprit, tidakkah kau malu memanjakan rasa malasmu untuk menyia-nyiakan ide di kepala? Sebelum semua itu terkulum alasan dan akhirnya menjadi debu yang tersapu umur, alangkah baiknya segera ubah diri. Paksa tulis apapun yang perlu setiap hari! PAKSA!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar