Minggu, 27 Agustus 2017

LOWONGAN PEKERJAAN DAN STANDAR GANDA INTELEKTUALITAS DI MASYARAKAT



              Salah satu kegiatan yang masih wajib dilakukan manusia adalah bekerja. Entah bekerja menggunakan ototnya atau otaknya. Kedua-duanya bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah. Akan tetapi, sebagian besar penduduk di bumi lebih suka bekerja menggunakan otot. Mari kita persempit lagi luas jumlah penduduknya menjadi seputaran Pulau Lombok di Indonesia. Masih juga otot menjadi primadona. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya lowongan pekerjaan di bidang tersebut.
            Dewasa ini, dengan semakin canggihnya teknologi yang berkembang—semacam internet—mencari pekerjaan bukan lagi hal yang sulit. Ada banyak informasi lowongan pekerjaan yang bisa ditemukan di sana. Di internet, mesin pencari menawarkan jutaan situs perusahaan dengan lowongan sesuai kebutuhan. Terlebih lagi dengan hadirnya sosial media yang semakin terorganisir memudahkan kita semua untuk mengklasifikasi informasi apa saja yang kita butuhkan. Ada sebentuk grup dan komunitas yang bisa diikuti jika ingin mencari informasi dan berdiskusi. Salah satunya adalah grup informasi lowongan pekerjaan.
            Suatu hari, saya masuk ke akun sosial media milik pribadi dan berselancar di salah satu grup informasi tersebut. Setiap hari hampir ada puluhan lowongan pekerjaan di seputaran Pulau Lombok. Itu baru di satu grup. Ada banyak grup serupa di sosial media yang sama. Bisa dibayangkan betapa terbantunya kita semua dengan adanya jaringan ini. Melihat banyaknya informasi, saya membacanya dengan seksama. Ada lowongan menjadi kasir toko kelontong, supir sebuah perusahaan kecil, guru di lembaga bimbingan belajar (bimbel), pramusaji dan koki di restoran, dan masih banyak lagi.
            Lowongan pekerjaan di sana tidak hanya sebatas dari perusahaan swasta, tapi juga dari badan usaha milik negara (BUMN) dan tidak jarang juga ada informasi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Dalam lowongan pekerjaan tersebut terdapat syarat-syarat yang harus dimiliki calon pekerja. Salah satunya adalah standar lulusan pendidikan. Tapi ada juga yang tidak mencantumkannya—dengan asumsi pekerjaan tersebut lebih mementingkan keahlian dan pengalaman calon, atau memang itu adalah pekerjaan yang bisa dilakukan siapa saja.
            Standar lulusan pendidikan yang banyak dicari adalah Sarjana Strata 1 (S1) dan sekolah menengah atas (SMA) sederajat. Dan, benar adanya bahwa kedua lulusan ini mendominasi status pendidikan pekerja di Kota Mataram. Namun dari keduanya, lulusan yang paling banyak dicari adalah SMA sederajat. Hal ini cukup mengganggu pikiran saya. Bukan hal yang salah, memang. Akan tetapi, tidak bisa kita pungkiri bahwa hal ini memiliki dampak besar bagi generasi muda; Yakni keinginan besar untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Tujuan Manusia Bersekolah
            Sekolah, kata orang dulu, disebut sebagai cara manusia untuk menuntut ilmu. Mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Jika sudah menempuh tangga pendidikan yang tinggi, pada akhirnya, manusia akan menjadi makhluk dengan tingkat intelektual tinggi pula. Gelar yang didapatkan setelah lulus sekolah adalah bukti tingkat intelektual tersebut. Idealnya demikian.
            Secara kontras, Pulau Lombok saat ini tidak memandang pendidikan seperti itu. Saya mempersempit lingkup dengan pandangan demikian karena dalam grup lowongan pekerjaan di sosial media tersebut diperuntukkan untuk masyarakat Pulau Lombok. Sekolah dan tingkat intelektualitas tidak lagi memiliki benang merah yang terang warnanya dan dicari-cari. Justru sekolah dan pekerjaanlah yang dicari masyarakat di sini.
            Mari kita jabarkan; Sejak kecil, sebelum berangkat ke sekolah kita dibekali kalimat, “Belajar yang pinter biar lulus. Terus dapet kerja.” Mungkin ada juga yang membawa kalimat, “Belajar yang tekun supaya ilmunya berkah,” sebagai bekal. Itu bagus. Tanpa disadari anak-anak berangkat sekolah dengan bekal pikiran mereka masing-masing.
            Setelah lulus sekolah, mereka “dituntut” untuk mencari penghidupan yang layak. Di sini, standar manusia hidup layak adalah terpenuhinya kebutuhan primernya—disusul dengan sekunder dan tersier. Semuanya. Dan, semuanya dapat dipenuhi dengan memiliki alat tukar: uang. Cara mendapatkan uang adalah dengan bekerja. Maka dicarilah sebuah pekerjaan yang memberi uang sebagai upah.
            Bisa jadi bekal pikiran masing-masing yang dibawa anak-anak semasa sekolah adalah “Bapak Ibu saya ini orang ndak mampu. Saya harus bantu biar bisa makan,” ditambah dengan bekal orangtuanya pula yang mengekor di belakang pikirannya. Maka terciptalah angan-angan setelah lulus sekolah harus cari kerja. Ditambah lagi dengan lingkungan sosial yang berbondong-bondong menyuntikkan stigma macam itu ke urat nadi masing-masing. Sehingga tradisi “Usai sekolah harus cari kerja” secara besar-besaran mendarah daging. Maka, tujuan manusia bersekolah adalah bukan untuk menuntut ilmu semata, melainkan untuk mendapat pekerjaan.
            Lombok masih masuk dalam kategori masyarakat menengah ke bawah dan masyarakatnya didominasi oleh golongan pekerja otot. Dalam dunia kerja, pekerja otot menerima upah tidak lebih banyak dari pekerja otak. Hal ini menjadi penjelas atas kategori di atas. Mengapa hal ini bisa terjadi?
            Pekerja otot di sini tidak hanya mereka yang bekerja mengandalkan fisik semata. Tetapi juga mereka yang bekerja mengoperasikan sesuatu tanpa perlu melakukan inovasi secara berkala. Pegawai. Pelayan. Ini bisa dikerjakan oleh siapa saja asal berpengalaman. Karena tidak dituntut untuk menciptakan inovasi, maka pekerjaan yang dilakukan kerap sama saja setiap hari. Inilah yang menjadi alasan logis pekerja otot mendapat upah dengan jumlah di bawah pekerja otak.
            Pekerja otak dituntut untuk berinovasi secara berkala. Peneliti. Arsitek. Hal ini baru dapat dilakukan oleh mereka yang telah menempuh pendidikan di atas SMA. Meski kenyataannya di beberapa kasus hal ini tidak selalu benar—semisal sebagai penulis atau guru di pondok pesantren, namun istilah “Gelar membuktikan tingkat intelektualitas” masih berlaku di masyarakat. Standar ganda ini sungguh merepotkan! Sekolah, pengalaman, pengetahuan, gelar akademik, intelektualitas, inovasi, stigma masyarakat, adalah titik-titik gumpalan dalam benang merah yang saling berhubungan.
            Dari kekusutan ini, solusi yang bisa ditawarkan kepada masyarakat—khususnya generasi muda—adalah tetap lanjutkan sekolah! Peluang beasiswa dari segala penjuru dunia saat ini sudah terbuka lebar untuk kita semua. Kondisi ekonomi yang buruk bukan lagi alasan untuk tidak melanjutkan sekolah. Pekerjaan tidaklah sulit ditemukan dan diciptakan jika kita sudah memiliki bekal di dalam diri. Menciptakan keseimbangan antara pekerja otot dan pekerja otak di pulau ini sangat diperlukan untuk meningkatkan status masyarakat; Beranjak menjauh dari kategori menengah ke bawah menjadi menengah ke atas.
Hal ini sangat mungkin terjadi andai masyarakat mau menciptakan lingkungan sadar pendidikan. Karena anak-anak sekolah tidak akan mampu melanjutkan sekolah jika orangtua, guru, masyarakat tidak mendukung. Dalam jangka panjang, lowongan pekerjaan akan makin beragam karena telah muncul inovator-inovator yang menciptakan dunia kerja baru. Mereka adalah generasi dengan intelektualitas tinggi. Generasi yang meretas standar ganda intelektualitas di masyarakat.

ILDA KARWAYU
Komunitas Akarpohon Mataram
(terbit di Harian Suara NTB, 26 Agustus 2017)

Jumat, 25 Agustus 2017

Mataram Undercover


Kota Mataram sedang menjahit pakaian “urban” untuk masyarakatnya. Gaya hidup dan pola pikir sedikit demi sedikit mulai berubah. Dimulai dari hadirnya fasilitas kendaraan umum berbasis dalam jaringan (daring/online), disusul dengan banjirnya pusat perbelanjaan mewah di beberapa titik, dan yang paling sedikit disadari perkembangannya: bertambahnya jumlah hotel.
Di beberapa kesempatan mengamati pergerakan kota sambil berkeliling jalan kaki, saya kerap teringat sebuah berita yang sempat membikin heboh kota tanpa sumber daya alam ini; Sejumlah hotel di Mataram diduga sediakan pekerja seks komersial (PSK). Kali ini, pikiran yang melayang ke berita itu disambut oleh pikiran lainnya. Ialah ingatan saya tentang buku Moammar Emka, “Jakarta Undercover”.
Dalam berita tersebut, tertulis pernyataan walikota Mataram bahwa tidak ada hotel yang melegalkan pengadaan PSK dalam usaha perhotelan mereka. Namun pada kenyataannya, Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan (Diskoperindag) dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) telah menjaring PSK berkedok partner song (PS). Hingga saat ini, saya merasa hal tersebut masih patut untuk menjadi sorotan agar masyarakat Kota Mataram tidak menutup  mata atau berpura-pura tidak tahu akan adanya pelanggaran tersebut.
Berkaca pada buku beraliran Lifestyle karya Moammar Emka—Jakarta Undercover—Mataram bukan tidak mungkin akan bernasib seperti ibu kota. Pada 2015 silam, Mataram sudah hampir dipenuhi oleh hotel-hotel baru; baik yang bertanda bintang maupun hanya selevel melati. Sekarang sudah 2017. Di sekitar jembatan di Jalan Majapahit pun sudah ada hotel; Dulu tidak ada. Dengan dalih Visit Lombok-Sumbawa 2013, rentang empat tahun ini, Mataram tak ubahnya lahan yang mulai dihiasi kotak-kotak rumah berwarna merah simbol hotel pada permainan monopoli, dipercantik dengan rumah-toko (Ruko), maka semakin minimalislah kota bervisi misi “Maju, Religius dan Berbudaya” ini.
Kehidupan urban seperti yang tergambar dalam buku tersebut ada karena fasilitas yang menunjang memang tersedia. Semakin tinggi mobilitas masyarakat—tubuh dan pikirannya nyaris sibuk di waktu yang sama, kebutuhan akan relaksasi tidak lagi mampu diatasi hanya dengan rekreasi  ke taman kota, pantai, atau bahkan mall (yang terkadang malah makin membuat pening). Maka tak heran jika ibu kota kita lambat laun menyuguhkan model “tempat hiburan” yang lain. Mereka butuh ketenangan dan privasi untuk mendapatkan sensasi relaksasi tinggi. Hal ini adalah lumrah di kalangan masyarakat urban. Mereka sudah penat bersinggungan dengan aktivitas kota yang ramai. Di mana mereka bisa mendapatkan ketenangan selain di tempat yang khusus untuk mereka? hotel. Tidak terjamah oleh keluarga apalagi orang lain.
Kota Mataram dewasa ini sedang berangkat menuju situasi demikian. Hotel tidak lagi menjadi tempat singgah para wisatawan. Sebuah berita yang—menurut saya—cukup berani dalam sebuah koran harian ini menjadi bukti bahwa industri hiburan malam mulai meretaskan “spora Jakarta” di Mataram. Toh Jakarta tempo dulu pastilah tidak seperti sekarang. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan jika Mataram akan menyusul.
Selain dari berita tersebut, pergaulan masyarakat Mataram mulai berbanding lurus dengan pertumbuhan hotel-hotel. Begitu juga dengan serangan globalisasi dari berbagai sisi: televisi, industri pariwisata (jika disikapi negatif), dunia maya, dan lain sebagainya. Suatu kemungkinan yang buruk dari segi  moral sangatlah mampu terjadi di sini.
Hotel, definisi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah bangunan berkamar banyak yang disewakan sebagai tempat untuk menginap dan tempat makan orang yang sedang dalam perjalanan. Maka sejatinya orang-orang yang singgah di hotel adalah mereka yang butuh tempat tinggal sementara ketika bepergian.
Boleh kita bertanya dalam diri sendiri atau bahkan sebagian orang di jalanan; apa pendapat mereka tentang hotel. Selaras dengan berita yang terbit, memang saat ini orang kebanyakan lebih melihat hotel sebagai tempat yang didominasi oleh aktivitas negatif, tempat hangout bagi orang-orang berduit, dan segala imajinasi mewah tentang gaya hidup kelas ibu kota.
Jika di ibu kota pergaulan bebas—yang melibatkan PSK—telah menjadi rahasia umum, atau bahkan “jajanan” lumrah bagi  masyarakat, maka perlulah kita menarik benang merah antara PSK dan hotel. Pasangan suami-isteri yang notabene sah-sah saja melakukan hubungan intim, tentu tak payah mencari tempat singgah sementara untuk itu. Lain halnya dengan industri ini. Rumah singgah sementara dijadikan pilihan untuk mengamankan diri. Selain bisa ditinggali hanya dengan hitungan hari bahkan jam, informasi keberadaan juga tidak begitu menjadi soal. Meski di setiap hotel berbintang, privasi pengunjung hotel menjadi nomor wahid. Bertolak belakang dengan hotel kelas melati yang sering dengan mudah dimasuki oleh Pol PP saat razia. Paradoks.
Seperti halnya prinsip ekonomi: semakin banyak permintaan pelanggan, semakin banyak pula prodak yang dipasok. Semakin banyak masyarakat yang membutuhkan hotel, semakin banyak bangunan tersebut dibangun. Akan tetapi pembangunan tersebut diikuti pula dengan kebutuhan yang lain—perempuan.

Perempuan Sebagai Komoditas
            Sedikit memutar ke dasar pembahasan, mari kita membahas mengapa PSK kerap dijadikan “bumbu” dalam setiap ramuan pergaulan masyarakat. Lihatlah setiap iklan di televisi. Alih-alih menampilkan sebuah produk yang berkaitan dengan perempuan, bahkan iklan cat tembok saja, pihak iklan “menggunakan” perempuan cantik nan seksi sebagai bintang iklan mereka. Sedikit tidak pastilah kita paham bahwa di kehidupan nyata, sangat jarang kita temukan—atau nyaris tidak ada—tukang cat tembok berjenis kelamin perempuan. Sehingga, dapat kita katakan dari sisi industri iklan, perempuan kerap dijadikan komoditas. Keindahan tubuhnya dipertontonkan untuk menarik pelanggan.
            Disadari atau tidak, kehadiran televisi masih menjadi panutan umum dalam kehidupan masyarakat. Efek visualisasi akan kemolekan perempuan membuat otak penonton sering salah fokus. Boro-boro memperhatikan produk iklan, penonton tentu secara alami lebih suka melihat yang indah-indah (baca: perempuan).
            Dari siklus menonton iklan televisi, terlebih program televisi lainnya yang saya rasa tidak perlu dibahas dalam tulisan ini, jelas sudah bahwa membuat perempuan menjadi PSK terasa biasa. Semakin dibiasakan, semakin dicari, semakin dibutuhkan, semakin dipertontonkan, maka tumbuhlah sikap “menyediakan PSK” oleh mereka yang sadar akan peluang ekonomi. Perempuan semakin tenggelam dalam air perasan komoditas. Pelakunya pun tidak hanya dari kaum adam saja, tetapi juga sesama kaumnya—bahkan lebih banyak.
           
Visi Misi Formalitas
            Setiap masalah tentu mengharapkan suatu solusi nyata. Sesuai dengan visi misi Kota Mataram yakni “Maju, Religius, dan Berbudaya”, rasanya agak sedikit berbelok jika mengingat kata “hotel”. Dikatakan demikian karena seperti yang terlihat selama ini, akses pariwisata Pulau Lombok mayoritas memiliki posisi di luar Kota Mataram. Bisa kita lihat Kabupaten Lombok Barat dengan kawasan Senggigi yang memang menjadi spot menjamurnya tempat tinggal sementara ini. Begitu juga dengan Kabupaten Lombok Utara yang sekarang sedang dalam fase menata daerah pariwisatanya. Hotel sangat dibutuhkan untuk menampung para wisatawan yang melepas lelah selama berhari-hari.
            Sekarang kita kembali ke Kota Mataram. Objek wisata mana yang perlu dituju selama berhari-hari sehingga wisatawan harus menginap berlama-lama? Jikalau ada, tentu tidak sebanyak yang ada di kabupaten luar Kota Mataram. Jumlah masjid yang menjadi simbol religius—sesuai visi misi—belum bisa dikatakan banyak. Akses tempat-tempat berbudaya di Mataram masih terbilang dekat dan cangkupan hotel belumlah diperlukan. Meski pun pusat perbelanjaan, yang diduga mampu menarik wisatawan, kian menjamur, tetaplah  pembangunan hotel-hotel sebanyak sekarang ini tidak masuk akal.
            Jika hanya ingin terlihat maju dengan jamuran hotel di sana-sini, maka alangkah baiknya disesuaikan dengan dua kata dari visi misi lainnya. Beberapa hotel besar di Mataram, yang notabene dapat dikatakan berbintang, kecil kemungkinan untuk terjangkit razia Pol PP karena tentu pihak hotel sangat menjaga privasi pengunjung. Oleh karena itu, hotel melati menjadi “pelampiasan” dari sindikat PSK. Padahal bukan tidak mungkin hotel-hotel besar tersebut juga bersih dari PSK—tidak menyediakan. Kita bisa kembali membaca buku Moammar Emka dalam “Jakarta Undercover 2” yang menyatakan bahwa beberapa hotel besar di Jakarta justru lebih “bermain rapi” dalam menyediakan PSK.
            Kini kita kembali ke Mataram dengan keadaan yang hampir menuju “kerapian” tersebut. Jika melihat dengan kacamata visi misi, sungguh sulit menarik benang merah antara visi misi Kota Mataram dengan penjamuran hotel yang juga sampai menarik PSK untuk bermain di dalamnya. Maka saran realistis yang dapat ditawarkan adalah stop loloskan izin pembangunan hotel di Mataram.
Setiap kebijakan dan aturan yang telah, atau akan dibuat oleh pemerintah baiknya diselaraskan dengan kondisi kota. Tindak suap-menyuap yang rawan terjadi mesti diberantas sehingga tidak ada lagi oknum yang berani membayar mahal suatu tempat di tengah kota demi hotel megah milik pribadi. Industri PSK semakin licin dan pihak pemerintah “kecele” hingga akhirnya pusing sendiri, yang akhirnya membuat mereka menelan visi misi  itu sendiri. Tidak mau, kan, Moammar Emka datang ke Mataram dengan tujuan riset tulisan berjudul “Mataram Undercover”?

Oleh:
ILDA KARWAYU
Komunitas Akarpohon Mataram
(terbit di Harian Suara NTB, 24 Agustus 2017)

Jumat, 04 Agustus 2017

Pena Blog: Ramai #UnramBanjirKTP, Pihak Rektorat "Hanya untuk...

Pena Blog: Ramai #UnramBanjirKTP, Pihak Rektorat "Hanya untuk...: Seorang Mahasiswa Baru (Maba) sedang mengumpulkan berkas untuk validasi data di bagian kemahasiswaan Unram.     Mataram, Pena Kampus (...

MEMBAYAR PARKIR: UNTUK JASA ATAU LAHAN?

Kemarin malam saya pergi ke sebuah warung tenda di pinggir jalan untuk makan nasi goreng. Dari warung tempat saya makan, ada juga beberapa warung tenda lainnya yang menjual makanan berbeda dan dijual oleh orang-orang yang berbeda pula. Dari sekian hal yang berbeda, hanya satu yang sama: penjaga parkir.
Dari warung nasi goreng ini, ada satu warung di kiri dan dua warung di kanannya; dan keempat warung tenda ini dijaga oleh satu orang! Luas lahan yang dijaga sekitar 20 meter. Sejauh pandangan mata, ditambah dengan “keharusan” menghafal wajah pemilik kendaraan, bagaiman ia bisa melakukan itu? Terlebih lagi warung tenda ini dibangun di halaman dua buah bangunan—yang pagi hingga sore hari beroperasi sebagai toko alat-alat elektronik dan kain-kain. Saya merasa sangat terusik dengan kehadiran penjaga parkir itu.
Dewasa ini membayar parkir bukanlah untuk jasa karena telah menjaga kendaraan, namun lebih kepada karena kita telah menaruh kendaraan di lahan atau lokasi atau tempat yang telah dipatok sebagai wilayah milik si penjaga parkir.
Ini bisa dibuktikan dari fenomena sehari-hari. Kita, sebagai masyarakat yang hidup di kota kecil semacam Kota Mataram ini, tentu tahu bahwa penjaga parkir tidak hanya ada di toko-toko besar, tidak hanya ada di hotel-hotel bintang lima, dan tempat-tempat besar lainnya. Bahkan bilik anjungan tunai mandiri (ATM) pun kini “mempekerjakan” penjaga parkir.  Mendapati para penjaga parkir yang mengalungi liontin alasan “mencari nafkah”, kegiatan ini menjadi sah-sah saja. Belum lagi di rumah toko (ruko) yang juga mulai menjamur—hampir mengalahkan pembangunan masjid dan musholla di Kota Mataram; membuat para petugas parkir dengan gagah berjaga di sana sini.
Bagaimana bisa? Penjaga parkir kan harus berseragam! Rompi kuning, biru, atau oranye khasnya. Jangan tanya darimana rompi parkir didapatkan. Beberapa pasar di kota ini menjual banyak atribut pekerja—salah satunya adalah rompi petugas parkir. Jangan tanya juga tentang izin untuk menjadi petugas parkir. Suatu pekerjaan yang berhubungan dengan pemerintah sudah pasti harus terdaftar di dinas kota. Dan, untuk mendaftar ke dinas kota, tentu dibutuhkan berkas dan segala macamnya.
Apakah regulasi pemerintahan mau mempermudah proses mengurusnya, itu masalah lain. Nah, Karena masalah lain inilah masyarakat merasa cukup enggan untuk mengurus ke-legal-an mereka dalam bekerja sebagai petugas parkir. Maka, pergilah mereka ke pasar, membeli rompi petugas parkir berwarna kuning, biru, atau oranye, pilih-pilih lahan, mengantongi sebuah peluit, lalu berdiri tegak. Atau jika sudah lama bekerja, bisa sambil nongkrong menyeruput kopi bersama kawan-kawan. Masalah keamanan kendaraan, jangan ditanya. Asal ditengok sesekali, kendaraan cukup aman di tempatnya.
Dengan inisiatif masyakarat yang demikian, seharusnya pemasukan daerah menjadi cukup. Bahkan lebih dari cukup. Namun sayangnya, Karena tidak terdaftar, maka Perwal Nomor 1.a/Pert/2007 tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah Kota Mataram menjadi kewalahan mengendalikan arus penarikan retribusi parkir. Tidak perlu repot-repot membuat karcis parkir, kan tidak terdaftar di dinas kota. Sehingga ada hal paradoks di sini: masyarakat dengan inisiatif tinggi ini mampu menafkahi dirinya, akan tetapi pemerintah seketika kewalahan menghadapi inisiatif masyarakat yang cenderung mandiri ini.

BERALIH TUJUAN
Di balik inisiatif masyarakat dan keresahan pemerintah, ternyata telah terbentuk pula suatu sistem yang masuk ke dalam dikotomi buruk di kalangan sosial masyarakat. Sebutlah ia peralihan tujuan dari jasa parkikr itu sendiri. Kita sama-sama tahu bahwa tujuan dibentuknya petugas parkir ini adalah untuk menjaga kendaraan kita agar tetap aman selama ditinggalkan.
Akan tetapi kini fungsi dari kegiatan parkir telah berubah. Marilah kita tengok salah satu tempat parkir di sebuah pasar di pinggiran Kota Mataram. Bila kita ikut mendesakkan kendaraan kita—biasanya kendaraan roda dua, yakni sepeda motor—ke wilayah parkir si petugas, maka, meski tidak turun dari kendaraan, kita akan tetap dikenai biaya parkir sebesar seribu rupiah. Jika ditanya alasan kita harus membayar juga, padahal secara teknis ia tidak direpotkan dengan tugas menjaga milik kita, ia akan menjawab, “Di sini, parkir nggak parkir, kalau masuk pasar, tetep bayar, mbak.”
Begitulah. Itu baru satu tempat saja. Saya sempat keranjingan mengunjungi beberapa tempat yang tidak memiliki karcis parkir hanya untuk memastikan peralihan fungsi parkir tersebut. Padahal, yang disebut kegiatan parkir adalah jika kendaraan dititipkan dan dijaga oleh seorang penjaga; dengan catatan, si pengendara turun dan meniggalkan kendaraan dalam suatu waktu. Info ini saya dapatkan ketika menonton televisi tentang perdebatan antara makna “stop di jalan” dan “parkir di jalan”. Kita tidak fokus pada seluruh itu, kita hanya mengambil makna parkir dari informasi tersebut.
Peralihan tujuan ini tidak bisa lepas dari omset yang didapat penjaga parkir setiap harinya. Itu sebabnya saya katakan sebelumnya bahwa jika petugas parkir menjamur di Kota Mataram, dinas kota kita ini juga seharusnya mendapat pemasukan retribusi yang banyak. Seimbang. Akan tetapi hal tersebut, sekali lagi, masih sulit diwujudkan karena pengelolaan lahan parkir yang masih belum rapi.
Apakah ada aturan baku tentang lahan yang pantas dipungut bayaran ketika ada kendaraan parkir di sana? Semisal, yang boleh dipungut biaya parkirnya hanya toko-toko atau kantor besar atau hotel bintang sekian atau lainnya. Sehingga bangunan berhalaman yang berpotensi menjadi lahan parkir, tidak memiliki kuasa memungut bayaran meski orang-orang kerap parkir di sana.
Namun tentu hal tersebut juga masih mengambang konsepnya. Hal ini dikarenakan pencurian kendaraan bermotor (curanmor) banyak terjadi justru di tempat-tempat kecil. Halaman kost mahasiswa, rumah-rumah makan di gang sempit, perkampungan padat penduduk, dan tempat kecil lainnya. Memang ada banyak faktor. Di tempat besar, ada satpam yang membantu petugas parkir untuk berjaga; di supermarket contohnya. Akan tetapi menjadi ironi lain juga bahwa hotel-hotel besar tidak menggunakan jasa petugas parkir untuk menjaga kendaraan. Kita belum menyerempet ke topik pajak lahan karena akan menjadi luas, namun menurut saya ini tidak bisa lepas dari sana—dan saya tetap tidak akan membahasnya.
Selanjutnya, timbul pula pertanyan lainnya, apa yang membuat suatu lahan parkir berhak untuk ditarik bayaran? Tentu saja pemerintah kota telah mengaturnya di dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Perparkiran. Di sana diatur mengenai lahan, karcis sebagai bukti transaksi, dan kartu petugas parkir legal. Segala hal mengenai “perparkiran” telah diatur sedemikian rupa oleh pemerintah kota. Namun hal tersebut tentu tidak bisa serta merta langsung mengembalikan fungsi awal kegiatan parkir.
Kelonggaran aturan bisa menjadi dugaan dari masih menjamurnya para petugas parkir tanpa karcis. Karena sadar atau tidak, inilah yang menyebabkan peralihan fungsi dari parkir—terjelaskan dalam portal berita suarantb.com (1/9/2016) “Jukir Tak Pakai Karcis, Masyarakat Jangan Bayar Parkir”. Dalam berita tersebut, para petugas parkir yang terdaftar di dinas kota jelas menggunakan karcis sebagai buti transaksi legal. Ditambah  lagi dengan pembinaan para petugas parkir oleh Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) Kota Mataram.
Maka solusi yang bisa ditawarkan dalam kejadian ini adalah keberanian masyarakat untuk tidak membayar parkir kepada petugas parkir “abal-abal”. Begitu juga dengan dinas pemerintah kota yang sebaiknya melakukan pemantauan rutin terkait lahan parkir agar tertribusi parkir tidak “bocor”. Tentu kerjasama antara pemerintah kota dan masyarakat ini, jika digalakkan secara maksimal dan terus menerus, akan mengembalikan fungsi pembayaran parkir itu sendiri, yakni membayar jasa, bukan membayar lahan.

ILDA KARWAYU
Komunitas Akapohon Mataram
(terbit di Harian Suara NTB, 20 Juli 2017)

Senin, 29 Mei 2017

Sistem Zonasi Runtuhkan “Podium” Ranking Kesenjangan Antarsekolah



Membaca perkembangan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nomor 17 Tahun 2017 tentang Sistem Zonasi untuk penempatan peserta didik di sekolah rupanya akan merubah beberapa hal; salah satunya adalah “podium” ranking yang selama ini memupuk kesenjangan antarsekolah.
            Mengerucut ke contoh kasus sekolah yang ada di Kota Mataram, siapa yang tidak kenal Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Mataram sebagai sekolah bergengsi? Begitu juga dengan SMAN 5 Mataram dan SMAN 2 Mataram. Ketiganya, bisa dibilang, adalah sekolah-sekolah yang menduduki podium ranking gelar sekolah menengah atas pencetak lulusan cemerlang. Begitu juga dalam lingkup madrasah aliyah negeri (MAN) dengan podium ranking diduduki oleh MAN 2 Mataram dan sekolah menengah kejuruan (SMK) yang disabet oleh SMKN 3 Mataram. Podium-podium ini telah terbentuk sejak lama.
            Mengapa peraturan tersebut diasumsikan dapat meruntuhkan podium? Mari kita cermati empat poin dari Peraturan Mendikbud No.17/2017: (1) Sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah paling sedikit sebesar 90%  (sembilan puluh persen) dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima; (2) Domisili calon peserta didik berdasarkan alamat mereka pada kartu keluarga yang diterbitkan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum pelaksanaan PPDB; (3) radius zona terdekat ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kondisi daerah tersebut berdasarkan jumlah ketersediaan daya tampung berdasarkan ketentuan rombongan belajar tiap sekolah dengan ketersediaan anak usia sekolah di daerah tersebut; (4) Bagi sekolah yang berada di daerah perbatasan provinsi/kabupaten/kota, ketentuan persentase dan radius zona terdekat dapat diterapkan melalui kesepakatan secara tertulis antarpemerintah daerah yang saling berbatasan.
            Keempat poin tersebut akan dilaksanakan pada tahun ajaran baru ini, Juni-Juli 2017. Jika poin satu diangan-angankan rasionalisasinya, maka beberapa sekolah—di Kota Mataram—akan berebut peserta didik. Bagaimana tidak, melihat Jalan Pejanggik, terdapat beberapa sekolah menengah pertama (SMP) yang saling berdekatan. Nasib yang sama pun akan dialami oleh beberapa SMA di Jalan Pendidikan. Akan tetapi hal tersebut tidak akan terjadi pada beberapa sekolah di Jalan Lingkar Selatan yang justru membutuhkan “tetangga” karena minimnya sekolah di lingkungan tersebut. Sementara di sekitarnya mulai banyak bangunan perumahan—yang nantinya tentu akan dihuni oleh keluarga.
            Terlebih lagi, kata “diterima” dalam poin ini mengacu pada proses penerimaan peserta didik yang selama ini menjadikan nilai ujian nasional (UN) sebagai syaratnya. Andaikata seorang anak SMP yang lulus tahun ini, berdomisili di Kelurahan Dasan Agung, memiliki nilai cukup memuaskan namun tidak memenuhi standar syarat SMAN 5 Mataram, maka apa yang akan terjadi? Secara tempat domisili, ia bisa lulus di sekolah tersebut jika berkiblat ke peraturan terbaru. Akan tetapi ini menjadi tumpang tindih jika syarat nilai UN masih diterapkan di SMAN 5 Mataram. Dilema, kan?
            Contoh lainnya, seorang anak SMP yang juga lulus tahun ini, mengantongi nilai UN di atas rata-rata dan dinyatakan lulus di SMAN 1 Mataram. Sayangnya, ia berdomisili di Kelurahan Babakan. Maka dengan peraturan yang baru, ia baiknya bersekolah di SMAN 8 Mataram. Dengan demikian, tujuan Mendikbud untuk meratakan pendidikan akan tercapai. Namun, pertanyaan selanjutnya, apakah pihak sekolah dengan rela menerima hal tersebut? maksudnya, kegiatan “pengumpulan” anak-anak di atas rata-rata melalui penerimaan peserta didik baru ini tidak lagi ada setelah peraturan Mendikbud dijalankan.
            Ini terdengar seperti sebuah ancaman serius. Sebagai seorang guru, saya merasakan bagaimana “nikmatnya” mengajar peserta didik dengan kemampuan di atas rata-rata. Kemampuan tinggi mereka menyerap pelajaran membuat kita sebagai guru tidak perlu mengeluarkan energi berlebih dalam menyampaikan materi ajar. Lain halnya dengan peserta didik dengan kemampuan cukup atau bahkan di bawah rata-rata. Selain menyampaikan materi ajar, kemampuan guru mengenal psikologi tiap peserta didik menjadi hal yang dipertaruhkan jika ingin kesetaraan pendidikan terjamin.
            Namun, kita harus jujur: sistem pengelompokkan peserta didik melalui kesenjangan antarsekolah ini sulit diretas! Sekolah yang sudah nyaman dengan prestasi para peserta didik tidak ingin “kerja keras”nya bubar begitu saja. Hal ini bertolak belakang dengan sekolah yang minim anak di atas rata-rata. Mereka akan sangat berterima kasih pada peraturan ini karena idealnya sekolah merekalah yang telah bekerja lebih keras mendidik.
            Akan tetapi ada satu hal yang tidak bisa dipungkiri, memang, bahwa lingkungan belajar sangat mempengaruhi proses belajar peserta didik. Semisal kita hidup di lingkungan yang orang-orangnya banyak membaca buku, maka kita—secara tidak langsung—akan ikut memegang buku dan mulai membacanya. Inilah buah manis dari perjuangan para sekolah yang menduduki podium peringkat tiga besar. Meski para guru agak malas melakukan inovasi terhadap gaya mengajarnya, namun prestasi peserta didik tetap terjaga berkat bibit “di atas rata-rata” mereka dan lingkungan baik untuk belajar yang telah tercipta selama bertahun-tahun.
            Bagaimanapun, terlepas dari itu, ada beberapa hal yang harus diterima oleh kita semua—civitas akademika sekolah, masyarakat, peserta didik dan orangtuanya—dalam mempersiapkan diri menghadapi peraturan tersebut. Lingkungan baik untuk belajar dapat tercipta di setiap sekolah di Kota Mataram jika kita semua bekerjasama untuk menciptakannya. Peserta didik dan orangtua sebaiknya menghapus pola pikir bahwa sekolah A atau sekolah B lebih baik dari sekolah C apalagi sekolah D.
Begitu juga dengan para civitas akademika yang telah bersusah payah membangun lingkungan tersebut; peretasan kesenjangan antarsekolah baiknya dimulai dari mendukung penggantian sistem penerimaan siswa baru agar disesuaikan dengan Peraturan Mendikbud No.17/2017. Selain itu, para masyarakat pun memiliki peran yang tidak kalah pentingnya, yakni berhenti membangun konstruksi sosial tentang dikotomi peserta didik: anak ini pasti pandai karena ia bersekolah di A dan anak itu pasti malas karena ia bersekolah di B. Hal ini terlihat sepele namun berdampak besar bagi psikologi peserta didik. Mereka semua unik. Mereka semua memiliki kecerdasan di bidangnya masing-masing. Dimana pun tempat mereka disekolahkan.

ILDA KARWAYU
Komunitas Akarpohon Mataram
(terbit di Harian Suara NTB 21 Mei 2017)

Senin, 17 April 2017

Minggu Kelabu dengan Otak Lembu

Baiklah, sepertinya saya harus kembali ke dasar. Kembali mentah. Dan ini terjadi setiap tahun—entah di awal atau pertengahan.
Apa yang membuat saya menjadi malas mengurai persoalan menjadi sebuah tulisan? Kurangnya referensi? Jelas. Malas mencari sumber informasi? Mungkin. Dulu, menulis esai atau opini tidaklah sesulit ini. Kini saya sedang merunut kembali sebab mengapa hal tersebut mudah dijalani. Dan hasilnya, jika dulu saya dengan mudahnya mendapat referensi dari koran dan forum diskusi, maka kini hal-hal itu telah lama tidak. Tunggu, ada komunitas, kan? Iya, tapi tidak ada koran harian seperti waktu di kampus dulu. Kembali ke kampus untuk sekedar baca koran dan berdiskusi hampir tidak mungkin lagi dilakukan karena sistem di tempat kerja yang cukup  menyita waktu. Aktif di komunitas saja sudah susah payah saya lakukan. Tidak mungkin memotong waktu untuk ke sana lagi.
Dan, berlanjut lagi ke tahap saya sedang mencari cara bagaimana kotak referensi di otak ini dapat kembali dipenuhi dengan informasi-informasi terkini. Berlangganan koran harian sempat melintas di kepala. Berarti saya harus menyisihkan minimal 150 ribu untuk berlangganan dua koran—satu koran lokal dan satunya lagi koran nasional. Well, bisa, ya? Bisa saja.
Diskusi. Di komunitas diskusi hampir terjadi setiap waktu. Meski diselingi dengan obrolan ngalur-ngidul (yang biasa kami sebut “nyangkul”), namun cukup membantu saya dalam mengumpulkan referensi. Masalahnya adalah keterbatasan topik. Komunitas sastra tentu dominan membahas seputaran sastra. Kecuali “Sang Raja” mau menambah porsi kebaikan hatinya untuk meladeni kami sepanjang waktu, tidak masalah. Akan tetapi jelas akan menjadi masalah karena informasi hanya berpusat ke satu orang. Bosan juga ya sepertinya menjadi Mas Kiki? Sekali lempar pernyataan langsung membuat kepala di sekitarnya membatu. Membantah? Belum cukup informasi dan ilmu pengetahuan. Nah! Itu dia! Berarti komunitas pun tidak cukup memadai untuk dijadikan satu-satunya sumber informasi.
Memang begitu, sih. Kita tidak bisa hanya bergantung hanya pada satu tempat. Harap dibedakan antara “bergantung” dengan “loyal”. Saya loyal pada komunitas bukan berarti harus bergantung. Kembali ke titik fokus: proses saya.
Sebenarnya tidak ada yang tidak bisa jika kita mau—yeah, ini sudah sangat umum! Namun terkadang beberapa kebingungan, keinginan, bahkan perasaan kita sendiri menghambat perjalanan proses tersebut. Ada sebuah kasus perasaan yang sangat fatal bagi saya, “Merasa diri besar” padahal sebenarnya belum besar, bahkan mungkin tidak akan besar jika terus “merasa”. Saya pun teringat cerpen Budi Darma tentang penyair kecil dan penyair besar. Sifat merasa besar ini dimiliki oleh si penyair kecil. Ia merasa telah menelurkan karya banyak, padahal hanya mengendap saja di laci meja kerja. Tidak didiskusikan. Tidak dipublikasikan. Otomatis tidak diapresiasi. Jika demikian, apanya yang besar? Hanya karena sudah menulis banyak?
Orang—pembaca/penikmat/apresian—rasanya tidak perlu tahu seberapa banyak tulisan kita selama berproses. Yang mereka baca, dan akan baca, hanyalah tulisan-tulisan kita yang lolos seleksi redaktur koran dan buku-buku kita yang juga lolos redaktur penerbitan. Lantas, apa yang membuat kita besar? Belum ada. Selama tulisan kita belum terbit, maka belum bisa dikatakan layak baca. Tentu kita tidak mau menyuguhkan tulisan yang buruk ke pembaca, kan? Itu akan merusak nama kita sendiri sebagai penulis, juga khasanah bacaan masyarakat.
Maka, apa yang bisa saya lakukan supaya tidak menjadi penyair kecil yang merasa besar? Jika dirunut mulai dari keinginan, apa keinginan saya yang menghambat proses menulis? Melanjutkan sekolah? kerja? Keduanya membutuhkan fokus untuk dijalani. Kebingungan? Apa yang membuat saya bingung? Tidak ada. Perasaan merasa besar padahal sebenarnya kecil? Ya, inilah yang melekat lumayan hebat dalam diri saya. Buruk. Iya, buruk.
Pada dasarnya keinginan saya untuk fokus sebenarnya tidak  bisa dijadikan alasan karena menulis bukanlah sebuah penghalang untuk fokus. Bahkan seharusnya membantu. Ini masalah manajemen waktu saja. Benar, kan? Iya, benar. Fine. Satu masalah terurai. Saat di tempat kerja saya terlalu sok merasa sibuk menyiapkan bahan ajar padahal jika dikalkulasikan, waktu mengerjakan itu hanya butuh tiga jam. Selebihnya saya sibuk berselancar ria di dunia maya! Yaa Tuhan, betapa buruknya saya! Nah, sekarang terlihat jelas, kan? Tidak ada masalah. Urusan melanjutkan sekolah, ini bisa ditalangi dengan mengalokasikan waktu satu jam setiap hari untuk belajar. Masalah selesai.
Dan, rasanya, jika masalah di atas sudah terlihat solusinya, untuk membasmi perasaan merasa besar ini akan mudah. Satu hari kita punya waktu 24 jam. Enam jam untuk tidur malam—saya adalah salah satu jenis manusia yang tidak bisa kekurangan waktu istirahat. Sisanya kita bisa tentukan. Patoklah waktu satu jam untuk belajar persiapan sekolah, dua jam untuk menulis apa saja—puisi, esai, opini. Jangan lupa waktu membaca selama dua jam juga. Ini memang terlihat sederhana, namun, jujur, saya menjadi sangat sulit fokus jika waktu membaca tidak dialokasikan seperti ini. buku puisi setebal 80 halaman saja bisa sampai dua minggu! Apa-apaan itu?! ini karena tidak adanya waktu khusus untuk membaca setiap hari. Saya selama ini hanya menyelinginya saja dengan waktu-waktu yang lain. Jadi, ya, wajar saja kan jika kualitas membaca saya buruk. Padahal membaca bukan sekedar selingan. Ia adalah salah satu proses penting dalam menghasilkan tulisan. Duh..
Nah, rasanya semakin jelas sekarang kemana arah masalah saya. Setelah diurai, dan, terbiasa kembali menuliskan ide seperti ini, kesulitan mulai teratasi. Tapi, ada satu lagi yang tiba-tiba tercetus: pemahaman tentang teori menulis ternyata menghambat proses menulis.
Hal ini saya rasakan ketika membaca buku-buku kritik sastra. Entah Budi Darma, Sapardi Djoko Darmono, dan sebagainya. Baru menulis satu paragraf, terbaca jelek, hapus! Kalimat tidak sesuai dengan antara ide satu dan selanjutnya, hapus! Takut. Rasa takut menghantui saya. Terutama saat  menulis esai. Kesinambungan ide sangat saya jaga sehingga ketimbang mencari referensi, saya sibuk berhati-hati dalam menulis. Padahal dulu tidak  begitu.
Ada ide, ya tulis saja. Tidak payah memikirkan teori dan segala macamnya. Yang ini, saya belum bisa pecahkan. Ada yang bilang agak repot jika penulis mempelajari dan menerapkan isi teori sastra. Akibatnya pembelajar kritik sastra jarang ada yang menulis sastra. Mereka lebih sering menjadi kritikus saja. Hanya sedikit yang bisa. Salah duanya, ya, dua orang yang saya sebut namanya di atas: Budi Darma dan Sapardi Djoko Darmono. Bagaimana bisa menjadi mereka?