Jumat, 25 Agustus 2017

Mataram Undercover


Kota Mataram sedang menjahit pakaian “urban” untuk masyarakatnya. Gaya hidup dan pola pikir sedikit demi sedikit mulai berubah. Dimulai dari hadirnya fasilitas kendaraan umum berbasis dalam jaringan (daring/online), disusul dengan banjirnya pusat perbelanjaan mewah di beberapa titik, dan yang paling sedikit disadari perkembangannya: bertambahnya jumlah hotel.
Di beberapa kesempatan mengamati pergerakan kota sambil berkeliling jalan kaki, saya kerap teringat sebuah berita yang sempat membikin heboh kota tanpa sumber daya alam ini; Sejumlah hotel di Mataram diduga sediakan pekerja seks komersial (PSK). Kali ini, pikiran yang melayang ke berita itu disambut oleh pikiran lainnya. Ialah ingatan saya tentang buku Moammar Emka, “Jakarta Undercover”.
Dalam berita tersebut, tertulis pernyataan walikota Mataram bahwa tidak ada hotel yang melegalkan pengadaan PSK dalam usaha perhotelan mereka. Namun pada kenyataannya, Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan (Diskoperindag) dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) telah menjaring PSK berkedok partner song (PS). Hingga saat ini, saya merasa hal tersebut masih patut untuk menjadi sorotan agar masyarakat Kota Mataram tidak menutup  mata atau berpura-pura tidak tahu akan adanya pelanggaran tersebut.
Berkaca pada buku beraliran Lifestyle karya Moammar Emka—Jakarta Undercover—Mataram bukan tidak mungkin akan bernasib seperti ibu kota. Pada 2015 silam, Mataram sudah hampir dipenuhi oleh hotel-hotel baru; baik yang bertanda bintang maupun hanya selevel melati. Sekarang sudah 2017. Di sekitar jembatan di Jalan Majapahit pun sudah ada hotel; Dulu tidak ada. Dengan dalih Visit Lombok-Sumbawa 2013, rentang empat tahun ini, Mataram tak ubahnya lahan yang mulai dihiasi kotak-kotak rumah berwarna merah simbol hotel pada permainan monopoli, dipercantik dengan rumah-toko (Ruko), maka semakin minimalislah kota bervisi misi “Maju, Religius dan Berbudaya” ini.
Kehidupan urban seperti yang tergambar dalam buku tersebut ada karena fasilitas yang menunjang memang tersedia. Semakin tinggi mobilitas masyarakat—tubuh dan pikirannya nyaris sibuk di waktu yang sama, kebutuhan akan relaksasi tidak lagi mampu diatasi hanya dengan rekreasi  ke taman kota, pantai, atau bahkan mall (yang terkadang malah makin membuat pening). Maka tak heran jika ibu kota kita lambat laun menyuguhkan model “tempat hiburan” yang lain. Mereka butuh ketenangan dan privasi untuk mendapatkan sensasi relaksasi tinggi. Hal ini adalah lumrah di kalangan masyarakat urban. Mereka sudah penat bersinggungan dengan aktivitas kota yang ramai. Di mana mereka bisa mendapatkan ketenangan selain di tempat yang khusus untuk mereka? hotel. Tidak terjamah oleh keluarga apalagi orang lain.
Kota Mataram dewasa ini sedang berangkat menuju situasi demikian. Hotel tidak lagi menjadi tempat singgah para wisatawan. Sebuah berita yang—menurut saya—cukup berani dalam sebuah koran harian ini menjadi bukti bahwa industri hiburan malam mulai meretaskan “spora Jakarta” di Mataram. Toh Jakarta tempo dulu pastilah tidak seperti sekarang. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan jika Mataram akan menyusul.
Selain dari berita tersebut, pergaulan masyarakat Mataram mulai berbanding lurus dengan pertumbuhan hotel-hotel. Begitu juga dengan serangan globalisasi dari berbagai sisi: televisi, industri pariwisata (jika disikapi negatif), dunia maya, dan lain sebagainya. Suatu kemungkinan yang buruk dari segi  moral sangatlah mampu terjadi di sini.
Hotel, definisi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah bangunan berkamar banyak yang disewakan sebagai tempat untuk menginap dan tempat makan orang yang sedang dalam perjalanan. Maka sejatinya orang-orang yang singgah di hotel adalah mereka yang butuh tempat tinggal sementara ketika bepergian.
Boleh kita bertanya dalam diri sendiri atau bahkan sebagian orang di jalanan; apa pendapat mereka tentang hotel. Selaras dengan berita yang terbit, memang saat ini orang kebanyakan lebih melihat hotel sebagai tempat yang didominasi oleh aktivitas negatif, tempat hangout bagi orang-orang berduit, dan segala imajinasi mewah tentang gaya hidup kelas ibu kota.
Jika di ibu kota pergaulan bebas—yang melibatkan PSK—telah menjadi rahasia umum, atau bahkan “jajanan” lumrah bagi  masyarakat, maka perlulah kita menarik benang merah antara PSK dan hotel. Pasangan suami-isteri yang notabene sah-sah saja melakukan hubungan intim, tentu tak payah mencari tempat singgah sementara untuk itu. Lain halnya dengan industri ini. Rumah singgah sementara dijadikan pilihan untuk mengamankan diri. Selain bisa ditinggali hanya dengan hitungan hari bahkan jam, informasi keberadaan juga tidak begitu menjadi soal. Meski di setiap hotel berbintang, privasi pengunjung hotel menjadi nomor wahid. Bertolak belakang dengan hotel kelas melati yang sering dengan mudah dimasuki oleh Pol PP saat razia. Paradoks.
Seperti halnya prinsip ekonomi: semakin banyak permintaan pelanggan, semakin banyak pula prodak yang dipasok. Semakin banyak masyarakat yang membutuhkan hotel, semakin banyak bangunan tersebut dibangun. Akan tetapi pembangunan tersebut diikuti pula dengan kebutuhan yang lain—perempuan.

Perempuan Sebagai Komoditas
            Sedikit memutar ke dasar pembahasan, mari kita membahas mengapa PSK kerap dijadikan “bumbu” dalam setiap ramuan pergaulan masyarakat. Lihatlah setiap iklan di televisi. Alih-alih menampilkan sebuah produk yang berkaitan dengan perempuan, bahkan iklan cat tembok saja, pihak iklan “menggunakan” perempuan cantik nan seksi sebagai bintang iklan mereka. Sedikit tidak pastilah kita paham bahwa di kehidupan nyata, sangat jarang kita temukan—atau nyaris tidak ada—tukang cat tembok berjenis kelamin perempuan. Sehingga, dapat kita katakan dari sisi industri iklan, perempuan kerap dijadikan komoditas. Keindahan tubuhnya dipertontonkan untuk menarik pelanggan.
            Disadari atau tidak, kehadiran televisi masih menjadi panutan umum dalam kehidupan masyarakat. Efek visualisasi akan kemolekan perempuan membuat otak penonton sering salah fokus. Boro-boro memperhatikan produk iklan, penonton tentu secara alami lebih suka melihat yang indah-indah (baca: perempuan).
            Dari siklus menonton iklan televisi, terlebih program televisi lainnya yang saya rasa tidak perlu dibahas dalam tulisan ini, jelas sudah bahwa membuat perempuan menjadi PSK terasa biasa. Semakin dibiasakan, semakin dicari, semakin dibutuhkan, semakin dipertontonkan, maka tumbuhlah sikap “menyediakan PSK” oleh mereka yang sadar akan peluang ekonomi. Perempuan semakin tenggelam dalam air perasan komoditas. Pelakunya pun tidak hanya dari kaum adam saja, tetapi juga sesama kaumnya—bahkan lebih banyak.
           
Visi Misi Formalitas
            Setiap masalah tentu mengharapkan suatu solusi nyata. Sesuai dengan visi misi Kota Mataram yakni “Maju, Religius, dan Berbudaya”, rasanya agak sedikit berbelok jika mengingat kata “hotel”. Dikatakan demikian karena seperti yang terlihat selama ini, akses pariwisata Pulau Lombok mayoritas memiliki posisi di luar Kota Mataram. Bisa kita lihat Kabupaten Lombok Barat dengan kawasan Senggigi yang memang menjadi spot menjamurnya tempat tinggal sementara ini. Begitu juga dengan Kabupaten Lombok Utara yang sekarang sedang dalam fase menata daerah pariwisatanya. Hotel sangat dibutuhkan untuk menampung para wisatawan yang melepas lelah selama berhari-hari.
            Sekarang kita kembali ke Kota Mataram. Objek wisata mana yang perlu dituju selama berhari-hari sehingga wisatawan harus menginap berlama-lama? Jikalau ada, tentu tidak sebanyak yang ada di kabupaten luar Kota Mataram. Jumlah masjid yang menjadi simbol religius—sesuai visi misi—belum bisa dikatakan banyak. Akses tempat-tempat berbudaya di Mataram masih terbilang dekat dan cangkupan hotel belumlah diperlukan. Meski pun pusat perbelanjaan, yang diduga mampu menarik wisatawan, kian menjamur, tetaplah  pembangunan hotel-hotel sebanyak sekarang ini tidak masuk akal.
            Jika hanya ingin terlihat maju dengan jamuran hotel di sana-sini, maka alangkah baiknya disesuaikan dengan dua kata dari visi misi lainnya. Beberapa hotel besar di Mataram, yang notabene dapat dikatakan berbintang, kecil kemungkinan untuk terjangkit razia Pol PP karena tentu pihak hotel sangat menjaga privasi pengunjung. Oleh karena itu, hotel melati menjadi “pelampiasan” dari sindikat PSK. Padahal bukan tidak mungkin hotel-hotel besar tersebut juga bersih dari PSK—tidak menyediakan. Kita bisa kembali membaca buku Moammar Emka dalam “Jakarta Undercover 2” yang menyatakan bahwa beberapa hotel besar di Jakarta justru lebih “bermain rapi” dalam menyediakan PSK.
            Kini kita kembali ke Mataram dengan keadaan yang hampir menuju “kerapian” tersebut. Jika melihat dengan kacamata visi misi, sungguh sulit menarik benang merah antara visi misi Kota Mataram dengan penjamuran hotel yang juga sampai menarik PSK untuk bermain di dalamnya. Maka saran realistis yang dapat ditawarkan adalah stop loloskan izin pembangunan hotel di Mataram.
Setiap kebijakan dan aturan yang telah, atau akan dibuat oleh pemerintah baiknya diselaraskan dengan kondisi kota. Tindak suap-menyuap yang rawan terjadi mesti diberantas sehingga tidak ada lagi oknum yang berani membayar mahal suatu tempat di tengah kota demi hotel megah milik pribadi. Industri PSK semakin licin dan pihak pemerintah “kecele” hingga akhirnya pusing sendiri, yang akhirnya membuat mereka menelan visi misi  itu sendiri. Tidak mau, kan, Moammar Emka datang ke Mataram dengan tujuan riset tulisan berjudul “Mataram Undercover”?

Oleh:
ILDA KARWAYU
Komunitas Akarpohon Mataram
(terbit di Harian Suara NTB, 24 Agustus 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar