Kota Mataram
sedang menjahit pakaian “urban” untuk masyarakatnya. Gaya hidup dan pola pikir
sedikit demi sedikit mulai berubah. Dimulai dari hadirnya fasilitas kendaraan
umum berbasis dalam jaringan (daring/online), disusul dengan banjirnya pusat
perbelanjaan mewah di beberapa titik, dan yang paling sedikit disadari
perkembangannya: bertambahnya jumlah hotel.
Di beberapa
kesempatan mengamati pergerakan kota sambil berkeliling jalan kaki, saya kerap
teringat sebuah berita yang sempat membikin heboh kota tanpa sumber daya alam
ini; Sejumlah hotel di Mataram diduga sediakan pekerja seks komersial (PSK). Kali
ini, pikiran yang melayang ke berita itu disambut oleh pikiran lainnya. Ialah
ingatan saya tentang buku Moammar Emka, “Jakarta Undercover”.
Dalam berita
tersebut, tertulis pernyataan walikota Mataram bahwa tidak ada hotel yang
melegalkan pengadaan PSK dalam usaha perhotelan mereka. Namun pada
kenyataannya, Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan (Diskoperindag) dan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) telah menjaring PSK berkedok partner song (PS). Hingga saat ini, saya
merasa hal tersebut masih patut untuk menjadi sorotan agar masyarakat Kota
Mataram tidak menutup mata atau
berpura-pura tidak tahu akan adanya pelanggaran tersebut.
Berkaca pada
buku beraliran Lifestyle karya
Moammar Emka—Jakarta Undercover—Mataram bukan tidak mungkin akan bernasib seperti
ibu kota. Pada 2015 silam, Mataram sudah hampir dipenuhi oleh hotel-hotel baru;
baik yang bertanda bintang maupun hanya selevel melati. Sekarang sudah 2017. Di
sekitar jembatan di Jalan Majapahit pun sudah ada hotel; Dulu tidak ada. Dengan
dalih Visit Lombok-Sumbawa 2013, rentang empat tahun ini, Mataram tak ubahnya
lahan yang mulai dihiasi kotak-kotak rumah berwarna merah simbol hotel pada
permainan monopoli, dipercantik dengan rumah-toko (Ruko), maka semakin
minimalislah kota bervisi misi “Maju, Religius dan Berbudaya” ini.
Kehidupan
urban seperti yang tergambar dalam buku tersebut ada karena fasilitas yang
menunjang memang tersedia. Semakin tinggi mobilitas masyarakat—tubuh dan
pikirannya nyaris sibuk di waktu yang sama, kebutuhan akan relaksasi tidak lagi
mampu diatasi hanya dengan rekreasi ke taman
kota, pantai, atau bahkan mall (yang terkadang malah makin membuat pening).
Maka tak heran jika ibu kota kita lambat laun menyuguhkan model “tempat
hiburan” yang lain. Mereka butuh ketenangan dan privasi untuk mendapatkan
sensasi relaksasi tinggi. Hal ini adalah lumrah di kalangan masyarakat urban.
Mereka sudah penat bersinggungan dengan aktivitas kota yang ramai. Di mana
mereka bisa mendapatkan ketenangan selain di tempat yang khusus untuk mereka? hotel.
Tidak terjamah oleh keluarga apalagi orang lain.
Kota Mataram
dewasa ini sedang berangkat menuju situasi demikian. Hotel tidak lagi menjadi
tempat singgah para wisatawan. Sebuah berita yang—menurut saya—cukup berani
dalam sebuah koran harian ini menjadi bukti bahwa industri hiburan malam mulai
meretaskan “spora Jakarta” di Mataram. Toh
Jakarta tempo dulu pastilah tidak seperti sekarang. Oleh karena itu, tidak
menutup kemungkinan jika Mataram akan menyusul.
Selain dari
berita tersebut, pergaulan masyarakat Mataram mulai berbanding lurus dengan
pertumbuhan hotel-hotel. Begitu juga dengan serangan globalisasi dari berbagai
sisi: televisi, industri pariwisata (jika disikapi negatif), dunia maya, dan lain
sebagainya. Suatu kemungkinan yang buruk dari segi moral sangatlah mampu terjadi di sini.
Hotel,
definisi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah bangunan berkamar
banyak yang disewakan sebagai tempat untuk menginap dan tempat makan orang yang
sedang dalam perjalanan. Maka sejatinya orang-orang yang singgah di hotel
adalah mereka yang butuh tempat tinggal sementara ketika bepergian.
Boleh kita
bertanya dalam diri sendiri atau bahkan sebagian orang di jalanan; apa pendapat
mereka tentang hotel. Selaras dengan berita yang terbit, memang saat ini orang
kebanyakan lebih melihat hotel sebagai tempat yang didominasi oleh aktivitas
negatif, tempat hangout bagi
orang-orang berduit, dan segala imajinasi mewah tentang gaya hidup kelas ibu
kota.
Jika di ibu
kota pergaulan bebas—yang melibatkan PSK—telah menjadi rahasia umum, atau
bahkan “jajanan” lumrah bagi masyarakat,
maka perlulah kita menarik benang merah antara PSK dan hotel. Pasangan
suami-isteri yang notabene sah-sah saja melakukan hubungan intim, tentu tak payah
mencari tempat singgah sementara untuk itu. Lain halnya dengan industri ini.
Rumah singgah sementara dijadikan pilihan untuk mengamankan diri. Selain bisa
ditinggali hanya dengan hitungan hari bahkan jam, informasi keberadaan juga
tidak begitu menjadi soal. Meski di setiap hotel berbintang, privasi pengunjung
hotel menjadi nomor wahid. Bertolak belakang dengan hotel kelas melati yang
sering dengan mudah dimasuki oleh Pol PP saat razia. Paradoks.
Seperti
halnya prinsip ekonomi: semakin banyak permintaan pelanggan, semakin banyak
pula prodak yang dipasok. Semakin banyak masyarakat yang membutuhkan hotel,
semakin banyak bangunan tersebut dibangun. Akan tetapi pembangunan tersebut
diikuti pula dengan kebutuhan yang lain—perempuan.
Perempuan
Sebagai Komoditas
Sedikit memutar ke dasar pembahasan,
mari kita membahas mengapa PSK kerap dijadikan “bumbu” dalam setiap ramuan
pergaulan masyarakat. Lihatlah setiap iklan di televisi. Alih-alih menampilkan
sebuah produk yang berkaitan dengan perempuan, bahkan iklan cat tembok saja,
pihak iklan “menggunakan” perempuan cantik nan seksi sebagai bintang iklan
mereka. Sedikit tidak pastilah kita paham bahwa di kehidupan nyata, sangat
jarang kita temukan—atau nyaris tidak ada—tukang cat tembok berjenis kelamin
perempuan. Sehingga, dapat kita katakan dari sisi industri iklan, perempuan
kerap dijadikan komoditas. Keindahan tubuhnya dipertontonkan untuk menarik
pelanggan.
Disadari atau tidak, kehadiran televisi
masih menjadi panutan umum dalam kehidupan masyarakat. Efek visualisasi akan
kemolekan perempuan membuat otak penonton sering salah fokus. Boro-boro memperhatikan produk iklan,
penonton tentu secara alami lebih suka melihat yang indah-indah (baca:
perempuan).
Dari siklus menonton iklan televisi,
terlebih program televisi lainnya yang saya rasa tidak perlu dibahas dalam
tulisan ini, jelas sudah bahwa membuat perempuan menjadi PSK terasa biasa.
Semakin dibiasakan, semakin dicari, semakin dibutuhkan, semakin dipertontonkan,
maka tumbuhlah sikap “menyediakan PSK” oleh mereka yang sadar akan peluang
ekonomi. Perempuan semakin tenggelam dalam air perasan komoditas. Pelakunya pun
tidak hanya dari kaum adam saja, tetapi juga sesama kaumnya—bahkan lebih banyak.
Visi Misi Formalitas
Setiap masalah tentu mengharapkan
suatu solusi nyata. Sesuai dengan visi misi Kota Mataram yakni “Maju, Religius,
dan Berbudaya”, rasanya agak sedikit berbelok jika mengingat kata “hotel”.
Dikatakan demikian karena seperti yang terlihat selama ini, akses pariwisata
Pulau Lombok mayoritas memiliki posisi di luar Kota Mataram. Bisa kita lihat
Kabupaten Lombok Barat dengan kawasan Senggigi yang memang menjadi spot menjamurnya tempat tinggal
sementara ini. Begitu juga dengan Kabupaten Lombok Utara yang sekarang sedang
dalam fase menata daerah pariwisatanya. Hotel sangat dibutuhkan untuk menampung
para wisatawan yang melepas lelah selama berhari-hari.
Sekarang kita kembali ke Kota
Mataram. Objek wisata mana yang perlu dituju selama berhari-hari sehingga
wisatawan harus menginap berlama-lama? Jikalau ada, tentu tidak sebanyak yang
ada di kabupaten luar Kota Mataram. Jumlah masjid yang menjadi simbol
religius—sesuai visi misi—belum bisa dikatakan banyak. Akses tempat-tempat
berbudaya di Mataram masih terbilang dekat dan cangkupan hotel belumlah
diperlukan. Meski pun pusat perbelanjaan, yang diduga mampu menarik wisatawan,
kian menjamur, tetaplah pembangunan
hotel-hotel sebanyak sekarang ini tidak masuk akal.
Jika hanya ingin terlihat maju
dengan jamuran hotel di sana-sini, maka alangkah baiknya disesuaikan dengan dua
kata dari visi misi lainnya. Beberapa hotel besar di Mataram, yang notabene
dapat dikatakan berbintang, kecil kemungkinan untuk terjangkit razia Pol PP
karena tentu pihak hotel sangat menjaga privasi pengunjung. Oleh karena itu, hotel
melati menjadi “pelampiasan” dari sindikat PSK. Padahal bukan tidak mungkin
hotel-hotel besar tersebut juga bersih dari PSK—tidak menyediakan. Kita bisa
kembali membaca buku Moammar Emka dalam “Jakarta Undercover 2” yang menyatakan
bahwa beberapa hotel besar di Jakarta justru lebih “bermain rapi” dalam
menyediakan PSK.
Kini kita kembali ke Mataram dengan
keadaan yang hampir menuju “kerapian” tersebut. Jika melihat dengan kacamata
visi misi, sungguh sulit menarik benang merah antara visi misi Kota Mataram
dengan penjamuran hotel yang juga sampai menarik PSK untuk bermain di dalamnya.
Maka saran realistis yang dapat ditawarkan adalah stop loloskan izin
pembangunan hotel di Mataram.
Setiap
kebijakan dan aturan yang telah, atau akan dibuat oleh pemerintah baiknya
diselaraskan dengan kondisi kota. Tindak suap-menyuap yang rawan terjadi mesti
diberantas sehingga tidak ada lagi oknum yang berani membayar mahal suatu
tempat di tengah kota demi hotel megah milik pribadi. Industri PSK semakin
licin dan pihak pemerintah “kecele” hingga akhirnya pusing sendiri, yang
akhirnya membuat mereka menelan visi misi
itu sendiri. Tidak mau, kan,
Moammar Emka datang ke Mataram dengan tujuan riset tulisan berjudul “Mataram
Undercover”?
Oleh:
ILDA KARWAYU
Komunitas Akarpohon Mataram
(terbit di Harian Suara NTB, 24 Agustus 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar