Minggu, 27 Agustus 2017

LOWONGAN PEKERJAAN DAN STANDAR GANDA INTELEKTUALITAS DI MASYARAKAT



              Salah satu kegiatan yang masih wajib dilakukan manusia adalah bekerja. Entah bekerja menggunakan ototnya atau otaknya. Kedua-duanya bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah. Akan tetapi, sebagian besar penduduk di bumi lebih suka bekerja menggunakan otot. Mari kita persempit lagi luas jumlah penduduknya menjadi seputaran Pulau Lombok di Indonesia. Masih juga otot menjadi primadona. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya lowongan pekerjaan di bidang tersebut.
            Dewasa ini, dengan semakin canggihnya teknologi yang berkembang—semacam internet—mencari pekerjaan bukan lagi hal yang sulit. Ada banyak informasi lowongan pekerjaan yang bisa ditemukan di sana. Di internet, mesin pencari menawarkan jutaan situs perusahaan dengan lowongan sesuai kebutuhan. Terlebih lagi dengan hadirnya sosial media yang semakin terorganisir memudahkan kita semua untuk mengklasifikasi informasi apa saja yang kita butuhkan. Ada sebentuk grup dan komunitas yang bisa diikuti jika ingin mencari informasi dan berdiskusi. Salah satunya adalah grup informasi lowongan pekerjaan.
            Suatu hari, saya masuk ke akun sosial media milik pribadi dan berselancar di salah satu grup informasi tersebut. Setiap hari hampir ada puluhan lowongan pekerjaan di seputaran Pulau Lombok. Itu baru di satu grup. Ada banyak grup serupa di sosial media yang sama. Bisa dibayangkan betapa terbantunya kita semua dengan adanya jaringan ini. Melihat banyaknya informasi, saya membacanya dengan seksama. Ada lowongan menjadi kasir toko kelontong, supir sebuah perusahaan kecil, guru di lembaga bimbingan belajar (bimbel), pramusaji dan koki di restoran, dan masih banyak lagi.
            Lowongan pekerjaan di sana tidak hanya sebatas dari perusahaan swasta, tapi juga dari badan usaha milik negara (BUMN) dan tidak jarang juga ada informasi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Dalam lowongan pekerjaan tersebut terdapat syarat-syarat yang harus dimiliki calon pekerja. Salah satunya adalah standar lulusan pendidikan. Tapi ada juga yang tidak mencantumkannya—dengan asumsi pekerjaan tersebut lebih mementingkan keahlian dan pengalaman calon, atau memang itu adalah pekerjaan yang bisa dilakukan siapa saja.
            Standar lulusan pendidikan yang banyak dicari adalah Sarjana Strata 1 (S1) dan sekolah menengah atas (SMA) sederajat. Dan, benar adanya bahwa kedua lulusan ini mendominasi status pendidikan pekerja di Kota Mataram. Namun dari keduanya, lulusan yang paling banyak dicari adalah SMA sederajat. Hal ini cukup mengganggu pikiran saya. Bukan hal yang salah, memang. Akan tetapi, tidak bisa kita pungkiri bahwa hal ini memiliki dampak besar bagi generasi muda; Yakni keinginan besar untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Tujuan Manusia Bersekolah
            Sekolah, kata orang dulu, disebut sebagai cara manusia untuk menuntut ilmu. Mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Jika sudah menempuh tangga pendidikan yang tinggi, pada akhirnya, manusia akan menjadi makhluk dengan tingkat intelektual tinggi pula. Gelar yang didapatkan setelah lulus sekolah adalah bukti tingkat intelektual tersebut. Idealnya demikian.
            Secara kontras, Pulau Lombok saat ini tidak memandang pendidikan seperti itu. Saya mempersempit lingkup dengan pandangan demikian karena dalam grup lowongan pekerjaan di sosial media tersebut diperuntukkan untuk masyarakat Pulau Lombok. Sekolah dan tingkat intelektualitas tidak lagi memiliki benang merah yang terang warnanya dan dicari-cari. Justru sekolah dan pekerjaanlah yang dicari masyarakat di sini.
            Mari kita jabarkan; Sejak kecil, sebelum berangkat ke sekolah kita dibekali kalimat, “Belajar yang pinter biar lulus. Terus dapet kerja.” Mungkin ada juga yang membawa kalimat, “Belajar yang tekun supaya ilmunya berkah,” sebagai bekal. Itu bagus. Tanpa disadari anak-anak berangkat sekolah dengan bekal pikiran mereka masing-masing.
            Setelah lulus sekolah, mereka “dituntut” untuk mencari penghidupan yang layak. Di sini, standar manusia hidup layak adalah terpenuhinya kebutuhan primernya—disusul dengan sekunder dan tersier. Semuanya. Dan, semuanya dapat dipenuhi dengan memiliki alat tukar: uang. Cara mendapatkan uang adalah dengan bekerja. Maka dicarilah sebuah pekerjaan yang memberi uang sebagai upah.
            Bisa jadi bekal pikiran masing-masing yang dibawa anak-anak semasa sekolah adalah “Bapak Ibu saya ini orang ndak mampu. Saya harus bantu biar bisa makan,” ditambah dengan bekal orangtuanya pula yang mengekor di belakang pikirannya. Maka terciptalah angan-angan setelah lulus sekolah harus cari kerja. Ditambah lagi dengan lingkungan sosial yang berbondong-bondong menyuntikkan stigma macam itu ke urat nadi masing-masing. Sehingga tradisi “Usai sekolah harus cari kerja” secara besar-besaran mendarah daging. Maka, tujuan manusia bersekolah adalah bukan untuk menuntut ilmu semata, melainkan untuk mendapat pekerjaan.
            Lombok masih masuk dalam kategori masyarakat menengah ke bawah dan masyarakatnya didominasi oleh golongan pekerja otot. Dalam dunia kerja, pekerja otot menerima upah tidak lebih banyak dari pekerja otak. Hal ini menjadi penjelas atas kategori di atas. Mengapa hal ini bisa terjadi?
            Pekerja otot di sini tidak hanya mereka yang bekerja mengandalkan fisik semata. Tetapi juga mereka yang bekerja mengoperasikan sesuatu tanpa perlu melakukan inovasi secara berkala. Pegawai. Pelayan. Ini bisa dikerjakan oleh siapa saja asal berpengalaman. Karena tidak dituntut untuk menciptakan inovasi, maka pekerjaan yang dilakukan kerap sama saja setiap hari. Inilah yang menjadi alasan logis pekerja otot mendapat upah dengan jumlah di bawah pekerja otak.
            Pekerja otak dituntut untuk berinovasi secara berkala. Peneliti. Arsitek. Hal ini baru dapat dilakukan oleh mereka yang telah menempuh pendidikan di atas SMA. Meski kenyataannya di beberapa kasus hal ini tidak selalu benar—semisal sebagai penulis atau guru di pondok pesantren, namun istilah “Gelar membuktikan tingkat intelektualitas” masih berlaku di masyarakat. Standar ganda ini sungguh merepotkan! Sekolah, pengalaman, pengetahuan, gelar akademik, intelektualitas, inovasi, stigma masyarakat, adalah titik-titik gumpalan dalam benang merah yang saling berhubungan.
            Dari kekusutan ini, solusi yang bisa ditawarkan kepada masyarakat—khususnya generasi muda—adalah tetap lanjutkan sekolah! Peluang beasiswa dari segala penjuru dunia saat ini sudah terbuka lebar untuk kita semua. Kondisi ekonomi yang buruk bukan lagi alasan untuk tidak melanjutkan sekolah. Pekerjaan tidaklah sulit ditemukan dan diciptakan jika kita sudah memiliki bekal di dalam diri. Menciptakan keseimbangan antara pekerja otot dan pekerja otak di pulau ini sangat diperlukan untuk meningkatkan status masyarakat; Beranjak menjauh dari kategori menengah ke bawah menjadi menengah ke atas.
Hal ini sangat mungkin terjadi andai masyarakat mau menciptakan lingkungan sadar pendidikan. Karena anak-anak sekolah tidak akan mampu melanjutkan sekolah jika orangtua, guru, masyarakat tidak mendukung. Dalam jangka panjang, lowongan pekerjaan akan makin beragam karena telah muncul inovator-inovator yang menciptakan dunia kerja baru. Mereka adalah generasi dengan intelektualitas tinggi. Generasi yang meretas standar ganda intelektualitas di masyarakat.

ILDA KARWAYU
Komunitas Akarpohon Mataram
(terbit di Harian Suara NTB, 26 Agustus 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar