Kemarin
malam saya pergi ke sebuah warung tenda di pinggir jalan untuk makan nasi
goreng. Dari warung tempat saya makan, ada juga beberapa warung tenda lainnya
yang menjual makanan berbeda dan dijual oleh orang-orang yang berbeda pula.
Dari sekian hal yang berbeda, hanya satu yang sama: penjaga parkir.
Dari
warung nasi goreng ini, ada satu warung di kiri dan dua warung di kanannya; dan
keempat warung tenda ini dijaga oleh satu orang! Luas lahan yang dijaga sekitar
20 meter. Sejauh pandangan mata, ditambah dengan “keharusan” menghafal wajah
pemilik kendaraan, bagaiman ia bisa melakukan itu? Terlebih lagi warung tenda
ini dibangun di halaman dua buah bangunan—yang pagi hingga sore hari beroperasi
sebagai toko alat-alat elektronik dan kain-kain. Saya merasa sangat terusik
dengan kehadiran penjaga parkir itu.
Dewasa
ini membayar parkir bukanlah untuk jasa karena telah menjaga kendaraan, namun lebih
kepada karena kita telah menaruh kendaraan di lahan atau lokasi atau tempat
yang telah dipatok sebagai wilayah milik si penjaga parkir.
Ini
bisa dibuktikan dari fenomena sehari-hari. Kita, sebagai masyarakat yang hidup
di kota kecil semacam Kota Mataram ini,
tentu tahu bahwa penjaga parkir tidak hanya
ada di toko-toko besar, tidak hanya ada di hotel-hotel bintang lima, dan tempat-tempat
besar lainnya. Bahkan bilik anjungan tunai mandiri (ATM) pun kini
“mempekerjakan” penjaga parkir. Mendapati para penjaga parkir yang mengalungi
liontin alasan “mencari nafkah”, kegiatan ini menjadi sah-sah saja. Belum lagi
di rumah toko (ruko) yang juga mulai menjamur—hampir mengalahkan pembangunan
masjid dan musholla di Kota Mataram; membuat para petugas parkir dengan gagah berjaga
di sana
sini.
Bagaimana bisa? Penjaga parkir kan harus berseragam! Rompi kuning, biru, atau oranye khasnya. Jangan tanya darimana rompi parkir didapatkan.
Beberapa pasar di kota ini menjual banyak atribut pekerja—salah satunya adalah rompi
petugas parkir. Jangan tanya juga tentang izin untuk menjadi petugas parkir.
Suatu pekerjaan yang berhubungan dengan pemerintah sudah pasti harus terdaftar
di dinas kota. Dan, untuk mendaftar ke dinas kota, tentu dibutuhkan berkas dan segala
macamnya.
Apakah
regulasi pemerintahan mau mempermudah
proses
mengurusnya, itu masalah
lain. Nah, Karena masalah lain inilah
masyarakat merasa cukup enggan untuk mengurus ke-legal-an mereka dalam bekerja sebagai petugas parkir. Maka,
pergilah mereka ke pasar, membeli rompi petugas parkir berwarna kuning, biru, atau
oranye, pilih-pilih lahan, mengantongi sebuah peluit,
lalu berdiri tegak. Atau jika sudah lama
bekerja, bisa sambil nongkrong menyeruput
kopi bersama kawan-kawan. Masalah keamanan kendaraan, jangan ditanya. Asal ditengok
sesekali, kendaraan cukup aman di tempatnya.
Dengan
inisiatif masyakarat yang demikian, seharusnya pemasukan daerah menjadi cukup.
Bahkan lebih dari cukup. Namun sayangnya, Karena tidak terdaftar, maka Perwal Nomor
1.a/Pert/2007 tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah Kota
Mataram menjadi kewalahan mengendalikan arus penarikan retribusi parkir. Tidak perlu
repot-repot membuat karcis parkir, kan tidak
terdaftar di dinas kota. Sehingga ada hal paradoks di sini: masyarakat dengan inisiatif
tinggi ini mampu menafkahi dirinya, akan tetapi pemerintah seketika kewalahan menghadapi inisiatif masyarakat yang cenderung mandiri ini.
BERALIH TUJUAN
Di
balik inisiatif masyarakat dan keresahan pemerintah, ternyata telah terbentuk
pula suatu sistem yang masuk ke dalam dikotomi buruk di kalangan sosial masyarakat. Sebutlah ia peralihan tujuan dari jasa
parkikr itu sendiri. Kita sama-sama tahu bahwa
tujuan
dibentuknya petugas parkir ini
adalah untuk menjaga kendaraan kita agar tetap aman selama ditinggalkan.
Akan tetapi kini fungsi dari kegiatan parkir telah
berubah. Marilah kita tengok salah satu tempat parkir di sebuah pasar di
pinggiran Kota Mataram. Bila kita ikut mendesakkan kendaraan kita—biasanya kendaraan
roda dua, yakni sepeda motor—ke wilayah parkir si petugas, maka, meski tidak
turun dari kendaraan, kita akan tetap dikenai biaya parkir sebesar seribu
rupiah. Jika ditanya alasan kita harus membayar juga, padahal secara teknis ia
tidak direpotkan dengan tugas menjaga milik kita, ia akan menjawab, “Di sini,
parkir nggak parkir, kalau masuk
pasar, tetep bayar, mbak.”
Begitulah. Itu baru satu tempat saja. Saya sempat
keranjingan mengunjungi beberapa tempat yang tidak memiliki karcis parkir hanya
untuk memastikan peralihan fungsi parkir tersebut. Padahal, yang disebut
kegiatan parkir adalah jika kendaraan dititipkan dan dijaga oleh seorang
penjaga; dengan catatan, si pengendara turun dan meniggalkan kendaraan dalam
suatu waktu. Info ini saya dapatkan ketika menonton televisi tentang perdebatan
antara makna “stop di jalan” dan “parkir di jalan”. Kita tidak fokus pada
seluruh itu, kita hanya mengambil makna parkir dari informasi tersebut.
Peralihan tujuan ini tidak bisa lepas dari omset yang
didapat penjaga parkir setiap harinya. Itu sebabnya saya katakan sebelumnya
bahwa jika petugas parkir menjamur di Kota Mataram, dinas kota kita ini juga
seharusnya mendapat pemasukan retribusi yang banyak. Seimbang. Akan tetapi hal
tersebut, sekali lagi, masih sulit diwujudkan karena pengelolaan lahan parkir
yang masih belum rapi.
Apakah ada aturan baku tentang lahan yang pantas dipungut
bayaran ketika ada kendaraan parkir di sana? Semisal, yang boleh dipungut biaya
parkirnya hanya toko-toko atau kantor besar atau hotel bintang sekian atau
lainnya. Sehingga bangunan berhalaman yang berpotensi menjadi lahan parkir,
tidak memiliki kuasa memungut bayaran meski orang-orang kerap parkir di sana.
Namun tentu hal tersebut juga masih mengambang konsepnya.
Hal ini dikarenakan pencurian kendaraan bermotor (curanmor) banyak terjadi
justru di tempat-tempat kecil. Halaman kost mahasiswa, rumah-rumah makan di
gang sempit, perkampungan padat penduduk, dan tempat kecil lainnya. Memang ada
banyak faktor. Di tempat besar, ada satpam yang membantu petugas parkir untuk
berjaga; di supermarket contohnya. Akan tetapi menjadi ironi lain juga bahwa
hotel-hotel besar tidak menggunakan jasa petugas parkir untuk menjaga
kendaraan. Kita belum menyerempet ke topik pajak lahan karena akan menjadi
luas, namun menurut saya ini tidak bisa lepas dari sana—dan saya tetap tidak
akan membahasnya.
Selanjutnya, timbul pula pertanyan lainnya, apa yang
membuat suatu lahan parkir berhak untuk ditarik bayaran? Tentu saja pemerintah
kota telah mengaturnya di dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2015
tentang Pengelolaan Perparkiran. Di sana diatur mengenai lahan, karcis sebagai
bukti transaksi, dan kartu petugas parkir legal. Segala hal mengenai
“perparkiran” telah diatur sedemikian rupa oleh pemerintah kota. Namun hal
tersebut tentu tidak bisa serta merta langsung mengembalikan fungsi awal
kegiatan parkir.
Kelonggaran aturan bisa menjadi dugaan dari masih
menjamurnya para petugas parkir tanpa karcis. Karena sadar atau tidak, inilah
yang menyebabkan peralihan fungsi dari parkir—terjelaskan dalam portal berita
suarantb.com (1/9/2016) “Jukir Tak Pakai
Karcis, Masyarakat Jangan Bayar Parkir”. Dalam berita tersebut, para petugas
parkir yang terdaftar di dinas kota jelas menggunakan karcis sebagai buti
transaksi legal. Ditambah lagi dengan
pembinaan para petugas parkir oleh Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika
(Dishubkominfo) Kota Mataram.
Maka solusi yang bisa ditawarkan dalam kejadian ini
adalah keberanian masyarakat untuk tidak membayar parkir kepada petugas parkir
“abal-abal”. Begitu juga dengan dinas pemerintah kota yang sebaiknya melakukan
pemantauan rutin terkait lahan parkir agar tertribusi parkir tidak “bocor”.
Tentu kerjasama antara pemerintah kota dan masyarakat ini, jika digalakkan
secara maksimal dan terus menerus, akan mengembalikan fungsi pembayaran parkir itu
sendiri, yakni membayar jasa, bukan membayar lahan.
ILDA
KARWAYU
(terbit di Harian Suara NTB, 20 Juli 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar