Jumat, 04 Agustus 2017

MEMBAYAR PARKIR: UNTUK JASA ATAU LAHAN?

Kemarin malam saya pergi ke sebuah warung tenda di pinggir jalan untuk makan nasi goreng. Dari warung tempat saya makan, ada juga beberapa warung tenda lainnya yang menjual makanan berbeda dan dijual oleh orang-orang yang berbeda pula. Dari sekian hal yang berbeda, hanya satu yang sama: penjaga parkir.
Dari warung nasi goreng ini, ada satu warung di kiri dan dua warung di kanannya; dan keempat warung tenda ini dijaga oleh satu orang! Luas lahan yang dijaga sekitar 20 meter. Sejauh pandangan mata, ditambah dengan “keharusan” menghafal wajah pemilik kendaraan, bagaiman ia bisa melakukan itu? Terlebih lagi warung tenda ini dibangun di halaman dua buah bangunan—yang pagi hingga sore hari beroperasi sebagai toko alat-alat elektronik dan kain-kain. Saya merasa sangat terusik dengan kehadiran penjaga parkir itu.
Dewasa ini membayar parkir bukanlah untuk jasa karena telah menjaga kendaraan, namun lebih kepada karena kita telah menaruh kendaraan di lahan atau lokasi atau tempat yang telah dipatok sebagai wilayah milik si penjaga parkir.
Ini bisa dibuktikan dari fenomena sehari-hari. Kita, sebagai masyarakat yang hidup di kota kecil semacam Kota Mataram ini, tentu tahu bahwa penjaga parkir tidak hanya ada di toko-toko besar, tidak hanya ada di hotel-hotel bintang lima, dan tempat-tempat besar lainnya. Bahkan bilik anjungan tunai mandiri (ATM) pun kini “mempekerjakan” penjaga parkir.  Mendapati para penjaga parkir yang mengalungi liontin alasan “mencari nafkah”, kegiatan ini menjadi sah-sah saja. Belum lagi di rumah toko (ruko) yang juga mulai menjamur—hampir mengalahkan pembangunan masjid dan musholla di Kota Mataram; membuat para petugas parkir dengan gagah berjaga di sana sini.
Bagaimana bisa? Penjaga parkir kan harus berseragam! Rompi kuning, biru, atau oranye khasnya. Jangan tanya darimana rompi parkir didapatkan. Beberapa pasar di kota ini menjual banyak atribut pekerja—salah satunya adalah rompi petugas parkir. Jangan tanya juga tentang izin untuk menjadi petugas parkir. Suatu pekerjaan yang berhubungan dengan pemerintah sudah pasti harus terdaftar di dinas kota. Dan, untuk mendaftar ke dinas kota, tentu dibutuhkan berkas dan segala macamnya.
Apakah regulasi pemerintahan mau mempermudah proses mengurusnya, itu masalah lain. Nah, Karena masalah lain inilah masyarakat merasa cukup enggan untuk mengurus ke-legal-an mereka dalam bekerja sebagai petugas parkir. Maka, pergilah mereka ke pasar, membeli rompi petugas parkir berwarna kuning, biru, atau oranye, pilih-pilih lahan, mengantongi sebuah peluit, lalu berdiri tegak. Atau jika sudah lama bekerja, bisa sambil nongkrong menyeruput kopi bersama kawan-kawan. Masalah keamanan kendaraan, jangan ditanya. Asal ditengok sesekali, kendaraan cukup aman di tempatnya.
Dengan inisiatif masyakarat yang demikian, seharusnya pemasukan daerah menjadi cukup. Bahkan lebih dari cukup. Namun sayangnya, Karena tidak terdaftar, maka Perwal Nomor 1.a/Pert/2007 tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah Kota Mataram menjadi kewalahan mengendalikan arus penarikan retribusi parkir. Tidak perlu repot-repot membuat karcis parkir, kan tidak terdaftar di dinas kota. Sehingga ada hal paradoks di sini: masyarakat dengan inisiatif tinggi ini mampu menafkahi dirinya, akan tetapi pemerintah seketika kewalahan menghadapi inisiatif masyarakat yang cenderung mandiri ini.

BERALIH TUJUAN
Di balik inisiatif masyarakat dan keresahan pemerintah, ternyata telah terbentuk pula suatu sistem yang masuk ke dalam dikotomi buruk di kalangan sosial masyarakat. Sebutlah ia peralihan tujuan dari jasa parkikr itu sendiri. Kita sama-sama tahu bahwa tujuan dibentuknya petugas parkir ini adalah untuk menjaga kendaraan kita agar tetap aman selama ditinggalkan.
Akan tetapi kini fungsi dari kegiatan parkir telah berubah. Marilah kita tengok salah satu tempat parkir di sebuah pasar di pinggiran Kota Mataram. Bila kita ikut mendesakkan kendaraan kita—biasanya kendaraan roda dua, yakni sepeda motor—ke wilayah parkir si petugas, maka, meski tidak turun dari kendaraan, kita akan tetap dikenai biaya parkir sebesar seribu rupiah. Jika ditanya alasan kita harus membayar juga, padahal secara teknis ia tidak direpotkan dengan tugas menjaga milik kita, ia akan menjawab, “Di sini, parkir nggak parkir, kalau masuk pasar, tetep bayar, mbak.”
Begitulah. Itu baru satu tempat saja. Saya sempat keranjingan mengunjungi beberapa tempat yang tidak memiliki karcis parkir hanya untuk memastikan peralihan fungsi parkir tersebut. Padahal, yang disebut kegiatan parkir adalah jika kendaraan dititipkan dan dijaga oleh seorang penjaga; dengan catatan, si pengendara turun dan meniggalkan kendaraan dalam suatu waktu. Info ini saya dapatkan ketika menonton televisi tentang perdebatan antara makna “stop di jalan” dan “parkir di jalan”. Kita tidak fokus pada seluruh itu, kita hanya mengambil makna parkir dari informasi tersebut.
Peralihan tujuan ini tidak bisa lepas dari omset yang didapat penjaga parkir setiap harinya. Itu sebabnya saya katakan sebelumnya bahwa jika petugas parkir menjamur di Kota Mataram, dinas kota kita ini juga seharusnya mendapat pemasukan retribusi yang banyak. Seimbang. Akan tetapi hal tersebut, sekali lagi, masih sulit diwujudkan karena pengelolaan lahan parkir yang masih belum rapi.
Apakah ada aturan baku tentang lahan yang pantas dipungut bayaran ketika ada kendaraan parkir di sana? Semisal, yang boleh dipungut biaya parkirnya hanya toko-toko atau kantor besar atau hotel bintang sekian atau lainnya. Sehingga bangunan berhalaman yang berpotensi menjadi lahan parkir, tidak memiliki kuasa memungut bayaran meski orang-orang kerap parkir di sana.
Namun tentu hal tersebut juga masih mengambang konsepnya. Hal ini dikarenakan pencurian kendaraan bermotor (curanmor) banyak terjadi justru di tempat-tempat kecil. Halaman kost mahasiswa, rumah-rumah makan di gang sempit, perkampungan padat penduduk, dan tempat kecil lainnya. Memang ada banyak faktor. Di tempat besar, ada satpam yang membantu petugas parkir untuk berjaga; di supermarket contohnya. Akan tetapi menjadi ironi lain juga bahwa hotel-hotel besar tidak menggunakan jasa petugas parkir untuk menjaga kendaraan. Kita belum menyerempet ke topik pajak lahan karena akan menjadi luas, namun menurut saya ini tidak bisa lepas dari sana—dan saya tetap tidak akan membahasnya.
Selanjutnya, timbul pula pertanyan lainnya, apa yang membuat suatu lahan parkir berhak untuk ditarik bayaran? Tentu saja pemerintah kota telah mengaturnya di dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Perparkiran. Di sana diatur mengenai lahan, karcis sebagai bukti transaksi, dan kartu petugas parkir legal. Segala hal mengenai “perparkiran” telah diatur sedemikian rupa oleh pemerintah kota. Namun hal tersebut tentu tidak bisa serta merta langsung mengembalikan fungsi awal kegiatan parkir.
Kelonggaran aturan bisa menjadi dugaan dari masih menjamurnya para petugas parkir tanpa karcis. Karena sadar atau tidak, inilah yang menyebabkan peralihan fungsi dari parkir—terjelaskan dalam portal berita suarantb.com (1/9/2016) “Jukir Tak Pakai Karcis, Masyarakat Jangan Bayar Parkir”. Dalam berita tersebut, para petugas parkir yang terdaftar di dinas kota jelas menggunakan karcis sebagai buti transaksi legal. Ditambah  lagi dengan pembinaan para petugas parkir oleh Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) Kota Mataram.
Maka solusi yang bisa ditawarkan dalam kejadian ini adalah keberanian masyarakat untuk tidak membayar parkir kepada petugas parkir “abal-abal”. Begitu juga dengan dinas pemerintah kota yang sebaiknya melakukan pemantauan rutin terkait lahan parkir agar tertribusi parkir tidak “bocor”. Tentu kerjasama antara pemerintah kota dan masyarakat ini, jika digalakkan secara maksimal dan terus menerus, akan mengembalikan fungsi pembayaran parkir itu sendiri, yakni membayar jasa, bukan membayar lahan.

ILDA KARWAYU
Komunitas Akapohon Mataram
(terbit di Harian Suara NTB, 20 Juli 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar