Senin, 17 April 2017

Minggu Kelabu dengan Otak Lembu

Baiklah, sepertinya saya harus kembali ke dasar. Kembali mentah. Dan ini terjadi setiap tahun—entah di awal atau pertengahan.
Apa yang membuat saya menjadi malas mengurai persoalan menjadi sebuah tulisan? Kurangnya referensi? Jelas. Malas mencari sumber informasi? Mungkin. Dulu, menulis esai atau opini tidaklah sesulit ini. Kini saya sedang merunut kembali sebab mengapa hal tersebut mudah dijalani. Dan hasilnya, jika dulu saya dengan mudahnya mendapat referensi dari koran dan forum diskusi, maka kini hal-hal itu telah lama tidak. Tunggu, ada komunitas, kan? Iya, tapi tidak ada koran harian seperti waktu di kampus dulu. Kembali ke kampus untuk sekedar baca koran dan berdiskusi hampir tidak mungkin lagi dilakukan karena sistem di tempat kerja yang cukup  menyita waktu. Aktif di komunitas saja sudah susah payah saya lakukan. Tidak mungkin memotong waktu untuk ke sana lagi.
Dan, berlanjut lagi ke tahap saya sedang mencari cara bagaimana kotak referensi di otak ini dapat kembali dipenuhi dengan informasi-informasi terkini. Berlangganan koran harian sempat melintas di kepala. Berarti saya harus menyisihkan minimal 150 ribu untuk berlangganan dua koran—satu koran lokal dan satunya lagi koran nasional. Well, bisa, ya? Bisa saja.
Diskusi. Di komunitas diskusi hampir terjadi setiap waktu. Meski diselingi dengan obrolan ngalur-ngidul (yang biasa kami sebut “nyangkul”), namun cukup membantu saya dalam mengumpulkan referensi. Masalahnya adalah keterbatasan topik. Komunitas sastra tentu dominan membahas seputaran sastra. Kecuali “Sang Raja” mau menambah porsi kebaikan hatinya untuk meladeni kami sepanjang waktu, tidak masalah. Akan tetapi jelas akan menjadi masalah karena informasi hanya berpusat ke satu orang. Bosan juga ya sepertinya menjadi Mas Kiki? Sekali lempar pernyataan langsung membuat kepala di sekitarnya membatu. Membantah? Belum cukup informasi dan ilmu pengetahuan. Nah! Itu dia! Berarti komunitas pun tidak cukup memadai untuk dijadikan satu-satunya sumber informasi.
Memang begitu, sih. Kita tidak bisa hanya bergantung hanya pada satu tempat. Harap dibedakan antara “bergantung” dengan “loyal”. Saya loyal pada komunitas bukan berarti harus bergantung. Kembali ke titik fokus: proses saya.
Sebenarnya tidak ada yang tidak bisa jika kita mau—yeah, ini sudah sangat umum! Namun terkadang beberapa kebingungan, keinginan, bahkan perasaan kita sendiri menghambat perjalanan proses tersebut. Ada sebuah kasus perasaan yang sangat fatal bagi saya, “Merasa diri besar” padahal sebenarnya belum besar, bahkan mungkin tidak akan besar jika terus “merasa”. Saya pun teringat cerpen Budi Darma tentang penyair kecil dan penyair besar. Sifat merasa besar ini dimiliki oleh si penyair kecil. Ia merasa telah menelurkan karya banyak, padahal hanya mengendap saja di laci meja kerja. Tidak didiskusikan. Tidak dipublikasikan. Otomatis tidak diapresiasi. Jika demikian, apanya yang besar? Hanya karena sudah menulis banyak?
Orang—pembaca/penikmat/apresian—rasanya tidak perlu tahu seberapa banyak tulisan kita selama berproses. Yang mereka baca, dan akan baca, hanyalah tulisan-tulisan kita yang lolos seleksi redaktur koran dan buku-buku kita yang juga lolos redaktur penerbitan. Lantas, apa yang membuat kita besar? Belum ada. Selama tulisan kita belum terbit, maka belum bisa dikatakan layak baca. Tentu kita tidak mau menyuguhkan tulisan yang buruk ke pembaca, kan? Itu akan merusak nama kita sendiri sebagai penulis, juga khasanah bacaan masyarakat.
Maka, apa yang bisa saya lakukan supaya tidak menjadi penyair kecil yang merasa besar? Jika dirunut mulai dari keinginan, apa keinginan saya yang menghambat proses menulis? Melanjutkan sekolah? kerja? Keduanya membutuhkan fokus untuk dijalani. Kebingungan? Apa yang membuat saya bingung? Tidak ada. Perasaan merasa besar padahal sebenarnya kecil? Ya, inilah yang melekat lumayan hebat dalam diri saya. Buruk. Iya, buruk.
Pada dasarnya keinginan saya untuk fokus sebenarnya tidak  bisa dijadikan alasan karena menulis bukanlah sebuah penghalang untuk fokus. Bahkan seharusnya membantu. Ini masalah manajemen waktu saja. Benar, kan? Iya, benar. Fine. Satu masalah terurai. Saat di tempat kerja saya terlalu sok merasa sibuk menyiapkan bahan ajar padahal jika dikalkulasikan, waktu mengerjakan itu hanya butuh tiga jam. Selebihnya saya sibuk berselancar ria di dunia maya! Yaa Tuhan, betapa buruknya saya! Nah, sekarang terlihat jelas, kan? Tidak ada masalah. Urusan melanjutkan sekolah, ini bisa ditalangi dengan mengalokasikan waktu satu jam setiap hari untuk belajar. Masalah selesai.
Dan, rasanya, jika masalah di atas sudah terlihat solusinya, untuk membasmi perasaan merasa besar ini akan mudah. Satu hari kita punya waktu 24 jam. Enam jam untuk tidur malam—saya adalah salah satu jenis manusia yang tidak bisa kekurangan waktu istirahat. Sisanya kita bisa tentukan. Patoklah waktu satu jam untuk belajar persiapan sekolah, dua jam untuk menulis apa saja—puisi, esai, opini. Jangan lupa waktu membaca selama dua jam juga. Ini memang terlihat sederhana, namun, jujur, saya menjadi sangat sulit fokus jika waktu membaca tidak dialokasikan seperti ini. buku puisi setebal 80 halaman saja bisa sampai dua minggu! Apa-apaan itu?! ini karena tidak adanya waktu khusus untuk membaca setiap hari. Saya selama ini hanya menyelinginya saja dengan waktu-waktu yang lain. Jadi, ya, wajar saja kan jika kualitas membaca saya buruk. Padahal membaca bukan sekedar selingan. Ia adalah salah satu proses penting dalam menghasilkan tulisan. Duh..
Nah, rasanya semakin jelas sekarang kemana arah masalah saya. Setelah diurai, dan, terbiasa kembali menuliskan ide seperti ini, kesulitan mulai teratasi. Tapi, ada satu lagi yang tiba-tiba tercetus: pemahaman tentang teori menulis ternyata menghambat proses menulis.
Hal ini saya rasakan ketika membaca buku-buku kritik sastra. Entah Budi Darma, Sapardi Djoko Darmono, dan sebagainya. Baru menulis satu paragraf, terbaca jelek, hapus! Kalimat tidak sesuai dengan antara ide satu dan selanjutnya, hapus! Takut. Rasa takut menghantui saya. Terutama saat  menulis esai. Kesinambungan ide sangat saya jaga sehingga ketimbang mencari referensi, saya sibuk berhati-hati dalam menulis. Padahal dulu tidak  begitu.
Ada ide, ya tulis saja. Tidak payah memikirkan teori dan segala macamnya. Yang ini, saya belum bisa pecahkan. Ada yang bilang agak repot jika penulis mempelajari dan menerapkan isi teori sastra. Akibatnya pembelajar kritik sastra jarang ada yang menulis sastra. Mereka lebih sering menjadi kritikus saja. Hanya sedikit yang bisa. Salah duanya, ya, dua orang yang saya sebut namanya di atas: Budi Darma dan Sapardi Djoko Darmono. Bagaimana bisa menjadi mereka?