Apa yang membuat saya menjadi malas
mengurai persoalan menjadi sebuah tulisan? Kurangnya referensi? Jelas. Malas
mencari sumber informasi? Mungkin. Dulu, menulis esai atau opini tidaklah
sesulit ini. Kini saya sedang merunut kembali sebab mengapa hal tersebut mudah
dijalani. Dan hasilnya, jika dulu saya dengan mudahnya mendapat referensi dari koran
dan forum diskusi, maka kini hal-hal itu telah lama tidak. Tunggu, ada
komunitas, kan? Iya, tapi tidak ada
koran harian seperti waktu di kampus dulu. Kembali ke kampus untuk sekedar baca
koran dan berdiskusi hampir tidak mungkin lagi dilakukan karena sistem di
tempat kerja yang cukup menyita waktu.
Aktif di komunitas saja sudah susah payah saya lakukan. Tidak mungkin memotong
waktu untuk ke sana lagi.
Dan, berlanjut lagi ke tahap saya
sedang mencari cara bagaimana kotak referensi di otak ini dapat kembali dipenuhi dengan
informasi-informasi terkini. Berlangganan koran harian sempat melintas di
kepala. Berarti saya harus menyisihkan minimal 150 ribu untuk berlangganan dua
koran—satu koran lokal dan satunya lagi koran nasional. Well, bisa, ya? Bisa
saja.
Diskusi. Di komunitas diskusi hampir
terjadi setiap waktu. Meski diselingi dengan obrolan ngalur-ngidul (yang biasa kami sebut “nyangkul”), namun cukup
membantu saya dalam mengumpulkan referensi. Masalahnya adalah keterbatasan
topik. Komunitas sastra tentu dominan membahas seputaran sastra. Kecuali “Sang
Raja” mau menambah porsi kebaikan hatinya untuk meladeni kami sepanjang waktu,
tidak masalah. Akan tetapi jelas akan menjadi masalah karena informasi hanya
berpusat ke satu orang. Bosan juga ya
sepertinya menjadi Mas Kiki? Sekali lempar pernyataan langsung membuat kepala
di sekitarnya membatu. Membantah? Belum cukup informasi dan ilmu pengetahuan. Nah! Itu dia! Berarti komunitas pun
tidak cukup memadai untuk dijadikan satu-satunya sumber informasi.
Memang begitu, sih. Kita tidak bisa hanya bergantung hanya pada satu tempat. Harap
dibedakan antara “bergantung” dengan “loyal”. Saya loyal pada komunitas bukan
berarti harus bergantung. Kembali ke titik fokus: proses saya.
Sebenarnya tidak ada yang tidak bisa
jika kita mau—yeah, ini sudah sangat
umum! Namun terkadang beberapa kebingungan, keinginan, bahkan perasaan kita
sendiri menghambat perjalanan proses tersebut. Ada sebuah kasus perasaan yang
sangat fatal bagi saya, “Merasa diri besar” padahal sebenarnya belum besar,
bahkan mungkin tidak akan besar jika terus “merasa”. Saya pun teringat cerpen Budi Darma tentang penyair kecil dan penyair besar. Sifat merasa besar ini
dimiliki oleh si penyair kecil. Ia merasa telah menelurkan karya banyak,
padahal hanya mengendap saja di laci meja kerja. Tidak didiskusikan. Tidak
dipublikasikan. Otomatis tidak diapresiasi. Jika demikian, apanya yang besar?
Hanya karena sudah menulis banyak?
Orang—pembaca/penikmat/apresian—rasanya
tidak perlu tahu seberapa banyak tulisan kita selama berproses. Yang mereka
baca, dan akan baca, hanyalah tulisan-tulisan kita yang lolos seleksi redaktur
koran dan buku-buku kita yang juga lolos redaktur penerbitan. Lantas, apa yang
membuat kita besar? Belum ada. Selama tulisan kita belum terbit, maka belum bisa
dikatakan layak baca. Tentu kita tidak mau menyuguhkan tulisan yang buruk ke
pembaca, kan? Itu akan merusak nama
kita sendiri sebagai penulis, juga khasanah bacaan masyarakat.
Maka, apa yang bisa saya lakukan
supaya tidak menjadi penyair kecil yang merasa besar? Jika dirunut mulai dari
keinginan, apa keinginan saya yang menghambat proses menulis? Melanjutkan
sekolah? kerja? Keduanya membutuhkan fokus untuk dijalani. Kebingungan? Apa
yang membuat saya bingung? Tidak ada. Perasaan merasa besar padahal sebenarnya
kecil? Ya, inilah yang melekat lumayan hebat dalam diri saya. Buruk. Iya,
buruk.
Pada dasarnya keinginan saya untuk
fokus sebenarnya tidak bisa dijadikan
alasan karena menulis bukanlah sebuah penghalang untuk fokus. Bahkan seharusnya
membantu. Ini masalah manajemen waktu saja. Benar, kan? Iya, benar. Fine.
Satu masalah terurai. Saat di tempat kerja saya terlalu sok merasa sibuk
menyiapkan bahan ajar padahal jika dikalkulasikan, waktu mengerjakan itu hanya
butuh tiga jam. Selebihnya saya sibuk berselancar ria di dunia maya! Yaa Tuhan,
betapa buruknya saya! Nah, sekarang
terlihat jelas, kan? Tidak ada
masalah. Urusan melanjutkan sekolah, ini bisa ditalangi dengan mengalokasikan
waktu satu jam setiap hari untuk belajar. Masalah selesai.
Dan, rasanya, jika masalah di atas
sudah terlihat solusinya, untuk membasmi perasaan merasa besar ini akan mudah.
Satu hari kita punya waktu 24 jam. Enam jam untuk tidur malam—saya adalah salah
satu jenis manusia yang tidak bisa kekurangan waktu istirahat. Sisanya kita
bisa tentukan. Patoklah waktu satu jam untuk belajar persiapan sekolah, dua jam
untuk menulis apa saja—puisi, esai, opini. Jangan lupa waktu membaca selama dua
jam juga. Ini memang terlihat sederhana, namun, jujur, saya menjadi sangat
sulit fokus jika waktu membaca tidak dialokasikan seperti ini. buku puisi
setebal 80 halaman saja bisa sampai dua minggu! Apa-apaan itu?! ini karena
tidak adanya waktu khusus untuk membaca setiap hari. Saya selama ini hanya
menyelinginya saja dengan waktu-waktu yang lain. Jadi, ya, wajar saja kan jika kualitas membaca saya buruk. Padahal
membaca bukan sekedar selingan. Ia adalah salah satu proses penting dalam
menghasilkan tulisan. Duh..
Nah, rasanya semakin jelas sekarang
kemana arah masalah saya. Setelah diurai, dan, terbiasa kembali menuliskan ide
seperti ini, kesulitan mulai teratasi. Tapi, ada satu lagi yang tiba-tiba
tercetus: pemahaman tentang teori menulis ternyata menghambat proses menulis.
Hal ini saya rasakan ketika membaca
buku-buku kritik sastra. Entah Budi Darma, Sapardi Djoko Darmono, dan
sebagainya. Baru menulis satu paragraf, terbaca jelek, hapus! Kalimat tidak
sesuai dengan antara ide satu dan selanjutnya, hapus! Takut. Rasa takut
menghantui saya. Terutama saat menulis
esai. Kesinambungan ide sangat saya jaga sehingga ketimbang mencari referensi,
saya sibuk berhati-hati dalam menulis. Padahal dulu tidak begitu.
Ada ide, ya tulis saja. Tidak payah memikirkan teori dan segala macamnya.
Yang ini, saya belum bisa pecahkan. Ada yang bilang agak repot jika penulis mempelajari
dan menerapkan isi teori sastra. Akibatnya pembelajar kritik sastra jarang ada yang
menulis sastra. Mereka lebih sering menjadi kritikus saja. Hanya sedikit yang
bisa. Salah duanya, ya, dua orang
yang saya sebut namanya di atas: Budi Darma dan Sapardi Djoko Darmono. Bagaimana
bisa menjadi mereka?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar