Jumat, 20 November 2015

Apresiasi Seni 2015—Baca Sastra: RUANG SASTRA MASIH “MENTOK” DI PINTU PEMAHAMAN



“Puisi adalah kejujuran.”—Wayan Sunarta (Bali)
“Sastra: mendengar sesuatu di balik sesuatu.”—Ahda Imran (Bandung)
“Karya sastra yang bagus, ia akan melintasi ruang dan waktu.”—A.S. Laksana (Jakarta)

            Menghadiri Apresiasi Sastra 2015 di Museum Negeri Nusa Tenggara Barat (NTB), saya merasa seperti sedang berada di ruang imunisasi. Atmosfir kesusastraan menjadi vitamin positif bagi saya. Berkumpul dengan orang-orang yang juga mengagumi sastra pun sangat menyenangkan. Pengorbanan para sastrawan nasional yang rela berjauh dari tempat domisili, hanya untuk membagi ilmunya di pulau kecil ini, sungguh sangat tinggi apresiasi saya. Akan tetapi hal tersebut sepertinya tidak dirasakan oleh seluruh peserta di sini.

            Acara yang terhelat pada Selasa 17 November 2015 ini diselenggarakan pukul sembilan pagi. Lahan parkir telah dipenuhi oleh berbagai kendaraan adalah pemandangan “tumben”. Dengan enteng saya katakan demikian karena memang di hari-hari biasa, museum bukanlah tempat yang ramai dikunjungi. Jika ada yang tidak setuju, saya mungkin akan dengan enteng pula menyebut mereka sebagai orang buta—atau minimal hobi berkacamata hitam tiap kali melewati museum.
            Masuk ke gerbang museum, kawan-kawan panitia telah seiap dengan buku tamu dan kudapan berbungkus kotak jajan limaribuan. Isi kotaknya standar. Namun isi acaranya istimewa. Ahdan Imran dari Bandung, A.S. Laksana dan Yusi Pareanom dari Jakarta, Joko Pinurbo dari Yogyakarta, Wayan Sunarta dari Bali, serta Sindu Purta dan Kiki Sulistyo dari Mataram—tujuh “nabi” sastra 2015 yang sedang duduk berderet di panggung, menjadi pemandangan emas di mata saya. Dan, serupa kupu-kupu duduk di antara para kumbang, Kepala Museum NTB—yang saya lupa namanya siapa—anteng duduk rapi sambil menyembunyikan rasa gugupnya.
            Oh, sebelum saya lanjutkan, untuk dimaklumi, ulasan ini mungkin lebih seperti catatan harian saya. Jadi saya akan mengulas menggunakan sudut pandang seorang pencinta sastra.
Para sastrawan membacakan karya masing-masing. Ada puisi, ada cerita pendek. Saya seperti kembali ke masa kecil, dimana ibu saya sering membacakan buku dongeng hadiah sekotak susu. Saya menikmati bacaan di tiap-tiap diksinya. Saya kembali hidup.
Wayan Sunarta membalut isu reklamasi Teluk Benoa dengan lima puisi pergerakannya. Sungguh bergelora dan bersemangat! Lain lagi dengan Joko Pinurbo dengan puisi kocak namun berserat filosofis agama. A.S. Laksana membacakan cerita pendek yang menyentuh realita ibu kota. Sekilas otak saya bertanya, “Ia dapat meramu cerita seperti itu pasti karena pernah melihat, atau merasakan suasana demikian. Lantas, bisakah kita mengolah imajinasi tanpa replika dari kehidupan nyata?” dan saya menjawab sendiri: TIDAK. Mereka saling melengkapi. Dan dengan sombong, saya menganggap mereka bertujuh sependapat dengan saya.
Saat pembacaan apresiasi, saya meluaskan pandang ke penonton, tidak lagi ke depan panggung. Tercenung, mungkin lebih kepada diam dan malas berkata-kata; banyak penonton yang keluar, mengobrol sendiri, sibuk dengan gawai di tangan, bahkan “tega” menikmati lagu dengan perangkat headset di telinga! Jika bisa, saya ingin melempar anak berseragam sekolah itu dengan kotak jajan. Sungguh miris.
Dalam suasana ini, saya agak menyimpulkan: penikmat akan merasa sangat terganggu jika duduk bersama orang yang sekedar duduk dan “numpang eksis”. Ini terjadi saat saya dan kawan-kawan sastrawan muda merasa terganggu dengan tingkah seorang anak yang menyeletuki Sindu Putra saat sedang membaca puisinya.

“Mentok”
Ketika sesi diskusi dimulai, banyak tangan-tangan kanan muncul di permukaan kepala para penonton. Mulai dari siswa, mahasiswa, dan para sipil. Dari sekian banyak pertanyaan, satu intinya: “ Mengapa sulit memahami sastra?”
Entah, mungkin saya sedang merasa sombong. Saya merasa tidak ada yang perlu ditanyakan karena saya menikmati acara ini. Jika ada yang perlu ditanyakan, mungkin saya ingin seperti dikusi saja. Kita mendiskusikan sastra kekinian—jadi bukan hanya gawai dan sosialita yang kekinian, tetapi sastra juga! Akan tetapi, yang terjadi di sini adalah pembahasan mentah soal bagaiman memahami makna sastra. Yusi Paraenom mengawali jawabannya dengan santai: “Jika tidak pernah bersentuhan langsung dengan sastra, pasti merasa sulit.” Yap, saya setuju.
Begitu pula dengan Kiki Sulistyo yang menyuguhkan pernyataan lain tentang memahami sastra, “Saya bersyukur tidak sekolah. Bersyukur pula tidak mengenal sastra melalui bangku sekolah.” Ia menjelaskan bahwa memahami sastra di sekolah dengan di luar sekolah tidaklah sama. “Jika di sekolah, kalian akan disuguhi pertanyaan ‘apa pesan moral dari cerita pendek ini?’ lalu diberi pilihan A, B, C. Sedangkan penarsiran karya sastra sangatlah luas, tidak bisa dibatasi dengan pilihan ganda seperti itu,” ujarnya. Ia pun berpesan kepada kita semua untuk tidak lagi mencari pesan moral di dalam karya sastra; karena tidak semua karya sastra memiliki pesan moral yang sesuai dengan keinginan orang banyak. Maksudnya, di sini, ya yang hidupnya lurus-lurus saja. Saya pun sepakat. Sastra di sekolah mungkin hanya pemanis buatan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Atau, pemeran figuran dalam sinetron. Atau, buruh di sebuah pabrik. Ia sesuatu yang bergumul dan abstrak, kerap dilupakan. Namun tanpanya, sinetron dan pabrik tidak akan hidup.
Ini adalah hal yang sederhana. Ah, sudahlah.. saya agak malas menjabarkannya lagi karena memang itu sederhana. Jika ingin tahu, maka cari tahu. Selesai.
Ada satu pertanyaan yang “nyelekit” dari seorang  perempuan berkerudung merah muda: “Mengapa tujuh orang di depan semuanya laki-laki? Apa memang tidak ada perempuan yang mampu menjadikan dirinya sastrawan? Apakah dalam sastra, laki-laki dan perempuan itu memiliki hak dan derajat yang sama?” Bagus, kan?
Ada juga laki-laki berkaus putih yang bertanya tentang makna spanduk acara yang menampilkan sosok anak lelaki duduk dengan mata ditutup kain putih, juga di atasnya ada sangkar burung kosong.
Joko Pinurbo menjawab pertanyaan dengan lugas. Sangkar kosong dalam spanduk berlatar biru itu adalah perumpamaan bagi pola pikir kita. “Ini adalah simbolis untuk keluar dari hal yang memenjarakan kita dari pengembangan diri untuk menulis. Sangkar itu bisa diibaratkan rasa malas, merasa cukup untuk belajar, dan lain-lain. Keluar dari zona nyaman!”
Sedangkan lelaki yang ditutup  matanya adalah perumpanaan untuk mereka yang suka, atau terlena dengan hal-hal visual. Joko Pinurbo pun menganalogikan dengan manusia; tutuplah mata manusia selama lima menit, maka yang akan bekerja dalam dirinya adalah imajinasi. Ia akan mulai membayangkan apa  saja, berfikir apa saja. Akan lebih, ia akan mulai mengasah kepekaannya. Kece!
Namun agak mengecewakan ketika moderator menjawab pertanyaan mengenai sastrawan perempuan yang tidak hadir. Ia hanya menjawab, “Maaf, sastrawan perempuan tidak hadir karena sakit.” Itu saja.
Hal yang menjadi ujung diksusi ini adalah pemahaman masyarakat tentang sastra masih terkungkung oleh makna. Selalu bertanya tentang makna rasanya tidak akan menjadikan seorang manusia memahami sesuatu secara utuh—setidaknya itu pendapat saya. Bagaimana kita mampu mencintai atau menikmati sesuatu tanpa mau mengenal dan mengaguminya? Begitu pula dengan sastra. Jadi, jika masih mentok dengan makna, sibuk dengan aturan-aturan kaku sastra di buku sekolah, maka ruang sastra akan tetap tertutup pintunya.

BAIQ ILDA KARWAYU
Litbang LPM Pena Kampus FKIP Unram

Senin, 16 November 2015

MANUSIA ATAS KEMANUSIAAN

Manusia itu kejam, ya. Bahkan tidak lebih baik dari makhluk Tuhan lainnya ketika berkomunikasi dengan sesamanya. Pantaslah Tuhan menuliskan kerusakan di bumi akibat ulah manusia di dalam kitabNya. Betapa saya, kita, kalian, mereka, berfikir bahwa manusia adalah makhluk Tuhan paling sempurna—dengan akal pikiran yang dimiliki. Namun sungguh itu justru menjadi bumerang atas kehidupan yang dijalaninya di dunia.
Melihat progress rantai makanan di tanah Afrika, sering membuat mata dan hati kita bergidik ngeri, “Mengapa Tuhan menciptakan makhluk yang kejam dan saling bunuh membunuh? Saling makan dan mencincang tiada ampun?” manusia menilai hewan liar dengan enteng tanpa refleksi di depan cermin. Manusia menggigit sesamanya tidak dengan gigi. Bahkan itu lebih. Manusia mampu menggigit dengan lidah, tangan, kaki, rambut, bahkan matanya.
Keajaiban alam oleh Tuhan yang sebenarnya mengerikan jika kita mau menelaah lebih jauh. Saya sedang menonton film CART ketika  menulis ini. Film produksi tanah ginseng yang telah membuka secuil sudut mata saya, bahwa tidak hanya di negara berkembang saja ketidakadilan buruh terjadi. Negara maju sekelas Korea Selatan (Korsel) pun masih merasakan itu. Negara dengan tingkat kemapanan pendidikan nomor satu di dunia tahun 2015 ini masih menyisakan tubuh-tubuh teka terbayar adil dari hasil kerja mereka.
Kesenjangan sosial pun tampak dari film ini. Manusia kelas atas—kaya—enggan menaruh empati kepada para buruh yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak dan tanpa alasan. Anak-anak dan  keluarga dari buruh menjadi korban. Sekolah tak terbayarkan. Makan tak tertanggung. Anak akhirnya bekerja paruh waktu. Saya tidak sedang menonton Joshua Oh Joshua, saya menonton CART.

Setelah ini, kemanusiaan, kehewanan, ketumbuhan, dimana letak bedanya? Bentuk tubuh? Mungkin. Kita manusia, seperti apa hakikat sifat dan sikap seorang manusia sejatinya? Saya mulai berfikir bahwa sebenarnya kita semua sama saja dengan hewan dan tumbuhan. Hanya saja kita ini mampu berpindah tempat—tidak seperti tumbuhan. Juga kita mampu mengolah akal secara logis dan lebih  kompleks dari hewan. Nah, sekarang apa lagi? Bukan berarti saya menyetujui Teori Darwin, loh. Ini konteksnya berbeda. Ini  kemanusiaan antar sesama manusia. Makanya disebut ke-manusia-an.
Saya melihat hukum rimba berjalan dengan jelas dalam film ini. Uang akan melancarkan segala kebutuhan manusia. Tidak hanya kebutuhan pokok (primer), tambahan (sekunder), bahkan hal mewah (tersier). Siapa yang mampu menimbun uang lebih banyak, mereka akan menguasai sikap berkuasa dan menindas yang  kurang pandai menimbun uang. Namun, benarkah mereka kurang pandai? Jawabannya adalah TIDAK. Mereka dipaksa “kurang pandai” karena sistem. Keserakahan orang-orang penimbun uang terdahulu yang membuat sistem menjadi sulit untuk adil. Mereka takut jika uang mengalir rata ke kantong setiap manusia. Mereka hanya ingin uang mengalir ke kantong, tas, dan bermuara di rumah  mereka. Tidak ada kata berbagi.
Berbicara soal berbagi, jangankan Korsel—yang notabene berpenduduk atheis banyak—di Indonesia saja, dengan mayoritas penduduk Muslim, perjalanan atau perputaran uang masih belum merata. Berarti manusia beragama tidak menjamin kesejahteraan, ya. Manusia tetaplah  manusia. Bisa jadi hewan yang liar dan agresif serta angkuh, bisa jadi tumbuhan yang hanya diam di tempat ketika ketidakadilan menghempas hak sesamanya. Lantas, dimana nilai kemanusiaan itu hidup?
Ini hanya masalah buruh kerja. Manusia yang bekerja untuk menghidupi dirinya dan keturunannya. Jika tidak, mereka akan mati dan punah. Hanya seperti itu. Bekerja, dapat gaji berupa uang, ditukar dengan makanan, dimakan, kenyang, bekerja lagi, dan begitu seterusnya. Belum lagi ditambah beli pakaian untuk menutup tubuh, memperbaiki tempat tinggal agar tidak sakit dan  mati, juga memenuhi nutrisi otak dengan belajar—setidaknya begitulah kehidupan primer.
Sekunder?  Tersier? Jangan ditanya. Ini hanya berlaku untuk mereka yang pintar menimbun uang. Ah, sudahlah. Sepertinya saya menulis terlalu “kesana-kemari”. Tentang manusia atas kemanusiaan; terlalu luas. Terlalu kompleks. Terlalu rumit. Terlalu membosankan. Karena, toh, akan tetap seperti itu. Skenario Tuhan masih akan berlanjut hingga ujung waktu memangkas gelagat seluruh umatNya. Dan saya semakin merasa tidak waras dengan realita kemanusiaan ini tak mampu sepenuhnya saya tuangkan ke dalam tulisan.

Sabtu, 14 November 2015

Semua Itu Hanya Alasan (!)

Tuhan, betapa ide di kepala telah menumpuk. Tapi, ya.. ketekunan memang sulit. Susah! "Susah"? Benarkah susah? Awalnya memang saya berfikir demikian karena untuk menuangkan ide yang cantik dan runut tidaklah seperti mengurutkan angka-angka di atas meja. Untuk mendapatkan tulisan berkualitas, ide dan cara menulis haruslah sejalan. Bisa jadi sebuah tulisan memuat ide yang keren, namun hal tersebut urung tersampaikan dikarenakan cara menulis yang buruk. Akan tetapi, entah mengapa, jika cara menulis telah lancar dan kece, maka ide sesederhana apapun menjadi indah dan masuk akal.
Saya teringat Seno Gumira Ajidarma. Tulisan-tulisannya begitu sederhana dan menyentuh. Betapa ia tidak kehabisan ide untuk dipindahkan ke atas kertas tulis. Tentu keahlian tersebut tidak didapat secara instan. Proses keras dibarengi dengan progres yang tekun telah mengantarkannya ke tahap "menulis indah dan damai" (ini hanya istilah saya saja).
Lantas, apa korelasi antara kisah tersebut dengan judul saya di atas? tentu ada. Guru kece saya, Kiki Sulistyo, selalu menekankan kami untuk praktik menulis setiap hari. Membiasakan diri menulis setiap hari adalah salah satu cara untuk mencapai titik menulis indah dan damai. Hahahaa...
Hei, meski terkesan ringan dan bercanda, tips itu benar adanya. Dan itulah yang susah dijalankan. Berbagai alasan terlontar untuk membenarkan ketidaksempatan saya untuk menulis setiap hari. Padahal ada saja yang harus ditulis; selain skripsi tentunya. "Tulislah apapun itu," kata Mas Kiki. Nah, kebanyakan karena teknik menulis yang kurang pengayaan, maka tulisan saya hanya itu-itu saja. Berbagai ide keren menjadi biasa saja karena penyampaiannya monoton.
Alasan yang sibuk, tidak sempat, laptop rusak, malas, sedang lelah, sedang membaca buku lain, susah untuk diterapkan setiap hari, sedang fokus skripsi, blablablaa... sebenarnya hanyalah alasan. Memang kesusahan tidak bisa dipungkiri, namun hal konyol itu sebenarnya mampu diatasi dengan sedikit paksaan. Lihatlah bagaimana N. Riantiarno memaksa dirinya untuk menulis satu naskah dengan kurun waktu berkala. Lihat juga Putu Wijaya yang tetap kekeuh menuangkan isi kepalanya meski saat sedang sakit. Meski harus melisankan idenya, dibantu sang isteri untuk mengetik, ia tetap berkarya hingga kini. Mereka hanyalah secuil penulis tua yang tetap menjaga semangat menulisnya. 
Sekarang, bercerminlah, penulis muda. Apakah kau telah pantas menyebut dirimu seorang penulis? Dengan semangat sempit bin seiprit, tidakkah kau malu memanjakan rasa malasmu untuk menyia-nyiakan ide di kepala? Sebelum semua itu terkulum alasan dan akhirnya menjadi debu yang tersapu umur, alangkah baiknya segera ubah diri. Paksa tulis apapun yang perlu setiap hari! PAKSA!

Kamis, 12 November 2015

Should I Get Lost?

Setelah mengeluh dengan cantik, saya merasa ingin pergi dari pulau ini. Entah apa gerangan yang hinggap di otak, tapi saya serius ingin pergi. Pergi mencari hal baru, suasana baru, teman baru, kehidupan baru, bersama orang-orang baru. Hal ini jelas penting karena saya merasa isi kepala saya jalan di tempat. Saya tak lagi mampu menelurkan ide-ide segar nan bernutrisi yang nantinya saya olah menjadi tulisan sehat bin bermanfaat.
Dengan  umur matang, emosi dan kedewasaan seseorang tak selamanya berbanding lurus dengan itu. Saya merasa semakin seperti anak kecil. Anak kecil yang liar. Berlari membawa sepeda dengan tujuan "semau gue". Berharap menemukan sejuput ilmu dari gudang pengalaman. Lantas, saya mulai berfikir, yang membedakan kita semua bukanlah postur tubuh melainkan usia. Hanya usia. Segi sikap dan sifat, semua orang dari segala umur masih bisa bertingkah sama. Hanya keluhan-keluhan yang membuat topiknya menjadi berbeda. Tentang mimpi-mimpi, cita-cita, cinta, pujaan, segalanya mirip dan nyaris sama.
Jika demikian, apa yang sedang tertulis dan tertuang ini hanyalah sampah sisa-sisa mimpi anak kecil yang ingin segera melang-lang buana. Otaknya sedang butuh bacaan waras. Ia sedang mual dengan rutinintas yang dijalaninya sekarang ini. Menyedihkan. Obatnya hanya satu: tidur di pangkuan Tuhan.