“Puisi adalah kejujuran.”—Wayan
Sunarta (Bali)
“Sastra: mendengar
sesuatu di balik sesuatu.”—Ahda Imran (Bandung)
“Karya sastra yang bagus, ia akan melintasi ruang dan
waktu.”—A.S. Laksana (Jakarta)
Menghadiri
Apresiasi Sastra 2015 di Museum Negeri Nusa Tenggara Barat (NTB), saya merasa
seperti sedang berada di ruang imunisasi. Atmosfir kesusastraan menjadi vitamin
positif bagi saya. Berkumpul dengan orang-orang yang juga mengagumi sastra pun
sangat menyenangkan. Pengorbanan para sastrawan nasional yang rela berjauh dari
tempat domisili, hanya untuk membagi ilmunya di pulau kecil ini, sungguh sangat
tinggi apresiasi saya. Akan tetapi hal tersebut sepertinya tidak dirasakan oleh
seluruh peserta di sini.
Acara
yang terhelat pada Selasa 17 November 2015 ini diselenggarakan pukul sembilan
pagi. Lahan parkir telah dipenuhi oleh berbagai kendaraan adalah pemandangan
“tumben”. Dengan enteng saya katakan demikian karena memang di hari-hari biasa,
museum bukanlah tempat yang ramai dikunjungi. Jika ada yang tidak setuju, saya
mungkin akan dengan enteng pula menyebut mereka sebagai orang buta—atau minimal
hobi berkacamata hitam tiap kali melewati museum.
Masuk
ke gerbang museum, kawan-kawan panitia telah seiap dengan buku tamu dan kudapan
berbungkus kotak jajan limaribuan. Isi kotaknya standar. Namun isi acaranya
istimewa. Ahdan Imran dari Bandung, A.S. Laksana dan Yusi Pareanom dari Jakarta, Joko
Pinurbo dari Yogyakarta, Wayan
Sunarta dari Bali, serta Sindu Purta
dan Kiki Sulistyo dari Mataram—tujuh
“nabi” sastra 2015 yang sedang duduk berderet di panggung, menjadi pemandangan
emas di mata saya. Dan, serupa kupu-kupu duduk di antara para kumbang, Kepala
Museum NTB—yang saya lupa namanya siapa—anteng duduk rapi sambil menyembunyikan
rasa gugupnya.
Oh, sebelum saya lanjutkan, untuk
dimaklumi, ulasan ini mungkin lebih seperti catatan harian saya. Jadi saya akan
mengulas menggunakan sudut pandang seorang pencinta sastra.
Para sastrawan membacakan karya
masing-masing. Ada puisi, ada cerita pendek. Saya seperti kembali ke masa
kecil, dimana ibu saya sering membacakan buku dongeng hadiah sekotak susu. Saya
menikmati bacaan di tiap-tiap diksinya. Saya kembali hidup.
Wayan Sunarta membalut isu reklamasi Teluk
Benoa dengan lima puisi pergerakannya. Sungguh bergelora dan bersemangat! Lain
lagi dengan Joko Pinurbo dengan puisi kocak namun berserat filosofis agama.
A.S. Laksana membacakan cerita pendek yang menyentuh realita ibu kota. Sekilas
otak saya bertanya, “Ia dapat meramu cerita seperti itu pasti karena pernah
melihat, atau merasakan suasana demikian. Lantas, bisakah kita mengolah
imajinasi tanpa replika dari kehidupan nyata?” dan saya menjawab sendiri:
TIDAK. Mereka saling melengkapi. Dan dengan sombong, saya menganggap mereka bertujuh
sependapat dengan saya.
Saat pembacaan apresiasi, saya meluaskan
pandang ke penonton, tidak lagi ke depan panggung. Tercenung, mungkin lebih
kepada diam dan malas berkata-kata; banyak penonton yang keluar, mengobrol
sendiri, sibuk dengan gawai di tangan, bahkan “tega” menikmati lagu dengan
perangkat headset di telinga! Jika
bisa, saya ingin melempar anak berseragam sekolah itu dengan kotak jajan.
Sungguh miris.
Dalam suasana ini, saya agak menyimpulkan:
penikmat akan merasa sangat terganggu jika duduk bersama orang yang sekedar
duduk dan “numpang eksis”. Ini terjadi saat saya dan kawan-kawan sastrawan muda
merasa terganggu dengan tingkah seorang anak yang menyeletuki Sindu Putra saat
sedang membaca puisinya.
“Mentok”
Ketika sesi diskusi dimulai, banyak
tangan-tangan kanan muncul di permukaan kepala para penonton. Mulai dari siswa,
mahasiswa, dan para sipil. Dari sekian banyak pertanyaan, satu intinya: “ Mengapa sulit memahami sastra?”
Entah, mungkin saya sedang merasa sombong.
Saya merasa tidak ada yang perlu ditanyakan karena saya menikmati acara ini.
Jika ada yang perlu ditanyakan, mungkin saya ingin seperti dikusi saja. Kita
mendiskusikan sastra kekinian—jadi bukan hanya gawai dan sosialita yang
kekinian, tetapi sastra juga! Akan tetapi, yang terjadi di sini adalah
pembahasan mentah soal bagaiman memahami makna sastra. Yusi Paraenom mengawali
jawabannya dengan santai: “Jika tidak pernah bersentuhan langsung dengan
sastra, pasti merasa sulit.” Yap,
saya setuju.
Begitu pula dengan Kiki Sulistyo yang
menyuguhkan pernyataan lain tentang memahami sastra, “Saya bersyukur tidak
sekolah. Bersyukur pula tidak mengenal sastra melalui bangku sekolah.” Ia
menjelaskan bahwa memahami sastra di sekolah dengan di luar sekolah tidaklah sama.
“Jika di sekolah, kalian akan disuguhi pertanyaan ‘apa pesan moral dari cerita
pendek ini?’ lalu diberi pilihan A, B, C. Sedangkan penarsiran karya sastra
sangatlah luas, tidak bisa dibatasi dengan pilihan ganda seperti itu,” ujarnya.
Ia pun berpesan kepada kita semua untuk tidak lagi mencari pesan moral di dalam
karya sastra; karena tidak semua karya sastra memiliki pesan moral yang sesuai
dengan keinginan orang banyak. Maksudnya, di sini, ya yang hidupnya lurus-lurus saja. Saya pun sepakat. Sastra di sekolah
mungkin hanya pemanis buatan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Atau,
pemeran figuran dalam sinetron. Atau, buruh di sebuah pabrik. Ia sesuatu yang
bergumul dan abstrak, kerap dilupakan. Namun tanpanya, sinetron dan pabrik
tidak akan hidup.
Ini adalah hal yang sederhana. Ah, sudahlah.. saya agak malas
menjabarkannya lagi karena memang itu sederhana. Jika ingin tahu, maka cari
tahu. Selesai.
Ada satu pertanyaan yang “nyelekit” dari
seorang perempuan berkerudung merah
muda: “Mengapa tujuh orang di depan semuanya laki-laki? Apa memang tidak ada
perempuan yang mampu menjadikan dirinya sastrawan? Apakah dalam sastra,
laki-laki dan perempuan itu memiliki hak dan derajat yang sama?” Bagus, kan?
Ada juga laki-laki berkaus putih yang
bertanya tentang makna spanduk acara yang menampilkan sosok anak lelaki duduk
dengan mata ditutup kain putih, juga di atasnya ada sangkar burung kosong.
Joko Pinurbo menjawab pertanyaan dengan
lugas. Sangkar kosong dalam spanduk berlatar biru itu adalah perumpamaan bagi
pola pikir kita. “Ini adalah simbolis untuk keluar dari hal yang memenjarakan
kita dari pengembangan diri untuk menulis. Sangkar itu bisa diibaratkan rasa
malas, merasa cukup untuk belajar, dan lain-lain. Keluar dari zona nyaman!”
Sedangkan lelaki yang ditutup matanya adalah perumpanaan untuk mereka yang
suka, atau terlena dengan hal-hal visual. Joko Pinurbo pun menganalogikan dengan
manusia; tutuplah mata manusia selama lima menit, maka yang akan bekerja dalam
dirinya adalah imajinasi. Ia akan mulai membayangkan apa saja, berfikir apa saja. Akan lebih, ia akan mulai
mengasah kepekaannya. Kece!
Namun agak mengecewakan ketika moderator
menjawab pertanyaan mengenai sastrawan perempuan yang tidak hadir. Ia hanya
menjawab, “Maaf, sastrawan perempuan tidak hadir karena sakit.” Itu saja.
Hal yang menjadi ujung diksusi ini adalah
pemahaman masyarakat tentang sastra masih terkungkung oleh makna. Selalu
bertanya tentang makna rasanya tidak akan menjadikan seorang manusia memahami
sesuatu secara utuh—setidaknya itu pendapat saya. Bagaimana kita mampu
mencintai atau menikmati sesuatu tanpa mau mengenal dan mengaguminya? Begitu
pula dengan sastra. Jadi, jika masih mentok dengan makna, sibuk dengan
aturan-aturan kaku sastra di buku sekolah, maka ruang sastra akan tetap
tertutup pintunya.
BAIQ ILDA KARWAYU
Litbang LPM Pena Kampus FKIP Unram
Tidak ada komentar:
Posting Komentar