Manusia itu kejam, ya.
Bahkan tidak lebih baik dari makhluk Tuhan lainnya ketika berkomunikasi dengan
sesamanya. Pantaslah Tuhan menuliskan kerusakan di bumi akibat ulah manusia di
dalam kitabNya. Betapa saya, kita, kalian, mereka, berfikir bahwa manusia
adalah makhluk Tuhan paling sempurna—dengan akal pikiran yang dimiliki. Namun
sungguh itu justru menjadi bumerang atas kehidupan yang dijalaninya di dunia.
Melihat progress rantai makanan di tanah Afrika, sering
membuat mata dan hati kita bergidik ngeri, “Mengapa Tuhan menciptakan makhluk
yang kejam dan saling bunuh membunuh? Saling makan dan mencincang tiada ampun?”
manusia menilai hewan liar dengan enteng tanpa refleksi di depan cermin.
Manusia menggigit sesamanya tidak dengan gigi. Bahkan itu lebih. Manusia mampu
menggigit dengan lidah, tangan, kaki, rambut, bahkan matanya.
Keajaiban alam oleh Tuhan yang sebenarnya mengerikan jika
kita mau menelaah lebih jauh. Saya sedang menonton film CART ketika menulis ini. Film produksi tanah ginseng yang
telah membuka secuil sudut mata saya, bahwa tidak hanya di negara berkembang
saja ketidakadilan buruh terjadi. Negara maju sekelas Korea Selatan (Korsel) pun
masih merasakan itu. Negara dengan tingkat kemapanan pendidikan nomor satu di
dunia tahun 2015 ini masih menyisakan tubuh-tubuh teka terbayar adil dari hasil
kerja mereka.
Kesenjangan sosial pun tampak dari film ini. Manusia kelas
atas—kaya—enggan menaruh empati kepada para buruh yang terkena Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak dan tanpa alasan. Anak-anak dan keluarga dari buruh menjadi korban. Sekolah
tak terbayarkan. Makan tak tertanggung. Anak akhirnya bekerja paruh waktu. Saya
tidak sedang menonton Joshua Oh Joshua, saya menonton CART.
Setelah ini, kemanusiaan, kehewanan, ketumbuhan,
dimana letak bedanya? Bentuk tubuh? Mungkin. Kita manusia, seperti apa hakikat
sifat dan sikap seorang manusia sejatinya? Saya mulai berfikir bahwa sebenarnya
kita semua sama saja dengan hewan dan tumbuhan. Hanya saja kita ini mampu
berpindah tempat—tidak seperti tumbuhan. Juga kita mampu mengolah akal secara logis
dan lebih kompleks dari hewan. Nah, sekarang apa lagi? Bukan berarti
saya menyetujui Teori Darwin, loh.
Ini konteksnya berbeda. Ini kemanusiaan
antar sesama manusia. Makanya disebut ke-manusia-an.
Saya melihat hukum rimba berjalan dengan jelas dalam film
ini. Uang akan melancarkan segala kebutuhan manusia. Tidak hanya kebutuhan
pokok (primer), tambahan (sekunder), bahkan hal mewah (tersier). Siapa yang
mampu menimbun uang lebih banyak, mereka akan menguasai sikap berkuasa dan
menindas yang kurang pandai menimbun
uang. Namun, benarkah mereka kurang pandai? Jawabannya adalah TIDAK. Mereka dipaksa “kurang pandai”
karena sistem. Keserakahan orang-orang penimbun uang terdahulu yang membuat
sistem menjadi sulit untuk adil. Mereka takut jika uang mengalir rata ke
kantong setiap manusia. Mereka hanya ingin uang mengalir ke kantong, tas, dan
bermuara di rumah mereka. Tidak ada kata
berbagi.
Berbicara soal berbagi, jangankan Korsel—yang notabene
berpenduduk atheis banyak—di Indonesia saja, dengan mayoritas penduduk Muslim,
perjalanan atau perputaran uang masih belum merata. Berarti manusia beragama
tidak menjamin kesejahteraan, ya. Manusia tetaplah manusia. Bisa jadi hewan yang liar dan
agresif serta angkuh, bisa jadi tumbuhan yang hanya diam di tempat ketika
ketidakadilan menghempas hak sesamanya. Lantas, dimana nilai kemanusiaan itu
hidup?
Ini hanya masalah buruh kerja. Manusia yang bekerja untuk
menghidupi dirinya dan keturunannya. Jika tidak, mereka akan mati dan punah.
Hanya seperti itu. Bekerja, dapat gaji berupa uang, ditukar dengan makanan,
dimakan, kenyang, bekerja lagi, dan begitu seterusnya. Belum lagi ditambah beli
pakaian untuk menutup tubuh, memperbaiki tempat tinggal agar tidak sakit
dan mati, juga memenuhi nutrisi otak
dengan belajar—setidaknya begitulah kehidupan primer.
Sekunder? Tersier?
Jangan ditanya. Ini hanya berlaku untuk mereka yang pintar menimbun uang. Ah, sudahlah. Sepertinya saya menulis
terlalu “kesana-kemari”. Tentang manusia atas kemanusiaan; terlalu luas.
Terlalu kompleks. Terlalu rumit. Terlalu membosankan. Karena, toh, akan tetap seperti itu. Skenario
Tuhan masih akan berlanjut hingga ujung waktu memangkas gelagat seluruh
umatNya. Dan saya semakin merasa tidak waras dengan realita kemanusiaan ini tak
mampu sepenuhnya saya tuangkan ke dalam tulisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar