Senin, 16 November 2015

MANUSIA ATAS KEMANUSIAAN

Manusia itu kejam, ya. Bahkan tidak lebih baik dari makhluk Tuhan lainnya ketika berkomunikasi dengan sesamanya. Pantaslah Tuhan menuliskan kerusakan di bumi akibat ulah manusia di dalam kitabNya. Betapa saya, kita, kalian, mereka, berfikir bahwa manusia adalah makhluk Tuhan paling sempurna—dengan akal pikiran yang dimiliki. Namun sungguh itu justru menjadi bumerang atas kehidupan yang dijalaninya di dunia.
Melihat progress rantai makanan di tanah Afrika, sering membuat mata dan hati kita bergidik ngeri, “Mengapa Tuhan menciptakan makhluk yang kejam dan saling bunuh membunuh? Saling makan dan mencincang tiada ampun?” manusia menilai hewan liar dengan enteng tanpa refleksi di depan cermin. Manusia menggigit sesamanya tidak dengan gigi. Bahkan itu lebih. Manusia mampu menggigit dengan lidah, tangan, kaki, rambut, bahkan matanya.
Keajaiban alam oleh Tuhan yang sebenarnya mengerikan jika kita mau menelaah lebih jauh. Saya sedang menonton film CART ketika  menulis ini. Film produksi tanah ginseng yang telah membuka secuil sudut mata saya, bahwa tidak hanya di negara berkembang saja ketidakadilan buruh terjadi. Negara maju sekelas Korea Selatan (Korsel) pun masih merasakan itu. Negara dengan tingkat kemapanan pendidikan nomor satu di dunia tahun 2015 ini masih menyisakan tubuh-tubuh teka terbayar adil dari hasil kerja mereka.
Kesenjangan sosial pun tampak dari film ini. Manusia kelas atas—kaya—enggan menaruh empati kepada para buruh yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak dan tanpa alasan. Anak-anak dan  keluarga dari buruh menjadi korban. Sekolah tak terbayarkan. Makan tak tertanggung. Anak akhirnya bekerja paruh waktu. Saya tidak sedang menonton Joshua Oh Joshua, saya menonton CART.

Setelah ini, kemanusiaan, kehewanan, ketumbuhan, dimana letak bedanya? Bentuk tubuh? Mungkin. Kita manusia, seperti apa hakikat sifat dan sikap seorang manusia sejatinya? Saya mulai berfikir bahwa sebenarnya kita semua sama saja dengan hewan dan tumbuhan. Hanya saja kita ini mampu berpindah tempat—tidak seperti tumbuhan. Juga kita mampu mengolah akal secara logis dan lebih  kompleks dari hewan. Nah, sekarang apa lagi? Bukan berarti saya menyetujui Teori Darwin, loh. Ini konteksnya berbeda. Ini  kemanusiaan antar sesama manusia. Makanya disebut ke-manusia-an.
Saya melihat hukum rimba berjalan dengan jelas dalam film ini. Uang akan melancarkan segala kebutuhan manusia. Tidak hanya kebutuhan pokok (primer), tambahan (sekunder), bahkan hal mewah (tersier). Siapa yang mampu menimbun uang lebih banyak, mereka akan menguasai sikap berkuasa dan menindas yang  kurang pandai menimbun uang. Namun, benarkah mereka kurang pandai? Jawabannya adalah TIDAK. Mereka dipaksa “kurang pandai” karena sistem. Keserakahan orang-orang penimbun uang terdahulu yang membuat sistem menjadi sulit untuk adil. Mereka takut jika uang mengalir rata ke kantong setiap manusia. Mereka hanya ingin uang mengalir ke kantong, tas, dan bermuara di rumah  mereka. Tidak ada kata berbagi.
Berbicara soal berbagi, jangankan Korsel—yang notabene berpenduduk atheis banyak—di Indonesia saja, dengan mayoritas penduduk Muslim, perjalanan atau perputaran uang masih belum merata. Berarti manusia beragama tidak menjamin kesejahteraan, ya. Manusia tetaplah  manusia. Bisa jadi hewan yang liar dan agresif serta angkuh, bisa jadi tumbuhan yang hanya diam di tempat ketika ketidakadilan menghempas hak sesamanya. Lantas, dimana nilai kemanusiaan itu hidup?
Ini hanya masalah buruh kerja. Manusia yang bekerja untuk menghidupi dirinya dan keturunannya. Jika tidak, mereka akan mati dan punah. Hanya seperti itu. Bekerja, dapat gaji berupa uang, ditukar dengan makanan, dimakan, kenyang, bekerja lagi, dan begitu seterusnya. Belum lagi ditambah beli pakaian untuk menutup tubuh, memperbaiki tempat tinggal agar tidak sakit dan  mati, juga memenuhi nutrisi otak dengan belajar—setidaknya begitulah kehidupan primer.
Sekunder?  Tersier? Jangan ditanya. Ini hanya berlaku untuk mereka yang pintar menimbun uang. Ah, sudahlah. Sepertinya saya menulis terlalu “kesana-kemari”. Tentang manusia atas kemanusiaan; terlalu luas. Terlalu kompleks. Terlalu rumit. Terlalu membosankan. Karena, toh, akan tetap seperti itu. Skenario Tuhan masih akan berlanjut hingga ujung waktu memangkas gelagat seluruh umatNya. Dan saya semakin merasa tidak waras dengan realita kemanusiaan ini tak mampu sepenuhnya saya tuangkan ke dalam tulisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar