Senin, 29 Mei 2017

Sistem Zonasi Runtuhkan “Podium” Ranking Kesenjangan Antarsekolah



Membaca perkembangan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nomor 17 Tahun 2017 tentang Sistem Zonasi untuk penempatan peserta didik di sekolah rupanya akan merubah beberapa hal; salah satunya adalah “podium” ranking yang selama ini memupuk kesenjangan antarsekolah.
            Mengerucut ke contoh kasus sekolah yang ada di Kota Mataram, siapa yang tidak kenal Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Mataram sebagai sekolah bergengsi? Begitu juga dengan SMAN 5 Mataram dan SMAN 2 Mataram. Ketiganya, bisa dibilang, adalah sekolah-sekolah yang menduduki podium ranking gelar sekolah menengah atas pencetak lulusan cemerlang. Begitu juga dalam lingkup madrasah aliyah negeri (MAN) dengan podium ranking diduduki oleh MAN 2 Mataram dan sekolah menengah kejuruan (SMK) yang disabet oleh SMKN 3 Mataram. Podium-podium ini telah terbentuk sejak lama.
            Mengapa peraturan tersebut diasumsikan dapat meruntuhkan podium? Mari kita cermati empat poin dari Peraturan Mendikbud No.17/2017: (1) Sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah paling sedikit sebesar 90%  (sembilan puluh persen) dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima; (2) Domisili calon peserta didik berdasarkan alamat mereka pada kartu keluarga yang diterbitkan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum pelaksanaan PPDB; (3) radius zona terdekat ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kondisi daerah tersebut berdasarkan jumlah ketersediaan daya tampung berdasarkan ketentuan rombongan belajar tiap sekolah dengan ketersediaan anak usia sekolah di daerah tersebut; (4) Bagi sekolah yang berada di daerah perbatasan provinsi/kabupaten/kota, ketentuan persentase dan radius zona terdekat dapat diterapkan melalui kesepakatan secara tertulis antarpemerintah daerah yang saling berbatasan.
            Keempat poin tersebut akan dilaksanakan pada tahun ajaran baru ini, Juni-Juli 2017. Jika poin satu diangan-angankan rasionalisasinya, maka beberapa sekolah—di Kota Mataram—akan berebut peserta didik. Bagaimana tidak, melihat Jalan Pejanggik, terdapat beberapa sekolah menengah pertama (SMP) yang saling berdekatan. Nasib yang sama pun akan dialami oleh beberapa SMA di Jalan Pendidikan. Akan tetapi hal tersebut tidak akan terjadi pada beberapa sekolah di Jalan Lingkar Selatan yang justru membutuhkan “tetangga” karena minimnya sekolah di lingkungan tersebut. Sementara di sekitarnya mulai banyak bangunan perumahan—yang nantinya tentu akan dihuni oleh keluarga.
            Terlebih lagi, kata “diterima” dalam poin ini mengacu pada proses penerimaan peserta didik yang selama ini menjadikan nilai ujian nasional (UN) sebagai syaratnya. Andaikata seorang anak SMP yang lulus tahun ini, berdomisili di Kelurahan Dasan Agung, memiliki nilai cukup memuaskan namun tidak memenuhi standar syarat SMAN 5 Mataram, maka apa yang akan terjadi? Secara tempat domisili, ia bisa lulus di sekolah tersebut jika berkiblat ke peraturan terbaru. Akan tetapi ini menjadi tumpang tindih jika syarat nilai UN masih diterapkan di SMAN 5 Mataram. Dilema, kan?
            Contoh lainnya, seorang anak SMP yang juga lulus tahun ini, mengantongi nilai UN di atas rata-rata dan dinyatakan lulus di SMAN 1 Mataram. Sayangnya, ia berdomisili di Kelurahan Babakan. Maka dengan peraturan yang baru, ia baiknya bersekolah di SMAN 8 Mataram. Dengan demikian, tujuan Mendikbud untuk meratakan pendidikan akan tercapai. Namun, pertanyaan selanjutnya, apakah pihak sekolah dengan rela menerima hal tersebut? maksudnya, kegiatan “pengumpulan” anak-anak di atas rata-rata melalui penerimaan peserta didik baru ini tidak lagi ada setelah peraturan Mendikbud dijalankan.
            Ini terdengar seperti sebuah ancaman serius. Sebagai seorang guru, saya merasakan bagaimana “nikmatnya” mengajar peserta didik dengan kemampuan di atas rata-rata. Kemampuan tinggi mereka menyerap pelajaran membuat kita sebagai guru tidak perlu mengeluarkan energi berlebih dalam menyampaikan materi ajar. Lain halnya dengan peserta didik dengan kemampuan cukup atau bahkan di bawah rata-rata. Selain menyampaikan materi ajar, kemampuan guru mengenal psikologi tiap peserta didik menjadi hal yang dipertaruhkan jika ingin kesetaraan pendidikan terjamin.
            Namun, kita harus jujur: sistem pengelompokkan peserta didik melalui kesenjangan antarsekolah ini sulit diretas! Sekolah yang sudah nyaman dengan prestasi para peserta didik tidak ingin “kerja keras”nya bubar begitu saja. Hal ini bertolak belakang dengan sekolah yang minim anak di atas rata-rata. Mereka akan sangat berterima kasih pada peraturan ini karena idealnya sekolah merekalah yang telah bekerja lebih keras mendidik.
            Akan tetapi ada satu hal yang tidak bisa dipungkiri, memang, bahwa lingkungan belajar sangat mempengaruhi proses belajar peserta didik. Semisal kita hidup di lingkungan yang orang-orangnya banyak membaca buku, maka kita—secara tidak langsung—akan ikut memegang buku dan mulai membacanya. Inilah buah manis dari perjuangan para sekolah yang menduduki podium peringkat tiga besar. Meski para guru agak malas melakukan inovasi terhadap gaya mengajarnya, namun prestasi peserta didik tetap terjaga berkat bibit “di atas rata-rata” mereka dan lingkungan baik untuk belajar yang telah tercipta selama bertahun-tahun.
            Bagaimanapun, terlepas dari itu, ada beberapa hal yang harus diterima oleh kita semua—civitas akademika sekolah, masyarakat, peserta didik dan orangtuanya—dalam mempersiapkan diri menghadapi peraturan tersebut. Lingkungan baik untuk belajar dapat tercipta di setiap sekolah di Kota Mataram jika kita semua bekerjasama untuk menciptakannya. Peserta didik dan orangtua sebaiknya menghapus pola pikir bahwa sekolah A atau sekolah B lebih baik dari sekolah C apalagi sekolah D.
Begitu juga dengan para civitas akademika yang telah bersusah payah membangun lingkungan tersebut; peretasan kesenjangan antarsekolah baiknya dimulai dari mendukung penggantian sistem penerimaan siswa baru agar disesuaikan dengan Peraturan Mendikbud No.17/2017. Selain itu, para masyarakat pun memiliki peran yang tidak kalah pentingnya, yakni berhenti membangun konstruksi sosial tentang dikotomi peserta didik: anak ini pasti pandai karena ia bersekolah di A dan anak itu pasti malas karena ia bersekolah di B. Hal ini terlihat sepele namun berdampak besar bagi psikologi peserta didik. Mereka semua unik. Mereka semua memiliki kecerdasan di bidangnya masing-masing. Dimana pun tempat mereka disekolahkan.

ILDA KARWAYU
Komunitas Akarpohon Mataram
(terbit di Harian Suara NTB 21 Mei 2017)