Selasa, 12 April 2016

Refleksi Diri ala Akarpohon


Ketika tuntuntan untuk terus produktif dalam menulis, sepertinya kita juga harus memahami siklus proses kreatif. Jika perekonomian hidup diibaratkan dengan roda—yang kadang di bawah, dan kadang di atas, maka proses kreatif kepenulisan bisa diibaratkan ombak. Abstrak. Sukar dimengerti. Tergantung angin dan cuaca. Aku baru memahami ini setelah Sabtu malam kemarin “membedah diri” bersama kedua tetua sastra pembimbingku, Mas Kiki Sulistyo dan Mbak Irma Agryanti.
Sebelumnya kuucapkan selamat kepada Mbak Irma yang berhasil berangkat ke Makassar International Writer Festival (MIWF) 2016. Kami semua di lingkaran Akarpohon, bulan lalu mengirim karya untuk seleksi mengikuti acara tersebut. Dan, pilihan kurator jatuh kepada wanita berparas imut ini. Kami pun semakin mengaguminya. Dengan semangat, aku meminta oleh-oleh sebuah tulisan jejak perjalanan dalam bentuk karya sastra. “Untuk bahan jurnal, mbak!” ujarku.
Sekilas, memang terlihat mudah perjalanan Mbak Irma. Kirim ke sini, dimuat. Kirim ke sana, lolos. Namun satu hal yang mudah pula dilupakan orang: proses kreatif seorang penulis. Di sini, setiap individu pemegang tinta, dengan latar belakang hidup dan pemikiran juga kepribadian yang berbeda, tentunya juga memiliki perjalanan proses yang berbeda. Kita tidak bisa samakan perjalanan Bayu Pratama dengan Iin Farliani karena keduanya memiliki minat bakat dan latar belakang yang berbeda. Sehingga tulisan yang dihasilkan pun berbeda.
Oleh karena itu, dalam kejenuhan isi kepalaku ini, yang akan menjadi pembahasan adalah siklus proses kreatif kepenulisan—ala diri sendiri tentunya. Sebelumnya aku berpendapat bahwa berproses itu serupa pencernaan. Jika kita tidak makan, maka kita tidak akan buang air besar (BAB). Begitu juga dengan asupan makanan. Kotoran yang keluar saat BAB adalah berupa apa yang kita makan sebelumnya. Isi tulisan kita adalah “perasan” dari bacaan yang kita konsumsi.
Sejauh kemarin, hanya sampai situ pemaknaan aku tentang sebuah proses. Namun saat Mas Kiki membaca beberapa puisi terbaruku,
“Saya beri tanda bintang bagian yang saya suka.”
Begitu kulihat, hanya ada satu tanda bintang dari 13 puisi.
“Mas, cuma satu?”
“Iya.”
“Kenapa? Yang lain kenapa?”
“Jelek.”
“Apa yang salah?”
Kayaknya kamu butuh pengendapan. Dalam. Dan lama.”
Sampai di sini, aku bingung. Pengendapan yang dalam dan lama? Selama ini yang kupahami dari pengendapan dalam menulis hanyalah melepas sejenak tulisan yang baru saja rampung untuk kemudian dibaca kembali beberapa waktu. Akan tetapi itu tidaklah lama. Hanya selang beberapa hari saja agar tidak lupa tentang esensi cerita atau ide. Pergeseran ide sangatlah memusingkan karena akan penimbulkan pemikiran baru. Bisa jadi melahirkan karya bercabang dan proses penyuntingan tulisan akan semakin menumpuk.
Aku memutuskan untuk “meniriskan” tulisanku dan bertanya lebih lanjut mengenai pengendapan dalam dan lama. Mas Kiki pun menjelaskan bahwa proses kreatif tidak berhenti di lingkaran membaca—menulis. Meskipun terkadang perlu riset kecil berupa diskusi atau pengamatan luar, namun pengendapan adalah hal yang lain. Lebih dari itu. Dari sekian penjelasan lelaki berambut lurus ini, aku menyimpulkan bahwa melepas sejenak hal yang berbau output adalah kunci dari pengendapan dalam dan lama tersebut. Dalam artian, stop sejenak menulis. Kalaupun menulis, tahanlah sejenak hasrat untuk melakukan penyuntingan.
Perbanyak membaca, mengamati, menyimak, dan hal lainnya yang menambah khasanah isi kepala kita. Aku pun tertegun. Menurutku, kepala ini sudah terlalu banyak input sehingga perlu banyak tulisan untuk membuatnya lega dan diisi kembali. Akan tetapi kenyataannya berbeda. Mas Kiki lebih mampu membaca isi kepalaku ketimbang diriku sendiri. Si empunya kepala. Hadeuh.. bagaimana aku ini..
Lantas, apa lagi yang harus dilakukan? Mas Kiki menyarankanku untuk membaca dan menonton filem. Baiklah, aku lakukan. Melenceng dari pengendapan, aku mulai tertarik untuk mengenal diriku sendiri. Bagaimana pola pikirku, sifat dan tabiat, dan lain-lain. Pertanyaan demi pertanyaan mulai dilontarkan, beranjak ke ranah diskusi, pembukaan diri secara psikologis—atau “penerimaan diri” ala Paulo Coelho. Kepalaku penat. Aku mulai bertanya-tanya. Mengapa aku selalu melontarkan kesimpulan negatif dari setiap kehidupanku? Apa aku memang orang yang negatif? Entah. Aku menyadari itu, namun aku tidak menampik bahwa hal positif bukanlah hal yang buruk. Dan, dari sepanjang percakapan, guru kesayanganku ini menyimpulkan: “Kamu berkepribadian ganda.”

2 komentar:

  1. Suka. Tulisan seperti ini berguna buat org2 pemalu seperti sy. Tulisan mbak ilda sekilas sama seperti yg baxk org rasakan tp tidak tau memberi nama apa rasanya dan tidak tau solusinya apa... setidaknya tulisan ringan ini bs mnjadi jawabannya. Ngefans sm mbak ilda.

    BalasHapus
    Balasan
    1. ayo Ismy juga menulis!
      lebih mudah juga dikeluarkan. hehee..

      Hapus