Ketika tuntuntan untuk terus produktif dalam
menulis, sepertinya kita juga harus memahami siklus proses kreatif. Jika
perekonomian hidup diibaratkan dengan roda—yang kadang di bawah, dan kadang di
atas, maka proses kreatif kepenulisan bisa diibaratkan ombak. Abstrak. Sukar
dimengerti. Tergantung angin dan cuaca. Aku baru memahami ini setelah Sabtu
malam kemarin “membedah diri” bersama kedua tetua sastra pembimbingku, Mas Kiki
Sulistyo dan Mbak Irma Agryanti.
Sebelumnya kuucapkan selamat kepada Mbak Irma yang
berhasil berangkat ke Makassar International Writer Festival (MIWF) 2016. Kami
semua di lingkaran Akarpohon, bulan lalu mengirim karya untuk seleksi mengikuti
acara tersebut. Dan, pilihan kurator jatuh kepada wanita berparas imut ini.
Kami pun semakin mengaguminya. Dengan semangat, aku meminta oleh-oleh sebuah
tulisan jejak perjalanan dalam bentuk karya sastra. “Untuk bahan jurnal, mbak!”
ujarku.
Sekilas, memang terlihat mudah perjalanan Mbak Irma.
Kirim ke sini, dimuat. Kirim ke sana, lolos. Namun satu hal yang mudah pula
dilupakan orang: proses kreatif seorang penulis. Di sini, setiap individu
pemegang tinta, dengan latar belakang hidup dan pemikiran juga kepribadian yang
berbeda, tentunya juga memiliki perjalanan proses yang berbeda. Kita tidak bisa
samakan perjalanan Bayu Pratama dengan Iin Farliani karena keduanya memiliki
minat bakat dan latar belakang yang berbeda. Sehingga tulisan yang dihasilkan
pun berbeda.
Oleh karena itu, dalam kejenuhan isi kepalaku ini,
yang akan menjadi pembahasan adalah siklus proses kreatif kepenulisan—ala diri sendiri tentunya. Sebelumnya aku
berpendapat bahwa berproses itu serupa pencernaan. Jika kita tidak makan, maka
kita tidak akan buang air besar (BAB). Begitu juga dengan asupan makanan.
Kotoran yang keluar saat BAB adalah berupa apa yang kita makan sebelumnya. Isi
tulisan kita adalah “perasan” dari bacaan yang kita konsumsi.
Sejauh kemarin, hanya sampai situ pemaknaan aku
tentang sebuah proses. Namun saat Mas Kiki membaca beberapa puisi terbaruku,
“Saya beri tanda bintang bagian yang saya suka.”
Begitu kulihat, hanya ada satu tanda bintang dari 13
puisi.
“Mas, cuma
satu?”
“Iya.”
“Kenapa? Yang lain kenapa?”
“Jelek.”
“Apa yang salah?”
“Kayaknya
kamu butuh pengendapan. Dalam. Dan lama.”
Sampai di sini, aku bingung. Pengendapan yang dalam
dan lama? Selama ini yang kupahami dari pengendapan dalam menulis hanyalah
melepas sejenak tulisan yang baru saja rampung untuk kemudian dibaca kembali
beberapa waktu. Akan tetapi itu tidaklah lama. Hanya selang beberapa hari saja
agar tidak lupa tentang esensi cerita atau ide. Pergeseran ide sangatlah
memusingkan karena akan penimbulkan pemikiran baru. Bisa jadi melahirkan karya
bercabang dan proses penyuntingan tulisan akan semakin menumpuk.
Aku memutuskan untuk “meniriskan” tulisanku dan
bertanya lebih lanjut mengenai pengendapan dalam dan lama. Mas Kiki pun
menjelaskan bahwa proses kreatif tidak berhenti di lingkaran membaca—menulis.
Meskipun terkadang perlu riset kecil berupa diskusi atau pengamatan luar, namun
pengendapan adalah hal yang lain. Lebih dari itu. Dari sekian penjelasan lelaki
berambut lurus ini, aku menyimpulkan bahwa melepas sejenak hal yang berbau output adalah kunci dari pengendapan
dalam dan lama tersebut. Dalam artian, stop
sejenak menulis. Kalaupun menulis, tahanlah sejenak hasrat untuk melakukan
penyuntingan.
Perbanyak membaca, mengamati, menyimak, dan hal
lainnya yang menambah khasanah isi kepala kita. Aku pun tertegun. Menurutku,
kepala ini sudah terlalu banyak input
sehingga perlu banyak tulisan untuk membuatnya lega dan diisi kembali. Akan
tetapi kenyataannya berbeda. Mas Kiki lebih mampu membaca isi kepalaku
ketimbang diriku sendiri. Si empunya kepala. Hadeuh.. bagaimana aku ini..
Lantas, apa lagi yang harus dilakukan? Mas Kiki
menyarankanku untuk membaca dan menonton filem. Baiklah, aku lakukan. Melenceng
dari pengendapan, aku mulai tertarik untuk mengenal diriku sendiri. Bagaimana
pola pikirku, sifat dan tabiat, dan lain-lain. Pertanyaan demi pertanyaan mulai
dilontarkan, beranjak ke ranah diskusi, pembukaan diri secara psikologis—atau “penerimaan
diri” ala Paulo Coelho. Kepalaku
penat. Aku mulai bertanya-tanya. Mengapa aku selalu melontarkan kesimpulan
negatif dari setiap kehidupanku? Apa aku memang orang yang negatif? Entah. Aku
menyadari itu, namun aku tidak menampik bahwa hal positif bukanlah hal yang
buruk. Dan, dari sepanjang percakapan, guru kesayanganku ini menyimpulkan:
“Kamu berkepribadian ganda.”
Suka. Tulisan seperti ini berguna buat org2 pemalu seperti sy. Tulisan mbak ilda sekilas sama seperti yg baxk org rasakan tp tidak tau memberi nama apa rasanya dan tidak tau solusinya apa... setidaknya tulisan ringan ini bs mnjadi jawabannya. Ngefans sm mbak ilda.
BalasHapusayo Ismy juga menulis!
Hapuslebih mudah juga dikeluarkan. hehee..