Selasa, 12 April 2016

Insan Pers dalam Kebutaan Fungsinya



            Sudah terlalu sering kita mendengar sejarah pers mahasisa (persma) di setiap peringatan hari persejarah, hari Pers Nasional (HPN), Diesnatalis setiap organisasi kewartawanan/jurnalisme, Hari Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Hari hak asasi manusia (HAM), dan lain sebagainya. Akan tetapi, sebuah paradoks telah terjadi di sini; semakin sering diperbincangkan sejarah persma tersebut, semakin jauh kita dari langkah sejarah yang menjadi ruh itu sendiri. Bahkan kini, persma di kota saya—Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB)—nyaris buta akan arah fungsinya sendiri.
            Mari kita kerucutkan pokok ide “kebutaan” ini kepada eksistensi persma. Dewasa ini, permasalahan persma cenderung terlihat pada sempitnya langkah kebebasan mereka dalam beraktivitas. Entah dari segi proses peliputan berita, akses narasumber, lokasi berproses, izin berkegiatan, dan segelintir lainnya yang mungkin luput dari mata saya. Bisa kita lihat dari nasib Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa (UKPKM) MEDIA Universitas Mataram yang menjadi salah satu persma yang sedang berjuang mempertahankan diri.
Hal tersebut menjadi semakin parah ketika para insan persma—yang telah disibukkan dengan upaya mempertahankan eksistensi—tiba-tiba menjadi lelah untuk mengingat sejarah kehadiran mereka di dunia. “Jangankan memperjuangkan hak mahasiswa lainnya untuk menjadi media alternatif, menjaga anggota yang mau berjuang saja kini semakin sulit,” begitulah sedikitnya keluhan yang muncul di benak saya.
Sejarah munculnya persma yang bertujuan sebagai media alternatif—yang menyampaikan berita tanpa kepentingan orang ketiga—bagi mahasiswa dan masyarakat mungkin terdengar klasik dan idealis. Merawat semangat dalam ruh sejarah ini agaknya membutuhkan kerja keras di “era abu-abu” ini. Bagaimana tidak, jika polemik yang dialami UKPKM MEDIA Unram saja sudah menurunkan semangat, bisa kita bayangkan betapa lemahnya kita—para insan persma—yang hidup di zaman ini.
Hal yang hampir sama pun terjadi di beberapa lembaga pers mahasisa (LPM) di Kota Mataram. Jika UKPKM MEDIA Unram “dihadang” secara terang-terangan, maka LPM lainnya saat ini sedang menikmati dayungan perjalanan di hulu air yang tenang, belum melihat curamnya tebing yang nantinya akan dilewati oleh sampan perjuangan mereka. Kebijakan kampus yang samar-samar terlihat memihak, ditanggapi oleh mereka dengan santai. Seolah tidak ingin memulai masalah dengan birokrat, isi berita mereka menjadi dangkal. Hampir tidak ada bedanya dengan biro hubungan masyarakat (humas) di kampus-kampus. Setelah ini, masihkah LPM mampu melakukan napak tilas tentang sejarah kelahiran mereka? masihkah semangat perjuangan untuk memberikan informasi kebenaran itu ada dalam hati mereka? entahlah.
Kecenderungan berpikir pendek kini seolah menjadi hal yang biasa di kalangan insan pers. Menyamakan fungsi antara persma dan media profit membuat kebutaan di mata mereka semakin melukai perjalanan eksistensi persma itu sendiri sebagai media alternatif. Seandainya semangat itu masih ada—sedikit saja—maka bukan tidak mungkin kebangkitan persma akan kembali terjadi. Arus pengawalan isu terberitakan dengan baik, kesolidan antar LPM terjalin dengan kuat, dan hak mahasiswa juga masyarakat—untuk mendapatkan informasi alternatif yang mencerahkan—mampu terpenuhi sebagaimana mestinya.
Terlepas dari sekian masalah yang dihadapi oleh persma, alangkah baiknya mereka tetap memelihara mata mereka untuk membaca peta sejarah. Atau mungkin sekedar pergi ziarah ke masa lalu melalui buku-buku perjuangan persma. Atau, paling lemah, membaca panduan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) sebagai pengetahuan dasar untuk menulis berita. Atau, mungkin, gantung saja kartu pers masing-masing? Salam Persma!

Oleh:
BAIQ ILDA KARWAYU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar