Sudah
terlalu sering kita mendengar sejarah pers mahasisa (persma) di setiap peringatan
hari persejarah, hari Pers Nasional (HPN), Diesnatalis setiap organisasi
kewartawanan/jurnalisme, Hari Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Hari hak
asasi manusia (HAM), dan lain sebagainya. Akan tetapi, sebuah paradoks telah
terjadi di sini; semakin sering diperbincangkan sejarah persma tersebut,
semakin jauh kita dari langkah sejarah yang menjadi ruh itu sendiri. Bahkan
kini, persma di kota saya—Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB)—nyaris buta akan arah
fungsinya sendiri.
Mari
kita kerucutkan pokok ide “kebutaan” ini kepada eksistensi persma. Dewasa ini,
permasalahan persma cenderung terlihat pada sempitnya langkah kebebasan mereka
dalam beraktivitas. Entah dari segi proses peliputan berita, akses narasumber, lokasi
berproses, izin berkegiatan, dan segelintir lainnya yang mungkin luput dari
mata saya. Bisa kita lihat dari nasib Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa (UKPKM)
MEDIA Universitas Mataram yang menjadi salah satu persma yang sedang berjuang
mempertahankan diri.
Hal tersebut menjadi semakin parah ketika
para insan persma—yang telah disibukkan dengan upaya mempertahankan
eksistensi—tiba-tiba menjadi lelah untuk mengingat sejarah kehadiran mereka di
dunia. “Jangankan memperjuangkan hak
mahasiswa lainnya untuk menjadi media alternatif, menjaga anggota yang mau
berjuang saja kini semakin sulit,” begitulah sedikitnya keluhan yang muncul
di benak saya.
Sejarah munculnya persma yang bertujuan
sebagai media alternatif—yang menyampaikan berita tanpa kepentingan orang
ketiga—bagi mahasiswa dan masyarakat mungkin terdengar klasik dan idealis.
Merawat semangat dalam ruh sejarah ini agaknya membutuhkan kerja keras di “era
abu-abu” ini. Bagaimana tidak, jika polemik yang dialami UKPKM MEDIA Unram saja
sudah menurunkan semangat, bisa kita bayangkan betapa lemahnya kita—para insan
persma—yang hidup di zaman ini.
Hal yang hampir sama pun terjadi di beberapa
lembaga pers mahasisa (LPM) di Kota Mataram. Jika UKPKM MEDIA Unram “dihadang”
secara terang-terangan, maka LPM lainnya saat ini sedang menikmati dayungan perjalanan
di hulu air yang tenang, belum melihat curamnya tebing yang nantinya akan
dilewati oleh sampan perjuangan mereka. Kebijakan kampus yang samar-samar
terlihat memihak, ditanggapi oleh mereka dengan santai. Seolah tidak ingin
memulai masalah dengan birokrat, isi berita mereka menjadi dangkal. Hampir
tidak ada bedanya dengan biro hubungan masyarakat (humas) di kampus-kampus.
Setelah ini, masihkah LPM mampu melakukan napak
tilas tentang sejarah kelahiran mereka? masihkah semangat perjuangan untuk
memberikan informasi kebenaran itu ada dalam hati mereka? entahlah.
Kecenderungan berpikir pendek kini seolah
menjadi hal yang biasa di kalangan insan pers. Menyamakan fungsi antara persma
dan media profit membuat kebutaan di mata mereka semakin melukai perjalanan
eksistensi persma itu sendiri sebagai media alternatif. Seandainya semangat itu
masih ada—sedikit saja—maka bukan tidak mungkin kebangkitan persma akan kembali
terjadi. Arus pengawalan isu terberitakan dengan baik, kesolidan antar LPM
terjalin dengan kuat, dan hak mahasiswa juga masyarakat—untuk mendapatkan
informasi alternatif yang mencerahkan—mampu terpenuhi sebagaimana mestinya.
Terlepas dari sekian masalah yang dihadapi
oleh persma, alangkah baiknya mereka tetap memelihara mata mereka untuk membaca
peta sejarah. Atau mungkin sekedar pergi ziarah ke masa lalu melalui buku-buku
perjuangan persma. Atau, paling lemah, membaca panduan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) sebagai pengetahuan dasar untuk
menulis berita. Atau, mungkin, gantung saja kartu pers masing-masing? Salam Persma!
Oleh:
BAIQ ILDA KARWAYU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar