17 Desember 2015 merupakan har
bersejarah untuk provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Bukan sekedar merayakan
hari jadi, namun juga menjadi catatan peresmian sebuah rumah sakit umum daerah
(RSUD) terbesar di provinsi ini. Merasakan suka cita yang sangat, ternyata mata
tak mampu berbohong melihat fisik rumah sakit ini yang ternyata lahir prematur.
Ia diresmikan sebelum seluruh bangunannya rampung.
Dibangun sejak delapan tahun silam
ternyata tidak membuat rumah RSUD Provinsi NTB siap untuk ditempati setiap
sudut bangunannya. Ini hanyalah sekilas pandanganku sebagai orang awam yang
“ternganga” melihat kemegahan bangunan tersebut dari seberang jalan. Sembari
mengisi bensin kendaraan, aku mengagumi rumah sakit tersebut. Dengan harapan
dapat memberikan fasilitas yang belih baik, aku berdoa. Pagi ini pun kembali kulewati
rumah sakit tersebut. Desas-desus terdengar bahwa hari ini—sebagai rangkaian
perayaan HUT Provinsi NTB—RSUD ini akan diresmikan. Sontak aku terkejut dan
bertanya, “Yakin?”
Pertanyaanku semakin bertambah
ketika membuka Harian Suara NTB halaman sembilan. Ulasan berjudul, “RSUD
Provinsi NTB Diresmikan: Hadir dengan Fasilitas Representatif, Siap Melayani
dengan Tulus dan Santun” menarik sekali. Rampung membaca, otak ini semakin
banyak pertanyaan. Melihat foto-foto yang tercetak diantara tulisan, hatiku semakin
merasa dibohongi.
Di satu sisi, kita patut berbangga
hati dengan dibangunnya sarana kesehatan terbesar di NTB ini. Ditambah dengan
pengelompokkan degung yang lebih khusus membuat pelayanan untuk masyarakat
nantinya akan lebih terarah. Begitu juga dengan luas bangunan yang tentunya
mampu menampung pasien lebih banyak dari bangunan sebelumnya. Sungguh aksi
positif dari pemerintah daerah yang perlu kita apresiasi.
Akan tetapi, diharapkan juga hal
tersebut tidak menimbulkan kebohongan publik. Angan-angan masyarakat yang
mendambakan sarana kesehatan telah di depan mata. Namun kesiapan dari angan
tersebut belumlah rampung dan siap. Ibarat pendatang melewati jembatan setengah
rampung; runtuh atau tidak, ia tak tahu. Sewaktu-waktu bisa mengancam nyawa
namun ia tak tahu. Sama halnya dengan rumah sakit kita tercinta ini.
Tower crane masih “bertengger” di tengah bangunan seper-entah
rampung tersebut. para pekerja bangunan masih lalu-lalang. Tanpa dibelakali
peralatan standar keamanan, mereka masih tetap bekerja merampungkan bangunan di
bagian belakang. Bercengkerama dengan tukang parkir, nasib mereka terbaca jelas
di raut wajahnya. Berpapasan pula mereka dengan para dokter yang turun dari
mobil. Para pedagang asongan yang berlomba mencari rezeki hanya melihat-lihat
dari luar pintu samping jalur keluar mobil proyek bangunan.
Sekilas gambaran tersebut tentu tak dijabarkan di
media manapun. Hanya mata masyarakat—aku, misalnya—yang sudi merekam dan
menyimpan pemandangan tersebut di dalam otak. Sesak dengan pertanyaan, aku
menulis isi pikiran yang mengusik ini. Jika masyarakat hanya melihat dari jalan
raya, hanya membaca koran dan melihat di televisi lokal, maka sempurnalah citra
RSUD yang siap dioperasikan. Jika kelak ada masyarakat yang tertimpa atau
tersandung material bangunan, siapa yang akan bertanggungjawab?
Sekali lagi, tidakkah kita lelah menutup mata akan
lahirnya harapan besar ini secara prematur? Sudahlah. Kuputuskan untuk memotong
jalan tulisan ini dan tidak mengirimnya ke koran lokal. Tentu bukan hanya aku
sadar bahwa koran tersebut tidak lagi seperti koran yang aku kenal. Atau aku
terlalu berprasangka? Boleh saja aku berdemikian karena aku masyarakat—bebas
beropini untuk berita yang disuguhi.
Sebelum aku melanjutkan isi tulisan ini, aku meminta
maaf atas penurunan kualitas tulisanku. Sadar betul ini kurasakan karena jelas
cara penggarapan ide ini bukanlah metode tulis, melainkan metode lisan. Aku
seperti anak yang sedang belajar menulis serius (kembali). Pergeseran gaya
hidup mungkin menjadi penyebabnya. Frekuensi membacaku mulai berkurang, aku
lebih sering mengomentari tanpa cukup landasan, dan masih banyak lagi faktor
yang membuatku agak tutup mata atas kepribadianku. Duh.. menyusahkan.
Rumah sakit itu sebenarnya memiliki masalah
sederhana: jangan dulu diresmikan jika memang belum rampung. Dengan kondisi
bangunan 1/3 rampung, jelas kenyamanan dan keamanan manusia takkan terjamin di
sana. Sarana kesehatan kok mengancam keselamatan? Lucu. Geram rasanya melihat
“fenomena” ini terjadi. Terlebih saat kita menyadari betapa logika berfikir
manusia sudah mulai dikesampingkan. Tidak percaya? Lihatlah kasus RSUD ini.
Masih perlu bukti? Lihatlah Islamic
Center yang notabene menggusur sekolah negeri demi sebuah simbol agama. Aku
tak tahu apakah bangunan yang 90% rampung ini sudah diresmikan atau belum.
Pasalnya Rabu kemarin (16/12) ia telah mulai digunakan dalam kegiatan “Doa
Akbar”. Entahlah.
Meski aku seorang muslim, namun tidak elok jika kita
mendepak sarana penyebar ilmu hanya untuk itu—terlebih ia dibangun sangat dekat
dengan Majid Raya yang lebih dulu menjadi icon
di Mataram. Kemana larinya sekolah negeri tersebut? Ia ditempatkan di kawasan
terbuka hijau—yang notabene ditanami peraturan: dilarang membangun gedung
permanen dalam radius 100 meter dari
awasan tersebut. Nah, bagaimana
logika, peraturan, realita, dan kepentingan bisa bertubrukan sedemikian rupa?
Entahlah.
Belum puas? Mari tengok Taman Budaya NTB yang kini
berubah serupa taman bermain anak-anak yang kaku. Yang lucu dari pembangunan
tersebut adalah sepetak musholla kecil di dalam area taman tersebut sama sekali
tak tersentuh tangan tukang renovasi. Dan, ia memiliki cerita yang sama dengan
RSUD: diresmikan prematur.
Di sini, kita seperti kehilangan generasi cerdas
anak Mataram. Aku yakin tidak sedikit sarjana tata kota yang ada di Mataram.
Dan pastinya di pemerintahan sudah ada orang-orang seperti mereka, iya, kan? Jika tidak, ya sudahlah~
Dari kacamata orang awam sepertiku, tata kota
Mataram yang semakin dipenuhi hotel tanpa pemusatan wilayah ini membuat rumit.
Aku tak paham masalah tata kota. Yang aku tahu hanyalah kawasan Jalan Pejanggik
adalah pusat pemerintahan dan pendidikan. Namun ternyata dapat kutemui spot makanan
cepat saji dan caffee di sana. Jalan
Pendidikan dan Jalan Pemuda adalah pusat pendidikan tinggi dan perdagangan.
Namun aku mulai banyak menemukan hotel. Yang aku tahu, kita semua menginginkan
kota yang berkarakter agar cita-cita presiden 2015 ini yaitu revolusi mental
dapat bersinergi di daerah.
Yang aku tahu, Mataram banyak memiliki ahli-ahli
tata kota. Namun mungkin ide brilian mereka terdepak oleh kepentingan dan uang
jilatan dari luar. Entah luar yang mana. Luar daerah, luar negeri, atau luar
hati nurani, aku mulai tak peduli. Yang kutahu, aku warga Mataram; sekedar bisa
menulis dan berkomentar karena aku menggunakan hak warganegaraku seperti yang
ada dalam iklan layanan masyarakat—Cak Lontong (kala itu berperan sebagai pak
camat) berkata, “Jika tidak nyaman,
laporkan! Warga harus turut berperan dalam pembangunan daerah.” itu saja.
Solusiku, jangan membangun dengan nafsu “asal jadi”.
Itu seperti anak kecil yang ingin cepat pergi ke toko mainan, sehingga mandi pun
hanya sekedar cebar-cebur. Bangunlah
gedung sarana yang dibutuhkan masyarakat. Jaminkan keamanan, kekokohan gedung,
dan rampungkan terlebih dahulu baru kemudian diresmikan sehingga layak operasi.
Biarkan para ahli tata kota bekerja di Mataram sesuai dengan fungsinya.
Sekian uneg-uneg dariku. Semoga masyarakat Kota
Mataram semakin cerdas dan ikut turut andil dalam pembangunan daerahnya.
Minimal dengan komentar solutif. Jika tidak dimuat di media, paling tidak
jurnalisme warga masih menjadi alternatif untuk mewaraskan kegelisahan kita
bersama. SEMANGAT!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar