Jumat, 01 Januari 2016

RSUD Provinsi NTB “Lahir Prematur”



            17 Desember 2015 merupakan har bersejarah untuk provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Bukan sekedar merayakan hari jadi, namun juga menjadi catatan peresmian sebuah rumah sakit umum daerah (RSUD) terbesar di provinsi ini. Merasakan suka cita yang sangat, ternyata mata tak mampu berbohong melihat fisik rumah sakit ini yang ternyata lahir prematur. Ia diresmikan sebelum seluruh bangunannya rampung.
            Dibangun sejak delapan tahun silam ternyata tidak membuat rumah RSUD Provinsi NTB siap untuk ditempati setiap sudut bangunannya. Ini hanyalah sekilas pandanganku sebagai orang awam yang “ternganga” melihat kemegahan bangunan tersebut dari seberang jalan. Sembari mengisi bensin kendaraan, aku mengagumi rumah sakit tersebut. Dengan harapan dapat memberikan fasilitas yang belih baik, aku berdoa. Pagi ini pun kembali kulewati rumah sakit tersebut. Desas-desus terdengar bahwa hari ini—sebagai rangkaian perayaan HUT Provinsi NTB—RSUD ini akan diresmikan. Sontak aku terkejut dan bertanya, “Yakin?”
            Pertanyaanku semakin bertambah ketika membuka Harian Suara NTB halaman sembilan. Ulasan berjudul, “RSUD Provinsi NTB Diresmikan: Hadir dengan Fasilitas Representatif, Siap Melayani dengan Tulus dan Santun” menarik sekali. Rampung membaca, otak ini semakin banyak pertanyaan. Melihat foto-foto yang tercetak diantara tulisan, hatiku semakin merasa dibohongi.
            Di satu sisi, kita patut berbangga hati dengan dibangunnya sarana kesehatan terbesar di NTB ini. Ditambah dengan pengelompokkan degung yang lebih khusus membuat pelayanan untuk masyarakat nantinya akan lebih terarah. Begitu juga dengan luas bangunan yang tentunya mampu menampung pasien lebih banyak dari bangunan sebelumnya. Sungguh aksi positif dari pemerintah daerah yang perlu kita apresiasi.
            Akan tetapi, diharapkan juga hal tersebut tidak menimbulkan kebohongan publik. Angan-angan masyarakat yang mendambakan sarana kesehatan telah di depan mata. Namun kesiapan dari angan tersebut belumlah rampung dan siap. Ibarat pendatang melewati jembatan setengah rampung; runtuh atau tidak, ia tak tahu. Sewaktu-waktu bisa mengancam nyawa namun ia tak tahu. Sama halnya dengan rumah sakit kita tercinta ini.
Tower crane masih “bertengger” di tengah bangunan seper-entah rampung tersebut. para pekerja bangunan masih lalu-lalang. Tanpa dibelakali peralatan standar keamanan, mereka masih tetap bekerja merampungkan bangunan di bagian belakang. Bercengkerama dengan tukang parkir, nasib mereka terbaca jelas di raut wajahnya. Berpapasan pula mereka dengan para dokter yang turun dari mobil. Para pedagang asongan yang berlomba mencari rezeki hanya melihat-lihat dari luar pintu samping jalur keluar mobil proyek bangunan.
Sekilas gambaran tersebut tentu tak dijabarkan di media manapun. Hanya mata masyarakat—aku, misalnya—yang sudi merekam dan menyimpan pemandangan tersebut di dalam otak. Sesak dengan pertanyaan, aku menulis isi pikiran yang mengusik ini. Jika masyarakat hanya melihat dari jalan raya, hanya membaca koran dan melihat di televisi lokal, maka sempurnalah citra RSUD yang siap dioperasikan. Jika kelak ada masyarakat yang tertimpa atau tersandung material bangunan, siapa yang akan bertanggungjawab?
Sekali lagi, tidakkah kita lelah menutup mata akan lahirnya harapan besar ini secara prematur? Sudahlah. Kuputuskan untuk memotong jalan tulisan ini dan tidak mengirimnya ke koran lokal. Tentu bukan hanya aku sadar bahwa koran tersebut tidak lagi seperti koran yang aku kenal. Atau aku terlalu berprasangka? Boleh saja aku berdemikian karena aku masyarakat—bebas beropini untuk berita yang disuguhi.
Sebelum aku melanjutkan isi tulisan ini, aku meminta maaf atas penurunan kualitas tulisanku. Sadar betul ini kurasakan karena jelas cara penggarapan ide ini bukanlah metode tulis, melainkan metode lisan. Aku seperti anak yang sedang belajar menulis serius (kembali). Pergeseran gaya hidup mungkin menjadi penyebabnya. Frekuensi membacaku mulai berkurang, aku lebih sering mengomentari tanpa cukup landasan, dan masih banyak lagi faktor yang membuatku agak tutup mata atas kepribadianku. Duh.. menyusahkan.
Rumah sakit itu sebenarnya memiliki masalah sederhana: jangan dulu diresmikan jika memang belum rampung. Dengan kondisi bangunan 1/3 rampung, jelas kenyamanan dan keamanan manusia takkan terjamin di sana. Sarana kesehatan kok mengancam keselamatan? Lucu. Geram rasanya melihat “fenomena” ini terjadi. Terlebih saat kita menyadari betapa logika berfikir manusia sudah mulai dikesampingkan. Tidak percaya? Lihatlah kasus RSUD ini. Masih perlu bukti? Lihatlah Islamic Center yang notabene menggusur sekolah negeri demi sebuah simbol agama. Aku tak tahu apakah bangunan yang 90% rampung ini sudah diresmikan atau belum. Pasalnya Rabu kemarin (16/12) ia telah mulai digunakan dalam kegiatan “Doa Akbar”. Entahlah.
Meski aku seorang muslim, namun tidak elok jika kita mendepak sarana penyebar ilmu hanya untuk itu—terlebih ia dibangun sangat dekat dengan Majid Raya yang lebih dulu menjadi icon di Mataram. Kemana larinya sekolah negeri tersebut? Ia ditempatkan di kawasan terbuka hijau—yang notabene ditanami peraturan: dilarang membangun gedung permanen dalam radius 100  meter dari awasan tersebut. Nah, bagaimana logika, peraturan, realita, dan kepentingan bisa bertubrukan sedemikian rupa? Entahlah.
Belum puas? Mari tengok Taman Budaya NTB yang kini berubah serupa taman bermain anak-anak yang kaku. Yang lucu dari pembangunan tersebut adalah sepetak musholla kecil di dalam area taman tersebut sama sekali tak tersentuh tangan tukang renovasi. Dan, ia memiliki cerita yang sama dengan RSUD: diresmikan prematur.
Di sini, kita seperti kehilangan generasi cerdas anak Mataram. Aku yakin tidak sedikit sarjana tata kota yang ada di Mataram. Dan pastinya di pemerintahan sudah ada orang-orang seperti mereka, iya, kan? Jika tidak, ya sudahlah~
Dari kacamata orang awam sepertiku, tata kota Mataram yang semakin dipenuhi hotel tanpa pemusatan wilayah ini membuat rumit. Aku tak paham masalah tata kota. Yang aku tahu hanyalah kawasan Jalan Pejanggik adalah pusat pemerintahan dan pendidikan. Namun ternyata dapat kutemui spot makanan cepat saji dan caffee di sana. Jalan Pendidikan dan Jalan Pemuda adalah pusat pendidikan tinggi dan perdagangan. Namun aku mulai banyak menemukan hotel. Yang aku tahu, kita semua menginginkan kota yang berkarakter agar cita-cita presiden 2015 ini yaitu revolusi mental dapat bersinergi di daerah.
Yang aku tahu, Mataram banyak memiliki ahli-ahli tata kota. Namun mungkin ide brilian mereka terdepak oleh kepentingan dan uang jilatan dari luar. Entah luar yang mana. Luar daerah, luar negeri, atau luar hati nurani, aku mulai tak peduli. Yang kutahu, aku warga Mataram; sekedar bisa menulis dan berkomentar karena aku menggunakan hak warganegaraku seperti yang ada dalam iklan layanan masyarakat—Cak Lontong (kala itu berperan sebagai pak camat) berkata, “Jika tidak nyaman, laporkan! Warga harus turut berperan dalam pembangunan daerah.” itu saja.
Solusiku, jangan membangun dengan nafsu “asal jadi”. Itu seperti anak kecil yang ingin cepat pergi ke toko mainan, sehingga mandi pun hanya sekedar cebar-cebur. Bangunlah gedung sarana yang dibutuhkan masyarakat. Jaminkan keamanan, kekokohan gedung, dan rampungkan terlebih dahulu baru kemudian diresmikan sehingga layak operasi. Biarkan para ahli tata kota bekerja di Mataram sesuai dengan fungsinya.
Sekian uneg-uneg dariku. Semoga masyarakat Kota Mataram semakin cerdas dan ikut turut andil dalam pembangunan daerahnya. Minimal dengan komentar solutif. Jika tidak dimuat di media, paling tidak jurnalisme warga masih menjadi alternatif untuk mewaraskan kegelisahan kita bersama. SEMANGAT!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar