Minggu, 19 Juli 2015

Happy Birthday, Ilda!



Yeah, this was the late post—at least my desire to write this moment is still lovely burned. I’m 22 now. Tuhan, umur darimu berkurang lagi satu. Ini adalah refleksi diri yang serius. Di umur segini, belum punya pekerjaan tetap—masih serabutan—belum wisuda, belum menikah, rasanya agak “lelet” dalam menjalani hidup. Oleh karena itu, momen ini sangat pas untuk menyusun jati diri.
Tidak ada kado di hari itu. Ibu dan kekasihku cukup banyak berdoa untuk masa depanku. Kami berkumpul di rumah dan melakukan apa yang telah  kami rencanakan jauh-jauh hari: memasak! Ibuku yang merasa “merdeka” karena hari itu bebas dari dapur, sama sekali tidak beranjak dari depan televisi. Akhirnya kami berdua yang sibuk memilah bumbu, pergi ke pasar, dan memasak di dapur. Kami membuat kue serikaya—yang konon adalah makanan khas raja-raja Taliwang kala itu. Makanan manis berbahan dasar telur ini memang nikmat! Singkatnya, meski belum sempurna, karena itu kue pertama kami, tapi rasanya tidak mengecewakan. Aku menganggap itu kado terindah tahun ini. Kenyataan ia lebih pandai memasak dariku telah jelas terlihat di dapur ini. Benar-benar menguntungkan. Hahaa…. #dilemparbaskom
Tapi, yang terpenting untuk tahun ini bukanlah itu. Bukan. Itu hanyalah kebahagiaan kecil yang Tuhan lampirkan atas kado yang aku butuhkan. Lampiran surprises dari kawan-kawan Pena pun sebenarnya adalah porses dari kado Tuhan ini sendiri: perbanyak mendengar, kurangi bicara banyak.
22 tahun ini, aku telah banyak melalui tahapan hidup, menjalani banyak proses pencarian jati diri sehingga inilah aku sekarang. Akan tetapi, satu yang menjadi permasalah dalam diriku—kelak tentu akan menyusahkan—aku kurang mendengarkan orang lain dan terlalu banyak berbicara.
Ini sifat yang buruk, melihat Rasulullah SAW pun lebih sering mengingatkan kita untuk lebih banyak menyimak dan mengurangi bicara jika tidak penting (banyak ruginya). Pun setelah tak memimpin, kesempatan mendengarkan aku rasa lebih tenang untuk dijalani. Hidup selama 22 tahun, memiliki banyak persepsi. Bagi orang “sederhana” dengan pendidikan yang sederhana pula, umur itu sudah dikatakan tua dan yang belum menikah, telah matang menyandang gelar perawan tua. Namun bagi orang yang mengenyam pendidikan sepanjang rezekinya hidup, umur ini adalah tunas yang sedang dalam masa emas. Usia produktif yang sangat rugi jika tidak diberdayakan sebaik mungkin. Umur yang menjadi syarat masuk kerja ke sana-sini, syarat pertukaran pemuda di sana-sini, pun syarat jaminan masyarakat mengatainya “pemuda/i” yang jernih keras pemikirannya. Ide-ide di kepalanya sangat cemerlang. Semua orang di  usia 22. Pantaslah Taylor Swift menciptakan lagu “22”—padahal usianya kala itu telah menginjak 25.

Gagal Berkali-kali
By the way, tahun ini aku berencana untuk mendaki puncak Rinjani. Namun ternyata sama seperti tahun-tahun sebelumnya yang kujanjikan pada diriku sendiri, aku  kembali gagal: deadline pekerjaan merantai langkahku kali ini.
2011, aku sedang ada di Bali untuk Kejuaraan Nasional (Kejurnas) Merpati Putih ketika paman-pamanku mengajak dengan semangat 45 mereka. Ini awal mula kekecewaan “eqek” mereka padaku. Hahaa..
2012, menjadi Pimpinan Redaksi (Pimred) LPM Pena Kampus membuatku kembali harus mengurungkan niat untuk ikut mereka karena terbitan khusus Ospek menjadi tanggung jawabku kala itu. Paman-pamanku sedikit geram dan selalu mencekik leherku saat aku pulang ke rumah.  Mereka jahat, ya.. L
2013, lagi-lagi jabatan menghalangiku untuk pergi! Menjadi Sekretaris Umum (Sekum) tentu membuatku tidak dapat meninggalkan kampus karena kala itu aku menjadi delegasi sebagai panitia Ospek. Dan paman-pamanku mulai tidak peduli lagi dengan janjiku. Sungguh  menohok mereka itu. Sedih..
2014, tenang, kali ini bukan karena organisasi, melainkan akademis. Aku menjalani PPL selama satu semester dan kembali terurungkan niat menjemput Rinjani ke hati dan mataku. Aku hanya bisa menahan iri ketika kekasihku memamerkan foto-fotonya saat di Rinjani. “Namamu sudah naik dua kali, masa orangnya gagal-gagal terus mau naik?” ejek lelaki kesayanganku itu. Sekali lagi: menyedihkan.
2015, heihoo…. Aku sudah terbebas dari segala jenis kegiatan organisasi dan kuliah yang menjerat. Dan kami—aku, paman-paman, dan kekasih—sudah menyiapkan segalanya untuk berangkat H+2 lebaran. It was fun till me and my beloved got news about our jobs. And, no more words, we canceled it. Paman-pamanku hanya bisa bergeleng-geleng kepala. “Cukup. Lalo mesaq bae kau jemaq!” ujarnya kesal. Dan kami berdua ditinggal pergi.
Itu kisahku bersama Rinjani. Bagaimana denganmu? Ah, sudahlah. Selalu ada hikmah di balik semuanya. Aku percaya akan ada masanya untuk mendaki dengan tenang tanpa “gangguan” di kota ini. Mungkin memang belum rezeki, atau memang aku belum pantas untuk menginjakkan kaki di sana. Percaya atau tidak, banyak mitos yang terhembus tentang Rinjani di telingaku, membuatku semakin ingin pergi, namun harus ingat diri bahwa mendaki adalah suatu hal yang bukan main-main.
Satu hal yang perlu kutanyai dalam diri sebelum pergi: “Apa tujuanmu mendaki?” dan mungkin Tuhan ingin aku menjawab itu dengan baik sebelum diizinkan mengenal ciptaanNya yang Maha Indah. Tuhan So Sweet banget, sih.. Terima kasih atas kado indahnya tahun ini—refleksi diri untuk lebih mendengarkan daripada berbicara, juga pertanyaan dariMu yang harus aku jawab. #peluk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar