Yeah, this was the late post—at least my desire to write this
moment is still lovely burned. I’m 22 now. Tuhan, umur darimu berkurang lagi
satu. Ini adalah refleksi diri yang serius. Di umur segini, belum punya
pekerjaan tetap—masih serabutan—belum wisuda, belum menikah, rasanya agak
“lelet” dalam menjalani hidup. Oleh karena itu, momen ini sangat pas untuk
menyusun jati diri.
Tidak ada kado di hari itu. Ibu dan kekasihku cukup banyak
berdoa untuk masa depanku. Kami berkumpul di rumah dan melakukan apa yang
telah kami rencanakan jauh-jauh hari:
memasak! Ibuku yang merasa “merdeka” karena hari itu bebas dari dapur, sama
sekali tidak beranjak dari depan televisi. Akhirnya kami berdua yang sibuk
memilah bumbu, pergi ke pasar, dan memasak di dapur. Kami membuat kue serikaya—yang konon adalah makanan khas
raja-raja Taliwang kala itu. Makanan manis berbahan dasar telur ini memang
nikmat! Singkatnya, meski belum sempurna, karena itu kue pertama kami, tapi
rasanya tidak mengecewakan. Aku menganggap itu kado terindah tahun ini.
Kenyataan ia lebih pandai memasak dariku telah jelas terlihat di dapur ini.
Benar-benar menguntungkan. Hahaa…. #dilemparbaskom
Tapi, yang terpenting untuk tahun ini bukanlah itu. Bukan.
Itu hanyalah kebahagiaan kecil yang Tuhan lampirkan atas kado yang aku
butuhkan. Lampiran surprises dari kawan-kawan Pena pun sebenarnya adalah porses
dari kado Tuhan ini sendiri: perbanyak
mendengar, kurangi bicara banyak.
22 tahun ini, aku telah banyak melalui tahapan hidup,
menjalani banyak proses pencarian jati diri sehingga inilah aku sekarang. Akan
tetapi, satu yang menjadi permasalah dalam diriku—kelak tentu akan menyusahkan—aku
kurang mendengarkan orang lain dan terlalu banyak berbicara.
Ini sifat yang buruk, melihat Rasulullah SAW pun lebih sering
mengingatkan kita untuk lebih banyak menyimak dan mengurangi bicara jika tidak
penting (banyak ruginya). Pun setelah tak memimpin, kesempatan mendengarkan aku
rasa lebih tenang untuk dijalani. Hidup selama 22 tahun, memiliki banyak
persepsi. Bagi orang “sederhana” dengan pendidikan yang sederhana pula, umur
itu sudah dikatakan tua dan yang belum menikah, telah matang menyandang gelar perawan tua. Namun bagi orang yang
mengenyam pendidikan sepanjang rezekinya hidup, umur ini adalah tunas yang
sedang dalam masa emas. Usia produktif yang sangat rugi jika tidak diberdayakan
sebaik mungkin. Umur yang menjadi syarat masuk kerja ke sana-sini, syarat
pertukaran pemuda di sana-sini, pun syarat jaminan masyarakat mengatainya
“pemuda/i” yang jernih keras pemikirannya. Ide-ide di kepalanya sangat
cemerlang. Semua orang di usia 22.
Pantaslah Taylor Swift menciptakan lagu “22”—padahal usianya kala itu telah
menginjak 25.
Gagal Berkali-kali
By the way, tahun ini aku berencana untuk mendaki puncak
Rinjani. Namun ternyata sama seperti tahun-tahun sebelumnya yang kujanjikan
pada diriku sendiri, aku kembali gagal:
deadline pekerjaan merantai langkahku kali ini.
2011, aku sedang ada di Bali untuk Kejuaraan Nasional
(Kejurnas) Merpati Putih ketika paman-pamanku mengajak dengan semangat 45
mereka. Ini awal mula kekecewaan “eqek” mereka padaku. Hahaa..
2012, menjadi Pimpinan Redaksi (Pimred) LPM Pena Kampus
membuatku kembali harus mengurungkan niat untuk ikut mereka karena terbitan
khusus Ospek menjadi tanggung jawabku kala itu. Paman-pamanku sedikit geram dan
selalu mencekik leherku saat aku pulang ke rumah. Mereka jahat, ya.. L
2013, lagi-lagi jabatan menghalangiku untuk pergi! Menjadi
Sekretaris Umum (Sekum) tentu membuatku tidak dapat meninggalkan kampus karena
kala itu aku menjadi delegasi sebagai panitia Ospek. Dan paman-pamanku mulai
tidak peduli lagi dengan janjiku. Sungguh
menohok mereka itu. Sedih..
2014, tenang, kali ini bukan karena organisasi, melainkan
akademis. Aku menjalani PPL selama satu semester dan kembali terurungkan niat
menjemput Rinjani ke hati dan mataku. Aku hanya bisa menahan iri ketika kekasihku
memamerkan foto-fotonya saat di Rinjani. “Namamu sudah naik dua kali, masa
orangnya gagal-gagal terus mau naik?” ejek lelaki kesayanganku itu. Sekali
lagi: menyedihkan.
2015, heihoo…. Aku
sudah terbebas dari segala jenis kegiatan organisasi dan kuliah yang menjerat.
Dan kami—aku, paman-paman, dan kekasih—sudah menyiapkan segalanya untuk
berangkat H+2 lebaran. It was fun till me and my beloved got news about our
jobs. And, no more words, we canceled it. Paman-pamanku hanya bisa
bergeleng-geleng kepala. “Cukup. Lalo mesaq bae kau jemaq!” ujarnya kesal. Dan
kami berdua ditinggal pergi.
Itu kisahku bersama Rinjani. Bagaimana denganmu? Ah,
sudahlah. Selalu ada hikmah di balik semuanya. Aku percaya akan ada masanya
untuk mendaki dengan tenang tanpa “gangguan” di kota ini. Mungkin memang belum
rezeki, atau memang aku belum pantas untuk menginjakkan kaki di sana. Percaya
atau tidak, banyak mitos yang terhembus tentang Rinjani di telingaku, membuatku
semakin ingin pergi, namun harus ingat diri bahwa mendaki adalah suatu hal yang
bukan main-main.
Satu hal yang perlu kutanyai dalam diri sebelum pergi: “Apa
tujuanmu mendaki?” dan mungkin Tuhan ingin aku menjawab itu dengan baik sebelum
diizinkan mengenal ciptaanNya yang Maha Indah. Tuhan So Sweet banget, sih.. Terima
kasih atas kado indahnya tahun ini—refleksi diri untuk lebih mendengarkan
daripada berbicara, juga pertanyaan dariMu yang harus aku jawab. #peluk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar