Terbitan Koran Suara NTB Sabtu (11/4) ini
simalakama. Sedih. Senang :)
Mengetahui tulisan terbit memang suatu hal
yang menyenangkan. Namun seketika gumpalan debu empat tahun mampir tepat ke
depan mataku ketika melihat tahun puisi tersebut. Jika kalian jeli, maka
terjawablah apa alasannya. Omooo..
Metro
telinga serampangan di tengah lidah
menelurkan bebaris kalimat sumpah
dipikirnya ini hikayat kitab suci
padahal seramping pinggul ibunya
kami hanya lonte di balik versa
chi
anak-anak bersolek
hendak mencium aroma buah sintetik
dipikirnya itu lampu-lampu disko
padahal sebuntal perut ayahnya
kami hanya buruh kotak sampah
2015
Rantau
menara menari di bibir radio
rautan wajahmu; literasi serat
kain sofa di
ruang tunggu
hari kian tunduk
debu-debu beranak-pinak
pulanglah.
2014
Selamat Tidur
semalam ia meraba
botaknya
serupa porselen, tulen, licin benar
selimut sepanas pandan
bertanda pagi acungkan
sinar
maka tiba waktunya
membuat santan
yang serupa porselen
tulen, masih harum
membelit sesuji di
sudut hati
pada bulan ia bercium;
selamat tidur,
Bapak Kaur
2013
Kuning Angsana
aroma matahari menapak
di dinding kayu
keriput
waktu yang hangat,
ketiganya merekah
dalam rimbun belukar,
dekat
bengkel di seberang portal
kelopak yang gatal
beronggeng bersama
angin
lalu hilang dalam
kuning genangan
dijadikan objek foto
kenangan
2012
Jadi, sudah sepanjang itukah prosesku? Masih kurang. Belum. Jalan terus!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar