Aku selalu berdoa pada Tuhan agar langkah hidupku dipermudah.
Segala niatan baikku dilancarkan. Entah apa
pun hasilnya, aku percaya inilah yang terbaik dari Tuhan. Namun kadang kala aku
berfikir, “Apa iya, hanya segini batasku, Tuhan? ataukah ini hanya persimpangan
yang sengaja Kau tunjukkan padaku agar aku lebih menggunakan otakku dalam
bertindak?” yah, begitu. Lalu aku
mulai bergulit kembali dengan segala kemungkinan-kemungkinan dalam hidup. Bisa saja
ini langkah dari Tuhan, karena dahulu aku mengambil langkah yang ini. Atau ini
sama saja jika aku mengambil langkah itu, toh,
muaranya akan ke sini juga.
Semisal tentang jalan hidupku di dunia perkuliahan. Siapa sangka
aku akan menetap di Mataram? dengan segala mimpiku yang telah kubangun sejak
SMP. Aku akan keluar dan berkelana ke banyak tempat. Semakin gila ide di
kepalaku ketika SMK. 2011, aku lulus seleksi jalur undangan ke Universitas
Negeri Semarang. Begitu bangga dan bahagia diri ini. Berharap Pendidikan Teknik
Elektro akan membawaku kembali ke Mataram sebagai guru kejuruan di SMK
tercintaku. Akan tetapi Tuhan membelokkan itu semua. Ibuku tidak mengizinkan,
dan aku harus ikut seleksi lagi di Univerisitas Mataram. Pendidikan Bahasa
Inggris. Sejujurnya, aku benci bahasa ini. Tak pernah kudapati nilai memuaskan
di mata pelajaran yang satu ini. Namun entah mengapa aku memilih ini dan kini
di sinilah aku. Mahasiswa semester delapan Pendidikan Bahasa Inggris FKIP
Universitas Mataram.
Mengubah kebencian menjadi kecintaan ternyata masyaAllah susahnya! Nilai itu B C B C B
C (bukan broadcast BBM, ya..) and I
got D in 2nd semester. Itu awal yang mengerikan. Menyesakkan. Menggelikan.
Memalukan. Terpuruk di antara sekian orang pintar membuatku sedikit minder. Jika
sewaktu SMP aku minder karena lingkungan sekolahku adalah orang-orang borjuis,
di sini mereka tidak hanya borjuis, tapi juga pintar. Ah, sama saja. Jiwa SMP-ku kembali bangkit. Aku harus menemukan
penyeimbang! Dan kutemukan organisasi sebagai penyeimbang.
Kesulitan kembali kuhadapi ketika semester 2. Nilai D yang
kuhasilkan bukanlah karena ketidakmampuanku mengikuti proses belajar di kelas. Namun
karena ketua tingkatku lupa menyerahkan surat dispensasi dariku untuk dosen
pengampu mata kuliah. Diperparah dengan keteledoranku yang lupa bahwa hari itu
adalah jadwal mid-semester untuk mata kuliah itu. Well, dari pengalaman konyol itu aku mulai belajar menyeimbangkan
antara kuliah dan organisasi. Tidak ada pilihan bagiku untuk keduanya. Yang ada
hanyalah DAN, bukan ATAU.
Kala itu aku adalah ketua panitia Kejuaraan antar Daerah
Merpati Putih NTB. Karena masih polos bin
kurang informasi, jadilah aku enteng
saja meninggalkan surat dispen dan sibuk di Arena Budaya. Akan tetapi mungkin
nilai D itu tidak sebanding dengan pengalaman awal yang kudapati kala itu. Sadar
atau tidak, itu adalah awal mula perkenalanku dengan birokrasi kampus—yang ternyata jauh berbeda
dengan sekolah. I said, “Let’s fight!”
Lambat laun, semakin tinggi semesterku, Alhamdulillah nilai
indeks presetasi juga semakin naik dan bijaksana. Akupun harus semakin giat
belajar di kedua tempat: kelas dan sekretariat. Larut dengan kesibukan, aku
lupa sesuatu yang sebenarnya selalu aku pikirkan saat sendirian: aku jomblo. (“-___-)
Menginjak semester tiga, HMPS Bahasa Inggris mengadakan
kegiatan tahunan, English Family Camp! Ak selalu suka acara ini. Sangat
bermanfaat. Aku jadi banyak teman dari reguler
sore (karena kau reguler pagi). Tahun 2012 aku pertama kali menjadi
panitia. Rapat demi rapat dilaksanakan, terpilihlah aku sebagai bendahara
panitia. Saat mulai mengetik kisah ini, entah, aku mengingat moment—atau lebih
tepatnya awal—aku melepas predikat jomblo.
Seorang laki-laki yang tidak begitu kuperhatikan mencoba
mencari perhatian. Mungkin karena ia juga orang organisasi lain, jadi rada
kritis, juga “heboh”. Kulirik ia di belakang. “Oh, kakak yang itu,” batinku. Malam harinya, telepon genggam yang
biasanya kulempar kemana-mana karena sepi, tiba-tiba ramai oleh pesan-pesan
konyol dari orang yang ku-oh..-kan
itu.
Awalnya aku merasa ini
hanya sekedar basa-basi agar kepanitiaan makin kompak. Ia ditempatkan di
Konsumsi. Wajarlah sering berhubungan denganku, karena aku bendahara panitia. Jadi
kuladeni dengan riang gembira (gubrakk!).
Tunggu, tiba-tiba ingatanku tentang momen itu menjadi gelap dan hujan. Aku takut
mengingatnya. Itu hampir tiga tahun yang lalu. Dimana aku yang sudah lama tidak
memikirkan hal cinta, tiba-tiba ada orang datang dengan berani mengusik
ketenanganku. Aku bersyukur ia datang. Singkatnya kami berpacaran.
Sungguh, aku masih merasa tak tentu arah ketika mengingat
segala perjalanan kami. Aku masih ingat kami berkeliling kota Mataram hanya
untuk mencari bendera logo organisasi
yang kami inginkan. Ternyata hingga detik ini tak kunjung kami temukan—lebih tepatnya
kami tak lagi mencarinya. Aku tahu, itu
hanya caranya untuk mengajakku pergi. Itu dulu.
Lama menjalani hidup bersama, aku semakin bahagia karena aku
tahu, ia orang yang jujur. Kebohongannya tak pernah lolos
dari mataku. Dari pikiran dan hatiku. Ia orang baik. Hanya saja kurang
menghargai. Jika selama ini aku menganggapnya sebagai Nobita, aku sok menjadi
Shizuka, ini berbeda. Nobita, dengan segala kekurangannya, mencintai Shizuka dengan tulus. Rela melepas gadis yang ia cintai karena sadar akan kekurangannya
yang dirasa tidak akan mampu membuat Shizuka bahagia. Juga Shizuka yang rela
menolak Dekisugi karena ia tahu, Dekisugi sudah sempurna sebagai seorang
laki-laki. Ia tidak membutuhkan Shizuka dalam hidupnya. Shizuka dibutuhkan oleh
Nobita. Akan tetapi, laki-laki bermata teduh itu tidak sesungguh Nobita dalam
mencintaiku. Kami bukan Nobita ataupun Shizuka. Bukan.
Terdakang aku berfikir, akulah Nobita itu. Aku pulalah
Shizuka itu. Apa aku mencintai dan berjuang sendiri? Mungkin. Lantas, siapa aku
ini? Atau mungkin aku terlalu takut untuk meninggalkan apa yang telah aku
perjuangkan. Mungkin aku terlampau takut melewati rasa sakit yang dulu pernah
hinggap bertahun-tahun di hatiku ketika patah hati. Menunggu seperti orang
bodoh. Menjadi munafik karena menjauhi laki-laki bermata teduh itu padahal
masih cinta.
Aku menjauhinya karena takut ia menjadi munafik. Namun nyatanya
akulah yang munafik. Lantas, apa aku ini? Bagaimana kami sekarang ini? Apa kami
harus wisuda di hari yang sama lalu pergi meninggalkan kampus dan memupuk kembali
mimpi-mimpi yang dulu pernah ada? “Aku masih
duduk di sini. di bawah pohon rindang tempat kita mengucap janji—sembari berbisik
disaksikan kawanan daun yang mendoakan kita berdua.” Kalimat ini urung
kuucapkan padanya. Aku ingin ia belajar membaca. Karena bagiku, jika dulu aku
dipertemukan dengannya oleh jalan Tuhan, mungkin keadaan ini juga direncanakan
Tuhan untuk masa depan yang lebih baik. Untuk kami, atau untuk siapa pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar