Senin, 08 Juni 2015

Reflection (3)



Aku selalu berdoa pada Tuhan agar langkah hidupku dipermudah. Segala niatan baikku dilancarkan.  Entah apa pun hasilnya, aku percaya inilah yang terbaik dari Tuhan. Namun kadang kala aku berfikir, “Apa iya, hanya segini batasku, Tuhan? ataukah ini hanya persimpangan yang sengaja Kau tunjukkan padaku agar aku lebih menggunakan otakku dalam bertindak?” yah, begitu. Lalu aku mulai bergulit kembali dengan segala kemungkinan-kemungkinan dalam hidup. Bisa saja ini langkah dari Tuhan, karena dahulu aku mengambil langkah yang ini. Atau ini sama saja jika aku mengambil langkah itu, toh, muaranya akan ke sini juga.
Semisal tentang jalan hidupku di dunia perkuliahan. Siapa sangka aku akan menetap di Mataram? dengan segala mimpiku yang telah kubangun sejak SMP. Aku akan keluar dan berkelana ke banyak tempat. Semakin gila ide di kepalaku ketika SMK. 2011, aku lulus seleksi jalur undangan ke Universitas Negeri Semarang. Begitu bangga dan bahagia diri ini. Berharap Pendidikan Teknik Elektro akan membawaku kembali ke Mataram sebagai guru kejuruan di SMK tercintaku. Akan tetapi Tuhan membelokkan itu semua. Ibuku tidak mengizinkan, dan aku harus ikut seleksi lagi di Univerisitas Mataram. Pendidikan Bahasa Inggris. Sejujurnya, aku benci bahasa ini. Tak pernah kudapati nilai memuaskan di mata pelajaran yang satu ini. Namun entah mengapa aku memilih ini dan kini di sinilah aku. Mahasiswa semester delapan Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Mataram.
Mengubah kebencian menjadi kecintaan ternyata masyaAllah susahnya! Nilai itu B C B C B C (bukan broadcast BBM, ya..) and I got D in 2nd semester. Itu awal yang mengerikan. Menyesakkan. Menggelikan. Memalukan. Terpuruk di antara sekian orang pintar membuatku sedikit minder. Jika sewaktu SMP aku minder karena lingkungan sekolahku adalah orang-orang borjuis, di sini mereka tidak hanya borjuis, tapi juga pintar. Ah, sama saja. Jiwa SMP-ku kembali bangkit. Aku harus menemukan penyeimbang! Dan kutemukan organisasi sebagai penyeimbang.
Kesulitan kembali kuhadapi ketika semester 2. Nilai D yang kuhasilkan bukanlah karena ketidakmampuanku mengikuti proses belajar di kelas. Namun karena ketua tingkatku lupa menyerahkan surat dispensasi dariku untuk dosen pengampu mata kuliah. Diperparah dengan keteledoranku yang lupa bahwa hari itu adalah jadwal mid-semester untuk mata kuliah itu. Well, dari pengalaman konyol itu aku mulai belajar menyeimbangkan antara kuliah dan organisasi. Tidak ada pilihan bagiku untuk keduanya. Yang ada hanyalah DAN, bukan ATAU.
Kala itu aku adalah ketua panitia Kejuaraan antar Daerah Merpati Putih NTB. Karena masih polos bin kurang informasi, jadilah aku enteng saja meninggalkan surat dispen dan sibuk di Arena Budaya. Akan tetapi mungkin nilai D itu tidak sebanding dengan pengalaman awal yang kudapati kala itu. Sadar atau tidak, itu adalah awal mula perkenalanku dengan  birokrasi kampus—yang ternyata jauh berbeda dengan sekolah. I said, “Let’s fight!”
Lambat laun, semakin tinggi semesterku, Alhamdulillah nilai indeks presetasi juga semakin naik dan bijaksana. Akupun harus semakin giat belajar di kedua tempat: kelas dan sekretariat. Larut dengan kesibukan, aku lupa sesuatu yang sebenarnya selalu aku pikirkan  saat sendirian: aku jomblo. (“-___-)
Menginjak semester tiga, HMPS Bahasa Inggris mengadakan kegiatan tahunan, English Family Camp! Ak selalu suka acara ini. Sangat bermanfaat. Aku jadi banyak teman dari reguler  sore (karena kau reguler pagi). Tahun 2012 aku pertama kali menjadi panitia. Rapat demi rapat dilaksanakan, terpilihlah aku sebagai bendahara panitia. Saat mulai mengetik kisah ini, entah, aku mengingat moment—atau lebih tepatnya awal—aku melepas predikat jomblo.
Seorang laki-laki yang tidak begitu kuperhatikan mencoba mencari perhatian. Mungkin karena ia juga orang organisasi lain, jadi rada kritis, juga “heboh”. Kulirik ia di belakang. “Oh, kakak yang itu,” batinku. Malam harinya, telepon genggam yang biasanya kulempar kemana-mana karena sepi, tiba-tiba ramai oleh pesan-pesan konyol dari orang yang ku-oh..-kan itu.
Awalnya aku  merasa ini hanya sekedar basa-basi agar kepanitiaan makin kompak. Ia ditempatkan di Konsumsi. Wajarlah sering berhubungan denganku, karena aku bendahara panitia. Jadi kuladeni dengan riang gembira (gubrakk!). Tunggu, tiba-tiba ingatanku tentang momen itu menjadi gelap dan hujan. Aku takut mengingatnya. Itu hampir tiga tahun yang lalu. Dimana aku yang sudah lama tidak memikirkan hal cinta, tiba-tiba ada orang datang dengan berani mengusik ketenanganku. Aku bersyukur ia datang. Singkatnya kami berpacaran.
Sungguh, aku masih merasa tak tentu arah ketika mengingat segala perjalanan kami. Aku masih ingat kami berkeliling kota Mataram hanya untuk  mencari bendera logo organisasi yang kami inginkan. Ternyata hingga detik ini tak kunjung kami temukan—lebih tepatnya kami tak  lagi mencarinya. Aku tahu, itu hanya caranya untuk mengajakku pergi. Itu dulu.
Lama menjalani hidup bersama, aku semakin bahagia karena aku tahu, ia orang yang jujur. Kebohongannya tak pernah  lolos  dari mataku. Dari pikiran dan hatiku. Ia orang baik. Hanya saja kurang menghargai. Jika selama ini aku menganggapnya sebagai Nobita, aku sok menjadi Shizuka, ini berbeda. Nobita, dengan segala kekurangannya, mencintai Shizuka dengan tulus. Rela melepas gadis yang ia cintai karena sadar akan kekurangannya yang dirasa tidak akan mampu membuat Shizuka bahagia. Juga Shizuka yang rela menolak Dekisugi karena ia tahu, Dekisugi sudah sempurna sebagai seorang laki-laki. Ia tidak membutuhkan Shizuka  dalam hidupnya. Shizuka dibutuhkan oleh Nobita. Akan tetapi, laki-laki bermata teduh itu tidak sesungguh Nobita dalam mencintaiku. Kami bukan Nobita  ataupun Shizuka.  Bukan.
Terdakang aku berfikir, akulah Nobita itu. Aku pulalah Shizuka itu. Apa aku mencintai dan berjuang sendiri? Mungkin. Lantas, siapa aku ini? Atau mungkin aku terlalu takut untuk meninggalkan apa yang telah aku perjuangkan. Mungkin aku terlampau takut melewati rasa sakit yang dulu pernah hinggap bertahun-tahun di hatiku ketika patah hati. Menunggu seperti orang bodoh. Menjadi munafik karena menjauhi laki-laki bermata teduh itu padahal masih cinta.
Aku menjauhinya karena takut ia menjadi munafik. Namun nyatanya akulah yang munafik. Lantas, apa aku ini? Bagaimana kami sekarang ini? Apa kami harus wisuda di hari yang sama lalu pergi meninggalkan kampus dan memupuk kembali mimpi-mimpi yang dulu pernah ada? “Aku masih duduk di sini. di bawah pohon rindang tempat kita mengucap janji—sembari berbisik disaksikan kawanan daun yang mendoakan kita berdua.” Kalimat ini urung kuucapkan padanya. Aku ingin ia belajar membaca. Karena bagiku, jika dulu aku dipertemukan dengannya oleh jalan Tuhan, mungkin keadaan ini juga direncanakan Tuhan untuk masa depan yang lebih baik. Untuk kami, atau untuk siapa pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar