Selasa, 16 Juni 2015

Reflection (4)


Rapat Umum (Rapum) tinggal menghitung hari. Ini “pembantaian” kedua yang pernah saya lewati. Empat tahun berproses di Pena Kampus, diawali dengan anggota magang, kemudian dipercaya sebagai Pimpinan Redaksi (Pimred)—yang bisa dibilang ini adalah wakil ketua untuk keredaksian. Lalu menjadi Sekretaris Umum (Sekum) dengan segala perjalanannya yang akhirnya membuatku terpilih menjadi Pelaksana Tugas (Plt)—semacam ketua pengganti saat ketua bermasalah atau tidak lagi mampu memimpin. Yang terkahir sekarang ini, saya hampir  selesai menyelesaikan tugasku sebagai Pimpinan Umum (Pimum) karena terpilih kembali saat Rapum 2014 lalu.
Selama menjalani proses kepemimpinan, saya selalu yakin bahwa perempuan juga mampu memimpin layaknya laki-laki. Dan, ya, itu benar. Selama satu setengah tahun memimpin Pena Kampus, Alhamdulillah tidak ada satu program kerja (proker) yang tak terlaksana dengan baik. Saya dikelilingi oleh orang-orang yang mampu diajak berkerjasama dan tidak mengeluh ketika (terpaksa) harus saya lempari spidol, penghapus papan, steples, dan koran ketika mereka salah. Akan tetapi, tetap saja, tidak lebih dari empat orang yang mampu saya andalkan dalam pergerakan bawah tanah: Andi, Wahyu a.k.a Wawak, Indhi. Hanya mereka bertiga. Satu lagi adalah Bendahara Umum (Bendum) yang selalu ada dengan laporan keuangan bulanan yang rapi. Saya bangga.
Namun, jika dalam kepemimpinan ini ada yang salah dan anggota jarang mampir lama di rumah ini—sekretariat—adalah saya yang harus disalahkan. Kata Wawak, “Kak Ilda terlalu pilih kasih. Kenapa musti beda-bedakan orang kalo mau marah? Saya sama Ayaa dari awal ikut Pena sampai sekarang, ndak penah ndak kena lempar. Ndak perlu Kak Ilda begitu. Ayaa, yang sakit-sakitan begitu nyatanya masih bertahan. Jangan kehilangan jati diri, kak. Jangan lemah.”
Kedua adik didik yang saya kader sejak 2013 telah mampu berkata demikian, maka saya pun demikian adanya. Sorot. Menjadi lemah. Entah karena apa. Semakin tinggi jabatan yang saya emban, semakin “lembut” saya sikapi anggota yang ada. Tidak dipungkiri, anggota sekarang memang didominasi oleh perempuan. Adakah faktor Pimum perempuan di dalamnya? Ya, ada.
Tersadar saya terlalu pilih kasih dalam memimpin, saya coba untuk kembali menjadi Ilda yang dulu.  Salah berita, lempar ke mukanya! Kurang narasumber, liputan ulang bagaimana pun caranya! Meski hasilnya anggota saya jadi jatuh sakit semua, tapi seluruh tugas mereka rampung. And, that’s the real me. Terkadang, kejam itu diperlukan. Terbesit Soeharto di benak saya. Uh, bagaimana kabarmu di sana, bung?
Dengan waktu yang sedikit ini, saya harus memperbaiki segala kesalahan yang telah saya buat. Saya berjanji untuk tidak lagi pilih kasih. Itu sifat yang berangkat dari kelembutan seorang perempuan, namun fatal dalam situasi memimpin. Tuhan, terima kasih telah memberi kesempatan untuk memimpin. Dengan segala pengalaman yang telah saya dapatkan, dengan segala peluh perjuangan yang telah dilalui, semoga saya tidak membuat dosa sejarah—hal yang paling ditakutkan seluruh pemimpin di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar