Sabtu, 06 Juni 2015

Reflection (2)



“When you are feeling empty, keep me in your memory..”
Sepenggal lirik Leave Out All the Rest milik Linkin Park mengulum kenanganku akan perjalanan yang sudah-sudah. Sejauh inikah perjalanan masa depan ini? Segala kegiatan menyibukkan yang kujalani mungkin hanyalah kedok dari kesepian yang ada. Keluarga yang tidak cair; tiba-tiba saja aku merindukan suasana rumahnya yang hangat. Tidak seperti di sini. Dingin dan sepi.

“Happy ever after didn’t exist..”
Begitu pula dengan lirik Payphone milik Maroon 5—bukan karena aku pantang bahagia sebagai penulis. Hanya saja baru aku sadar bahwa sebenarnya kebahagiaan adalah bumbu penyedap bagi penulis untuk meramu segala kesengsaraannya. Aku butuh kebahagiaan untuk mewadahi ide dan motivasiku dalam berkarya. Namun aku tidak menyalahkan orang lain dalam ketidakmampuanku melawan rasa malas dan sok melankolis akhir-akhir ini. Sulit! Suatu hari, kuniati diriku untuk tidak banyak bicara dan mulai menyibukkan diri dengan membaca. Segala buku kupinjam dari kawan dan perpustakaan. Namun hasilnya: nihil. Aku tetap gila dengan pikiran-pikiran lemahku. Menertawakan sikapku selama ini, juga kesabaranku yang naif.

“Cause after all this time, I am still into you..”
            Lirik Still Into You milik Paramore ini sering menjadi bahan candaan kami ketika mengingat dirinya gugup saat pertama kali bertemu ibuku. Tapi, apa iya? Entahlah. Mungkin aku hanya mengait-ngaitkan saja. Tak usahlah dibahas panjang masalah ini. Namun lagu ini masih menjadi favoritku dari sekian banyak lagu Paramore. Mungkin karena inilah satu-satunya lagu Paramore yang ia suka.

“Aku yang pernah engkau kuatkan..”
Ah, ini favoritku sejak SMP—sejak aku mulai menulis puisi untuk sahabat-sahabatku di MP. Akan tetapi lagu ini menjadi aneh ketika kusimak dalam keadaan seperti sekarang ini. Entah darimana ingatanku malah tertuju padanya. Ia yang selalu mendorongku untuk tetap menulis meski ia jarang membaca tulisanku. Ya, ini lirik Puisi oleh Jikustik. But, now, I think it is better if I sing The One that Got Away by Katy Perry.

“Bukan hal baru bila kau tinggalkan aku..”
Sebenarnya aku tidak begitu menyukai penyanyi lagu ini. Suatu ketika, aku terbangun dari tidur siang dan lagu ini langsung menyambutku. Begitu menohok hati dan pikiran. “Lagu siapa ini?” tanyaku. Salah seorang anggotaku menjawab, “Ini lagunya Last Child duet sama Giselle, mbak. Seluruh Nafas Ini.” Secepat mungkin kuambil ransel lalu pergi dari sekret. Lagu itu terlalu menampar.

“Lihat aku dari sisi yang lain..”
Lama merenung di pinggir pantai, tanpa sadar musik di telingaku memutar lagu ini. Lagu yang pernah ia tujukan padaku. Lagu yang ia banggakan, betapa berharganya aku baginya. Itu dulu. Terkadang aku takut membaca gerak lirik dari lagu ini setiap mengetik revisi thesisku. Akan tetapi, serupa anomali, lidahku selalu berdendang di dalam mulut. Sembari jemari mengetik dengan harapan thesis ini akan selesai bersamaan dengan melodi lagu yang dulu pernah menjadi sumber kebahagiaanku. by the way, the video clip of this song was so romantic..

“Mungkin suatu saat nanti kau temukan bahagia meski tak bersamaku..”
Ini lirik Kenanglah Aku milik Jikustik. Kurang ajar! I can’t say any words. I listen it everywhere I go. Cukup tahu. Cukup paham. Lagu ini sama saktinya dengan Cobalah Untuk Setia milik Krisdayanti, juga I’m Not the Only One milik Sam Smith. Sama dengan sederet lagu-lagu Sheila On 7 yang sukses membuatku banjir air mata juga penyesalan! Membuatku terlihat lemah di atas hatiku yang angkuh. Sekali Lagi, Jalan Keluar, Terjamah yang Lain, Mudah Saja, Last Pretence, Bila  Kau Tak Disampingku, dan satu lagi, Terlintas Dua Kata.

---
Well, tulisan di atas tidak bermaksud untuk menjerumuskan diri ini ke dalam golongan alay karena  patah hati. Teringat saat adik bungsunya menangis di seberang telepon, kami mencoba bernegosiasi atas keadaan ini. Tanpa sadar aku pun melakukan hal yang sama. Betapa besar kasih sayang mereka padaku. Lantas apa aku harus lemah dan menyerah? Kurasa tidak. Aku anak seorang militer. Hidup ini keras! Tuhan pun memposisikan aku dalam keadaan ini bukan tanpa sebab. Tuhan tahu aku mampu menyelesaikan semuanya. Tuhan mengerti bahwa aku harus memberi kesempatan padanya untuk membuktikan padaku dan pada keluarganya jika ia mampu mandiri. Entah ia berbohong atau semacamnya, menggunakan “kemandirian” untuk mencari ruang bebas, aku tak peduli. Tuhan telah mengurus segalanya.
An-Nur:26 tidak akan salah. Ar-Ruum:21 pun tidak akan tertukar dengan celoteh-celoteh tak bermutu dari manusia yang iri dan hobi mencemooh. Aku percaya semua akan baik-baik saja. Meski ada satu tindakan reaktifnya yang membuatku miris. Ia marah ketika orang-orang kini berbincang atau berkomunikasi lebih sering dari biasanya; padaku. Tidakkah ia sadar, bahwa sesungguhnya ialah yang telah membuka jalan orang lain untuk datang padaku? Sejak kami memutuskan untuk berpisah, tidak dipungkiri, memang perubahan ini jelas kurasakan. Setiap kutanyai mereka tentang alasannya yang “rajin” menghubungiku, mereka hanya menjawab, “Kamu kan sekarang single. Apa salahnya?”
Sudah berkali-kali kukatakan, status bukanlah pajangan supaya aku tidak “dihinggapi” orang lain. Hal ini membuatku sadar dan sedikit berfikir gila. “Apa sebaiknya aku tidak menikah saja, ya? Toh laki-laki juga begitu semua.” Siapa yang siap membantah pernyataanku ini? Silahkan. Ditambah dengan novel Fadjroel Rachman yang membahas masalah kebebasan perempuan, aku semakin ingin mengunci diriku dalam kamar. Aku takut menjadi terlalu bebas hingga melupakan kodratku sebagai perempuan.
Tak perlu lagi aku keluar untuk bertemu siapapun. Entah apa hubungan dari semuanya, aku hanya tahu: aku mencintai laki-laki bermata teduh itu dan cukup Hukum Cinta Plato menyelamatkanku dari kesakitan ini. Aku tetap perempuan. Jangan paksa aku untuk tetap bersikap seolah laki-laki. Biarkan aku menunggu; karena sudah kordat perempuan untuk menunggu. Menunggu ia yang tangannya telah ditugaskan Tuhan untuk menggenggam hidupku—sebagai imam dalam rumah yang aku tak tahu, kapan akan terbagun kokoh.
Suatu hari nanti, aku berharap ia mau menyanyikan lagu-lagu ini untukku: Kesalahan yang Sama milik Kerispatih, juga Terimakasih Bijaksana & Hingga Ujung Waktu milik Sheila On 7. Ini sudah cukup, kan? Sesederhana harapan masa depan. Mungkin aku harus duduk dan menangis di Sungai Piedra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar