“When you are feeling
empty, keep me in your memory..”
Sepenggal lirik Leave Out All the Rest milik
Linkin Park mengulum kenanganku akan perjalanan yang sudah-sudah. Sejauh inikah
perjalanan masa depan ini? Segala kegiatan menyibukkan yang kujalani mungkin
hanyalah kedok dari kesepian yang ada. Keluarga yang tidak cair; tiba-tiba saja
aku merindukan suasana rumahnya yang
hangat. Tidak seperti di sini. Dingin dan sepi.
Begitu pula dengan lirik Payphone milik
Maroon 5—bukan karena aku pantang bahagia sebagai penulis. Hanya saja baru aku
sadar bahwa sebenarnya kebahagiaan adalah bumbu penyedap bagi penulis untuk
meramu segala kesengsaraannya. Aku butuh kebahagiaan untuk mewadahi ide dan
motivasiku dalam berkarya. Namun aku tidak menyalahkan orang lain dalam
ketidakmampuanku melawan rasa malas dan sok melankolis akhir-akhir ini. Sulit!
Suatu hari, kuniati diriku untuk tidak banyak bicara dan mulai menyibukkan diri
dengan membaca. Segala buku kupinjam dari kawan dan perpustakaan. Namun
hasilnya: nihil. Aku tetap gila dengan pikiran-pikiran lemahku. Menertawakan
sikapku selama ini, juga kesabaranku yang naif.
Lirik
Still Into You milik Paramore ini sering menjadi bahan candaan kami ketika
mengingat dirinya gugup saat pertama kali bertemu ibuku. Tapi, apa iya?
Entahlah. Mungkin aku hanya mengait-ngaitkan saja. Tak usahlah dibahas panjang
masalah ini. Namun lagu ini masih menjadi favoritku dari sekian banyak lagu
Paramore. Mungkin karena inilah satu-satunya lagu Paramore yang ia suka.
Ah, ini favoritku sejak SMP—sejak aku mulai
menulis puisi untuk sahabat-sahabatku di MP. Akan tetapi lagu ini menjadi aneh
ketika kusimak dalam keadaan seperti sekarang ini. Entah darimana ingatanku malah
tertuju padanya. Ia yang selalu mendorongku untuk tetap menulis meski ia jarang
membaca tulisanku. Ya, ini lirik Puisi oleh Jikustik. But, now, I think it is
better if I sing The One that Got Away by Katy Perry.
Sebenarnya aku tidak begitu menyukai
penyanyi lagu ini. Suatu ketika, aku terbangun dari tidur siang dan lagu ini langsung
menyambutku. Begitu menohok hati dan pikiran. “Lagu siapa ini?” tanyaku. Salah seorang
anggotaku menjawab, “Ini lagunya Last Child duet sama Giselle, mbak. Seluruh
Nafas Ini.” Secepat mungkin kuambil ransel lalu pergi dari sekret. Lagu itu
terlalu menampar.
Lama merenung di pinggir pantai, tanpa sadar
musik di telingaku memutar lagu ini. Lagu yang pernah ia tujukan padaku. Lagu yang
ia banggakan, betapa berharganya aku baginya. Itu dulu. Terkadang aku takut
membaca gerak lirik dari lagu ini setiap mengetik revisi thesisku. Akan tetapi,
serupa anomali, lidahku selalu berdendang di dalam mulut. Sembari jemari
mengetik dengan harapan thesis ini akan selesai bersamaan dengan melodi lagu
yang dulu pernah menjadi sumber kebahagiaanku. by the way, the video clip of
this song was so romantic..
Ini lirik Kenanglah Aku milik Jikustik.
Kurang ajar! I can’t say any words. I listen it everywhere I go. Cukup tahu.
Cukup paham. Lagu ini sama saktinya dengan Cobalah
Untuk Setia milik Krisdayanti, juga I’m
Not the Only One milik Sam Smith. Sama dengan sederet lagu-lagu Sheila On 7
yang sukses membuatku banjir air mata juga penyesalan! Membuatku terlihat lemah
di atas hatiku yang angkuh. Sekali Lagi,
Jalan Keluar, Terjamah yang Lain, Mudah Saja, Last Pretence, Bila Kau Tak Disampingku, dan satu lagi, Terlintas Dua Kata.
---
Well,
tulisan di atas tidak bermaksud untuk menjerumuskan diri ini ke dalam golongan alay karena patah hati. Teringat saat adik bungsunya
menangis di seberang telepon, kami mencoba bernegosiasi atas keadaan ini. Tanpa
sadar aku pun melakukan hal yang sama. Betapa besar kasih sayang mereka padaku.
Lantas apa aku harus lemah dan menyerah? Kurasa tidak. Aku anak seorang
militer. Hidup ini keras! Tuhan pun memposisikan aku dalam keadaan ini bukan
tanpa sebab. Tuhan tahu aku mampu menyelesaikan semuanya. Tuhan mengerti bahwa
aku harus memberi kesempatan padanya
untuk membuktikan padaku dan pada keluarganya jika ia mampu mandiri. Entah ia
berbohong atau semacamnya, menggunakan “kemandirian” untuk mencari ruang bebas,
aku tak peduli. Tuhan telah mengurus segalanya.
An-Nur:26
tidak akan salah. Ar-Ruum:21 pun
tidak akan tertukar dengan celoteh-celoteh tak bermutu dari manusia yang iri
dan hobi mencemooh. Aku percaya semua akan baik-baik saja. Meski ada satu
tindakan reaktifnya yang membuatku miris. Ia marah ketika orang-orang kini
berbincang atau berkomunikasi lebih sering dari biasanya; padaku. Tidakkah ia
sadar, bahwa sesungguhnya ialah yang telah membuka jalan orang lain untuk
datang padaku? Sejak kami memutuskan untuk berpisah, tidak dipungkiri, memang
perubahan ini jelas kurasakan. Setiap kutanyai mereka tentang alasannya yang
“rajin” menghubungiku, mereka hanya menjawab, “Kamu kan sekarang single. Apa salahnya?”
Sudah berkali-kali kukatakan, status
bukanlah pajangan supaya aku tidak “dihinggapi” orang lain. Hal ini membuatku
sadar dan sedikit berfikir gila. “Apa
sebaiknya aku tidak menikah saja, ya? Toh laki-laki juga begitu semua.”
Siapa yang siap membantah pernyataanku ini? Silahkan. Ditambah dengan novel
Fadjroel Rachman yang membahas masalah kebebasan perempuan, aku semakin ingin
mengunci diriku dalam kamar. Aku takut menjadi terlalu bebas hingga melupakan
kodratku sebagai perempuan.
Tak perlu lagi aku keluar untuk bertemu
siapapun. Entah apa hubungan dari semuanya, aku hanya tahu: aku mencintai
laki-laki bermata teduh itu dan cukup Hukum Cinta Plato menyelamatkanku dari
kesakitan ini. Aku tetap perempuan. Jangan paksa aku untuk tetap bersikap seolah
laki-laki. Biarkan aku menunggu; karena sudah kordat perempuan untuk menunggu.
Menunggu ia yang tangannya telah ditugaskan Tuhan untuk menggenggam hidupku—sebagai
imam dalam rumah yang aku tak tahu, kapan akan terbagun kokoh.
Suatu hari nanti, aku berharap ia mau menyanyikan
lagu-lagu ini untukku: Kesalahan yang
Sama milik Kerispatih, juga Terimakasih
Bijaksana & Hingga Ujung Waktu
milik Sheila On 7. Ini sudah cukup, kan? Sesederhana harapan masa depan.
Mungkin aku harus duduk dan menangis di Sungai Piedra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar