Selasa, 23 Juni 2015

Karena Saya Perempuan (?)



Sebelum saya dikata-katai sebagai orang yang tidak tahu diri, tidak tahu diuntung, tidak mensyukuri anugerah Tuhan, dan lain-lain, izinkan saya mengatakan bahwa saya tidak pantas melecut api komando sebagai pemimpin. Mengapa demikian? Karena saya perempuan.
            Jika seluruh umat perempuan Indonesia “wajib” merayakan Hari Kartini, saya sendiri—hingga saat ini—malah sibuk mencari sebab mengapa perempuan Jepara ini berhak dirayakan ulang tahunnya setiap tahun oleh umat se-nusantara. Sehebat apa ia sehingga mengalahkan perempuan-perempuan era reformasi lainnya, begitu pula dengan pahlawan perempuan sebelum kemerdekaan.
            Kembali pada diri saya. Paragraf di atas hanyalah intermezo hari-hari. Sekedar membandingkan saja. Saya, mahasiswi semester enam di tahun ketiga menginjakkan kaki di rimba intelektual, sedang gamang akan masa depannya. Begitu banyak kesempatan yang bisa diraih, begitu luas pemikiran yang harusnya dapat dijamah dan dicetuskan ranting-rantingnya oleh tulisan, dan juga kodrat yang sebentar lagi (mau tidak mau) harus terpikirkan.
            Bagi mahasiswa yang bergelut di dua ruang; bangku kelas dan sekretariat organisasi, tentu lumrah mengalami hal seperti ini. Suatu kegamangan memilih dan menentukan langkah. Semua memiliki peluang untuk membawa masa depan lebih baik, namun tidak mungkin memijakkan kaki di dua pulau yang berjauhan. Sungguh kini saya harus mengenal siapa diri saya sebenarnya. Kuliah yang kini sedang berada di titik penentu semester kedepannya akan seperti apa, dan juga organisasi yang sedang di puncak. Inilah moment utama dalam kehidupan saya. Sebuah masa dimana hampir semua orang mengenal saya, baik secara personal maupun secara kepentingan.
            Namun, dari semua moment yang ada, haruslah saya memilih demi kejelasan masa depan yang harus dihadapi. Moment ini akan menjadi sejarah yang memiliki dua kemungkinan; segera dilupakan atau dikenang selamanya. Selalu ada dua kemungkinan. Lantas, di mana saya harus berpijak? Jenis kehidupan apa yang akan saya bangun sejak sekarang? Akankah saya lulus dengan cepat atau akan bersantai hingga terlena dengan gelar aktivis? Entah. Mari berfikir.
            Perempuan, dalam konteks feminis, ingin selalu didengar dan disetarakan pendapatnya dengan para maskulin. Jujur saja saya katakan bahwa saya tidak berpihak pada teori aneh itu. Agama saya telah menjelaskan bahwa perempuan adalah makhluk yang istimewa. Mereka bukanlah makhluk lemah yang harus dimanjakan dengan keseteraan. Dipaksa dilayani dengan kesetaraan. Tuhan sudah menempatkan kodrat dengan rapi nan elok. Jadi, untuk apa?
            Salah satu ke-ngotot-an perempuan dalam kesetaraan adalah menjadi pemimpin. Jika kaum feminis menjunjung tinggi pemikiran bahwa perempuan juga mampu memimpin layaknya laki-laki, saya katakan itu tidak! Hingga Tuhan memberi saya sebuah bukti nyata bahwa hal itu benar. Saya diberi kesempatan merasakan diri sebagai seorang pemimpin dalam sebuah organisasi yang tidak sembarangan; Pimpinan Umum LPM Pena Kampus. Seperti yang kita tahu bahwa sudah kodratnya laki-laki cenderung kepada kemampuan berpikir mereka dan perempuan berpisau pada perasaan. Itu benar. Dan perempuan selalu menyangkal hal itu karena takut dikatai lemah oleh lelaki. Saya akui, ketika perempuan sedang ‘ngambek’, mereka hanya ingin dibujuk ratusan kali hingga akhirnya mau mendengarkan penjelasan kaum laki-laki. Jika ada perempuan yang penyangkal itu, dengan keras saya katakan ia berbohong!
            Kembali pada sosok kepemimpinan. Menjadi pemimpin itu bukanlah hal mudah. Asal komando, asal suruh, asal marah-marah. Bukan. Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Salah satunya adalah pemikiran dan perasaan. Tidak saya pungkiri, selama menjadi pemimpin dalam organisasi ini, saya banyak menggunakan perasaan. Sehingga hal itu membuat saya tidak bisa jauh dari laki-laki dan ini bukan tanpa alasan. Saya harus berusaha keras memahami karakter laki-laki untuk menyesuaikan cara memimpin mereka. Saya sering berkumpul bersama laki-laki, bukan karena saya ingin dilihat populer di kalangan mereka atau menunjukkan bahwa saya seorang tomboi. Bukan. Hal itu saya lakukan karena hanya itu satu-satunya cara membaca kepemimpinan laki-laki. Bagaimana mereka berpikir, menyikapi suatu masalah, membicarakan wacana, hingga bergosip.  Dan saya menemukan banyak perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
            Tidak sampai disitu perjuangan saya untuk bisa ‘menyaingi’ laki-laki. Saya harus memaksakan diri untuk tetap diam dalam ketidaknyamanan ketika diapit oleh wacana yang seharusnya memang untuk laki-laki. Mereka tidak lagi menganggap saya perempuan karena sudah begitu sering perkumpulan itu saya ikuti. Kadang saya merasa aneh. Apa yang telah saya lakukan? Apakah ada kebanggaan dalam diri sehingga harus seperti ini demi menjalankan suatu kepemimpinan yang mumpuni? Dan inilah jawabannya: perempuan memang tidak layak menjadi pemimpin.
            Menjalani rutinintas topeng seperti itu membuat saya rindu dengan kawan-kawan perempuan saya. Mereka dulu sering mengajak saya hangout dan shopping. Sekedar berkumpul dan bergosip ala perempuan, bukan laki-laki yang selama ini saya ikuti. Terkadang memang menyiksa saat selesai kuliah, mereka tertawa ria beranjak dari kelas menuju tempat parkir sambil membicarakan planning sesama perempuan. Sedang saya membelok ke arah sekretariat demi memenuhi rasa haus akan informasi dari koran. Saya telah jauh berbeda dari mereka. Jadi jika saya merasa mereka tidak lagi mengajak saya, itu hal yang wajar. Bukan mereka yang berubah, sayalah yang menjauh dari kehidupan normal para perempuan.
            Ketika saya menuliskan hal ini, ketua BEM fakultas saya telah merundingkan sesuatu yang dulu sempat saya idam-idamkan; menjadi the next ketua BEM fakultas. Ia meminta saya ikut dalam pemilihan tahun ini. Tapi kembalilah terngiang tanggung jawab dan pengorbanan yang harus saya tempuh demi menjadi pemimpin, hal itu harus dipikir matang-matang.
            Ini mengingatkan saya pada tanggapan ibu ketika anak sulungnya ini bertanya, “Boleh ndak masuk organisasi ini?” dan beliau balik bertanya pada saya, “Apa yang bisa kau berikan untuk organisasi itu?” lalu percakapan itu terhenti dengan daftar jawaban di hati dan pikiran saya. Ibu tidak mengharapkan jawaban lagi. Dan ternyata jawabannya adalah WAKTU.
            Saya hanya bisa memberikan waktu saya untuk setiap kegiatan yang saya jalani. Atas semua hal yang telah saya pilih sebagai catatan hidup. Selama 24 jam sehari, saya harus membagi waktu dengan banyak aspek; keluarga, kampus, dan pacar. Jika menjadi Pimum Pena Kampus saja sudah menghabiskan waktu pagi siang sore saya di kampus, hal ini cukup menjadi kekecewaan bagi  keluarga saya. Khususnya ibu. “Perempuan itu baru boleh pergi kalo rumah sudah bersih.” “Sesibuk apapun kamu, ingat adik-adikmu.” “Sehebat apapun perempuan, akan tetap harus di dapur.” Dan masih banyak nasihat ala perempuan yang saya dapatkan dari beliau. Pun, sampai pada titik ini saya tak lagi mampu merumuskan kekata yang tepat untuk menggambarkan sebagaimana rumit hidup perempuan jika menjadi seorang pemimpin. Entah saya malas atau mungkin lelah. Anda mungkin tidak akan menemukan jawabannya secara tersurat.
            Dengan segala beban tanggung jawab pribadi sebagai seorang perempuan, dan juga kodrat perasaan yang Tuhan berikan, perempuan hanya akan mengorbankan dirinya dan keluarganya jika menjadi pemimpin. Kecuali ia mampu membunuh kehidupan pribadinya hanya untuk kepemimpinan satu periode. Yang berarti ia harus tidak peduli pada ibu dan adik-adiknya, memutusi pacarnya, dan membuang kawan-kawan perempuannya. Saya mengatakan ini pada diri saya sendiri. Mengapa? Karena saya perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar