Sebelum saya
dikata-katai sebagai orang yang tidak tahu diri, tidak tahu diuntung, tidak
mensyukuri anugerah Tuhan, dan lain-lain, izinkan saya mengatakan bahwa saya
tidak pantas melecut api komando sebagai pemimpin. Mengapa demikian? Karena
saya perempuan.
Jika seluruh umat perempuan
Indonesia “wajib” merayakan Hari Kartini, saya sendiri—hingga saat ini—malah
sibuk mencari sebab mengapa perempuan Jepara ini berhak dirayakan ulang
tahunnya setiap tahun oleh umat se-nusantara. Sehebat apa ia sehingga
mengalahkan perempuan-perempuan era reformasi lainnya, begitu pula dengan
pahlawan perempuan sebelum kemerdekaan.
Kembali pada diri saya. Paragraf di
atas hanyalah intermezo hari-hari. Sekedar membandingkan saja. Saya, mahasiswi
semester enam di tahun ketiga menginjakkan kaki di rimba intelektual, sedang
gamang akan masa depannya. Begitu banyak kesempatan yang bisa diraih, begitu
luas pemikiran yang harusnya dapat dijamah dan dicetuskan ranting-rantingnya
oleh tulisan, dan juga kodrat yang sebentar lagi (mau tidak mau) harus
terpikirkan.
Bagi mahasiswa yang bergelut di dua
ruang; bangku kelas dan sekretariat organisasi, tentu lumrah mengalami hal
seperti ini. Suatu kegamangan memilih dan menentukan langkah. Semua memiliki
peluang untuk membawa masa depan lebih baik, namun tidak mungkin memijakkan
kaki di dua pulau yang berjauhan. Sungguh kini saya harus mengenal siapa diri
saya sebenarnya. Kuliah yang kini sedang berada di titik penentu semester
kedepannya akan seperti apa, dan juga organisasi yang sedang di puncak. Inilah
moment utama dalam kehidupan saya. Sebuah masa dimana hampir semua orang
mengenal saya, baik secara personal maupun secara kepentingan.
Namun, dari semua moment yang ada,
haruslah saya memilih demi kejelasan masa depan yang harus dihadapi. Moment ini
akan menjadi sejarah yang memiliki dua kemungkinan; segera dilupakan atau
dikenang selamanya. Selalu ada dua kemungkinan. Lantas, di mana saya harus
berpijak? Jenis kehidupan apa yang akan saya bangun sejak sekarang? Akankah
saya lulus dengan cepat atau akan bersantai hingga terlena dengan gelar
aktivis? Entah. Mari berfikir.
Perempuan, dalam konteks feminis,
ingin selalu didengar dan disetarakan pendapatnya dengan para maskulin. Jujur
saja saya katakan bahwa saya tidak berpihak pada teori aneh itu. Agama saya
telah menjelaskan bahwa perempuan adalah makhluk yang istimewa. Mereka bukanlah
makhluk lemah yang harus dimanjakan dengan keseteraan. Dipaksa dilayani dengan
kesetaraan. Tuhan sudah menempatkan kodrat dengan rapi nan elok. Jadi, untuk
apa?
Salah satu ke-ngotot-an perempuan
dalam kesetaraan adalah menjadi pemimpin. Jika kaum feminis menjunjung tinggi
pemikiran bahwa perempuan juga mampu memimpin layaknya laki-laki, saya katakan
itu tidak! Hingga Tuhan memberi saya sebuah bukti nyata bahwa hal itu benar.
Saya diberi kesempatan merasakan diri sebagai seorang pemimpin dalam sebuah
organisasi yang tidak sembarangan; Pimpinan Umum LPM Pena Kampus. Seperti yang
kita tahu bahwa sudah kodratnya laki-laki cenderung kepada kemampuan berpikir
mereka dan perempuan berpisau pada perasaan. Itu benar. Dan perempuan selalu
menyangkal hal itu karena takut dikatai lemah oleh lelaki. Saya akui, ketika
perempuan sedang ‘ngambek’, mereka hanya ingin dibujuk ratusan kali hingga
akhirnya mau mendengarkan penjelasan kaum laki-laki. Jika ada perempuan yang
penyangkal itu, dengan keras saya katakan ia berbohong!
Kembali pada sosok kepemimpinan.
Menjadi pemimpin itu bukanlah hal mudah. Asal komando, asal suruh, asal
marah-marah. Bukan. Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Salah satunya adalah
pemikiran dan perasaan. Tidak saya pungkiri, selama menjadi pemimpin dalam
organisasi ini, saya banyak menggunakan perasaan. Sehingga hal itu membuat saya
tidak bisa jauh dari laki-laki dan ini bukan tanpa alasan. Saya harus berusaha
keras memahami karakter laki-laki untuk menyesuaikan cara memimpin mereka. Saya
sering berkumpul bersama laki-laki, bukan karena saya ingin dilihat populer di
kalangan mereka atau menunjukkan bahwa saya seorang tomboi. Bukan. Hal itu saya
lakukan karena hanya itu satu-satunya cara membaca kepemimpinan laki-laki.
Bagaimana mereka berpikir, menyikapi suatu masalah, membicarakan wacana, hingga
bergosip. Dan saya menemukan banyak
perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Tidak sampai disitu perjuangan saya
untuk bisa ‘menyaingi’ laki-laki. Saya harus memaksakan diri untuk tetap diam
dalam ketidaknyamanan ketika diapit oleh wacana yang seharusnya memang untuk
laki-laki. Mereka tidak lagi menganggap saya perempuan karena sudah begitu
sering perkumpulan itu saya ikuti. Kadang saya merasa aneh. Apa yang telah saya
lakukan? Apakah ada kebanggaan dalam diri sehingga harus seperti ini demi
menjalankan suatu kepemimpinan yang mumpuni? Dan inilah jawabannya: perempuan
memang tidak layak menjadi pemimpin.
Menjalani rutinintas topeng seperti
itu membuat saya rindu dengan kawan-kawan perempuan saya. Mereka dulu sering
mengajak saya hangout dan shopping. Sekedar berkumpul dan bergosip
ala perempuan, bukan laki-laki yang selama ini saya ikuti. Terkadang memang
menyiksa saat selesai kuliah, mereka tertawa ria beranjak dari kelas menuju
tempat parkir sambil membicarakan planning sesama perempuan. Sedang saya
membelok ke arah sekretariat demi memenuhi rasa haus akan informasi dari koran.
Saya telah jauh berbeda dari mereka. Jadi jika saya merasa mereka tidak lagi
mengajak saya, itu hal yang wajar. Bukan mereka yang berubah, sayalah yang
menjauh dari kehidupan normal para perempuan.
Ketika saya menuliskan hal ini,
ketua BEM fakultas saya telah merundingkan sesuatu yang dulu sempat saya
idam-idamkan; menjadi the next ketua BEM fakultas. Ia meminta saya ikut dalam
pemilihan tahun ini. Tapi kembalilah terngiang tanggung jawab dan pengorbanan
yang harus saya tempuh demi menjadi pemimpin, hal itu harus dipikir matang-matang.
Ini mengingatkan saya pada tanggapan
ibu ketika anak sulungnya ini bertanya, “Boleh
ndak masuk organisasi ini?” dan beliau balik bertanya pada saya, “Apa yang bisa kau berikan untuk organisasi
itu?” lalu percakapan itu terhenti dengan daftar jawaban di hati dan
pikiran saya. Ibu tidak mengharapkan jawaban lagi. Dan ternyata jawabannya
adalah WAKTU.
Saya hanya bisa memberikan waktu
saya untuk setiap kegiatan yang saya jalani. Atas semua hal yang telah saya
pilih sebagai catatan hidup. Selama 24 jam sehari, saya harus membagi waktu
dengan banyak aspek; keluarga, kampus, dan pacar. Jika menjadi Pimum Pena
Kampus saja sudah menghabiskan waktu pagi siang sore saya di kampus, hal ini
cukup menjadi kekecewaan bagi keluarga
saya. Khususnya ibu. “Perempuan itu baru
boleh pergi kalo rumah sudah bersih.” “Sesibuk apapun kamu, ingat adik-adikmu.”
“Sehebat apapun perempuan, akan tetap harus di dapur.” Dan masih banyak
nasihat ala perempuan yang saya dapatkan dari beliau. Pun, sampai pada titik
ini saya tak lagi mampu merumuskan kekata yang tepat untuk menggambarkan
sebagaimana rumit hidup perempuan jika menjadi seorang pemimpin. Entah saya
malas atau mungkin lelah. Anda mungkin tidak akan menemukan jawabannya secara
tersurat.
Dengan segala beban tanggung jawab
pribadi sebagai seorang perempuan, dan juga kodrat perasaan yang Tuhan berikan,
perempuan hanya akan mengorbankan dirinya dan keluarganya jika menjadi
pemimpin. Kecuali ia mampu membunuh kehidupan pribadinya hanya untuk
kepemimpinan satu periode. Yang berarti ia harus tidak peduli pada ibu dan
adik-adiknya, memutusi pacarnya, dan membuang kawan-kawan perempuannya. Saya
mengatakan ini pada diri saya sendiri. Mengapa? Karena saya perempuan.