Kamis, 26 November 2015
Pena Blog: FTMP XVII Pindah Lokasi, Festival Tetap Berjalan
Pena Blog: FTMP XVII Pindah Lokasi, Festival Tetap Berjalan: SEMANGAT TEATER PUTIH!! JANGAN MAU JADI SAPI PERAH (>,<)/
Rabu, 25 November 2015
Pena Blog: PELESTARIAN BUDAYA HANYA PARADOKS
Pena Blog: PELESTARIAN BUDAYA HANYA PARADOKS: Saya tetap bergerak, bung. Tapi dengan pena. Dengan tulisan. Camkan itu!
Jumat, 20 November 2015
Apresiasi Seni 2015—Baca Sastra: RUANG SASTRA MASIH “MENTOK” DI PINTU PEMAHAMAN
“Puisi adalah kejujuran.”—Wayan
Sunarta (Bali)
“Sastra: mendengar
sesuatu di balik sesuatu.”—Ahda Imran (Bandung)
“Karya sastra yang bagus, ia akan melintasi ruang dan
waktu.”—A.S. Laksana (Jakarta)
Menghadiri
Apresiasi Sastra 2015 di Museum Negeri Nusa Tenggara Barat (NTB), saya merasa
seperti sedang berada di ruang imunisasi. Atmosfir kesusastraan menjadi vitamin
positif bagi saya. Berkumpul dengan orang-orang yang juga mengagumi sastra pun
sangat menyenangkan. Pengorbanan para sastrawan nasional yang rela berjauh dari
tempat domisili, hanya untuk membagi ilmunya di pulau kecil ini, sungguh sangat
tinggi apresiasi saya. Akan tetapi hal tersebut sepertinya tidak dirasakan oleh
seluruh peserta di sini.
Acara
yang terhelat pada Selasa 17 November 2015 ini diselenggarakan pukul sembilan
pagi. Lahan parkir telah dipenuhi oleh berbagai kendaraan adalah pemandangan
“tumben”. Dengan enteng saya katakan demikian karena memang di hari-hari biasa,
museum bukanlah tempat yang ramai dikunjungi. Jika ada yang tidak setuju, saya
mungkin akan dengan enteng pula menyebut mereka sebagai orang buta—atau minimal
hobi berkacamata hitam tiap kali melewati museum.
Masuk
ke gerbang museum, kawan-kawan panitia telah seiap dengan buku tamu dan kudapan
berbungkus kotak jajan limaribuan. Isi kotaknya standar. Namun isi acaranya
istimewa. Ahdan Imran dari Bandung, A.S. Laksana dan Yusi Pareanom dari Jakarta, Joko
Pinurbo dari Yogyakarta, Wayan
Sunarta dari Bali, serta Sindu Purta
dan Kiki Sulistyo dari Mataram—tujuh
“nabi” sastra 2015 yang sedang duduk berderet di panggung, menjadi pemandangan
emas di mata saya. Dan, serupa kupu-kupu duduk di antara para kumbang, Kepala
Museum NTB—yang saya lupa namanya siapa—anteng duduk rapi sambil menyembunyikan
rasa gugupnya.
Oh, sebelum saya lanjutkan, untuk
dimaklumi, ulasan ini mungkin lebih seperti catatan harian saya. Jadi saya akan
mengulas menggunakan sudut pandang seorang pencinta sastra.
Para sastrawan membacakan karya
masing-masing. Ada puisi, ada cerita pendek. Saya seperti kembali ke masa
kecil, dimana ibu saya sering membacakan buku dongeng hadiah sekotak susu. Saya
menikmati bacaan di tiap-tiap diksinya. Saya kembali hidup.
Wayan Sunarta membalut isu reklamasi Teluk
Benoa dengan lima puisi pergerakannya. Sungguh bergelora dan bersemangat! Lain
lagi dengan Joko Pinurbo dengan puisi kocak namun berserat filosofis agama.
A.S. Laksana membacakan cerita pendek yang menyentuh realita ibu kota. Sekilas
otak saya bertanya, “Ia dapat meramu cerita seperti itu pasti karena pernah
melihat, atau merasakan suasana demikian. Lantas, bisakah kita mengolah
imajinasi tanpa replika dari kehidupan nyata?” dan saya menjawab sendiri:
TIDAK. Mereka saling melengkapi. Dan dengan sombong, saya menganggap mereka bertujuh
sependapat dengan saya.
Saat pembacaan apresiasi, saya meluaskan
pandang ke penonton, tidak lagi ke depan panggung. Tercenung, mungkin lebih
kepada diam dan malas berkata-kata; banyak penonton yang keluar, mengobrol
sendiri, sibuk dengan gawai di tangan, bahkan “tega” menikmati lagu dengan
perangkat headset di telinga! Jika
bisa, saya ingin melempar anak berseragam sekolah itu dengan kotak jajan.
Sungguh miris.
Dalam suasana ini, saya agak menyimpulkan:
penikmat akan merasa sangat terganggu jika duduk bersama orang yang sekedar
duduk dan “numpang eksis”. Ini terjadi saat saya dan kawan-kawan sastrawan muda
merasa terganggu dengan tingkah seorang anak yang menyeletuki Sindu Putra saat
sedang membaca puisinya.
“Mentok”
Ketika sesi diskusi dimulai, banyak
tangan-tangan kanan muncul di permukaan kepala para penonton. Mulai dari siswa,
mahasiswa, dan para sipil. Dari sekian banyak pertanyaan, satu intinya: “ Mengapa sulit memahami sastra?”
Entah, mungkin saya sedang merasa sombong.
Saya merasa tidak ada yang perlu ditanyakan karena saya menikmati acara ini.
Jika ada yang perlu ditanyakan, mungkin saya ingin seperti dikusi saja. Kita
mendiskusikan sastra kekinian—jadi bukan hanya gawai dan sosialita yang
kekinian, tetapi sastra juga! Akan tetapi, yang terjadi di sini adalah
pembahasan mentah soal bagaiman memahami makna sastra. Yusi Paraenom mengawali
jawabannya dengan santai: “Jika tidak pernah bersentuhan langsung dengan
sastra, pasti merasa sulit.” Yap,
saya setuju.
Begitu pula dengan Kiki Sulistyo yang
menyuguhkan pernyataan lain tentang memahami sastra, “Saya bersyukur tidak
sekolah. Bersyukur pula tidak mengenal sastra melalui bangku sekolah.” Ia
menjelaskan bahwa memahami sastra di sekolah dengan di luar sekolah tidaklah sama.
“Jika di sekolah, kalian akan disuguhi pertanyaan ‘apa pesan moral dari cerita
pendek ini?’ lalu diberi pilihan A, B, C. Sedangkan penarsiran karya sastra
sangatlah luas, tidak bisa dibatasi dengan pilihan ganda seperti itu,” ujarnya.
Ia pun berpesan kepada kita semua untuk tidak lagi mencari pesan moral di dalam
karya sastra; karena tidak semua karya sastra memiliki pesan moral yang sesuai
dengan keinginan orang banyak. Maksudnya, di sini, ya yang hidupnya lurus-lurus saja. Saya pun sepakat. Sastra di sekolah
mungkin hanya pemanis buatan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Atau,
pemeran figuran dalam sinetron. Atau, buruh di sebuah pabrik. Ia sesuatu yang
bergumul dan abstrak, kerap dilupakan. Namun tanpanya, sinetron dan pabrik
tidak akan hidup.
Ini adalah hal yang sederhana. Ah, sudahlah.. saya agak malas
menjabarkannya lagi karena memang itu sederhana. Jika ingin tahu, maka cari
tahu. Selesai.
Ada satu pertanyaan yang “nyelekit” dari
seorang perempuan berkerudung merah
muda: “Mengapa tujuh orang di depan semuanya laki-laki? Apa memang tidak ada
perempuan yang mampu menjadikan dirinya sastrawan? Apakah dalam sastra,
laki-laki dan perempuan itu memiliki hak dan derajat yang sama?” Bagus, kan?
Ada juga laki-laki berkaus putih yang
bertanya tentang makna spanduk acara yang menampilkan sosok anak lelaki duduk
dengan mata ditutup kain putih, juga di atasnya ada sangkar burung kosong.
Joko Pinurbo menjawab pertanyaan dengan
lugas. Sangkar kosong dalam spanduk berlatar biru itu adalah perumpamaan bagi
pola pikir kita. “Ini adalah simbolis untuk keluar dari hal yang memenjarakan
kita dari pengembangan diri untuk menulis. Sangkar itu bisa diibaratkan rasa
malas, merasa cukup untuk belajar, dan lain-lain. Keluar dari zona nyaman!”
Sedangkan lelaki yang ditutup matanya adalah perumpanaan untuk mereka yang
suka, atau terlena dengan hal-hal visual. Joko Pinurbo pun menganalogikan dengan
manusia; tutuplah mata manusia selama lima menit, maka yang akan bekerja dalam
dirinya adalah imajinasi. Ia akan mulai membayangkan apa saja, berfikir apa saja. Akan lebih, ia akan mulai
mengasah kepekaannya. Kece!
Namun agak mengecewakan ketika moderator
menjawab pertanyaan mengenai sastrawan perempuan yang tidak hadir. Ia hanya
menjawab, “Maaf, sastrawan perempuan tidak hadir karena sakit.” Itu saja.
Hal yang menjadi ujung diksusi ini adalah
pemahaman masyarakat tentang sastra masih terkungkung oleh makna. Selalu
bertanya tentang makna rasanya tidak akan menjadikan seorang manusia memahami
sesuatu secara utuh—setidaknya itu pendapat saya. Bagaimana kita mampu
mencintai atau menikmati sesuatu tanpa mau mengenal dan mengaguminya? Begitu
pula dengan sastra. Jadi, jika masih mentok dengan makna, sibuk dengan
aturan-aturan kaku sastra di buku sekolah, maka ruang sastra akan tetap
tertutup pintunya.
BAIQ ILDA KARWAYU
Litbang LPM Pena Kampus FKIP Unram
Rabu, 18 November 2015
Pena Blog: Apresiasi Seni 2015—Baca Sastra: RUANG SASTRA MAS...
Pena Blog: Apresiasi Seni 2015—Baca Sastra: RUANG SASTRA MAS...: here we goooo (>,<)/
ulasan yang saya tulis dengan emosi bergelora. hahaa..
ulasan yang saya tulis dengan emosi bergelora. hahaa..
Senin, 16 November 2015
MANUSIA ATAS KEMANUSIAAN
Manusia itu kejam, ya.
Bahkan tidak lebih baik dari makhluk Tuhan lainnya ketika berkomunikasi dengan
sesamanya. Pantaslah Tuhan menuliskan kerusakan di bumi akibat ulah manusia di
dalam kitabNya. Betapa saya, kita, kalian, mereka, berfikir bahwa manusia
adalah makhluk Tuhan paling sempurna—dengan akal pikiran yang dimiliki. Namun
sungguh itu justru menjadi bumerang atas kehidupan yang dijalaninya di dunia.
Melihat progress rantai makanan di tanah Afrika, sering
membuat mata dan hati kita bergidik ngeri, “Mengapa Tuhan menciptakan makhluk
yang kejam dan saling bunuh membunuh? Saling makan dan mencincang tiada ampun?”
manusia menilai hewan liar dengan enteng tanpa refleksi di depan cermin.
Manusia menggigit sesamanya tidak dengan gigi. Bahkan itu lebih. Manusia mampu
menggigit dengan lidah, tangan, kaki, rambut, bahkan matanya.
Keajaiban alam oleh Tuhan yang sebenarnya mengerikan jika
kita mau menelaah lebih jauh. Saya sedang menonton film CART ketika menulis ini. Film produksi tanah ginseng yang
telah membuka secuil sudut mata saya, bahwa tidak hanya di negara berkembang
saja ketidakadilan buruh terjadi. Negara maju sekelas Korea Selatan (Korsel) pun
masih merasakan itu. Negara dengan tingkat kemapanan pendidikan nomor satu di
dunia tahun 2015 ini masih menyisakan tubuh-tubuh teka terbayar adil dari hasil
kerja mereka.
Kesenjangan sosial pun tampak dari film ini. Manusia kelas
atas—kaya—enggan menaruh empati kepada para buruh yang terkena Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak dan tanpa alasan. Anak-anak dan keluarga dari buruh menjadi korban. Sekolah
tak terbayarkan. Makan tak tertanggung. Anak akhirnya bekerja paruh waktu. Saya
tidak sedang menonton Joshua Oh Joshua, saya menonton CART.
Setelah ini, kemanusiaan, kehewanan, ketumbuhan,
dimana letak bedanya? Bentuk tubuh? Mungkin. Kita manusia, seperti apa hakikat
sifat dan sikap seorang manusia sejatinya? Saya mulai berfikir bahwa sebenarnya
kita semua sama saja dengan hewan dan tumbuhan. Hanya saja kita ini mampu
berpindah tempat—tidak seperti tumbuhan. Juga kita mampu mengolah akal secara logis
dan lebih kompleks dari hewan. Nah, sekarang apa lagi? Bukan berarti
saya menyetujui Teori Darwin, loh.
Ini konteksnya berbeda. Ini kemanusiaan
antar sesama manusia. Makanya disebut ke-manusia-an.
Saya melihat hukum rimba berjalan dengan jelas dalam film
ini. Uang akan melancarkan segala kebutuhan manusia. Tidak hanya kebutuhan
pokok (primer), tambahan (sekunder), bahkan hal mewah (tersier). Siapa yang
mampu menimbun uang lebih banyak, mereka akan menguasai sikap berkuasa dan
menindas yang kurang pandai menimbun
uang. Namun, benarkah mereka kurang pandai? Jawabannya adalah TIDAK. Mereka dipaksa “kurang pandai”
karena sistem. Keserakahan orang-orang penimbun uang terdahulu yang membuat
sistem menjadi sulit untuk adil. Mereka takut jika uang mengalir rata ke
kantong setiap manusia. Mereka hanya ingin uang mengalir ke kantong, tas, dan
bermuara di rumah mereka. Tidak ada kata
berbagi.
Berbicara soal berbagi, jangankan Korsel—yang notabene
berpenduduk atheis banyak—di Indonesia saja, dengan mayoritas penduduk Muslim,
perjalanan atau perputaran uang masih belum merata. Berarti manusia beragama
tidak menjamin kesejahteraan, ya. Manusia tetaplah manusia. Bisa jadi hewan yang liar dan
agresif serta angkuh, bisa jadi tumbuhan yang hanya diam di tempat ketika
ketidakadilan menghempas hak sesamanya. Lantas, dimana nilai kemanusiaan itu
hidup?
Ini hanya masalah buruh kerja. Manusia yang bekerja untuk
menghidupi dirinya dan keturunannya. Jika tidak, mereka akan mati dan punah.
Hanya seperti itu. Bekerja, dapat gaji berupa uang, ditukar dengan makanan,
dimakan, kenyang, bekerja lagi, dan begitu seterusnya. Belum lagi ditambah beli
pakaian untuk menutup tubuh, memperbaiki tempat tinggal agar tidak sakit
dan mati, juga memenuhi nutrisi otak
dengan belajar—setidaknya begitulah kehidupan primer.
Sekunder? Tersier?
Jangan ditanya. Ini hanya berlaku untuk mereka yang pintar menimbun uang. Ah, sudahlah. Sepertinya saya menulis
terlalu “kesana-kemari”. Tentang manusia atas kemanusiaan; terlalu luas.
Terlalu kompleks. Terlalu rumit. Terlalu membosankan. Karena, toh, akan tetap seperti itu. Skenario
Tuhan masih akan berlanjut hingga ujung waktu memangkas gelagat seluruh
umatNya. Dan saya semakin merasa tidak waras dengan realita kemanusiaan ini tak
mampu sepenuhnya saya tuangkan ke dalam tulisan.
Minggu, 15 November 2015
Pena Blog: PEMILIHAN KETUA DAN WAKIL KETUA HMPS BAHASA INGGRI...
Pena Blog: PEMILIHAN KETUA DAN WAKIL KETUA HMPS BAHASA INGGRI...:
sekedar share tulisanku di blog Pena. Maklum, kuli tinta yang satu ini masih tetap gregetan untuk tidak mengulas kampus.
sekedar share tulisanku di blog Pena. Maklum, kuli tinta yang satu ini masih tetap gregetan untuk tidak mengulas kampus.
Sabtu, 14 November 2015
Semua Itu Hanya Alasan (!)
Tuhan, betapa ide di kepala telah menumpuk. Tapi, ya.. ketekunan memang sulit. Susah! "Susah"? Benarkah susah? Awalnya memang saya berfikir demikian karena untuk menuangkan ide yang cantik dan runut tidaklah seperti mengurutkan angka-angka di atas meja. Untuk mendapatkan tulisan berkualitas, ide dan cara menulis haruslah sejalan. Bisa jadi sebuah tulisan memuat ide yang keren, namun hal tersebut urung tersampaikan dikarenakan cara menulis yang buruk. Akan tetapi, entah mengapa, jika cara menulis telah lancar dan kece, maka ide sesederhana apapun menjadi indah dan masuk akal.
Saya teringat Seno Gumira Ajidarma. Tulisan-tulisannya begitu sederhana dan menyentuh. Betapa ia tidak kehabisan ide untuk dipindahkan ke atas kertas tulis. Tentu keahlian tersebut tidak didapat secara instan. Proses keras dibarengi dengan progres yang tekun telah mengantarkannya ke tahap "menulis indah dan damai" (ini hanya istilah saya saja).
Lantas, apa korelasi antara kisah tersebut dengan judul saya di atas? tentu ada. Guru kece saya, Kiki Sulistyo, selalu menekankan kami untuk praktik menulis setiap hari. Membiasakan diri menulis setiap hari adalah salah satu cara untuk mencapai titik menulis indah dan damai. Hahahaa...
Hei, meski terkesan ringan dan bercanda, tips itu benar adanya. Dan itulah yang susah dijalankan. Berbagai alasan terlontar untuk membenarkan ketidaksempatan saya untuk menulis setiap hari. Padahal ada saja yang harus ditulis; selain skripsi tentunya. "Tulislah apapun itu," kata Mas Kiki. Nah, kebanyakan karena teknik menulis yang kurang pengayaan, maka tulisan saya hanya itu-itu saja. Berbagai ide keren menjadi biasa saja karena penyampaiannya monoton.
Alasan yang sibuk, tidak sempat, laptop rusak, malas, sedang lelah, sedang membaca buku lain, susah untuk diterapkan setiap hari, sedang fokus skripsi, blablablaa... sebenarnya hanyalah alasan. Memang kesusahan tidak bisa dipungkiri, namun hal konyol itu sebenarnya mampu diatasi dengan sedikit paksaan. Lihatlah bagaimana N. Riantiarno memaksa dirinya untuk menulis satu naskah dengan kurun waktu berkala. Lihat juga Putu Wijaya yang tetap kekeuh menuangkan isi kepalanya meski saat sedang sakit. Meski harus melisankan idenya, dibantu sang isteri untuk mengetik, ia tetap berkarya hingga kini. Mereka hanyalah secuil penulis tua yang tetap menjaga semangat menulisnya.
Sekarang, bercerminlah, penulis muda. Apakah kau telah pantas menyebut dirimu seorang penulis? Dengan semangat sempit bin seiprit, tidakkah kau malu memanjakan rasa malasmu untuk menyia-nyiakan ide di kepala? Sebelum semua itu terkulum alasan dan akhirnya menjadi debu yang tersapu umur, alangkah baiknya segera ubah diri. Paksa tulis apapun yang perlu setiap hari! PAKSA!
Kamis, 12 November 2015
Should I Get Lost?
Setelah mengeluh dengan cantik, saya merasa ingin pergi dari pulau ini. Entah apa gerangan yang hinggap di otak, tapi saya serius ingin pergi. Pergi mencari hal baru, suasana baru, teman baru, kehidupan baru, bersama orang-orang baru. Hal ini jelas penting karena saya merasa isi kepala saya jalan di tempat. Saya tak lagi mampu menelurkan ide-ide segar nan bernutrisi yang nantinya saya olah menjadi tulisan sehat bin bermanfaat.
Dengan umur matang, emosi dan kedewasaan seseorang tak selamanya berbanding lurus dengan itu. Saya merasa semakin seperti anak kecil. Anak kecil yang liar. Berlari membawa sepeda dengan tujuan "semau gue". Berharap menemukan sejuput ilmu dari gudang pengalaman. Lantas, saya mulai berfikir, yang membedakan kita semua bukanlah postur tubuh melainkan usia. Hanya usia. Segi sikap dan sifat, semua orang dari segala umur masih bisa bertingkah sama. Hanya keluhan-keluhan yang membuat topiknya menjadi berbeda. Tentang mimpi-mimpi, cita-cita, cinta, pujaan, segalanya mirip dan nyaris sama.
Jika demikian, apa yang sedang tertulis dan tertuang ini hanyalah sampah sisa-sisa mimpi anak kecil yang ingin segera melang-lang buana. Otaknya sedang butuh bacaan waras. Ia sedang mual dengan rutinintas yang dijalaninya sekarang ini. Menyedihkan. Obatnya hanya satu: tidur di pangkuan Tuhan.
Sabtu, 24 Oktober 2015
Buku-buku Antologiku
Menulis sejak 2012 bersama Komunitas Akarpohon Nusa Tenggara Barat (NTB), membuat saya kian fasih mengasah bakat dan mimpi yang telah ada sejak kecil. Pencapaian yang masih seumur jagung ini pun akhirnya membuahkan beberapa antologi puisi. Semacam kumpulan tulisan bersama kawan-kawan penulis, begitu.
Saya sangat berterima kasih kepada tangan-tangan yang turut membantu. Tuhan pun masih setia menggenggam dan merajut mimpi umat-Nya ini. Sekedar mengenang perjalanan kepenulisan saya, inilah hasilnya:
- Antologi Puisi 100 Penyair Perempuan (2013) Meski buku ini tak sampai di tangan karena saya tidak hadir dalam acara penerbitan perdananya di Jakatra sana, saya cukup bangga. ssttt, dari sekian banyak, puisi saya ternyata hanya satu. hahaa... namun tetap saja itu adalah torehan proses yang menyenangkan karena satu puisi itu justru membuat saya secara otomatis menjadi anggota Komunitas Penulis Perempuan Indonesia (KPPI).
- ISIS dan Musim-musim; Antologi Puisi 17 Penyair Indonesia Timur (2014) Ini buku pertama yang hadir di rak buku saya! ada dua kiriman buku, satu saya putuskan untuk menaruhnya di Sekretariat LPM Pena Kampus. Betapa bangga saya bisa menyumbang buku walaupun hanya satu. Melalu buku ini, saya mendapat banyak kawan baru. Salah satunya adalah Kakak Diana yang tinggal di Sumba. Kami cukup akrab saat membicarakan puisi dan sastra. Saya berencana ingin berkunjung ke Sumba setelah wisuda nanti. Bukankah berteman akan lebih dekat jika saling bertatap muka? cannot wait to do that!
- Antologi Puisi Penyair Perempuan Nusa Tenggara Barat (2015) Ayaai.... ini buku produksi Akarpohon pertama saya. Setelah ini, insyaAllah saya akan merilis buku puisi tunggal pertama saya di 2016 mendatang. Diproduksi oleh Akarpohon tentunya ^_^
- Kembang Mata; Puisi Pilihan Suara NTB 2014 (2015) Well, saat postingan ini ditulis, buku ini belum sampai ke tangan saya. Akan tetapi saya sudah melihatnya secara langsung dari salah seorang kawan yang juga namanya ada dalam antologi ini. Terima kasih untuk Mas Kiki Sulistyo yang selama bertahun-tahun telah berhasil memperjuangkan Kolom Satra dalam Koran Harian Suara NTB. Hingga akhirnya kami di daerah ini semangat membangkitkan ruh sastra di koran lokal kami. Dan, inilah hasil apresiasinya. Alhamdulillah..
Senin, 19 Oktober 2015
Hai, Semester 9! stay smart, please..
Bukan alasan juga (sebenarnya) untuk saya menikmati tahun keempat saya di Kampus Putih ini. Terlampau nikmat menjajaki dunia kerja membuat tugas akhir itu menjani berjamur di sudut meja kamar. Ditambah dengan dosen pembimbing yang super duper perfect in every ways, it makes me stuck in every ideas. Too much worry and less steps.
Saya telah banyak menyusun langkah kedepan setelah wisuda kelak. Tawaran kerja makin banyak, pemasukan pasang surut, kegiatan di Pena pun tak berubah. Nah, saya pun suatu hari bertanya dalam diri, "You never walked at all. You stay at your spot. Getting worse, smartless, no reading, no writing. What the hell are you doing?!"
Yap, and I am feeling useless, even for my own self. Saya pun memutuskan untuk menghilang sejenak dari kehidupan kampus. Pergi berjalan-jalan bersama kekasih dan kembali menyusun rencana. Hanya rencana. Sekali lagi, saya tidak berjalan maju ataupun mundur. Lantas, penghilangan saya tidak berhasil; harus apalagi? Kekasih saya menyarankan untuk napak tilas, siapa saya dan bagaimana seharusnya saya hidup (sekarang ini).
I lost many friends. I was busy with my Pena Kampus. Serupa sempurna namun cacat fatal: saya menjalani hidup yang tak utuh. Menyelesaikan masalah orang namun lupa akan masalah sendiri. Tak berani pergi dari zona nyaman karena takut dilupakan. Pengecut. Haruslah saya berani bergerak untuk diri sendiri agar tak lupa arah. Saya harus kembali menulis meski sekedar mencurahkan reremah kesakitan dan hal-hal yang tak runut. Agar hati tenang. Agar saya kembali menjadi siapa saya sesungguhnya. Membacalah. Menulislah, Ilda! stay smart ^_^
Minggu, 23 Agustus 2015
MEA 2016: Izinkan Saya Bunuh Diri Sekarang Saja
Adakah yang menyimpan nomor telepon presiden Indonesia? Adakah
yang menyimpan surat cinta untuknya namun tak kunjung mengirim karena takut
dipenjara? Adakah yang masih mengira ini zaman menakutkan? Ada. Saya. Mahasiswa
Pendidikan Bahasa Inggris semester akhir yang sedang duduk ternganga menonton
siaran berita; pemerintah pusat akan menghapus kewajiban berbahasa Indonesia
bagi tenaga kerja asing dengan alasan dapat mengganggu iklim investasi di
Indonesia.
Sungguh itu bukan alasan yang logis, mengingat upaya para
pemikir negara yang sempat mencetuskan untuk menasionalkan Bumi Pertiwi. Potong
segala akses luar negeri dalam penjamahan sumber daya Indonesia. Serahkan
segalanya pada masyarakat pribumi.
Belum puaskah ia belajar dari ibunya—dengan gincu yang merona
di ujung moncongnya—bagaimana cara menjual negaranya sendiri dengan adil dan
makmur (bagi golongannya)? Masih kurangkah kesengsaraan masyarakat Indonesia
hingga 70 merdeka ini? Atau ia takut hasil belajar bahasa asingnya sia-sia
karena seluruh tenaga kerja asing telah fasih berbahasa Indonesia? Konyol.
Miris.
Hal ini sontak membuat otak saya mendidih. Belum lama ini,
mungkin satu bulan yang lalu, saya dan kawan-kawan Pena Kampus mendiskusikan
sebuah opini yang ditulis oleh seorang pakar bahasa—yang saya lupa siapa
namanya—tentang kecenderungan masyarakat urban di ibu kota yang bangga
mendengar anaknya fasih berbahasa Inggris di keseharian mereka. Bahkan mereka
mengaku bahwa bahasa Indonesia kini tidak perlu ditekankan sebagai bahasa
pertama karena kita akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). “Bagaimana
mungkin kami mampu bertahan dengan generasi yang tak pandai matematika dan
bahasa Inggris?” penggal kalimat dalam opini tersebut (seingat saya).
Lah, apa salah MEA
sehingga dijadikan tameng ambisi orangtua dalam menjejali anak-anaknya dengan
bahasa orang asing? Sedang nutrisi bahasa sendiri tidak diberikan. Serupa si
anak dicekoki susu formula tanpa tahu bagaimana nikmatnya air susu ibunya
sendiri. Tenanglah, ini sekedar celotehan otak saya yang masih tidak habis
pikir tentang kebijakan tersebut. begitu banyak ketimpangan yang terjadi, tidak
sedikit kenyataan yang paradoks. Mengapa memilih kebijakan demikian?
Memberi ruang selebar mungkin kepada investor diharapkan
mampu membantu negara dalam menggarap sumber daya alam. Alasannya, karena kita
ini belum punya alat yang memadai seperti para investor yang negaranya
(katanya) kaya-raya (padahal juga punya hutang berlimpah). Alasannya, karena
sumber daya manusia kita masih belum ahli. Padahal di perusahaan asing, bahkan
sampai iklan-iklannya di televisi pun, memperlihatkan bagaimana tangguhnya
pekerja Indonesia yang ada di kantor mereka. maka pertanyaannya, jika mereka
mampu, kenapa harus datangkan orang asing?
Masalah modal? Saya yakin Indonesia tidak kekurangan uang.
Apalagi kekurangan sapi sampai harus impor. Maaf, ini hanya celotehan saya.
Sekali lagi, celotehan seorang (calon) warga sipil yang awam akan pengetahuan
ekonomi dan kenegaraan. Tapi jika orang seperti saya saja berpikiran seperti
ini, bagaimana dengan inaq-inaq atau amaq-amaq yang kalau ditempatkan di piramida
makanan, mereka bisa jadi adalah pengurai sekaligus produsen. Demokrasi
kocar-kacir.
“Uang”, di Indonesia, adalah sebuah benda yang menjadi petaka
ketika disandingkan dengan kata “hutang”. Namun menjadi sebuah anugerah ketika
ditempelkan dengan kata “gaji”. Terlepas dari itu, uang di Indonesia sebenarnya
tidaklah kurang; dengan catatan, mereka berputar! Bukan berputar seperti
dzikirnya orang-orang Turki, namun berputar dari masyarakat satu ke masyarakat
lainnya melalui transaksi ekonomi. Sehingga ia akan seperti air yang mengalir
ke sudut-sudut serupa sistem irigasi di sawah.
Akan tetapi, kenyataannya, uang sekarang banyak terbendung di
rumah-rumah dinas yang sangat mewah. Mereka membangun bendungan dengan susah
payah sehingga sulit untuk berbagi ketika air (baca: uang) mengucur ke
bendungan tersebut. Setiap tahun umat muslim di Indonesia membayar zakat tak
kurang dari Rp.20.000,-/orang. Dengan mayoritas pemeluk agama Islam, rasanya
agak keterlaluan konyolnya jika di hari lebaran masih saja ada masyarakat yang
kelaparan dan duduk bersama keluarga dengan keadaan kompor dingin. Sedingin
hati yang tersembunyi dibalik kata “Menyucikan diri.” Maka artinya uang di
Indonesia tidak berputar sesuai dengan kodratnya. Ups, ini hanya pemikiran bodoh saya, loh. Dan hal ini berlaku juga untuk sapi-sapi di Indonesia. Hai
sapi-sapi! Masih betah bersembunyi? Tidakkah kalian bosan terus-terusan
dianaktirikan? Mereka lebih menyukai daging impor!
Baiklah, saya sepertinya terlalu berhalusinasi dan ngelantur kesana-kemari. Kembali ke
pokok bahasan: bahasa. Hal sederhana
yang tercuat di kepala saya adalah bagaimana bisa Indonesia yang rajin
berkunjung ke negara-negara antar benua untuk studi banding ini tidak belajar
dari negara yang dikunjungi? Hei,
kita adalah negara terbesar dan tercantik sumber daya alamnya di lingkup ASEAN!
Kenapa harus menundukkan kepala di depan mereka yang sebenarnya mengemis uang
di negara kita? Mereka rela mempelajari bahasa kita demi mengeruk harta yang
kita punya. Saya yakin si presiden sadar akan hal ini, tapi mengapa? Mengapa,
pak?
Pun, agak ketulenan
konyolnya ketika ini menjadi suatu kebanggaan bagi sebagian orang. Saya
berkali-kali bertemu warga asing yang datang ke Lombok yang belajar bahasa
Indonesia untuk kepentingan penelitian. Mereka legowo untuk belajar demi sebuah tujuan. Lantas mengapa kita harus
“mengalah”? Kalau tidak salah ingat, saya pernah membaca berita bahwa Indonesia
akan menjadi bahasa resmi dalam MEA. Nah,
kemana itu? Bahkan Thailand dan Myanmar telah menobatkan Bahasa Indonesia
sebagai bahasa kedua demi MEA. Mengapa kita harus tunduk?!
Entah, mungkin ini hanya ketakutan saya yang berlebihan.
Biarlah. Saya takut bangsa Indonesia lambat laun akan kehilangan jati dirinya
atas kebijakan ini. Masyarakat tidak lagi bangga berbahasa Indonesia, tidak
lagi mau memperkenalkan budaya asli Indonesia—dan hanya akan mengamuk brutal
marah-marah saar budaya itu diterapkan oleh Malaysia. Sebuah kenyataan ironi.
Seperti meludah ke atas. Sekarang, apa yang diinginkan bangsa ini setelah
menyepakati penjajahan modern macam itu?
Apa lagi yang harus dibanggakan? Saya jadi ingin bunuh diri sekarang saja; karena
sebagai guru Bahasa Inggris yang bercita-cita mengajar BIPA (Bahasa Indonesia
untuk Penutur Asing), saya merasa akan dibunuh pada 2016 mendatang dengan
pedang berlabel MEA. Salam.
Minggu, 19 Juli 2015
Kreativitas Menulis Siswa: Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari
Senin yang bijaksana untuk merefleksikan pendidikan dewasa
ini. Seperti yang sudah-sudah, kegiatan menulis masih saja menjadi momok yang
berat untuk dijadikan suatu budaya positif; baik di kalangan pekerja maupun di
kalangan pelajar.
Membaca berita Suara NTB (8/6)—agak telat, memang—dalam Kolom Pendidikan: “Rendah, Kreativitas Menulis Siswa”,
membuat saya kembali meringis akan kenyataan yang masih saja dianggap biasa
oleh masyarakat, terutama para pengajar. Sudah banyak penulis, pemerhati
pendidikan, sastrawan, dan kelompok masyarakat lainnya yang menyuarakan budaya
menulis. Banyak mengadakan pelatihan serta lomba-lomba menulis. Namun hal
tersebut dirasa masih kurang greget
untuk membangkitkan kreativitas menulis siswa.
Senada dengan ucapan Kepala Kantor Bahasa NTB yang terlampir
dalam berita tersebut, Dr. Syarifudin, mengatakan bahwa kemampuan menulis siswa
berbanding lurus dengan kemampuan mengajar Bahasa Indonesia para pengajar di
sekolah. Jika dipantau dengan teliti, hal tersebut benar adanya.
Banyak guru yang menuntut siswa di kelas harus pandai menulis
esai, cerita pendek (cerpen), puisi, resensi buku, dan banyak lagi jenisnya.
Akan tetapi mereka lupa bahwa keteladanan justru muncul dari mereka. Sehingga
secara tidak langsung, kinerja guru dalam mengajar tercermin jelas dari belum
pandainya para siswa menuangkan ide-ide mereka ke dalam tulisan karena guru
mereka pun mencontohkan hal yang sama.
Fungsi LPTK Dipertanyakan
Di sini, saya
teringat akan lembaga tempat saya kuliah yang notabene adalah gudangnya
pencetak guru-guru. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) adalah sebuah
lembaga yang bertujuan mencetak tenaga pendidik. Dalam lingkupnya, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) di setiap Perguruan Tinggi (PT)—baik negeri
maupun swasta— dan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), juga Sekolah
Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP), bertanggung jawab penuh dalam membentuk
calon-calon guru di negeri ini.
Lantas, yang menjadi pertanyaannya adalah: Apakah kurikulum
di LPTK tersebut telah memenuhi kebutuhan para calon guru untuk mengajar siswa
kelak? Kurikulum LPTK dievaluasi setiap lima tahun sekali. Para ketua jurusan
dan ketua program studi (prodi) bertugas mengkaji ulang setiap kurikulum yang
telah mereka jalankan; apakah telah sesuai dengan kebutuhan masa depan ataukah
telah ketinggalan zaman.
Sebagai contoh saat ini, tujuan guru Bahasa Indonesia untuk
membuat siswanya mampu menulis ternyata belum ter-cover oleh LPTK. Bukti nyatanya adalah berita Suara NTB halaman 13
ini. Jikalau sudah tercapai, tentu wartawan tidak perlu bersusah payah meliput
hal tersebut. Oleh karena itu, rasanya kita semua—calon guru, guru, pihak
pengelola kurikulum, serta masyarakat—perlu bekerjasama dalam meloloskan tujuan
mulia ini: meningkatkan kreativitas menulis siswa untuk masa depan bangsa yang
lebih baik. Menumbuhkan budaya komuniskasi intelektual di kalangan terpelajar
seperti harapan Ki Hajar Dewantara kala memperjuangkan pendidikan Indonesia.
Terlebih, kini kita perlu bersorot ke calon guru semasa
kuliah. Bagaimana mereka mampu memantapkan diri untuk kelak menjadi seorang
guru. Menyalurkan ilmu—dalam Islam—adalah amal jariyah, yang artinya akan terus
mengalir hingga penyalur ilmunya wafat. Hal tersebut penting dilakukan karena
dampak yang akan didapat sangatlah besar. Bisa kita bayangkan jika LPTK hanya
menjadi “batu loncatan” untuk mendapatkan gelar, sehingga yang terisi di
lembaga ini hanyalah orang-orang yang sama sekali tidak ada niatan menjadi guru.
Maka wajarlah jika cetakan
yang keluar dari sini adalah mereka yang tidak mau tahu tentang materi ajar,
metode didik, serta hal-hal lainnya yang menjadi poin penting dalam mendidik
siswa. Terlebih mengajarkan hal yang sifatnya praktik: menulis, olahraga,
musik, tata krama, dan lain-lain. Demikian daripada itu, perlu dipertegas oleh
pihak pengelola LPTK untuk menyaring ketat calon mahasiswa yang memang
bercita-cinta menjadi guru. Jika hal tersebut tidak mampu dilakukan oleh LPTK,
maka keberadaannya perlu dipertanyakan.
Sebuah Praktik mengalahkan 1000 Teori
Salah seorang kawan saya—sarjana pendidikan—kini mengajar
Bahasa Indonesia di sebuah sekolah favorit di Selong Lombok Timur. Ia, selain
sebagai seorang guru, juga dikenal sebagai seorang penulis. Banyak tulisannya
yang sering dimuat di media cetak; antara lain opini, esai, dan cerpen.
Saat masih menjadi seorang mahasiswa, ia
pun rajin menulis naskah lakon.
Saya sangat mengagumi setiap tulisannya. Di sekolahnya kini pun
ia aktif membina kegiatan siswa di bidang teater dan kepenulisan. Saya
berfikir, hal tersebut tentu tidak ia dapatkan dengan proses yang sebentar.
Rekam jejaknya dalam menulis membuatnya menjadi orang kepercayaan dalam membina
siswa. Di kelas pun ia disegani karena terbukti tidak sekedar mengajar menulis,
tapi juga mencontohkan kepada para siswa bagaimana menulis yang baik.
Inilah goal yang
diinginkan pendidikan kita. Seorang individu guru yang mampu menjadi contoh
dari tujuan pendidikan. Akan tetapi, tidak kita pungkiri, masih banyak gkuru
yang meremehkan pendidikan. Sekedar masuk kelas, menjelaskan materi sesuai
dengan isi buku, memberi tugas, lalu pulang. Tidak ada bekas ilmu kehidupan
yang disampaikan secara cair dan
terbuka. Semua berpatokan pada buku. Tidak ada tutorial yang mampu mengajarkan
seseorang untuk mahir dalam satu kali praktik. Seribu teori menulis yang
dijabarkan oleh para guru akan lenyap dengan mudah ketika guru tersebut tidak
mampu menunjukkan satu praktik pun kepada siswanya.
Lain halnya jika menulis diajarkan dengan lebih mengedepankan
praktik menulis setiap jam ajarnya. Siswa yang setiap hari membaca tulisan
milik gurunya, apalagi tulisan yang terbit di media cetak, itu akan menjadi pecut sakti memotivasi mereka untuk ikut
menulis. Percaya atau tidak, para siswa tidak akan pernah melupakan guru yang
telah menginspirasi mereka dalam belajar. Guru yang telah memberikan pelajaran
hidup yang aplikatif tidak akan pernah hilang dari hati siswanya. Mereka akan
terus menyelimuti guru mereka dengan rasa terima kasih juga doa-doa.
Akhir dari tulisan ini, saya menyimpulkan bahwa tugas guru
sebagai seorang pendidik tidak boleh dianggap remeh. Kemampuan mendidik harus
ditempa sejak menjadi mahasiswa di LPTK. Pihak LPTK pun bertanggung jawab atas
isi kurikulum yang menjadi bekal calon guru dalam mendidik siswanya kelak.
Harus ada keselarasan di antara keduanya. Oleh karena itu, jika guru telah
mampu membangun budaya menulis kreatif dalam dirinya, maka tidak akan sulit
bagi mereka untuk menempa siswa-siswa mereka. Senada dengan pepatah, “Guru kencing berdiri, murid kencing
berlari.”
Langganan:
Postingan (Atom)