Kamis, 26 November 2015
Pena Blog: FTMP XVII Pindah Lokasi, Festival Tetap Berjalan
Pena Blog: FTMP XVII Pindah Lokasi, Festival Tetap Berjalan: SEMANGAT TEATER PUTIH!! JANGAN MAU JADI SAPI PERAH (>,<)/
Rabu, 25 November 2015
Pena Blog: PELESTARIAN BUDAYA HANYA PARADOKS
Pena Blog: PELESTARIAN BUDAYA HANYA PARADOKS: Saya tetap bergerak, bung. Tapi dengan pena. Dengan tulisan. Camkan itu!
Jumat, 20 November 2015
Apresiasi Seni 2015—Baca Sastra: RUANG SASTRA MASIH “MENTOK” DI PINTU PEMAHAMAN
“Puisi adalah kejujuran.”—Wayan
Sunarta (Bali)
“Sastra: mendengar
sesuatu di balik sesuatu.”—Ahda Imran (Bandung)
“Karya sastra yang bagus, ia akan melintasi ruang dan
waktu.”—A.S. Laksana (Jakarta)
Menghadiri
Apresiasi Sastra 2015 di Museum Negeri Nusa Tenggara Barat (NTB), saya merasa
seperti sedang berada di ruang imunisasi. Atmosfir kesusastraan menjadi vitamin
positif bagi saya. Berkumpul dengan orang-orang yang juga mengagumi sastra pun
sangat menyenangkan. Pengorbanan para sastrawan nasional yang rela berjauh dari
tempat domisili, hanya untuk membagi ilmunya di pulau kecil ini, sungguh sangat
tinggi apresiasi saya. Akan tetapi hal tersebut sepertinya tidak dirasakan oleh
seluruh peserta di sini.
Acara
yang terhelat pada Selasa 17 November 2015 ini diselenggarakan pukul sembilan
pagi. Lahan parkir telah dipenuhi oleh berbagai kendaraan adalah pemandangan
“tumben”. Dengan enteng saya katakan demikian karena memang di hari-hari biasa,
museum bukanlah tempat yang ramai dikunjungi. Jika ada yang tidak setuju, saya
mungkin akan dengan enteng pula menyebut mereka sebagai orang buta—atau minimal
hobi berkacamata hitam tiap kali melewati museum.
Masuk
ke gerbang museum, kawan-kawan panitia telah seiap dengan buku tamu dan kudapan
berbungkus kotak jajan limaribuan. Isi kotaknya standar. Namun isi acaranya
istimewa. Ahdan Imran dari Bandung, A.S. Laksana dan Yusi Pareanom dari Jakarta, Joko
Pinurbo dari Yogyakarta, Wayan
Sunarta dari Bali, serta Sindu Purta
dan Kiki Sulistyo dari Mataram—tujuh
“nabi” sastra 2015 yang sedang duduk berderet di panggung, menjadi pemandangan
emas di mata saya. Dan, serupa kupu-kupu duduk di antara para kumbang, Kepala
Museum NTB—yang saya lupa namanya siapa—anteng duduk rapi sambil menyembunyikan
rasa gugupnya.
Oh, sebelum saya lanjutkan, untuk
dimaklumi, ulasan ini mungkin lebih seperti catatan harian saya. Jadi saya akan
mengulas menggunakan sudut pandang seorang pencinta sastra.
Para sastrawan membacakan karya
masing-masing. Ada puisi, ada cerita pendek. Saya seperti kembali ke masa
kecil, dimana ibu saya sering membacakan buku dongeng hadiah sekotak susu. Saya
menikmati bacaan di tiap-tiap diksinya. Saya kembali hidup.
Wayan Sunarta membalut isu reklamasi Teluk
Benoa dengan lima puisi pergerakannya. Sungguh bergelora dan bersemangat! Lain
lagi dengan Joko Pinurbo dengan puisi kocak namun berserat filosofis agama.
A.S. Laksana membacakan cerita pendek yang menyentuh realita ibu kota. Sekilas
otak saya bertanya, “Ia dapat meramu cerita seperti itu pasti karena pernah
melihat, atau merasakan suasana demikian. Lantas, bisakah kita mengolah
imajinasi tanpa replika dari kehidupan nyata?” dan saya menjawab sendiri:
TIDAK. Mereka saling melengkapi. Dan dengan sombong, saya menganggap mereka bertujuh
sependapat dengan saya.
Saat pembacaan apresiasi, saya meluaskan
pandang ke penonton, tidak lagi ke depan panggung. Tercenung, mungkin lebih
kepada diam dan malas berkata-kata; banyak penonton yang keluar, mengobrol
sendiri, sibuk dengan gawai di tangan, bahkan “tega” menikmati lagu dengan
perangkat headset di telinga! Jika
bisa, saya ingin melempar anak berseragam sekolah itu dengan kotak jajan.
Sungguh miris.
Dalam suasana ini, saya agak menyimpulkan:
penikmat akan merasa sangat terganggu jika duduk bersama orang yang sekedar
duduk dan “numpang eksis”. Ini terjadi saat saya dan kawan-kawan sastrawan muda
merasa terganggu dengan tingkah seorang anak yang menyeletuki Sindu Putra saat
sedang membaca puisinya.
“Mentok”
Ketika sesi diskusi dimulai, banyak
tangan-tangan kanan muncul di permukaan kepala para penonton. Mulai dari siswa,
mahasiswa, dan para sipil. Dari sekian banyak pertanyaan, satu intinya: “ Mengapa sulit memahami sastra?”
Entah, mungkin saya sedang merasa sombong.
Saya merasa tidak ada yang perlu ditanyakan karena saya menikmati acara ini.
Jika ada yang perlu ditanyakan, mungkin saya ingin seperti dikusi saja. Kita
mendiskusikan sastra kekinian—jadi bukan hanya gawai dan sosialita yang
kekinian, tetapi sastra juga! Akan tetapi, yang terjadi di sini adalah
pembahasan mentah soal bagaiman memahami makna sastra. Yusi Paraenom mengawali
jawabannya dengan santai: “Jika tidak pernah bersentuhan langsung dengan
sastra, pasti merasa sulit.” Yap,
saya setuju.
Begitu pula dengan Kiki Sulistyo yang
menyuguhkan pernyataan lain tentang memahami sastra, “Saya bersyukur tidak
sekolah. Bersyukur pula tidak mengenal sastra melalui bangku sekolah.” Ia
menjelaskan bahwa memahami sastra di sekolah dengan di luar sekolah tidaklah sama.
“Jika di sekolah, kalian akan disuguhi pertanyaan ‘apa pesan moral dari cerita
pendek ini?’ lalu diberi pilihan A, B, C. Sedangkan penarsiran karya sastra
sangatlah luas, tidak bisa dibatasi dengan pilihan ganda seperti itu,” ujarnya.
Ia pun berpesan kepada kita semua untuk tidak lagi mencari pesan moral di dalam
karya sastra; karena tidak semua karya sastra memiliki pesan moral yang sesuai
dengan keinginan orang banyak. Maksudnya, di sini, ya yang hidupnya lurus-lurus saja. Saya pun sepakat. Sastra di sekolah
mungkin hanya pemanis buatan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Atau,
pemeran figuran dalam sinetron. Atau, buruh di sebuah pabrik. Ia sesuatu yang
bergumul dan abstrak, kerap dilupakan. Namun tanpanya, sinetron dan pabrik
tidak akan hidup.
Ini adalah hal yang sederhana. Ah, sudahlah.. saya agak malas
menjabarkannya lagi karena memang itu sederhana. Jika ingin tahu, maka cari
tahu. Selesai.
Ada satu pertanyaan yang “nyelekit” dari
seorang perempuan berkerudung merah
muda: “Mengapa tujuh orang di depan semuanya laki-laki? Apa memang tidak ada
perempuan yang mampu menjadikan dirinya sastrawan? Apakah dalam sastra,
laki-laki dan perempuan itu memiliki hak dan derajat yang sama?” Bagus, kan?
Ada juga laki-laki berkaus putih yang
bertanya tentang makna spanduk acara yang menampilkan sosok anak lelaki duduk
dengan mata ditutup kain putih, juga di atasnya ada sangkar burung kosong.
Joko Pinurbo menjawab pertanyaan dengan
lugas. Sangkar kosong dalam spanduk berlatar biru itu adalah perumpamaan bagi
pola pikir kita. “Ini adalah simbolis untuk keluar dari hal yang memenjarakan
kita dari pengembangan diri untuk menulis. Sangkar itu bisa diibaratkan rasa
malas, merasa cukup untuk belajar, dan lain-lain. Keluar dari zona nyaman!”
Sedangkan lelaki yang ditutup matanya adalah perumpanaan untuk mereka yang
suka, atau terlena dengan hal-hal visual. Joko Pinurbo pun menganalogikan dengan
manusia; tutuplah mata manusia selama lima menit, maka yang akan bekerja dalam
dirinya adalah imajinasi. Ia akan mulai membayangkan apa saja, berfikir apa saja. Akan lebih, ia akan mulai
mengasah kepekaannya. Kece!
Namun agak mengecewakan ketika moderator
menjawab pertanyaan mengenai sastrawan perempuan yang tidak hadir. Ia hanya
menjawab, “Maaf, sastrawan perempuan tidak hadir karena sakit.” Itu saja.
Hal yang menjadi ujung diksusi ini adalah
pemahaman masyarakat tentang sastra masih terkungkung oleh makna. Selalu
bertanya tentang makna rasanya tidak akan menjadikan seorang manusia memahami
sesuatu secara utuh—setidaknya itu pendapat saya. Bagaimana kita mampu
mencintai atau menikmati sesuatu tanpa mau mengenal dan mengaguminya? Begitu
pula dengan sastra. Jadi, jika masih mentok dengan makna, sibuk dengan
aturan-aturan kaku sastra di buku sekolah, maka ruang sastra akan tetap
tertutup pintunya.
BAIQ ILDA KARWAYU
Litbang LPM Pena Kampus FKIP Unram
Rabu, 18 November 2015
Pena Blog: Apresiasi Seni 2015—Baca Sastra: RUANG SASTRA MAS...
Pena Blog: Apresiasi Seni 2015—Baca Sastra: RUANG SASTRA MAS...: here we goooo (>,<)/
ulasan yang saya tulis dengan emosi bergelora. hahaa..
ulasan yang saya tulis dengan emosi bergelora. hahaa..
Senin, 16 November 2015
MANUSIA ATAS KEMANUSIAAN
Manusia itu kejam, ya.
Bahkan tidak lebih baik dari makhluk Tuhan lainnya ketika berkomunikasi dengan
sesamanya. Pantaslah Tuhan menuliskan kerusakan di bumi akibat ulah manusia di
dalam kitabNya. Betapa saya, kita, kalian, mereka, berfikir bahwa manusia
adalah makhluk Tuhan paling sempurna—dengan akal pikiran yang dimiliki. Namun
sungguh itu justru menjadi bumerang atas kehidupan yang dijalaninya di dunia.
Melihat progress rantai makanan di tanah Afrika, sering
membuat mata dan hati kita bergidik ngeri, “Mengapa Tuhan menciptakan makhluk
yang kejam dan saling bunuh membunuh? Saling makan dan mencincang tiada ampun?”
manusia menilai hewan liar dengan enteng tanpa refleksi di depan cermin.
Manusia menggigit sesamanya tidak dengan gigi. Bahkan itu lebih. Manusia mampu
menggigit dengan lidah, tangan, kaki, rambut, bahkan matanya.
Keajaiban alam oleh Tuhan yang sebenarnya mengerikan jika
kita mau menelaah lebih jauh. Saya sedang menonton film CART ketika menulis ini. Film produksi tanah ginseng yang
telah membuka secuil sudut mata saya, bahwa tidak hanya di negara berkembang
saja ketidakadilan buruh terjadi. Negara maju sekelas Korea Selatan (Korsel) pun
masih merasakan itu. Negara dengan tingkat kemapanan pendidikan nomor satu di
dunia tahun 2015 ini masih menyisakan tubuh-tubuh teka terbayar adil dari hasil
kerja mereka.
Kesenjangan sosial pun tampak dari film ini. Manusia kelas
atas—kaya—enggan menaruh empati kepada para buruh yang terkena Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak dan tanpa alasan. Anak-anak dan keluarga dari buruh menjadi korban. Sekolah
tak terbayarkan. Makan tak tertanggung. Anak akhirnya bekerja paruh waktu. Saya
tidak sedang menonton Joshua Oh Joshua, saya menonton CART.
Setelah ini, kemanusiaan, kehewanan, ketumbuhan,
dimana letak bedanya? Bentuk tubuh? Mungkin. Kita manusia, seperti apa hakikat
sifat dan sikap seorang manusia sejatinya? Saya mulai berfikir bahwa sebenarnya
kita semua sama saja dengan hewan dan tumbuhan. Hanya saja kita ini mampu
berpindah tempat—tidak seperti tumbuhan. Juga kita mampu mengolah akal secara logis
dan lebih kompleks dari hewan. Nah, sekarang apa lagi? Bukan berarti
saya menyetujui Teori Darwin, loh.
Ini konteksnya berbeda. Ini kemanusiaan
antar sesama manusia. Makanya disebut ke-manusia-an.
Saya melihat hukum rimba berjalan dengan jelas dalam film
ini. Uang akan melancarkan segala kebutuhan manusia. Tidak hanya kebutuhan
pokok (primer), tambahan (sekunder), bahkan hal mewah (tersier). Siapa yang
mampu menimbun uang lebih banyak, mereka akan menguasai sikap berkuasa dan
menindas yang kurang pandai menimbun
uang. Namun, benarkah mereka kurang pandai? Jawabannya adalah TIDAK. Mereka dipaksa “kurang pandai”
karena sistem. Keserakahan orang-orang penimbun uang terdahulu yang membuat
sistem menjadi sulit untuk adil. Mereka takut jika uang mengalir rata ke
kantong setiap manusia. Mereka hanya ingin uang mengalir ke kantong, tas, dan
bermuara di rumah mereka. Tidak ada kata
berbagi.
Berbicara soal berbagi, jangankan Korsel—yang notabene
berpenduduk atheis banyak—di Indonesia saja, dengan mayoritas penduduk Muslim,
perjalanan atau perputaran uang masih belum merata. Berarti manusia beragama
tidak menjamin kesejahteraan, ya. Manusia tetaplah manusia. Bisa jadi hewan yang liar dan
agresif serta angkuh, bisa jadi tumbuhan yang hanya diam di tempat ketika
ketidakadilan menghempas hak sesamanya. Lantas, dimana nilai kemanusiaan itu
hidup?
Ini hanya masalah buruh kerja. Manusia yang bekerja untuk
menghidupi dirinya dan keturunannya. Jika tidak, mereka akan mati dan punah.
Hanya seperti itu. Bekerja, dapat gaji berupa uang, ditukar dengan makanan,
dimakan, kenyang, bekerja lagi, dan begitu seterusnya. Belum lagi ditambah beli
pakaian untuk menutup tubuh, memperbaiki tempat tinggal agar tidak sakit
dan mati, juga memenuhi nutrisi otak
dengan belajar—setidaknya begitulah kehidupan primer.
Sekunder? Tersier?
Jangan ditanya. Ini hanya berlaku untuk mereka yang pintar menimbun uang. Ah, sudahlah. Sepertinya saya menulis
terlalu “kesana-kemari”. Tentang manusia atas kemanusiaan; terlalu luas.
Terlalu kompleks. Terlalu rumit. Terlalu membosankan. Karena, toh, akan tetap seperti itu. Skenario
Tuhan masih akan berlanjut hingga ujung waktu memangkas gelagat seluruh
umatNya. Dan saya semakin merasa tidak waras dengan realita kemanusiaan ini tak
mampu sepenuhnya saya tuangkan ke dalam tulisan.
Minggu, 15 November 2015
Pena Blog: PEMILIHAN KETUA DAN WAKIL KETUA HMPS BAHASA INGGRI...
Pena Blog: PEMILIHAN KETUA DAN WAKIL KETUA HMPS BAHASA INGGRI...:
sekedar share tulisanku di blog Pena. Maklum, kuli tinta yang satu ini masih tetap gregetan untuk tidak mengulas kampus.
sekedar share tulisanku di blog Pena. Maklum, kuli tinta yang satu ini masih tetap gregetan untuk tidak mengulas kampus.
Sabtu, 14 November 2015
Semua Itu Hanya Alasan (!)
Tuhan, betapa ide di kepala telah menumpuk. Tapi, ya.. ketekunan memang sulit. Susah! "Susah"? Benarkah susah? Awalnya memang saya berfikir demikian karena untuk menuangkan ide yang cantik dan runut tidaklah seperti mengurutkan angka-angka di atas meja. Untuk mendapatkan tulisan berkualitas, ide dan cara menulis haruslah sejalan. Bisa jadi sebuah tulisan memuat ide yang keren, namun hal tersebut urung tersampaikan dikarenakan cara menulis yang buruk. Akan tetapi, entah mengapa, jika cara menulis telah lancar dan kece, maka ide sesederhana apapun menjadi indah dan masuk akal.
Saya teringat Seno Gumira Ajidarma. Tulisan-tulisannya begitu sederhana dan menyentuh. Betapa ia tidak kehabisan ide untuk dipindahkan ke atas kertas tulis. Tentu keahlian tersebut tidak didapat secara instan. Proses keras dibarengi dengan progres yang tekun telah mengantarkannya ke tahap "menulis indah dan damai" (ini hanya istilah saya saja).
Lantas, apa korelasi antara kisah tersebut dengan judul saya di atas? tentu ada. Guru kece saya, Kiki Sulistyo, selalu menekankan kami untuk praktik menulis setiap hari. Membiasakan diri menulis setiap hari adalah salah satu cara untuk mencapai titik menulis indah dan damai. Hahahaa...
Hei, meski terkesan ringan dan bercanda, tips itu benar adanya. Dan itulah yang susah dijalankan. Berbagai alasan terlontar untuk membenarkan ketidaksempatan saya untuk menulis setiap hari. Padahal ada saja yang harus ditulis; selain skripsi tentunya. "Tulislah apapun itu," kata Mas Kiki. Nah, kebanyakan karena teknik menulis yang kurang pengayaan, maka tulisan saya hanya itu-itu saja. Berbagai ide keren menjadi biasa saja karena penyampaiannya monoton.
Alasan yang sibuk, tidak sempat, laptop rusak, malas, sedang lelah, sedang membaca buku lain, susah untuk diterapkan setiap hari, sedang fokus skripsi, blablablaa... sebenarnya hanyalah alasan. Memang kesusahan tidak bisa dipungkiri, namun hal konyol itu sebenarnya mampu diatasi dengan sedikit paksaan. Lihatlah bagaimana N. Riantiarno memaksa dirinya untuk menulis satu naskah dengan kurun waktu berkala. Lihat juga Putu Wijaya yang tetap kekeuh menuangkan isi kepalanya meski saat sedang sakit. Meski harus melisankan idenya, dibantu sang isteri untuk mengetik, ia tetap berkarya hingga kini. Mereka hanyalah secuil penulis tua yang tetap menjaga semangat menulisnya.
Sekarang, bercerminlah, penulis muda. Apakah kau telah pantas menyebut dirimu seorang penulis? Dengan semangat sempit bin seiprit, tidakkah kau malu memanjakan rasa malasmu untuk menyia-nyiakan ide di kepala? Sebelum semua itu terkulum alasan dan akhirnya menjadi debu yang tersapu umur, alangkah baiknya segera ubah diri. Paksa tulis apapun yang perlu setiap hari! PAKSA!
Kamis, 12 November 2015
Should I Get Lost?
Setelah mengeluh dengan cantik, saya merasa ingin pergi dari pulau ini. Entah apa gerangan yang hinggap di otak, tapi saya serius ingin pergi. Pergi mencari hal baru, suasana baru, teman baru, kehidupan baru, bersama orang-orang baru. Hal ini jelas penting karena saya merasa isi kepala saya jalan di tempat. Saya tak lagi mampu menelurkan ide-ide segar nan bernutrisi yang nantinya saya olah menjadi tulisan sehat bin bermanfaat.
Dengan umur matang, emosi dan kedewasaan seseorang tak selamanya berbanding lurus dengan itu. Saya merasa semakin seperti anak kecil. Anak kecil yang liar. Berlari membawa sepeda dengan tujuan "semau gue". Berharap menemukan sejuput ilmu dari gudang pengalaman. Lantas, saya mulai berfikir, yang membedakan kita semua bukanlah postur tubuh melainkan usia. Hanya usia. Segi sikap dan sifat, semua orang dari segala umur masih bisa bertingkah sama. Hanya keluhan-keluhan yang membuat topiknya menjadi berbeda. Tentang mimpi-mimpi, cita-cita, cinta, pujaan, segalanya mirip dan nyaris sama.
Jika demikian, apa yang sedang tertulis dan tertuang ini hanyalah sampah sisa-sisa mimpi anak kecil yang ingin segera melang-lang buana. Otaknya sedang butuh bacaan waras. Ia sedang mual dengan rutinintas yang dijalaninya sekarang ini. Menyedihkan. Obatnya hanya satu: tidur di pangkuan Tuhan.
Langganan:
Postingan (Atom)