Adalah bukan lagi jamannya kita membandingkan isi
dari setiap anak di dalam rumah. Sudah bukan waktunya kita sombong dengan piala
dan piagam di dalam lemari. Membuat saudara iri satu sama lain dan merasa tidak
disayang. Bukan.
Ibuku memang pandai. Termasuk kuat dalam mengurusi
tiga anak dengan bawaan berbeda. Namun ada kalanya ia meringkuk di pojok kasur
dengan tetesan lelah di wajahnya. Entah suaminya ikut menemani atau tidak.
Sosok kuat itu rasanya tetap duduk manis di samping Tuhan. Tanpa kita tahu, ia
datang atau tidak.
Serupa ia, aku ingin duduk di samping ibu. Merangkul
pundak dan mencium kakinya. Jika tidak dapat kutuang isi otakku untuk ditukar
dengan lelahnya, maka cukup tanganku hangatkan bahunya. Yah, tetaplah beda aku dengan ayahku. Intimnya berbeda. Anak tetaplah
anak. Kemesraan keluarga dengan kemesraan pasangan tentu ber-level. Aku yang telah berkekasih ini cukup
paham.
Pun adik perempuanku yang beranjak remaja kini mulai
pandai berpikir. Ia rajin menyendiri di kamar, kadang pulang pukul sepuluh
malam. Mulai pandai mengurus rumah, syukurnya belum lihai bersolek. Sebagai
kakak perempuan, aku mengenal fase-fase umurnya. Tidak ingin dikekang. Harus
dihalus-halusi.
Dan inilah bom waktu di rumah. Warisan ayah paling
sadis. Anak kesayangan yang membuatnya rela gopoh-gopoh menahan asam urat di
kaki kirinya demi mengawal ibuku melahirkan. Adik laki-lakiku. Laki-laki
sendirian, namun manjanya bak lima perempuan labil. Entah salah asuhan atau
lingkungan. Seingatku, kami bertiga diasuh dengan metode yang sama. Tapi
mungkin ia lebih gagal karena tanpa ayah.
Ayah, sudikah kau berbisik pada Tuhan agar kami
berempat cepat bergandeng di sisimu juga? Kami lelah. Rasanya kami lelah. Darah
tinggi serasa rendah. Rendah serasa tinggi inginnya marah-marah. Anak kesayanganmu selalu berulah.
Membuatku tidak betah di rumah. Pun mungkin adik perempuanku. Tapi rasanya
tidak ibuku. Isterimu yang paling kuat. Paling tangguh menghadapimu dulu.
Malam ini, ia jual telepon genggamnya yang minggu
lalu ibu belikan untuknya. Umurnya dua belas tahun. Kudengar di siaran berita
radio, anak usia itu sudah boleh ber-handphone.
Jadilah ibu membelikannya untuk ber-halo-halo dengan kami. Ibu bekerja pagi
hingga sore. Anak-anak berkegiatan pagi hingga malam. Maka kami semua harus menggenggam
handphone.
Malam ini aku memukul adik laki-lakiku lagi. Baru
sedetik kurasa dinginnya air kamar mandi,
kusambar handuk lalu melaju ke ruang depan. Entah. Kutampar dan
kuceramahi dengan isakan tangis spontan. Ibuku diam. Adik perempuanku terus menggiling
sambal tomat untuk makan malam kami. Mandiku tak tuntas. Tangisku pecah serupa
anak umur empat tahun yang ketahuan mencuri mangga tetangga.
Ibuku masih diam. Tak kuasa lagi bercucur kata. Kami
diam. Adik laki-lakiku memalingkan muka. Telepon genggam itu dijualnya seharga
lima puluh ribu. Rupiah. Untuk apa, kami tak tahu. Ia tak mau kembalikan itu.
Ibuku lelah. Bisik istigfar bibirnya seirama dengan isak tangisku. Jika tidak
sedang berhanduk, mungkin kaki ini tak segan-segan menabrak otak dungu adikku
yang laki-laki ini.
Namun, dari mana ia warisi kedunguan itu? Entah. Aku
tak mau tahu untuk saat ini. Aku harus kembali ke kamar mandi. Basuh mataku
yang malu dan tuntaskan mandiku. Air di bahu telah kering. Pipiku tetap basah.
Pula asin.
Sebelum mandi, aku sempat memesan pancake durian
untuk dimakan ramai-ramai. Sama-sama mencicipi kudapan asal Medan itu rumah.
Kuhitung sisa beasiswa dengan rapi, supaya jalinan mesra yang coba kubangun
dalam keluarga ini bisa menjulang. Terlalu mimpi, memang. Tapi peduli setan.
Aku ingin merasa lebih cinta pada keluarga. Jangan durhaka. Jika cinta kekasih,
lantas tak cinta keluarga. Tidak boleh.
Sialnya, anak laki-laki ini berulah lagi. Merusak
mimpiku dengan menjual telepon genggam barunya seharga lima puluh ribu. Rupiah.
Rupiah. Untuk apa, kami tak tahu.
Uang bisa dicari. Ilmu bisa digali. Tapi mana yang
lebih kekal, sudah rahasia umum. Remah-remah otakku untuk membangun keluarga
bahagia tanpa ayah selalu berhasil digubrisnya! Dia anak kesayangan ayah. Tapi.
Tapi tidak sayang ayah!
Siapa yang tahu isi hati orang. Dalam buangan
mukanya saat aku ceramah sambil memukul, siapa yang tahu isi otaknya? Ayah, kau
sedang duduk di samping Tuhan. kata orang, hanya Tuhan yang tahu isi hati
orang. Sudikah kau bertanya padaNya? Kau tahu maksudku.
Jika uang menjadi tujuan lima puluh ribu itu, dimana
salah asuhnya ibuku? Lingkungan? Mari salahkan lingkungan. Kami pun besar di
lingkungan yan hampir sama. Namun entah generasi apa yang ada sekarang, rahasia
umum. Kami butuh ayah.
Kami butuh tamparan keras dari ayah saat orang-orang
di lingkungan mencoba membodohi kami. Ibu hanya tegas. Tidak keras. Kalian saling
melengkapi. Dulu aku ingin sekali ayah mati. Kini Tuhan mendengar, dan aku
mendengar inginku sendiri. Mati disesali mati. Aku ingin ayah jangan mati.
Kini tugasmu ada di pundakku. Namun sekali lagi,
kemesraan aku dan ibu tak se-level
kemesraan ayah dan ibu. Percayalah. Kini anak kesayangannya telah salah asuhan.
Lingkungan tak lagi mampu dibendung karena keras tak lagi ada. Kami mengasuhnya sendiri-sendiri. Serupa dosen
dengan pahamnya masing-masing saat mengajar di kelas. Begitulah mungkin
rasanya. Maka, tidaklah pantas kami menyalahkan lingkungan. Asuhan haruslah
seiya-sekata. Asuhan orangtua tidak se-level
asuhan saudara.
Sebelum mandi, aku merancang rencana manis untuk
keluarga kecil ini. Sebelum mandi, salah satu anggota keluarga ini berulah. Aku
mandi dengan isakan bodoh menghujam diri. Mengutuk ketidakpandaianku mengasuh
adik. Anak kesayangan ayah. Aku keluar dengan handuk sesal berwarna merah
jambu. Warna yang paling tak kusuka! Setelah mandi, kutulis kisah beberapa menit yang lalu. Dengan harapan ketikkan ini ditukar
dengan uang lima puluh ribu. Akan kubeli telepon genggam adik laki-lakiku
kembali. Anak kesayangan ayah.