Salah satu kegiatan yang masih wajib dilakukan manusia adalah bekerja.
Entah bekerja menggunakan ototnya atau
otaknya. Kedua-duanya bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah. Akan tetapi,
sebagian besar penduduk di bumi lebih suka bekerja menggunakan otot. Mari kita
persempit lagi luas jumlah penduduknya menjadi seputaran Pulau Lombok di
Indonesia. Masih juga otot menjadi primadona. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya lowongan pekerjaan di bidang tersebut.
Dewasa ini, dengan semakin
canggihnya teknologi yang berkembang—semacam internet—mencari pekerjaan bukan
lagi hal yang sulit. Ada banyak informasi lowongan pekerjaan yang bisa
ditemukan di sana. Di internet, mesin pencari menawarkan jutaan situs
perusahaan dengan lowongan sesuai kebutuhan. Terlebih lagi dengan hadirnya
sosial media yang semakin terorganisir memudahkan kita semua untuk
mengklasifikasi informasi apa saja yang kita butuhkan. Ada sebentuk grup dan
komunitas yang bisa diikuti jika ingin mencari informasi dan berdiskusi. Salah
satunya adalah grup informasi lowongan pekerjaan.
Suatu hari, saya masuk ke akun sosial
media milik pribadi dan berselancar di salah satu grup informasi tersebut.
Setiap hari hampir ada puluhan lowongan pekerjaan di seputaran Pulau Lombok.
Itu baru di satu grup. Ada banyak grup serupa di sosial media yang sama. Bisa
dibayangkan betapa terbantunya kita semua dengan adanya jaringan ini. Melihat
banyaknya informasi, saya membacanya dengan seksama. Ada lowongan menjadi kasir
toko kelontong, supir sebuah perusahaan kecil, guru di lembaga bimbingan
belajar (bimbel), pramusaji dan koki di restoran, dan masih banyak lagi.
Lowongan pekerjaan di sana tidak
hanya sebatas dari perusahaan swasta, tapi juga dari badan usaha milik negara
(BUMN) dan tidak jarang juga ada informasi calon pegawai negeri sipil (CPNS).
Dalam lowongan pekerjaan tersebut terdapat syarat-syarat yang harus dimiliki
calon pekerja. Salah satunya adalah standar lulusan pendidikan. Tapi ada juga
yang tidak mencantumkannya—dengan asumsi pekerjaan tersebut lebih mementingkan
keahlian dan pengalaman calon, atau memang itu adalah pekerjaan yang bisa dilakukan
siapa saja.
Standar lulusan pendidikan yang
banyak dicari adalah Sarjana Strata 1 (S1) dan sekolah menengah atas (SMA)
sederajat. Dan, benar adanya bahwa kedua lulusan ini mendominasi status
pendidikan pekerja di Kota Mataram. Namun dari keduanya, lulusan yang paling
banyak dicari adalah SMA sederajat. Hal ini cukup mengganggu pikiran saya.
Bukan hal yang salah, memang. Akan tetapi, tidak bisa kita pungkiri bahwa hal
ini memiliki dampak besar bagi generasi muda; Yakni keinginan besar untuk
melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Tujuan Manusia Bersekolah
Sekolah, kata orang dulu, disebut
sebagai cara manusia untuk menuntut ilmu. Mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Jika
sudah menempuh tangga pendidikan yang tinggi, pada akhirnya, manusia akan
menjadi makhluk dengan tingkat intelektual tinggi pula. Gelar yang didapatkan
setelah lulus sekolah adalah bukti tingkat intelektual tersebut. Idealnya
demikian.
Secara kontras, Pulau Lombok saat
ini tidak memandang pendidikan seperti itu. Saya mempersempit lingkup dengan
pandangan demikian karena dalam grup lowongan pekerjaan di sosial media
tersebut diperuntukkan untuk masyarakat Pulau Lombok. Sekolah dan tingkat
intelektualitas tidak lagi memiliki benang merah yang terang warnanya dan
dicari-cari. Justru sekolah dan pekerjaanlah yang dicari masyarakat di sini.
Mari kita jabarkan; Sejak kecil,
sebelum berangkat ke sekolah kita dibekali kalimat, “Belajar yang pinter biar lulus. Terus dapet kerja.” Mungkin ada juga yang
membawa kalimat, “Belajar yang tekun supaya ilmunya berkah,” sebagai bekal. Itu
bagus. Tanpa disadari anak-anak berangkat sekolah dengan bekal pikiran mereka
masing-masing.
Setelah lulus sekolah, mereka
“dituntut” untuk mencari penghidupan yang layak. Di sini, standar manusia hidup
layak adalah terpenuhinya kebutuhan primernya—disusul dengan sekunder dan
tersier. Semuanya. Dan, semuanya dapat dipenuhi dengan memiliki alat tukar:
uang. Cara mendapatkan uang adalah dengan bekerja. Maka dicarilah sebuah
pekerjaan yang memberi uang sebagai upah.
Bisa jadi bekal pikiran
masing-masing yang dibawa anak-anak semasa sekolah adalah “Bapak Ibu saya ini
orang ndak mampu. Saya harus bantu
biar bisa makan,” ditambah dengan bekal orangtuanya pula yang mengekor di
belakang pikirannya. Maka terciptalah angan-angan setelah lulus sekolah harus
cari kerja. Ditambah lagi dengan lingkungan sosial yang berbondong-bondong
menyuntikkan stigma macam itu ke urat nadi masing-masing. Sehingga tradisi
“Usai sekolah harus cari kerja” secara besar-besaran mendarah daging. Maka,
tujuan manusia bersekolah adalah bukan untuk menuntut ilmu semata, melainkan
untuk mendapat pekerjaan.
Lombok masih masuk dalam kategori
masyarakat menengah ke bawah dan masyarakatnya didominasi oleh golongan pekerja
otot. Dalam dunia kerja, pekerja otot menerima upah tidak lebih banyak dari
pekerja otak. Hal ini menjadi penjelas atas kategori di atas. Mengapa hal ini
bisa terjadi?
Pekerja otot di sini tidak hanya
mereka yang bekerja mengandalkan fisik semata. Tetapi juga mereka yang bekerja
mengoperasikan sesuatu tanpa perlu melakukan inovasi secara berkala. Pegawai.
Pelayan. Ini bisa dikerjakan oleh siapa saja asal berpengalaman. Karena tidak
dituntut untuk menciptakan inovasi, maka pekerjaan yang dilakukan kerap sama
saja setiap hari. Inilah yang menjadi alasan logis pekerja otot mendapat upah
dengan jumlah di bawah pekerja otak.
Pekerja otak dituntut untuk
berinovasi secara berkala. Peneliti. Arsitek. Hal ini baru dapat dilakukan oleh
mereka yang telah menempuh pendidikan di atas SMA. Meski kenyataannya di
beberapa kasus hal ini tidak selalu benar—semisal sebagai penulis atau guru di
pondok pesantren, namun istilah “Gelar membuktikan tingkat intelektualitas”
masih berlaku di masyarakat. Standar ganda ini sungguh merepotkan! Sekolah,
pengalaman, pengetahuan, gelar akademik, intelektualitas, inovasi, stigma
masyarakat, adalah titik-titik gumpalan dalam benang merah yang saling
berhubungan.
Dari kekusutan ini, solusi yang bisa
ditawarkan kepada masyarakat—khususnya generasi muda—adalah tetap lanjutkan
sekolah! Peluang beasiswa dari segala penjuru dunia saat ini sudah terbuka
lebar untuk kita semua. Kondisi ekonomi yang buruk bukan lagi alasan untuk
tidak melanjutkan sekolah. Pekerjaan tidaklah sulit ditemukan dan diciptakan
jika kita sudah memiliki bekal di dalam diri. Menciptakan keseimbangan antara
pekerja otot dan pekerja otak di pulau ini sangat diperlukan untuk meningkatkan
status masyarakat; Beranjak menjauh dari kategori menengah ke bawah menjadi
menengah ke atas.
Hal ini
sangat mungkin terjadi andai masyarakat mau menciptakan lingkungan sadar
pendidikan. Karena anak-anak sekolah tidak akan mampu melanjutkan sekolah jika
orangtua, guru, masyarakat tidak mendukung. Dalam jangka panjang, lowongan
pekerjaan akan makin beragam karena telah muncul inovator-inovator yang
menciptakan dunia kerja baru. Mereka adalah generasi dengan intelektualitas
tinggi. Generasi yang meretas standar ganda intelektualitas di masyarakat.
ILDA KARWAYU
Komunitas Akarpohon Mataram
(terbit di Harian Suara NTB, 26 Agustus 2017)