Isu Lingkungan dalam Kacamata
Mahasiswa
Membaca berita Harian Suara NTB pada
Selasa 26 April 2016, yang berjudul “Mahasiswa Harus Pahami Isu Lingkungan”, membuat
saya teringat akan gagasan cerdas salah seorang dosen muda Pendidikan Bahasa
Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram (FKIP Unram).
Ia mencetus ide cetak skripsi dua sisi. Kurang peka apa ia tentang isu
lingkungan?
Hal tersebut memiliki korelasi kuat
antara pemanasan global—global warming—dan eksistensi kepekaan mahasiswa
terhadap kesehatan lingkungan. Dalam berita tersebut, Koordinator Program
Lembaga Transform NTB, Mukhtar Sakra Mukti, isu tersebut harus tetap digaungkan
agar kesadaran cinta lingkungan tetap terjaga. Dan, kegiatan nyata yang
dipaparkan antara lain, tidak membuang sampah sembarangan dan memberlakukan
sistem daur ulang di setiap sampah—organik, non-organik, B3.
Terlepas dari isi berita yang hanya
memuat satu narasumber—terlihat dengan tidakadanya narasumber dari sisi
mahasiswa, sehingga terkesan bahwa mahasiswa masih “buta” akan isu lingkungan,
saya ingin menjabarkan beberapa keterbukaan ide mahasiswa terkait isu
lingkungan. Terlebih, apa saja yang sudah dilakukan oleh agen perubahan ini.
Seperti yang dituliskan di awal,
dosen muda tersebut menyelesaikan studi
S1-nya dengan sedikit-banyak berbekal ilmu dari organisasi intra Mahasiswa
Pencinta Alam (Mapala) FKIP Unram. Salah satu organisasi yang konsenterhadap
isu lingkungan. Rekam jejak kegiatan organisasi ini dalam mengawal isu
lingkungan tidak hanya sekedar program kerja. Diantaranya penghijauan di daerah
kering di seputaran Lombok, membuat pojok daur ulang sampah organik menjadi
pupuk kompos, dan lain sebagainya. Sampai di ujung trobosan mereka yang terbaru
ialah cetak skripsi dua sisi.
Lingkungan tidak hanya sebatas
menyelamatkan melalui sampah yang sudah “menjadi sampah”, akan tetapi juga
mencegah “yang nantinya akan menjadi sampah”. Mencetak skripsi dua sisi ini
adalah gagasan nyata untuk mencegah semakin banyaknya sampah kertas di dunia.
Jika mendengar kata “dunia” kita sudah merasa pesimis, mari kita tengok ke
lingkungan terdekat kita: rumah, sekolah, kampus, kota tempat kita berdomisili.
Salah satu tempat penghasil kertas terbanyak adalah sekolah atau kampus.
Terlebih di kampus, momen mencetak skripsi adalah momen “mahal” yang menguras
kantong lumayan dalam. Selain dari segi ekonomi, tentu penyelamatan lingkungan
menjadi faktor utama akan ide tersebut. Esei gagasan ini pun pernah terbit di Majalah Pena Kampus FKIP
Unram Edisi 12 Tahun 2015; “CEKRIPSI, Cetak Skripsi Dua Sisi”.
Tanggapan Dingin
Dengan gagasan yang sedemikian
cerdas, jika masih ada pihak yang mengatakan bahwa mahasiswa belum memiliki kesadaran
akan isu lingkungan
---KAMPUS
TANGGAPANNYA JAHAT---
---MAHASISWA
MEMILIKI PARADIGMA JONGKOK---
Daaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnn, sampai di
sini isi kepala saya tertuang. Saya tahu, tulisan tersebut sangatlah tidak
runut dan hanya akan menjadi bahan tawaan redaksi Suara NTB—menurut saya.
Perasaan akan tulisan dangkal masih menghantui saya. Tulisan di atas lahir atas
kegeraman saya akan tulisan salah seorang wartawan yang menulis berita hanya
dengan satu narasumber! Bayangkan, SATU NARASUMBER! Jelas saja itu tidak bisa
dikatakan berita berimbang. Asas cover
both sides tidak muncul dalam berita tersebut karena tidak dijabarkan
keterangan dari (minimal) dua belah pihak narasumber. Sehingga hal tersebut
membuat berita menjadi tidak imbang.
Dan, lagi, inilah yang membuat saya memupuk
rasa sentiment pribadi terhadap oknum wartawan tersebut. Dan, lagi, lagi,
kenapa sampai ia disebut dalam blog saya ini, saya merasa ia terlalu tidak
penting. Tapi nyatanya penting!! (sebagai penjelas atas ketidakwarasan saya
dalam menuang ide kali ini). Hei, wartawan—yang malas malas mencari narasumber!
bersyukurlah kisahmu pernah masuk ke dalam blog ini. Mungkin ini satu-satunya
tulisan yang (sedikitnya) membahas tentang dirimu. Belajarlah!
Saat menulis, isi kepala terlempar keluar.
Saya harus mencari sekian ide dan memungut mereka. Mana yang sama, mana yang
tidak. Mana yang sejalan, mana yang berlawanan. Maka selesailah esei premature
yang telah gugur karena saya tidak (lagi) mampu menyelesaikannya. Sebenarnya
bisa saja. Namun karena tulisan tersebut bersifat tanggapan dari suatu berita,
maka baiknya dikirim sesegera mungkin sehingga tidak terlalu basi untuk
dibaca—jika dimuat.
Oleh karena itu, saya masih berkutat dengan
ketidakpercayadirian saya. Bahkan saya takut untuk kembali membaca tulisan di
atas. Entahlah. Kualitas saya terasa sangat menurun. Saya takut. Takut
ditertawakan. Takut mereka mencemooh tulisan saya. Semakin tua malah semakin
jelek. Duh, saya harus bersembunyi di
mana?