Rabu, 20 Mei 2015

Opini Suara NTB (21/5)


Aku tahu Tuhan Maha Baik. Dan, inilah salah satu kemurahan-hatiNya padaku. Terima kasih atas hasil proses yang tak henti ini, Tuhan. Aku cinta padaMu..
Aku akan terus menulis. Demi Kau.



BUDAYA MENULIS MEMUDAHKAN MASA DEPAN

            Pagi ini, bagi mereka yang berangan-angan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus membaca berita Suara NTB “Buat Laporan: PNS Ada Kebiasaan “Copy Paste”.” Istilah copy-paste atau yang biasanya disingkat copas oleh para pelajar ini menjadi bukti bahwa bahwa budaya copas tak lagi memiliki rasa malu untuk memunculkan dirinya. Terlebih mereka yang telah didarahdagingkan oleh kebiasaan plagiasi ini.
            Oleh karena itu, suatu tindakan tepat dilakukan oleh Badan Kepegawaian dan Diklat Lotim pada Senin lalu seperti yang tertulis pada harian Suara NTB tersebut. Pelatihan yang diperuntukkan bagi PNS ini bertujuan menumbuhkan kebiasaan menulis di kalangan PNS. Sehingga nantinya, para PNS yang mengikuti pelatihan tersebut mampu menulis segala jenis tulisan yang dibutuhkan dalam pekerjaannya. Salah satunya adalah laporan bidangnya. Bukan rahasia lagi memang rasa malas adalah musuh terbesar dalam menulis. Terlebih bagi  mereka yang belum terbiasa menuangkan “isi otaknya” di atas kertas-kertas.
            Demikian pula dengan mereka yang memang dituntut untuk melaporkan hasil kerjanya dalam bentuk tulisan. Alangkah baiknya jika menulis dijadikan kebiasaan. Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya ingin mengulas tentang pelatihan menulis—yang saya rasa—agak sedikit  terlambat. Bukan salah Badan Kepegawaian dan Diklat atas keterlambatan tersebut. namun lebih kepada individu PNS ini sendiri. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa menjadi pegawai negeri sipil tidaklah mudah karena harus melewati beberapa tahap seleksi. Nah, ada satu pertanyaan yang muncul di benak saya: Apakah dalam tes  Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tersebut telah dicantumkan pula tes menulis? Tes menyampaikan pendapat seperti yang kini diharapkan oleh Badan Kepegawaian dan Diklat Lotim kepada para pegawainya?
Budaya Menulis Sejak Dini
            Salah satu kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri adalah bahwa sekolah, tempat para CPNS menimba ilmu, belum serius menumbuhkan budaya tulis-menulis dalam diri pelajar. Hal ini tidak perlu jauh-jauh kita mencari bukti. Silahkan tanya pada diri kita masing-masing, bagi mereka yang biasa menulis, dimana kita berlajar dan mendapatkan ilmu tentang kepenulisan? Sekolah tidak serta  merta pula dapat disalahkan karena ia adalah orangtua kedua setelah rumah tempat tinggal. Maka kali ini kita jangan mencari siapa yang salah, namun mari lebih kepada apa yang salah.
            Untuk menumbuhkan kebiasaan menulis—meski tidak diniatkan menjadi profesional—saya mengutip Stephen King yang berucap, “If you want to be a writer, you must do two things above all others: read a lot and write a lot.” Sederhananya, jika ingin jadi penulis (atau minimal dapat menulis), maka teruslah membaca dan menulis. Maka jelas menulis bukanlah suatu hal yang instan. Jika ada manusia yang mendapat anugerah bakal  menulis, hal tersebut pun tidak dapat dijadikan jaminan ia menang dari mereka yang tidak  berbakat namun tekun melatih diri menulis dan membaca.
            Oleh karena itu, proses menulis haruslah ditempa sejak dini. Dimulai dari membaca, menumbuhkan hobi tersebut dengan cara memberikan bacaan-bacaan yang bermanfaat ke generasi muda kita. Janganlah dianggap remeh tentang menumbuhkan kebiasaan tersebut. sebuah peribahasa “Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit,” dan “Bisa karena biasa,” menjadi petuah arif yang patut kita amalkan dalam belajar menulis ini.
            Jikalau semasa kecil, negerasi muda sudah ditanamkan kebiasaan membaca, maka akan mudah mengarahkan mereka untuk menuangkan ide yang telah mereka dapat dari hasil bacaan. Saya mengumpamakan fenomena tersebut kepada siklus makan-minum. Tidak mungkin (maaf) kita pergi buang air besar / kecil tanpa sebelumnya pernah makan / minum. Tidak akan ada sesuatu yang keluar dari suatu wadah tanpa sebelumnya pernah diisi.
            Begitu juga yang berlaku pada otak kita ini. Sebuah anugerah Tuhan yang kaya akan fungsi brilian. Semakin sering kita membaca, entah buku, baris berita di televisi, subtitle di film-film, brosur-brosur di jalanan—apa saja—maka informasi akan memenuhi kepala kita. Dalam ilmu linguistik, ini diistilahkan sebagai input dalam otak.
            Hal tersebut tidaklah banyak disadari oleh masyarakat. Kenyataan bahwa manusia memproduksi informasi setiap hari, dan informasi tersebut dapan mereka “cetak” ke dalam tulisan, masih belum menjadi fenomena umum. Inilah yang terjadi pada PNS dewasa ini. mereka mengerjakan seluruh kewajiban di kantor setiap hari, menerima gaji setiap bulan, namun tidak dapat melaporkan apa yang telah mereka kerjakan dalam bentuk laporan tertulis. Bukankah itu hal yang kurang sinkron? Mengingat mereka bekerja setiap hari. Mengamati setiap pekerjaannya, menghayati serta menghargai setiap apa yang telah mereka kerjakan, ternyata tidak membuat mereka mampu membuat laporan sendiri sehingga lebih memilih menyalin laporan terdahulu; entah yang terdahulu juga melakukan hal yang sama atau tidak.
            Maka, adalah hal yang wajar jika Badan Kepegawaian dan Diklat Lotim merasa pelatihan ini perlu. Akan tetapi, kembali saya tekankan bahwa menulis tidak dapat dipelajari dalam satu kegiatan kepenulisan tanpa latihan yang berkelanjutan. Semakin lama belajar menulis, semakin lancar pula seseorang menulis ide-ide dalam pikirannya.
Menulis Dairy
            Sebuah temuan buku milik Anna Frank yang ternyata hanyalah buku hariannya, telah menyelamatkan Jerman dari perang berkepanjangan. Andaikan para PNS tersebut terbiasa menulis buku harian—atau anak tahun 90’an sering menyebutnya diary—setiap hari dalam hidupnya. Sejak mereka mengenal yang namanya buku catatan. Sebuah kebiasaan remeh ini mau tidak mau dipercaya mampu melatih budaya  menulis sejak dini. Banyak bukti nyata yang terjadi di kalangan penulis. Mereka justru merasa “begah” ketika telah banyak mendapat input dari bacaan, namun malas menulis.
            Memang, seperti yang telah saya paparkan sebelumnya, bahwa rasa malas adalah musuh terbesar bagi mereka yang menulis. Tak terkecuali para PNS yang dituntut menulis laporan secara berkala. Saya yakin, dari sekian banyak PNS di Pulau Lombok, tidak hanya di Lombok Timur (Lotim), penyakit malas ini masih besar pengaruhnya menjangkit para pekerja negara ini.
            Pun saya yakin, tidak sedikit pula para PNS yang telah pandai menulis mampu menyelesaikan tugas menulisnya dengan baik. Akan tetapi, dari mereka yang telah terbiasa menulis saja, rasa malas masih mampu menggerogoti. Apalagi mereka yang tidak terbiasa menulis? Maka saran konkrit dari saya adalah paksalah diri untuk tetap menulis dan berlatih menulis. Jika dirasa berat untuk memuai, kita bisa mencobanya dengan menulis buku harian.
Masa Depan di Atas Kertas
            Seperti judul yang saya angkat, budaya menulis memudahkan masa depan, menurut saya benar adanya. Seandainya dalam tes CPNS diadakan tes menulis, mungkin Badan Kepegawaian dan Diklat Lotim tidak perlu mengadakan pelatihan menulis yang terkesan “kerja dua kali”. Mereka yang menjabat sebagai PNS sejatinya haruslah siap dengan segala tugas yang mereka jalani; termask menulis laporan pekerjaan.
            Mari kita bayangkan seandainya generasi muda telah dibiasakan membaca berbagai buku dengan ilmu, dan diajarkan menyampaikan ide secara tertulis. Lalu diasah dengan membiasakan diri menulis buku harian, ditingkatkan dengan menulis di berbagai kegiatan. Ditambah dengan tes CPNS yang menggunakan tes tulis sebagai sinkronisasi atas tugas yang akan mereka jalankan (jika lulus) kelak, maka hampir sempurnalah budaya menulis yang ada di daerah kita tercinta ini.
            Akhir kata, meski terkesan terlampau luas saya mengatakan menulis mampu memudahkan masa depan manusia, namun  ini benar adanya; lebih tepatnya saya kurang pandai mencari judul atas tulisan ini. Akan tetapi, harapan saya, dengan tulisan ini semoga para PNS atau CPNS setelah ini mampu menyadari kemampuan dan tugas yang harusnya mereka dapat lakukan dengan mudah. Stop copas!


Oleh:
 BAIQ ILDA KARWAYU
Pimpinan Umum LPM Pena Kampus FKIP Universitas Mataram

Tidak ada komentar:

Posting Komentar