10 Mei 2015, Minggu
pagi yang sulit untuk menyaring emosi di kepala; rumah kami porak-poranda.
“Kampung UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa—red)” terasa mencekam dengan kaca jendela
yang berserakan tak karuan. Enam unit sekretariat Organisasi Mahasiswa Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (Ormawa FKIP) menjadi sasaran renyah oknum tak
dikenal.
Selayang ingatan
selama menginjakkan kaki di kampus putih ini, baru kali ini saya melihat suatu
bentuk kekecewaan yang sama sekali tidak mencerminkan sikap kaum terpelajar pengelana
rimba intelektual. Lantas, satu pertanyaan yang menurut saya penting untuk kita
ketahui: Apa modus tindakan konyol
ini?
Janganlah tulisan ini
dianggap sebagai provokasi atau hal negatif lainnya. Sebagai mahasiswa, sebagai
salah satu orang yang bergelut di unit kegiatan bidang penalaran fokus
penulisan, tentu saya merasa wajar untuk menyuarakan kekhawatiran dan kegeraman
saya atas kejadian ini. Begitu pula dengan kawan-kawan lainnya yang saya yakini
memiliki tanggapan serupa. Semua ingin tahu jawaban atas pertanyaan saya di
atas. Semua punya hak yang sama untuk menanyakan. Semua punya hak untuk
menduga-duga, bahkan berfikir bebas karena Tuhan meletakkan otak di dalam batok
kepala kita bukan sebagai hiasan. Melainkan untuk digunakan sebagaimana
mestinya.
Sehingga sekarang,
inilah jalan yang saya tempuh. Menyuarakan isi otak yang melintas, yang
bergulat, yang terus bertanya-tanya. Adalah suatu penghinaan frontal ketika
hunian yang menjadi saksi bisu proses kita—anggota Ormawa—dirusak dengan cara
menyedihkan sedemikian rupa. Dengan tiba-tiba.
Untuk lebih merunut
akar masalah ini, saya ingin mengingat awal temuan kejadian tersebut. Tentu
semua ini masih dan akan selalu dalam sudut pandang mata saya. Semua berawal
ketika pagi hari, kami, anggota LPM Pena Kampus berkumpul di sekretariat untuk
sama-sama berangkat ke lokasi acara yang telah kami agendakan. Setibanya di
depan sekretariat, kami dikejutkan dengan kaca jendela yang telah berserakan.
Dari empat jendela yang kami miliki, tiga diantaranya telah hancur entah karena
pukulan kayu atau lemparan benda lainnya.
Bersamaan dengan itu,
kawan-kawan dari Teater Putih pun bersorak memanggil kami. Keadaan yang sama
terjadi di sekretariat mereka. Dua jendela mereka pecah. Kami memeriksa jendela
tetangga; UKM Musik pun bernasib sama, dua jendela mereka jelas bekas lemparan
batu bata. Kami berlari memeriksa sekretariat Mapala FKIP, satu kaca pecah plus terdapat tempelan kertas bekas
brosus yang bertuliskan “Lemah”. UKM Olahraga yang hanya memiliki dua jendela
juga telah habis runtuh seluruh kacanya. Tak jauh dari kami, sekretariat MT
Al-Kahfi pun mendapat nasib yang sama. Jendela terbesar—bertempelkan nama dan
logo organisasi mereka—telah berubah menjadi pecahan-pecahan.
Lebih dari dua kali
kami berkeliling mencari siapa saja pihak keamanan kampus yang ada, namun
nihil. Hanya satu mobil dinas dan sebuah motor yang kami temukan di depan
Gedung A FKIP. Akan tetapi tak seorang pun kami temukan di dalamnya.
Berdasarkan cerita kawan-kawan MT Al-Kahfi, yang pada malam itu berkegiatan di
musholla kampus, mereka mendengar suara pukulan kaca sekitar pukul dua dini
hari (10/5) dari arah Auditorium Abu Bakar Universitas Mataram (Unram).
Ketika kami
berkeliling melakukan mengecekan ke sekitar kampus dan auditorium, lagi-lagi
kami dari Pena Kampus dikejutkan dengan pecahan kaca majalah dinding (mading)
yang letaknya di samping musholla. Kembali pertanyaan mencuat dari kepala saya:
Manusia konyol mana yang sebegitu
sensinya dengan Pena Kampus sampai mading kami pun ikut jadi sasaran? Padahal
mading lainnya utuh.
Baiklah, sampai di
sini, saya sendiri melanjutkan penyelidikan kecil ke Pusat Kegiatan Mahasiswa
(PKM) Unram. Setibanya, saya bertanya kepada kawan-kawan di sana tentang keadaan
semalam. Mencari tahu apakah mereka juga mengalami kejadian seperti di FKIP
atau minimal mengetahui kejadian
tersebut. Tidak ada kejadian yang aneh di sana pada malam itu. Semua aman
terkendali. Akan tetapi salah satu kawan dari UKM Fokus bercerita bahwa suara
ribut pecahan kaca tersebut terdengar hingga PKM. “Duh, berarti lumayan besar juga,” pikir saya.
Lalu saya kembali
pulang ke rumah yang sudah tidak berkaca-jendela itu dengan dua lembar surat
undangan yang dialamatkan ke UKM universitas. Entah kenapa saya tertarik dan
merasa harus membawa surat itu ke fakultas. Menunjukkan itu kepada kawan-kawan
di fakultas. Di sana ada tembusan untuk Wakil Dekan (WD) III. Saya bertanya
lagi: Mengapa kami yang di fakultas tidak diundang? Ah, mungkin saya sedang oleng sehingga menghubungkan hal-hal yang
seharusnya tidak terhubung. Tapi saya tetap menunjukkan surat itu dan tanggapan
mereka lumayan satu pemikiran dengan saya.
Kembali ke kaca yang
pecah, seketika kami semua menghubungi pihak kampus. Akhirnya WD III dan WD II
hadir siang harinya dan sekretariat kami diperiksa seluruhnya. Terlepas dari
ketegangan suasana saat itu, ada satu pertanyaan lagi yang muncul di benak
saya: Kemana satpam pada malam itu? Kami yang sering berkegiatan hingga malam
hari ini tahu betul bahwa satpam malam minggu tetap stand by di bagian protokol Gedung A FKIP. Sudah berapa pertanyaan
yang saya ajukan? Hingga tulisan ini diketik, setelah polisi datang pada sore
hari 11 Mei 2015, seluruh pertanyaan tersebut belum terjawab satu pun.
Kami mendengar bahwa
WD II memberi peringatan kepada seluruh satpam FKIP. Yah, itu memang tugas beliau. Sekarang saya hanya akan bertanya
satu lagi—meski tetap tidak akan mengabaikan pertanyaan sebelumnya—siapa oknum
pelaku tragedi?
Sedih pula saya harus
menyebut ini tragedi. Karena mendengar cerita dari salah satu kawan senior di
UKM, sejak tahun 80’an, baru kali ini terjadi hal yang sedemikian menampar kami
semua. Jika dikatakan ini mungkin saja bentuk kekecewaan seperti yang telah
diasumsikan sebelumnya di atas, ya,
bisa jadi. Namun sekali lagi saya tegaskan, sungguh jelas perkara ini tidak
pantas dilakukan oleh kaum intelektual seperti mahasiswa, alumni lulusan FKIP,
atau (mungkin) pihak birokrasi dan staf jajarannya. Kita tidak hidup di daerah
konflik seperti yang dikatakan WD III saat kami mendiskusikan kejadian ini pagi
tadi (11/5). Sehingga benar adanya jika tragedi ini mencoreng nama fakultas
sebagai lembaga pendidikan yang meluluskan sarjana pendidikan.
Maka demikianlah
adanya. Sampai detik ini saya masih menyimpan pertanyaan yang begitu sambung
menyambung bak benang merah yang kusut oleh pembenaran-pembenaran logika sementara. Lantas, bagaimana
setelahnya? Apakah FKIP masih harus menunggu hasil penyidikan polisi? Atau
sekedar mengganti kaca yang pecah lalu melupakan kejadian ini begitu saja?
Sungguh sebuah penyelesaian sederhana namun—berkali-kali saya katakan—KONYOL.
Perusakan tempat
kerja adalah tindak kriminal. Meresahkan dan mengganggu kegiatan mereka yang
menghuni tempat tersebut. Menghambat proses kerja mereka yang berjuang
mengumpulkan 1% poin penilaian akreditasi program studi (prodi) dengan modal
bakat-bakat yang membuahkan sertifikat. Jika tragedi ini dianggap remeh, maka
bisa jadi minggu depan tempat kerja kami dibakar habis. Bisa jadi sekretariat
kami dilempari tabung gas 3kg oleh oknum yang “ketagihan” atas tindakan
kriminalnya.
Atau bisa jadi ini
adalah propaganda adu domba untuk pada Ormawa? Entahlah. Jika setiap pihak birokrasi (kebetulan) menanyakan
pertanyaan yang sama, “Kalian ndak
ada konflik sesama UKM? Siapa tahu ini bentuk kekecewaan atau sentiment.” Maka kami tegaskan, kami
enam unit kegiatan dengan bidang masing-masing sama sekali tidak memiliki
masalah antar-UKM! Jikalau ada masalah yang sekelebat dalam keseharian kami, itu
adalah hal yang wajar karena hidup bertetangga mustahil tidak pernah
berkomunikasi.
Oleh karena itu, saya
rasa upaya propaganda horizontal antar-UKM tidak akan membuat kami gentar dan
lupa akan masalah-masalah kami lainnya. Masalah bersama yang belum terselesaikan
hingga kini. Kami butuh komunikasi intelektual. Duduk bersama dalam satu forum
dan berdiskusi dengan nikmat; baik Ormawa maupun birokrasi. Karena sejatinya
kita adalah satu keluarga, maka baiknya hal tersebut mulai disadari manfaatnya.
Sempat terlintas pula
dalam pikiran saya tentang “orang bayaran”. Ups,
mungkin ini hanya imajinasi saya yang kelewat tinggi karena terlalu sering
mengkonsumsi karya-karya sastra. Terlalu sering berdiskusi hingga larut malam yang
mengakibatkan imajinasi ini terlalu liar untuk ditertibkan. Akan tetapi, adakah
dari kalian yang berfikiran sama dengan saya? Ada? Tidak ada? Jawablah dengan
hari nurani dan tulis di jidat imaji kalian. Atau mungkin ada sniper yang tak sengaja melupakan
senjatanya di rumah, sehingga harus menggunakan benda tumpul di sekitar lokasi
sasaran demi melancarkan tugasnya? Atau orang gila yang nyasar di kampus putih, terperangkap pagar seng berpaku sehingga
memecah seluruh kaca karena bingung tak tahu jalan keluar. Lalu ia kabur ke
gerbang depan. Berhenti sejenak di depan mading Pena Kampus, tidak melihat satu
pun informasi yang berguna untuk dirinya lantas kesal lalu melemparnya. Duh, saya mulai liar lagi dalam
berfikir. Baiklah, saya cukupkan saja.
Siapapun oknum
pelaku, di era yang serba terbuka ini, saya harap ia tidak memilih kekonyolan sebagai jalan pandangnya
dalam menghadapi masalah. Karena bagi saya, dengan ia bertindak anarkis sedemikian
rupa, sang oknum pelaku telah membunuh riwayat komunikasi intelektual dalam
dirinya sendiri. Jika ia menggunakan otot tangannya untuk menunjukkan
kekecewaan atas pergerakan Ormawa yang mungkin dirasa tidak “greget” di
matanya, maka saya pun memanfaatkan otot-otot jari dan tinta printer untuk mengungkapkan kekecewaan
saya atas tindakannya.
Ada banyak langkah
komunikasi intelektual dalam menyampaikan pendapat. Maka kita sebagai
mahasiswa, pembelajar, praktisi pendidikan, atau yang pernah mengecap ilmu
pengetahuan di bangku formal, rasanya perlu merefleksi diri untuk saling
mendengarkan dan menjunjung tinggi budaya diskusi intelektual. Oya, satu lagi, saya ingin mengutip
peribahasa Indonesia: “SEPANDAI-PANDAINYA
TUPAI MELOMPAT, PASTI AKAN JATUH JUGA.”
Hidup Mahasiswa! (bagi yang merasa mahasiswa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar