Selasa, 12 Mei 2015

KOMUNIKASI INTELEKTUAL: SUDAH TAMATKAH RIWAYATMU?




10 Mei 2015, Minggu pagi yang sulit untuk menyaring emosi di kepala; rumah kami porak-poranda. “Kampung UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa—red)” terasa mencekam dengan kaca jendela yang berserakan tak karuan. Enam unit sekretariat Organisasi Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (Ormawa FKIP) menjadi sasaran renyah oknum tak dikenal.
Selayang ingatan selama menginjakkan kaki di kampus putih ini, baru kali ini saya melihat suatu bentuk kekecewaan yang sama sekali tidak mencerminkan sikap kaum terpelajar pengelana rimba intelektual. Lantas, satu pertanyaan yang menurut saya penting untuk kita ketahui: Apa modus tindakan konyol ini?
Janganlah tulisan ini dianggap sebagai provokasi atau hal negatif lainnya. Sebagai mahasiswa, sebagai salah satu orang yang bergelut di unit kegiatan bidang penalaran fokus penulisan, tentu saya merasa wajar untuk menyuarakan kekhawatiran dan kegeraman saya atas kejadian ini. Begitu pula dengan kawan-kawan lainnya yang saya yakini memiliki tanggapan serupa. Semua ingin tahu jawaban atas pertanyaan saya di atas. Semua punya hak yang sama untuk menanyakan. Semua punya hak untuk menduga-duga, bahkan berfikir bebas karena Tuhan meletakkan otak di dalam batok kepala kita bukan sebagai hiasan. Melainkan untuk digunakan sebagaimana mestinya.
Sehingga sekarang, inilah jalan yang saya tempuh. Menyuarakan isi otak yang melintas, yang bergulat, yang terus bertanya-tanya. Adalah suatu penghinaan frontal ketika hunian yang menjadi saksi bisu proses kita—anggota Ormawa—dirusak dengan cara menyedihkan sedemikian rupa. Dengan tiba-tiba.
Untuk lebih merunut akar masalah ini, saya ingin mengingat awal temuan kejadian tersebut. Tentu semua ini masih dan akan selalu dalam sudut pandang mata saya. Semua berawal ketika pagi hari, kami, anggota LPM Pena Kampus berkumpul di sekretariat untuk sama-sama berangkat ke lokasi acara yang telah kami agendakan. Setibanya di depan sekretariat, kami dikejutkan dengan kaca jendela yang telah berserakan. Dari empat jendela yang kami miliki, tiga diantaranya telah hancur entah karena pukulan kayu atau lemparan benda lainnya.
Bersamaan dengan itu, kawan-kawan dari Teater Putih pun bersorak memanggil kami. Keadaan yang sama terjadi di sekretariat mereka. Dua jendela mereka pecah. Kami memeriksa jendela tetangga; UKM Musik pun bernasib sama, dua jendela mereka jelas bekas lemparan batu bata. Kami berlari memeriksa sekretariat Mapala FKIP, satu kaca pecah plus terdapat tempelan kertas bekas brosus yang bertuliskan “Lemah”. UKM Olahraga yang hanya memiliki dua jendela juga telah habis runtuh seluruh kacanya. Tak jauh dari kami, sekretariat MT Al-Kahfi pun mendapat nasib yang sama. Jendela terbesar—bertempelkan nama dan logo organisasi mereka—telah berubah menjadi pecahan-pecahan.
Lebih dari dua kali kami berkeliling mencari siapa saja pihak keamanan kampus yang ada, namun nihil. Hanya satu mobil dinas dan sebuah motor yang kami temukan di depan Gedung A FKIP. Akan tetapi tak seorang pun kami temukan di dalamnya. Berdasarkan cerita kawan-kawan MT Al-Kahfi, yang pada malam itu berkegiatan di musholla kampus, mereka mendengar suara pukulan kaca sekitar pukul dua dini hari (10/5) dari arah Auditorium Abu Bakar Universitas Mataram (Unram).
Ketika kami berkeliling melakukan mengecekan ke sekitar kampus dan auditorium, lagi-lagi kami dari Pena Kampus dikejutkan dengan pecahan kaca majalah dinding (mading) yang letaknya di samping musholla. Kembali pertanyaan mencuat dari kepala saya: Manusia konyol mana yang sebegitu sensinya dengan Pena Kampus sampai mading kami pun ikut jadi sasaran? Padahal mading lainnya utuh.
Baiklah, sampai di sini, saya sendiri melanjutkan penyelidikan kecil ke Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unram. Setibanya, saya bertanya kepada kawan-kawan di sana tentang keadaan semalam. Mencari tahu apakah mereka juga mengalami kejadian seperti di FKIP atau  minimal mengetahui kejadian tersebut. Tidak ada kejadian yang aneh di sana pada malam itu. Semua aman terkendali. Akan tetapi salah satu kawan dari UKM Fokus bercerita bahwa suara ribut pecahan kaca tersebut terdengar hingga PKM. “Duh, berarti lumayan besar juga,” pikir saya.
Lalu saya kembali pulang ke rumah yang sudah tidak berkaca-jendela itu dengan dua lembar surat undangan yang dialamatkan ke UKM universitas. Entah kenapa saya tertarik dan merasa harus membawa surat itu ke fakultas. Menunjukkan itu kepada kawan-kawan di fakultas. Di sana ada tembusan untuk Wakil Dekan (WD) III. Saya bertanya lagi: Mengapa kami yang di fakultas tidak diundang? Ah, mungkin saya sedang oleng sehingga menghubungkan hal-hal yang seharusnya tidak terhubung. Tapi saya tetap menunjukkan surat itu dan tanggapan mereka lumayan satu pemikiran dengan saya.
Kembali ke kaca yang pecah, seketika kami semua menghubungi pihak kampus. Akhirnya WD III dan WD II hadir siang harinya dan sekretariat kami diperiksa seluruhnya. Terlepas dari ketegangan suasana saat itu, ada satu pertanyaan lagi yang muncul di benak saya: Kemana satpam pada malam itu? Kami yang sering berkegiatan hingga malam hari ini tahu betul bahwa satpam malam minggu tetap stand by di bagian protokol Gedung A FKIP. Sudah berapa pertanyaan yang saya ajukan? Hingga tulisan ini diketik, setelah polisi datang pada sore hari 11 Mei 2015, seluruh pertanyaan tersebut belum terjawab satu pun.
Kami mendengar bahwa WD II memberi peringatan kepada seluruh satpam FKIP. Yah, itu memang tugas beliau. Sekarang saya hanya akan bertanya satu lagi—meski tetap tidak akan mengabaikan pertanyaan sebelumnya—siapa oknum pelaku tragedi?
Sedih pula saya harus menyebut ini tragedi. Karena mendengar cerita dari salah satu kawan senior di UKM, sejak tahun 80’an, baru kali ini terjadi hal yang sedemikian menampar kami semua. Jika dikatakan ini mungkin saja bentuk kekecewaan seperti yang telah diasumsikan sebelumnya di atas, ya, bisa jadi. Namun sekali lagi saya tegaskan, sungguh jelas perkara ini tidak pantas dilakukan oleh kaum intelektual seperti mahasiswa, alumni lulusan FKIP, atau (mungkin) pihak birokrasi dan staf jajarannya. Kita tidak hidup di daerah konflik seperti yang dikatakan WD III saat kami mendiskusikan kejadian ini pagi tadi (11/5). Sehingga benar adanya jika tragedi ini mencoreng nama fakultas sebagai lembaga pendidikan yang meluluskan sarjana pendidikan.
Maka demikianlah adanya. Sampai detik ini saya masih menyimpan pertanyaan yang begitu sambung menyambung bak benang merah yang kusut oleh pembenaran-pembenaran  logika sementara. Lantas, bagaimana setelahnya? Apakah FKIP masih harus menunggu hasil penyidikan polisi? Atau sekedar mengganti kaca yang pecah lalu melupakan kejadian ini begitu saja? Sungguh sebuah penyelesaian sederhana namun—berkali-kali saya katakan—KONYOL.
Perusakan tempat kerja adalah tindak kriminal. Meresahkan dan mengganggu kegiatan mereka yang menghuni tempat tersebut. Menghambat proses kerja mereka yang berjuang mengumpulkan 1% poin penilaian akreditasi program studi (prodi) dengan modal bakat-bakat yang membuahkan sertifikat. Jika tragedi ini dianggap remeh, maka bisa jadi minggu depan tempat kerja kami dibakar habis. Bisa jadi sekretariat kami dilempari tabung gas 3kg oleh oknum yang “ketagihan” atas tindakan kriminalnya.
Atau bisa jadi ini adalah propaganda adu domba untuk pada Ormawa? Entahlah. Jika setiap pihak birokrasi (kebetulan) menanyakan pertanyaan yang sama, “Kalian ndak ada konflik sesama UKM? Siapa tahu ini bentuk kekecewaan atau sentiment.” Maka kami tegaskan, kami enam unit kegiatan dengan bidang masing-masing sama sekali tidak memiliki masalah antar-UKM! Jikalau ada masalah yang sekelebat dalam keseharian kami, itu adalah hal yang wajar karena hidup bertetangga mustahil tidak pernah berkomunikasi.
Oleh karena itu, saya rasa upaya propaganda horizontal antar-UKM tidak akan membuat kami gentar dan lupa akan masalah-masalah kami lainnya. Masalah bersama yang belum terselesaikan hingga kini. Kami butuh komunikasi intelektual. Duduk bersama dalam satu forum dan berdiskusi dengan nikmat; baik Ormawa maupun birokrasi. Karena sejatinya kita adalah satu keluarga, maka baiknya hal tersebut mulai disadari manfaatnya.
Sempat terlintas pula dalam pikiran saya tentang “orang bayaran”. Ups, mungkin ini hanya imajinasi saya yang kelewat tinggi karena terlalu sering mengkonsumsi karya-karya sastra. Terlalu sering berdiskusi hingga larut malam yang mengakibatkan imajinasi ini terlalu liar untuk ditertibkan. Akan tetapi, adakah dari kalian yang berfikiran sama dengan saya? Ada? Tidak ada? Jawablah dengan hari nurani dan tulis di jidat imaji kalian. Atau mungkin ada sniper yang tak sengaja melupakan senjatanya di rumah, sehingga harus menggunakan benda tumpul di sekitar lokasi sasaran demi melancarkan tugasnya? Atau orang gila yang nyasar di kampus putih, terperangkap pagar seng berpaku sehingga memecah seluruh kaca karena bingung tak tahu jalan keluar. Lalu ia kabur ke gerbang depan. Berhenti sejenak di depan mading Pena Kampus, tidak melihat satu pun informasi yang berguna untuk dirinya lantas kesal lalu melemparnya. Duh, saya mulai liar lagi dalam berfikir. Baiklah, saya cukupkan saja.
Siapapun oknum pelaku, di era yang serba terbuka ini, saya harap ia tidak memilih kekonyolan sebagai jalan pandangnya dalam menghadapi masalah. Karena bagi saya, dengan ia bertindak anarkis sedemikian rupa, sang oknum pelaku telah membunuh riwayat komunikasi intelektual dalam dirinya sendiri. Jika ia menggunakan otot tangannya untuk menunjukkan kekecewaan atas pergerakan Ormawa yang mungkin dirasa tidak “greget” di matanya, maka saya pun memanfaatkan otot-otot jari dan tinta printer untuk mengungkapkan kekecewaan saya atas tindakannya.
Ada banyak langkah komunikasi intelektual dalam menyampaikan pendapat. Maka kita sebagai mahasiswa, pembelajar, praktisi pendidikan, atau yang pernah mengecap ilmu pengetahuan di bangku formal, rasanya perlu merefleksi diri untuk saling mendengarkan dan menjunjung tinggi budaya diskusi intelektual. Oya, satu lagi, saya ingin mengutip peribahasa Indonesia: “SEPANDAI-PANDAINYA TUPAI MELOMPAT, PASTI AKAN JATUH JUGA.”
Hidup Mahasiswa! (bagi yang  merasa mahasiswa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar