Aku tahu Tuhan Maha Baik. Dan, inilah salah
satu kemurahan-hatiNya padaku. Terima kasih atas hasil proses yang tak henti
ini, Tuhan. Aku cinta padaMu..
Aku akan terus menulis. Demi Kau.
BUDAYA MENULIS MEMUDAHKAN MASA DEPAN
Pagi ini, bagi mereka yang
berangan-angan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus membaca berita Suara
NTB “Buat Laporan: PNS Ada Kebiasaan “Copy Paste”.” Istilah copy-paste atau yang biasanya disingkat copas oleh para pelajar ini menjadi
bukti bahwa bahwa budaya copas tak lagi memiliki rasa malu untuk memunculkan
dirinya. Terlebih mereka yang telah didarahdagingkan oleh kebiasaan plagiasi
ini.
Oleh karena itu, suatu tindakan tepat
dilakukan oleh Badan Kepegawaian dan Diklat Lotim pada Senin lalu seperti yang
tertulis pada harian Suara NTB tersebut. Pelatihan yang diperuntukkan bagi PNS
ini bertujuan menumbuhkan kebiasaan menulis di kalangan PNS. Sehingga nantinya,
para PNS yang mengikuti pelatihan tersebut mampu menulis segala jenis tulisan
yang dibutuhkan dalam pekerjaannya. Salah satunya adalah laporan bidangnya.
Bukan rahasia lagi memang rasa malas adalah musuh terbesar dalam menulis.
Terlebih bagi mereka yang belum terbiasa
menuangkan “isi otaknya” di atas kertas-kertas.
Demikian pula dengan mereka yang
memang dituntut untuk melaporkan hasil kerjanya dalam bentuk tulisan. Alangkah
baiknya jika menulis dijadikan kebiasaan. Oleh karena itu, dalam tulisan ini
saya ingin mengulas tentang pelatihan menulis—yang saya rasa—agak sedikit terlambat. Bukan salah Badan Kepegawaian dan
Diklat atas keterlambatan tersebut. namun lebih kepada individu PNS ini
sendiri. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa menjadi pegawai negeri sipil
tidaklah mudah karena harus melewati beberapa tahap seleksi. Nah, ada satu pertanyaan yang muncul di
benak saya: Apakah dalam tes Calon
Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tersebut telah dicantumkan pula tes menulis? Tes
menyampaikan pendapat seperti yang kini diharapkan oleh Badan Kepegawaian dan
Diklat Lotim kepada para pegawainya?
Budaya Menulis Sejak Dini
Salah satu kenyataan yang tidak bisa
kita pungkiri adalah bahwa sekolah, tempat para CPNS menimba ilmu, belum serius
menumbuhkan budaya tulis-menulis dalam diri pelajar. Hal ini tidak perlu
jauh-jauh kita mencari bukti. Silahkan tanya pada diri kita masing-masing, bagi
mereka yang biasa menulis, dimana kita berlajar dan mendapatkan ilmu tentang
kepenulisan? Sekolah tidak serta merta
pula dapat disalahkan karena ia adalah orangtua kedua setelah rumah tempat
tinggal. Maka kali ini kita jangan mencari siapa
yang salah, namun mari lebih kepada apa
yang salah.
Untuk menumbuhkan kebiasaan
menulis—meski tidak diniatkan menjadi profesional—saya mengutip Stephen King
yang berucap, “If you want to be a writer, you must do two things above all
others: read a lot and write a lot.” Sederhananya, jika ingin jadi penulis
(atau minimal dapat menulis), maka teruslah membaca dan menulis. Maka jelas
menulis bukanlah suatu hal yang instan. Jika ada manusia yang mendapat anugerah
bakal menulis, hal tersebut pun tidak
dapat dijadikan jaminan ia menang dari mereka yang tidak berbakat namun tekun melatih diri menulis dan
membaca.
Oleh karena itu, proses menulis
haruslah ditempa sejak dini. Dimulai dari membaca, menumbuhkan hobi tersebut
dengan cara memberikan bacaan-bacaan yang bermanfaat ke generasi muda kita.
Janganlah dianggap remeh tentang menumbuhkan kebiasaan tersebut. sebuah
peribahasa “Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit,” dan “Bisa karena
biasa,” menjadi petuah arif yang patut kita amalkan dalam belajar menulis ini.
Jikalau semasa kecil, negerasi muda
sudah ditanamkan kebiasaan membaca, maka akan mudah mengarahkan mereka untuk
menuangkan ide yang telah mereka dapat dari hasil bacaan. Saya mengumpamakan
fenomena tersebut kepada siklus makan-minum. Tidak mungkin (maaf) kita pergi
buang air besar / kecil tanpa sebelumnya pernah makan / minum. Tidak akan ada
sesuatu yang keluar dari suatu wadah tanpa sebelumnya pernah diisi.
Begitu juga yang berlaku pada otak
kita ini. Sebuah anugerah Tuhan yang kaya akan fungsi brilian. Semakin sering
kita membaca, entah buku, baris berita di televisi, subtitle di film-film,
brosur-brosur di jalanan—apa saja—maka informasi akan memenuhi kepala kita.
Dalam ilmu linguistik, ini diistilahkan sebagai input dalam otak.
Hal tersebut tidaklah banyak
disadari oleh masyarakat. Kenyataan bahwa manusia memproduksi informasi setiap
hari, dan informasi tersebut dapan mereka “cetak” ke dalam tulisan, masih belum
menjadi fenomena umum. Inilah yang terjadi pada PNS dewasa ini. mereka
mengerjakan seluruh kewajiban di kantor setiap hari, menerima gaji setiap
bulan, namun tidak dapat melaporkan apa yang telah mereka kerjakan dalam bentuk
laporan tertulis. Bukankah itu hal yang kurang sinkron? Mengingat mereka
bekerja setiap hari. Mengamati setiap pekerjaannya, menghayati serta menghargai
setiap apa yang telah mereka kerjakan, ternyata tidak membuat mereka mampu
membuat laporan sendiri sehingga lebih memilih menyalin laporan terdahulu;
entah yang terdahulu juga melakukan hal yang sama atau tidak.
Maka, adalah hal yang wajar jika
Badan Kepegawaian dan Diklat Lotim merasa pelatihan ini perlu. Akan tetapi,
kembali saya tekankan bahwa menulis tidak dapat dipelajari dalam satu kegiatan
kepenulisan tanpa latihan yang berkelanjutan. Semakin lama belajar menulis,
semakin lancar pula seseorang menulis ide-ide dalam pikirannya.
Menulis Dairy
Sebuah temuan buku milik Anna Frank
yang ternyata hanyalah buku
hariannya, telah menyelamatkan Jerman dari perang berkepanjangan. Andaikan para
PNS tersebut terbiasa menulis buku harian—atau anak tahun 90’an sering
menyebutnya diary—setiap hari dalam
hidupnya. Sejak mereka mengenal yang namanya buku catatan. Sebuah kebiasaan
remeh ini mau tidak mau dipercaya mampu melatih budaya menulis sejak dini. Banyak bukti nyata yang
terjadi di kalangan penulis. Mereka justru merasa “begah” ketika telah banyak
mendapat input dari bacaan, namun
malas menulis.
Memang, seperti yang telah saya paparkan
sebelumnya, bahwa rasa malas adalah musuh terbesar bagi mereka yang menulis.
Tak terkecuali para PNS yang dituntut menulis laporan secara berkala. Saya
yakin, dari sekian banyak PNS di Pulau Lombok, tidak hanya di Lombok Timur
(Lotim), penyakit malas ini masih besar pengaruhnya menjangkit para pekerja
negara ini.
Pun
saya yakin, tidak sedikit pula para PNS yang telah pandai menulis mampu
menyelesaikan tugas menulisnya dengan baik. Akan tetapi, dari mereka yang telah
terbiasa menulis saja, rasa malas masih mampu menggerogoti. Apalagi mereka yang
tidak terbiasa menulis? Maka saran konkrit dari saya adalah paksalah diri untuk
tetap menulis dan berlatih menulis. Jika dirasa berat untuk memuai, kita bisa
mencobanya dengan menulis buku harian.
Masa Depan di Atas Kertas
Seperti judul yang saya angkat,
budaya menulis memudahkan masa depan, menurut saya benar adanya. Seandainya
dalam tes CPNS diadakan tes menulis, mungkin Badan Kepegawaian dan Diklat Lotim
tidak perlu mengadakan pelatihan menulis yang terkesan “kerja dua kali”. Mereka
yang menjabat sebagai PNS sejatinya haruslah siap dengan segala tugas yang
mereka jalani; termask menulis laporan pekerjaan.
Mari kita bayangkan seandainya
generasi muda telah dibiasakan membaca berbagai buku dengan ilmu, dan diajarkan
menyampaikan ide secara tertulis. Lalu diasah dengan membiasakan diri menulis
buku harian, ditingkatkan dengan menulis di berbagai kegiatan. Ditambah dengan
tes CPNS yang menggunakan tes tulis sebagai sinkronisasi atas tugas yang akan
mereka jalankan (jika lulus) kelak, maka hampir sempurnalah budaya menulis yang
ada di daerah kita tercinta ini.
Akhir kata, meski terkesan terlampau
luas saya mengatakan menulis mampu memudahkan masa depan manusia, namun ini benar adanya; lebih tepatnya saya kurang
pandai mencari judul atas tulisan ini. Akan tetapi, harapan saya, dengan
tulisan ini semoga para PNS atau CPNS setelah ini mampu menyadari kemampuan dan
tugas yang harusnya mereka dapat lakukan dengan mudah. Stop copas!
Oleh:
BAIQ ILDA KARWAYU
Pimpinan Umum LPM Pena Kampus FKIP Universitas Mataram