Ada segumpal kesedihan yang saya
rasakan ketika membaca pernyataan Wakil Presiden Republik Indonesia, Muhammad
Jusuf Kalla, terkait pendidikan dalam halaman 10 Harian Suara NTB 28 Mei 2016.
Betapa ternyata guru di zaman ini haruslah menerima kenyataan bahwa profesi
mereka tidak lagi murni sebagai pendidik.
Namun, ada pertimbangan serius; seleksi
guru memang haruslah lebih ketat mengingat persaingan guru dan teknologi
informasi semakin menjadi-jadi. Guru tidak lagi sebagai sumber ilmu, tetapi
lebih sebagai rekan diskusi—selaras dengan Kurikulum 2013. Akan tetapi, sebuah
kalimat menggelitik, “….guru honorer tidak bisa langsung diangkat menjadi guru
PNS. Harus melalui pola seleksi,” menelurkan pertanyaan di kepala saya, apakah pengabdian para guru honorer tidak
lebih layak menjadi pertimbangan daripada hasil tes para calon guru yang
mengikuti seleksi CPNS? Entahlah. Yang jelas, di kepala saya, pengalaman
tidak dapat ditipu—apalagi digantikan—oleh hasil tes CPNS, jika kelak
pernyataan Jusuf Kalla ini “dikabulkan”.
Sebagai mahasiswa fakultas keguruan
dan ilmu pendidikan, terjun langsung ke dalam dunia pendidikan dan melihat
proses di dalamnya adalah hal wajib. Dari pengalaman tersebut, tentu tidak adil
jika kelak para guru honorer tersebut harus kembali berkompetisi bersama mereka
yang baru saja lulus—entah sebagai sarjana pendidikan atau yang mengikuti
pendidikan profesi. Ibarat seorang dukun beranak yang kalah “pamor” dengan
diploma kebidanan dalam hal legalitas praktik, bukan dari rekam jejak atau jam
terbang mereka. Ya, seperti itulah.
Pengasuh
Terlepas dari masalah perekrutan PNS
tersebut, ada hal yang lebih menarik. “Guru Biologi Sekolah Menengah Pertama
(SMPN) 1 Bantaeng, Nurmayani Salam ditahan karena pencubitan…” betapa lucu
kenyataan yang disuguhkan ke masyarakat tentang guru saat ini. Sudah tentu kita
tidak bisa samakan dengan zaman sebelum-sebelumnya. Akan tetapi ada hal yang
perlu digarisbawahi dalam permakluman ini; guru berubah karena siswa berubah,
atau bisa juga sebaliknya. Dulu, dan dulu sekali, guru adalah sosok yang
disegani—bahkan ditakuti. Penganggapan ini tidak dapat dilepaskan dari tindakan
guru dalam mendidik.
Setiap Senin setelah upacara bendera
berlangsung, guru-guru akan melakukan razia rutin penampilan siswa. Kuku-kuku
terpotong rapi, seragam rapi—dasi dan topi lengkap, kemeja dimasukkan ke dalam
celana bagi laki-laki atau rok bagi perempuan, dan segala jenis kerapian
lainnya. Jika ada yang ditemukan “melenceng”, maka penggaris sepenjang satu
meter telah siap mendarat di pantat para siswa. Kegiatan tersebut, dilihat dari
segi kekerasan, memang keras. Namun, dilihat dari segi manfaat, kami dibentuk
untuk menjadi generasi disiplin dan peduli terhadap penampilan diri.
Terlebih, “pemukulan” tersebut
belumlah sebanding dengan yang didapat para anak di rumah mereka. Lalai
mengerjakan pekerjaan rumah, sapu lidi sang ibu siap mengejar. Terlambat pulang
ke rumah, jeweran sang ayah siap menanti di depan pintu. Hal tersebut adalah
rutinintas biasa yang didapat anak-anak. Dan, tidak ada yang mempermasalahkan
itu semua sebelum aturan Hak Asasi Manusia (HAM) masuk merecoki kehidupan
pendidikan; baik di rumah maupun di sekolah.
Biasanya, penghukuman atas hal
kekerasan tersebut dijatuhkan kepada para pengasuh bayi dan anak-anak. Kini,
jika hukuman tersebut telah jatuh kepada guru, apa bega guru dengan pengasuh?
Ketika orangtua tidak suka dengan cara guru mendidik anak mereka, langsung
libas dengan HAM! Apalagi menggunakan jabatan fungsional diri, sekarang ini
sudah sangat mudah. Guru, sekolah, dan rumah bukan lagi dihubungkan sebagai
orangtua kedua, rumah kedua, dan rumah utama, melainkan pengasuh, tempat
penitipan anak, dan rumah.
Pengusaha
Jika Jusuf Kalla menginginkan para
calon guru diseleksi dengan ketat, mungkin karena ia tidak ingin meloloskan
para calon yang berpotensi mengikuti jejaknya yang menjadikan pengusaha sebagai
profesi sampingan disamping profesi utama. Tidak jarang para guru PNS kini yang
melebarkan karirnya di jalur pengusaha. Ada yang membangun lembaga bimbingan
belajar (bimbel), menjual buku-buku—baik buku pilihannya maupun buku yang
ditulisnya sendiri, dan ada pula yang sekedar menjadikan predikat PNS sebagai
“kartu nama” untuk mendapatkan proyek penelitian tindakan kelas (PTK).
Hal tersebut dilakukan bukan karena
gaji guru yang kurang. Sungguhlah tidak. Gaji guru PNS sekarang ini, ditambah
dengan tunjangan sertifikasi, tentu tidak bisa dikatakan kurang untuk memenuhi
hidup—kecuali memenuhi gaya hidup. Saya tidak berbicara mental, meski dalam
kenyataannya hal tersebut memiliki kaitan. Tidak ada lagi Oemar Bakri. Semakin
tebal pendapatan guru, semakin terbengkalainya kualitas siswa karena mengejar
apa yang menurut mereka adalah hak. Hak sebagai pendidik. Mendidik di
sana-sini. Ilmu diajarkan seadanya. Ketika evaluasi siswa menunjukkan hasil
yang tidak sesuai target, pemerintah disalahkan. Media ajar kurang, padahal
cara menggunakan uang sertifikasinya yang kurang ajar. Seperti kata pepatah,
“Buruk rupa, cermin dibelah.” Ya,
sudah, mental pengusaha lebih berkuasa dalam dirinya, maka menjadi guru ia
tidak mampu.
Pendidik
Mungkin predikat ini masih banyak
kita lihat dalam diri para peserta program Indonesia Mengajar, Sarjana Mengajar
daerah Terpencil, Tertinggal, Terluar (SM3T), dan para relawan pengajar yang
tersebar di seluruh yayasan pendidikan dan komunitas-komunitas—salah satunya
ada Komunitas 1000 Guru. Bagaimana tidak, mereka hadir di tengah-tengah anak
miskin pendidikan. Mereka berbagi bersama anak yang memang membutuhkan. Bukan berhadapan
dengan anak orang kaya yang memang sudah pintar namun masih tetap dicekoki
pelajaran oleh orangtuanya. Bukan berangkat dari rumah dengan iming-iming
ongkos penelitian yang salah sasaran. Apabila pemerintah masih kesulitan
menyebarkan guru ke pelosok-pelosok, mungkin karena nepotisme dan egoisme masih
mengikat mata mereka.
Sebagai solusi, mungkin Jusuf Kalla
harus membuka tangan untuk mereka yang memang menjadikan pendidikan sebagai
jalan hidupnya. Mungkin, dan mungkin lagi, tes CPNS tidak perlu diadakan karena
pengalaman mereka mendidik tidak diragukan lagi. Mereka tidak banyak berkutat
dengan aturan-aturan negara tentang kurikulum. Mereka mengajar sesuai kebutuhan
daerah tempat mereka mengajar. Sarjana Pendidikan (S.Pd) hanyalah penghargaan
bagi mereka yang telah menempuh ilmu teknis nan formal terkait dunia
pendidikan. Percayalah, pengalaman adalah guru terbaik.
Kini, terlepas dari segala pandangan
tentang guru, pengertian guru, tugas pokok guru, golongan keberapa itu guru, seluruhnya
tidak akan menjadi penting jika guru tidak mampu membuat siswanya menemukan
jati diri. Memanusiakan manusia.
(terbit di Harian Suara NTB, 16 Juni 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar