Rabu, 08 Juni 2016

GURU: ANTARA PENGASUH, PENGUSAHA, DAN PENDIDIK



            Ada segumpal kesedihan yang saya rasakan ketika membaca pernyataan Wakil Presiden Republik Indonesia, Muhammad Jusuf Kalla, terkait pendidikan dalam halaman 10 Harian Suara NTB 28 Mei 2016. Betapa ternyata guru di zaman ini haruslah menerima kenyataan bahwa profesi mereka tidak lagi murni sebagai pendidik.
            Namun, ada pertimbangan serius; seleksi guru memang haruslah lebih ketat mengingat persaingan guru dan teknologi informasi semakin menjadi-jadi. Guru tidak lagi sebagai sumber ilmu, tetapi lebih sebagai rekan diskusi—selaras dengan Kurikulum 2013. Akan tetapi, sebuah kalimat menggelitik, “….guru honorer tidak bisa langsung diangkat menjadi guru PNS. Harus melalui pola seleksi,” menelurkan pertanyaan di kepala saya, apakah pengabdian para guru honorer tidak lebih layak menjadi pertimbangan daripada hasil tes para calon guru yang mengikuti seleksi CPNS? Entahlah. Yang jelas, di kepala saya, pengalaman tidak dapat ditipu—apalagi digantikan—oleh hasil tes CPNS, jika kelak pernyataan Jusuf Kalla ini “dikabulkan”.
            Sebagai mahasiswa fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, terjun langsung ke dalam dunia pendidikan dan melihat proses di dalamnya adalah hal wajib. Dari pengalaman tersebut, tentu tidak adil jika kelak para guru honorer tersebut harus kembali berkompetisi bersama mereka yang baru saja lulus—entah sebagai sarjana pendidikan atau yang mengikuti pendidikan profesi. Ibarat seorang dukun beranak yang kalah “pamor” dengan diploma kebidanan dalam hal legalitas praktik, bukan dari rekam jejak atau jam terbang mereka. Ya, seperti itulah.

Pengasuh
            Terlepas dari masalah perekrutan PNS tersebut, ada hal yang lebih menarik. “Guru Biologi Sekolah Menengah Pertama (SMPN) 1 Bantaeng, Nurmayani Salam ditahan karena pencubitan…” betapa lucu kenyataan yang disuguhkan ke masyarakat tentang guru saat ini. Sudah tentu kita tidak bisa samakan dengan zaman sebelum-sebelumnya. Akan tetapi ada hal yang perlu digarisbawahi dalam permakluman ini; guru berubah karena siswa berubah, atau bisa juga sebaliknya. Dulu, dan dulu sekali, guru adalah sosok yang disegani—bahkan ditakuti. Penganggapan ini tidak dapat dilepaskan dari tindakan guru dalam mendidik.
            Setiap Senin setelah upacara bendera berlangsung, guru-guru akan melakukan razia rutin penampilan siswa. Kuku-kuku terpotong rapi, seragam rapi—dasi dan topi lengkap, kemeja dimasukkan ke dalam celana bagi laki-laki atau rok bagi perempuan, dan segala jenis kerapian lainnya. Jika ada yang ditemukan “melenceng”, maka penggaris sepenjang satu meter telah siap mendarat di pantat para siswa. Kegiatan tersebut, dilihat dari segi kekerasan, memang keras. Namun, dilihat dari segi manfaat, kami dibentuk untuk menjadi generasi disiplin dan peduli terhadap penampilan diri.
            Terlebih, “pemukulan” tersebut belumlah sebanding dengan yang didapat para anak di rumah mereka. Lalai mengerjakan pekerjaan rumah, sapu lidi sang ibu siap mengejar. Terlambat pulang ke rumah, jeweran sang ayah siap menanti di depan pintu. Hal tersebut adalah rutinintas biasa yang didapat anak-anak. Dan, tidak ada yang mempermasalahkan itu semua sebelum aturan Hak Asasi Manusia (HAM) masuk merecoki kehidupan pendidikan; baik di rumah maupun di sekolah.
            Biasanya, penghukuman atas hal kekerasan tersebut dijatuhkan kepada para pengasuh bayi dan anak-anak. Kini, jika hukuman tersebut telah jatuh kepada guru, apa bega guru dengan pengasuh? Ketika orangtua tidak suka dengan cara guru mendidik anak mereka, langsung libas dengan HAM! Apalagi menggunakan jabatan fungsional diri, sekarang ini sudah sangat mudah. Guru, sekolah, dan rumah bukan lagi dihubungkan sebagai orangtua kedua, rumah kedua, dan rumah utama, melainkan pengasuh, tempat penitipan anak, dan rumah.

Pengusaha
            Jika Jusuf Kalla menginginkan para calon guru diseleksi dengan ketat, mungkin karena ia tidak ingin meloloskan para calon yang berpotensi mengikuti jejaknya yang menjadikan pengusaha sebagai profesi sampingan disamping profesi utama. Tidak jarang para guru PNS kini yang melebarkan karirnya di jalur pengusaha. Ada yang membangun lembaga bimbingan belajar (bimbel), menjual buku-buku—baik buku pilihannya maupun buku yang ditulisnya sendiri, dan ada pula yang sekedar menjadikan predikat PNS sebagai “kartu nama” untuk mendapatkan proyek penelitian tindakan kelas (PTK).
            Hal tersebut dilakukan bukan karena gaji guru yang kurang. Sungguhlah tidak. Gaji guru PNS sekarang ini, ditambah dengan tunjangan sertifikasi, tentu tidak bisa dikatakan kurang untuk memenuhi hidup—kecuali memenuhi gaya hidup. Saya tidak berbicara mental, meski dalam kenyataannya hal tersebut memiliki kaitan. Tidak ada lagi Oemar Bakri. Semakin tebal pendapatan guru, semakin terbengkalainya kualitas siswa karena mengejar apa yang menurut mereka adalah hak. Hak sebagai pendidik. Mendidik di sana-sini. Ilmu diajarkan seadanya. Ketika evaluasi siswa menunjukkan hasil yang tidak sesuai target, pemerintah disalahkan. Media ajar kurang, padahal cara menggunakan uang sertifikasinya yang kurang ajar. Seperti kata pepatah, “Buruk rupa, cermin dibelah.” Ya, sudah, mental pengusaha lebih berkuasa dalam dirinya, maka menjadi guru ia tidak mampu.

Pendidik
            Mungkin predikat ini masih banyak kita lihat dalam diri para peserta program Indonesia Mengajar, Sarjana Mengajar daerah Terpencil, Tertinggal, Terluar (SM3T), dan para relawan pengajar yang tersebar di seluruh yayasan pendidikan dan komunitas-komunitas—salah satunya ada Komunitas 1000 Guru. Bagaimana tidak, mereka hadir di tengah-tengah anak miskin pendidikan. Mereka berbagi bersama anak yang memang membutuhkan. Bukan berhadapan dengan anak orang kaya yang memang sudah pintar namun masih tetap dicekoki pelajaran oleh orangtuanya. Bukan berangkat dari rumah dengan iming-iming ongkos penelitian yang salah sasaran. Apabila pemerintah masih kesulitan menyebarkan guru ke pelosok-pelosok, mungkin karena nepotisme dan egoisme masih mengikat mata mereka.
            Sebagai solusi, mungkin Jusuf Kalla harus membuka tangan untuk mereka yang memang menjadikan pendidikan sebagai jalan hidupnya. Mungkin, dan mungkin lagi, tes CPNS tidak perlu diadakan karena pengalaman mereka mendidik tidak diragukan lagi. Mereka tidak banyak berkutat dengan aturan-aturan negara tentang kurikulum. Mereka mengajar sesuai kebutuhan daerah tempat mereka mengajar. Sarjana Pendidikan (S.Pd) hanyalah penghargaan bagi mereka yang telah menempuh ilmu teknis nan formal terkait dunia pendidikan. Percayalah, pengalaman adalah guru terbaik.
            Kini, terlepas dari segala pandangan tentang guru, pengertian guru, tugas pokok guru, golongan keberapa itu guru, seluruhnya tidak akan menjadi penting jika guru tidak mampu membuat siswanya menemukan jati diri. Memanusiakan manusia.
(terbit di Harian Suara NTB, 16 Juni 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar