2008, saya
lulus tes seleksi salah satu sekolah teknik menengah di Mataram. Sekolah yang membuat
saya membenarkan istilah, “Masa-masa terindah adalah masa SMA.” Ilmu yang
selalu diperbaharui, kegiatan ekstrakulikuler yang canggih, kawan-kawan yang
super keren, dan guru-guru yang beragam kepribadiannya.
Selama tiga
tahun berada di sini, pergi pagi pulang sore, buku tulis setebal 78 halaman pun
takkan mampu menjadi wadah tuangan untuk menuliskan isi kegiatan saya. Namun saya
akan tetap menceritakannya sepenggal demi sepenggal dengan rangkuman yang
dirasa cukup mewakili. Saya lulus di 2011 dengan—alhamdulillah—tidak sempat
merasakan sakitnya tidak naik kelas. Meski telah lulus, saya masih sering
mengunjungi sekolah beridentitas “preman” ini.
Berdiri lebih
dari 30 tahun lalu, budaya premanisme tidak pernah lepas dari sekolah teknik
ini. Akan tetapi meski pernah menorehkan prestasi tawuran dengan
sekolah-sekolah tetangganya, para siswanya mampu bertanggung jawab dalam hal
akademik. Tidak bisa kita pungkiri bahwa industri dunia akan tetap membutuhkan
tenaga teknik bermental kuat. Sehingga beruntunglah mereka yang terjun di
bidangnya.
Khususnya di
sekolah teknik, begitu mudah menemukan dan menciptakan apapun yang mereka
butuhkan. Butuh kursi-meja untuk di kelas, ada Jurusan Teknik Perkayuan. Modifikasi
kendaraan bermotor, ada Jurusan Otomotif. Instalasi listrik, Jurusan Teknik
Instalasi Tenaga Listrik. Desain bangunan dan segala materialnya, ada Teknik
Gambar Bangunan dan Konstruksi Batu Beton. Begitu juga dengan Teknik Mesin yang
berperan penting dalam menggarap mesin-mesin kecil namun penting. Ditambah lagi
dengan kehadiran Teknik Informasi di awal 2000-an semakin melengkapi
ketangguhan mereka dalam menciptakan generasi teknisi.
Mereka mencipta
secara mandiri. Memperbaiki sendiri. Membuka lapangan kerja sendiri. Idealnya:
mandiri. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) membutuhkan mereka. Lantas, apa
hubungannya dengan sikap premanisme yang dimiliki siswanya? Tentu ada. Mental preman
yang mereka punya adalah turunan kepribadian milik sekolah teknik ini. Dan itu
berbanding lurus dengan keahlian yang juga menjadi warisan berharga. Anak-anak “este’em”
dikenal sebagai preman di luar, dan dikenal sebagai teknisi di dalam. Seperti kata
salah seorang guru—yang saya tidak ingin sebutkan identitasnya—pada 2010 dulu
saat memberikan amanat sebagai pembina upacara, “Nakal boleh, asal cerdas.” Sekolah
ini memiliki warnanya sendiri. Identitas, bagi kami selaku siswa, adalah harga
mati.
Beralih dari
sistem pendidikan dan identitas sekolah, mari kita ke ekstrakulikuler—sering disingkat
“ekskul”. Sekolah ini memiliki 14 ekskul. Di kelas saya dulu, 90% siswa aktif
terlibat dalam ekskul. Kegiatan di luar kelas ini sangat membantu siswa dalam
menyalurkan bakat dan minat. Teori saya, jika kelas telah mengasah otak kiri
kami, maka kegiatan ekskul adalah pengasah otak kanan. Dibantu oleh Pembina yang
juga guru-guru, este’em terasa hidup dengan kegiatan bermanfaat sedari pagi
hingga sore. Kami tidak pernah membiacarakan kurikulum. Mungkin karena saya
waktu itu hanyalah seorang siswa. Belum peduli akan hal tersebut. Mungkin hanya
para guru yang membahasnya.
Saya sendiri aktif di hampir tiga ekskul. Dengan pengalaman
organisasi yang saya dapatkan selama tiga tahun, saya berharap kelak itu akan
berguna. Dan, benar saja, itu memang berguna. Terlepas dari itu, setelah saya
puas menumpahkan “pengantar”, kini saya akan fokus ke masalah pendidikan.
2016 ini, saya menginjak semester sepuluh di sebuah fakultas
keguruan dan sedang melakukan penelitian untuk data skripsi. Saya memilih
kembali ke sekolah teknik tersebut dengan harapan dapat mengabdikan diri di
sana. Bagi kami yang mencintainya, maka akan selalu ada cara untuk kami
kembali. Entah mengajar, membina ekstrakulikuler, menjadi tool-man, atau sekedar
berkunjung sesering mungkin. Dan, salah satu cara saya adalah dengan melakukan
penelitian di sana.
Penelitian yang saya lakukan ini sangatlah sederhana. Penggunaan
alihkode oleh guru dalam memberi instruksi pelajaran di kelas. Selama satu
bulan saya akan wara-wiri di sekolah yang sudah tidak lagi memiliki kolam ikan
tersebut. sesederhana penelitian saya, berbanding terbalik dengan kondisi dan
keadaan yang saya dapatkan.
Sistem pendidikan yang dulu memberi kami identitas,
sepertinya sudah lama punah. Kini siswa sekolah teknik ini tak ubahnya anak
"baru gede" yang jika ke sekolah harus dengan modal "keren". Saya katakan demikian
berdasarkan pantauan mata dan telinga.
Kurikulum sebelumnya memang tidak sempurna, namun minimal
mampu membawa kami ke pola pikir, “Sekolah
itu tidak mudah. Jika ingin lulus, belajarlah. Jika merasa tak mampu, carilah
keahlian lain.” Tidak naik kelas adalah hal yang biasa. Setidaknya sejak
awal kami tidak dimanjakan dengan kemudahan menggenggam kartu pelajar sekolah
teknik ini.
Peraturan pemerintah terbaru, bina lingkungan menjadi
bunerang bagi sekolah yang menolaknya. Dan, inilah menjadi tombak awal
kemerosotan kualitas siswa sekolah ini. Menjadi cikal bakal hilangnya identitas
pereman (yang sudah saya curhatkan panjang lebar di atas). Mereka dimanjakan
dengan kemudahan masuk tanpa tes yang ketat. Semisal angkatan saya, 2008, kami
harus melewati tes masuk tambahan untuk jurusan IT. Bina lingkungan tidak
sebanyak sekarang. Penerima kaminan kesehatan masyarakat tidak sebanyak
sekarang pula.
Saya tidak menyalahkan mereka yang banyak menerima bantuan tersebut. Begitu juga
bina lingkungan. Kita toh tidak boleh
melakukan diskriminasi terhadap pendidikan, kan? Akan tetapi, tidak dapat pula
kita pungkiri bahwa pendidikan dibentuk per-level memiliki tujuan tersendiri. Terselip
sedikit sentilan saat beberapa siswa kekinian yang bangga bercerita tentang
alur dana Jamkesmas yang ia dapat dari sekolah. Dana yang diniatkan pemerintah
semula untuk membantu kebutuhan buku dan kelengkapan sekolah, kini lebih banyak
mendarat di kantong pedagang gadget. Ini
masalah pola pikir. Ini tentang mental yang salah prioritas. Dan, itu hanyalah
dampak awal menuju pribadi siswa yang manja. Mereka seperti menerima gaji ke sekolah sehingga tujuan
bersekolah bukanlah haus akan ilmu.
Kembali berbicara tentang bina lingkungan, mari kita
berandai-andai: saya anak dengan kemampuan diri senilai 40, ditempatkan sekelas
dengan anak yang kemampuan dirinya senilai 80. Secara logika, saya tidak akan
mampu mengejar kecepatan tanggap-pikir si anak senilai 80. Begitu juga dia yang
akan jenuh belajar karena harus menunggu saya untuk memahami pelajaran. Maka,
pengelompokkan kelas berdasarkan kemampuan pun diperlukan. Nilai rapot tidak
dapat menjadi patokan. Itu sudah menjadi rahasia umum, ya..
Itulah mengapa tes tulis dan tes wawancara dibutuhkan. Terlebih
untuk dunia industri, kepribadian sangatlah mempengaruhi kinerja. Kita tidak
berbicara orang bertato yang lantas kita pandang ia tidak cakap bekerja. Kita
negara berkembang, masih belum masuk ke dalam tahapan tidak memandang tampilan fisik—dan saya pun tidak akan membahasnya di
sini.
Kurikulum 2013 membuat este’em menghapus tes wawancara
tersebut dengan alasan diskriminasi. Semua orang harus mendapatkan hak yang
sama untuk masuk sekolah impian. Sehingga dari awal, input yang ada telah mlempem. Jiwa preman tetap ada, namun
salah sasaran. Bukan preman yang berkepribadian pantas duduk di kelas teknik,
melainkan preman yang sekedar menyombongkan diri. Silakan diteliti lebih
lanjut. Saya membandingkan ini dari 2008 hingga 2016. Hampir lima, enam tahun.
Di kelas, kami telah biasa mendapat nilai 20, 30. Itulah hukuman
bagi kemalasan kami. Membolos, tidak mengumpulkan tugas, dll. Kurikulum, 2013
menutup lubang kejujuran tersebut. Ada tiga aspek yang dinilai dengan cara ranking. Anehnya, dari pola ranking yang
ada, jika kita hanya lulus di satu aspek maka itu sudah mewakili kelulusan
sehingga kita pun lulus. Saya boleh bertanya, “Darimana logikanya?” Maka inilah
yang menjadi dasar saya mengatakan identitas preman telah berganti baju menjadi
cabe-terong tunuq: lembek. Lambat laun
pola pikir dan tujuan sekolah berubah. Niat pemerintah memudahkan dengan pola
pikir siswa yang haus ilmu jadi mudah meraih ilmu, malah dicerna dengan pola
pikir “Ambil uangnya, berlajar nanti saja.”
Mereka dimanjakan oleh sistem tersebut. Guru-guru semakin
sulit mengontrol tata krama karena HAM melarang mereka untuk mendisplinkan
siswa dengan cara fisik. Jangankan menjewer telinga ketika rambut ditemukan
gondrong, menyentuh saja sudah kena pasal HAM. Kurikulum 2013 pun mendukung e-learning, oleh karenanya sekolah
membolehkan siswa membawa smartphone.
Silakan simpulkan apa yang terjadi jika keadaan tersebut
tercipta. Sekarang, bandingkan kembali dengan pengalaman diri, bagaimana
menurut Anda? Jika kemegahan gedung justru meruntuhkan identitas, saya lebih
memilih menjadi preman saja. Ini hanyalah
isi kepala saya. Dimohon maaf bila sedikit tidak enak dibaca dan dicerna. Saya hanya
tidak ingin tutup mata tutup telinga apalagi tutup mulut karena saya mencintai
sekolah ini.