Senin yang bijaksana untuk merefleksikan pendidikan dewasa
ini. Seperti yang sudah-sudah, kegiatan menulis masih saja menjadi momok yang
berat untuk dijadikan suatu budaya positif; baik di kalangan pekerja maupun di
kalangan pelajar.
Membaca berita Suara NTB (8/6)—agak telat, memang—dalam Kolom Pendidikan: “Rendah, Kreativitas Menulis Siswa”,
membuat saya kembali meringis akan kenyataan yang masih saja dianggap biasa
oleh masyarakat, terutama para pengajar. Sudah banyak penulis, pemerhati
pendidikan, sastrawan, dan kelompok masyarakat lainnya yang menyuarakan budaya
menulis. Banyak mengadakan pelatihan serta lomba-lomba menulis. Namun hal
tersebut dirasa masih kurang greget
untuk membangkitkan kreativitas menulis siswa.
Senada dengan ucapan Kepala Kantor Bahasa NTB yang terlampir
dalam berita tersebut, Dr. Syarifudin, mengatakan bahwa kemampuan menulis siswa
berbanding lurus dengan kemampuan mengajar Bahasa Indonesia para pengajar di
sekolah. Jika dipantau dengan teliti, hal tersebut benar adanya.
Banyak guru yang menuntut siswa di kelas harus pandai menulis
esai, cerita pendek (cerpen), puisi, resensi buku, dan banyak lagi jenisnya.
Akan tetapi mereka lupa bahwa keteladanan justru muncul dari mereka. Sehingga
secara tidak langsung, kinerja guru dalam mengajar tercermin jelas dari belum
pandainya para siswa menuangkan ide-ide mereka ke dalam tulisan karena guru
mereka pun mencontohkan hal yang sama.
Fungsi LPTK Dipertanyakan
Di sini, saya
teringat akan lembaga tempat saya kuliah yang notabene adalah gudangnya
pencetak guru-guru. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) adalah sebuah
lembaga yang bertujuan mencetak tenaga pendidik. Dalam lingkupnya, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) di setiap Perguruan Tinggi (PT)—baik negeri
maupun swasta— dan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), juga Sekolah
Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP), bertanggung jawab penuh dalam membentuk
calon-calon guru di negeri ini.
Lantas, yang menjadi pertanyaannya adalah: Apakah kurikulum
di LPTK tersebut telah memenuhi kebutuhan para calon guru untuk mengajar siswa
kelak? Kurikulum LPTK dievaluasi setiap lima tahun sekali. Para ketua jurusan
dan ketua program studi (prodi) bertugas mengkaji ulang setiap kurikulum yang
telah mereka jalankan; apakah telah sesuai dengan kebutuhan masa depan ataukah
telah ketinggalan zaman.
Sebagai contoh saat ini, tujuan guru Bahasa Indonesia untuk
membuat siswanya mampu menulis ternyata belum ter-cover oleh LPTK. Bukti nyatanya adalah berita Suara NTB halaman 13
ini. Jikalau sudah tercapai, tentu wartawan tidak perlu bersusah payah meliput
hal tersebut. Oleh karena itu, rasanya kita semua—calon guru, guru, pihak
pengelola kurikulum, serta masyarakat—perlu bekerjasama dalam meloloskan tujuan
mulia ini: meningkatkan kreativitas menulis siswa untuk masa depan bangsa yang
lebih baik. Menumbuhkan budaya komuniskasi intelektual di kalangan terpelajar
seperti harapan Ki Hajar Dewantara kala memperjuangkan pendidikan Indonesia.
Terlebih, kini kita perlu bersorot ke calon guru semasa
kuliah. Bagaimana mereka mampu memantapkan diri untuk kelak menjadi seorang
guru. Menyalurkan ilmu—dalam Islam—adalah amal jariyah, yang artinya akan terus
mengalir hingga penyalur ilmunya wafat. Hal tersebut penting dilakukan karena
dampak yang akan didapat sangatlah besar. Bisa kita bayangkan jika LPTK hanya
menjadi “batu loncatan” untuk mendapatkan gelar, sehingga yang terisi di
lembaga ini hanyalah orang-orang yang sama sekali tidak ada niatan menjadi guru.
Maka wajarlah jika cetakan
yang keluar dari sini adalah mereka yang tidak mau tahu tentang materi ajar,
metode didik, serta hal-hal lainnya yang menjadi poin penting dalam mendidik
siswa. Terlebih mengajarkan hal yang sifatnya praktik: menulis, olahraga,
musik, tata krama, dan lain-lain. Demikian daripada itu, perlu dipertegas oleh
pihak pengelola LPTK untuk menyaring ketat calon mahasiswa yang memang
bercita-cinta menjadi guru. Jika hal tersebut tidak mampu dilakukan oleh LPTK,
maka keberadaannya perlu dipertanyakan.
Sebuah Praktik mengalahkan 1000 Teori
Salah seorang kawan saya—sarjana pendidikan—kini mengajar
Bahasa Indonesia di sebuah sekolah favorit di Selong Lombok Timur. Ia, selain
sebagai seorang guru, juga dikenal sebagai seorang penulis. Banyak tulisannya
yang sering dimuat di media cetak; antara lain opini, esai, dan cerpen.
Saat masih menjadi seorang mahasiswa, ia
pun rajin menulis naskah lakon.
Saya sangat mengagumi setiap tulisannya. Di sekolahnya kini pun
ia aktif membina kegiatan siswa di bidang teater dan kepenulisan. Saya
berfikir, hal tersebut tentu tidak ia dapatkan dengan proses yang sebentar.
Rekam jejaknya dalam menulis membuatnya menjadi orang kepercayaan dalam membina
siswa. Di kelas pun ia disegani karena terbukti tidak sekedar mengajar menulis,
tapi juga mencontohkan kepada para siswa bagaimana menulis yang baik.
Inilah goal yang
diinginkan pendidikan kita. Seorang individu guru yang mampu menjadi contoh
dari tujuan pendidikan. Akan tetapi, tidak kita pungkiri, masih banyak gkuru
yang meremehkan pendidikan. Sekedar masuk kelas, menjelaskan materi sesuai
dengan isi buku, memberi tugas, lalu pulang. Tidak ada bekas ilmu kehidupan
yang disampaikan secara cair dan
terbuka. Semua berpatokan pada buku. Tidak ada tutorial yang mampu mengajarkan
seseorang untuk mahir dalam satu kali praktik. Seribu teori menulis yang
dijabarkan oleh para guru akan lenyap dengan mudah ketika guru tersebut tidak
mampu menunjukkan satu praktik pun kepada siswanya.
Lain halnya jika menulis diajarkan dengan lebih mengedepankan
praktik menulis setiap jam ajarnya. Siswa yang setiap hari membaca tulisan
milik gurunya, apalagi tulisan yang terbit di media cetak, itu akan menjadi pecut sakti memotivasi mereka untuk ikut
menulis. Percaya atau tidak, para siswa tidak akan pernah melupakan guru yang
telah menginspirasi mereka dalam belajar. Guru yang telah memberikan pelajaran
hidup yang aplikatif tidak akan pernah hilang dari hati siswanya. Mereka akan
terus menyelimuti guru mereka dengan rasa terima kasih juga doa-doa.
Akhir dari tulisan ini, saya menyimpulkan bahwa tugas guru
sebagai seorang pendidik tidak boleh dianggap remeh. Kemampuan mendidik harus
ditempa sejak menjadi mahasiswa di LPTK. Pihak LPTK pun bertanggung jawab atas
isi kurikulum yang menjadi bekal calon guru dalam mendidik siswanya kelak.
Harus ada keselarasan di antara keduanya. Oleh karena itu, jika guru telah
mampu membangun budaya menulis kreatif dalam dirinya, maka tidak akan sulit
bagi mereka untuk menempa siswa-siswa mereka. Senada dengan pepatah, “Guru kencing berdiri, murid kencing
berlari.”