Sedikit
refleksi dari empat tahun mengenyam pendidikan di universitas, aku kini cukup
tahu siapa sebenarnya anak umat bernama Baiq Ilda Karwayu ini. Hidupku tidak
akan bisa diam di satu tempat. Tidak mampu hidup sendiri dalam sunyi tanpa
sesuatu untuk digenggam, seseorang teman berbicara, atau pena-kertas teman
bergulat.
Kehidupan
kelas tidaklah semeriah saat sekolah. Seperti yang sudah-sudah, aku menarik
diri dari kehidupan (yang kata orang) hedon. Sudah menjadi pilihanku
untuk bersanding dengan kegiatan ekstra kelas. Lantas, apa yang sudah
kudapatkan sekarang ini? serupa aku membangun rumah-rumah di setiap tanah yang
kupijak. Merpati Putih yang kubangun saat SMP, Teater TeRENG saat SMA, dan Pena
Kampus saat kuliah; mereka menemani perjalanan hidupku. Hingga kini, aku tidak
habis pikir mengapa masih saja aku mampu penginjakkan kaki di ketiga rumah
cantik itu.
Mengapa
tidak fokus pada satu saja? aku tidak bisa. Hidup terlalu sempit jika hanya
bergelut di satu talenta. Nah, bagaimana dengan kehidupan akademik?
biasa saja. Kunikmati proses di kelas, yang jujur saja, hanya 40% berhasil
lolos di kepala. Sisanya kupelajari di luar. Kegiatan di ataslah salah satunya.
Banyak bergaul dengan masyarakat, berteman dengan banyak orang, dll. Jadi,
mungkin bisa dikatakan aku ini tidak setia pada satu bidang.
Well, berbicara masalah setia,
aku teringat kisah cinta yang sudah berdebu. Kukatakan demikian karena sudah
tidak ada lagi yang harus kuperebutkan. Aku hanya berjuang mempertahankan. Atau
memang aku tidak pernah memperebutkan siapa-siapa? atau mencari? iya. Aku hanya
menunggu, menerima, lalu mempertahankan. Jika banyak yang mengatai aku bodoh
atau miskin pengalaman akan cinta, biarlah. Perlu juga kuingat bahwa aku banyak
belajar dari kawan-kawan di sekitar. Jadi, berpengetahuan tidak mesti
berpengalaman (atau mengalami langsung), kan?
Bagiku,
boleh saja "tidak setia" pada kegiatan karena itu membuat hidup
menjadi lebih berwarna dan tentunya bermanfaat. Namun lain sudah halnya jika
menyangkut masalah pasangan hidup. Aku bersyukur penuh pada Tuhan atas anugerah
sikap dan sifat yang tidak pernah mengkhianati pasangan. Tak pernah aku niati
untuk melukai atau meninggalkan kekasih.
Menjalin
hubungan pertama kali saat SMA, awal kelas X dan berakhir di kelas XII
membuatku cukup paham akan tabiatku sendiri. Namun ada kalanya memang Tuhan
selalu memberikan apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Nafsu hanya
jembatan keduanya. Bagaimana menyikapi hal tersebut, hanya kita sendirilah yang
tahu.
Singkat
kisah, meski ia (mantan kekasih: red) menyesal telah mengakhiri hubungan, namun
tidak denganku. Aku bersyukur atas penantianku yang bertahun-tahun hanya untuk
mendengar kata penyesalan darinya. Aku bersyukur atas kesabaran yang telah
Tuhan berikan melalui ujian tersebut. Dan kini aku telah kembali menjalin
hubungan dengan laki-laki lain. Seketika lantunan "When I Was Your
Man" Bruno Mars mengiringi penyesalannya. Hingga detik ini.
Pun
kisahku dengan kekasih yang juga telah hampir tiga tahun bersamaku, tak jauh
beda. Entah aku yang salah; karena selalu mengalah tanpa mengekang, atau
terlalu penurut, entahlah. Sebenarnya malas juga membahas ini. Tapi otak ini
rasanya cukup berat untuk membawa pikiran ini ke alam mimpi. Jadi baiknya
kutulis saja.
Seorang
penulis pantang bahagia. Kenapa? karena kebahagiaan akan menutup jiwa peka
mereka dan akan lahir tulisan-tulisan pop. Membuat mata sakit. Membuat
otak turun derajat kualitasnya. Meski hanya sekedar coretan sampah seperti ini,
namun inilah endapan yang menutupi ide-ide di kepalaku. Membuat puisi dan
cerpen milikku serupa teenlit murahan karena melulu bicara tentang
cinta. bosan!
Namun
apa mau dikata, tulisan adalah rekam jejak penulisnya. Sejarah hidup mereka
yang mau tidak mau harus terjadi. Dan inilah kisahku sekarang. Semakin tinggi
pohon, semakin tinggi terjangan angin menantang. Aku makhluk hidup yang bisa
saja tumbang ketika angin sedang marah. Aku bukan menara listrik yang tanpa
nyawa; pun kehidupan. Jikalau segala yang hidup ini tiada Tuhan yang ciptakan,
mungkin jemariku tidak sedang mengetik kegusaran sekarang ini.
Ingin
rasanya mengambil perjalanan mandiri ke suatu tempat. Menetap di sana selama
beberapa tahun, lalu kembali kemari setelah segalanya beres. Aku muak. Jujur,
aku muak. Pertahanan ini tidak stagnan. Hanya doa orangtua dan uluran
tangan Tuhan yang membuat kakiku bertahan di jalur ini. Hanya itu yang membuat
tanganku masih kuat menggenggamnya.
Rasa
dalam hatiku sudah terpaku beku dalam api yang nantinya membakar segala
keraguan. Aku tidak lagi butuh rumah hati yang lain. Dipikirnya mungkin tak ada
orang lain yang datang padaku. Tidak. Memang tak kutunjukkan padanya. Aku tak
ingin ia cemburu, karena aku tahu sakitnya cemburu hingga buta. Aku ingin ia
tetap berdiri tegap dengan wibawa rapi yang selalu ia pancarkan. Jikalau ia
telah lampaui batas dalam menyiksaku dengan sikapnya, biarlah. Ia tahu, mana
"keinginan" dan mana "kebutuhan". Ia tahu kemana harus
pulang.