Di
setiap kota besar dengan produktifitas masyarakat yang tinggi, taman kota
sangat dibutuhkan ruang publik sebagai penyegar
mata. Ruang
publik ini antara lain taman kota, tempat bermain, sarana olahraga, trotoar,
gedung yang memenuhi prasyarat kesehatan dan keselamatan kerja, dan jalur
sepeda (Kompas, 01/02/2009).
Untuk taman kota,
hingga 2014 ini Kota Mataram telah memiliki enam buah taman kota; yakni Taman
Sangkareang, Taman Udayana, Taman Loang Baloq, Taman Kota Selagalas, Taman
Adipura, dan Taman Ampenan. Dengan tujuan yang sama, keenam taman ini dibangun
guna menyeimbangkan ekosistem alam di dalam kota. Namun, seiring perkembangan
mobilitas masyarakat di Kota Mataram, keberadaan taman kota dirasa semakin
paradoks.
Ketumpangtindihan yang
terjadi antara pembangunan taman dengan mobilitas masyarakat terletak pada
perawatan dan aturan umum dalam mengunjungi taman. Kota dengan daratan seluas
61,30 km2 ini, membangun enam
taman dengan titik yang terbilang menyebar. Taman Sangkareang yang terletak di
pusat Kota Mataram dapat menjadi bukti pertama sifat bertentangan tersebut.
Setelah melakukan renovasi beberapa kali, kini taman seluas satu hectare tersebut semakin cantik dengan
tetangga barunya; Hotel Santika.
Dengan keindahan dan letak yang strategis, sudah
selayaknya Sangkareang mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Kota (Pemkot)
Mataram. Hal yang menonjol saat ini adalah rumput hias yang ditancapkan
papan-papan peringatan bertuliskan, “Jangan
injak rumput!” tak sekalipun diindahkan oleh masyarakat yang menunjunggi
taman tersebut. Jika dikatakan budaya masyarakat yang kurang peduli akan sebuah
papan peringatan –atau mungkin enggan untuk sekedar membaca tiga huruf
tersebut– maka baik adanya jika petugas keamanan diamanahkan untuk menegur
mereka. Sehingga empati masyarakat pun terpancur serupa air mancur utama yang
berdiri kokoh di tengah-tengah taman. Begitu juga dengan kebersihan taman yang
cukup memprihatinkan.
Tersedianya tong sampah dengan tiga jenis (Organik,
Non-organik, B3) di setiap sudut taman menjadi wujud nyata Pemkot dalam
memberikan fasilitas kebersihan. Senada dengan ‘saudaranya’, Taman Udayana,
Taman Ampenan, Taman Adipura, dan Taman Loang Baloq pun telah memiliki
fasilitas tempat sampah lengkap dengan pemilahan jenisnya. Namun dari kesamaan
yang ada, terlihat satu taman yang hampir dialihfungsikan; yakni Loang Baloq.
Seperti yang terlihat di awal 2014, sebuah patok
calon bangunan hotel telah terpasang tapi dengan baliho rencana rancangan yang
megah. Taman tepi pantai kini semakin kecil dan kumuh jika dibandingkan dengan
hotel tersebut. Terlepas dari program kerja Pemerintah Provinsi (Pemprov) yang
mengedepankan pembangunan sehingga kelak Kota Mataram terlihat maju dengan
tumpukkan bangunan tersebut, hal ini tidaklah menyelamatkan kota.
Saya katakan demikian karena Ruang Terbuka Hijau
(RTH) harusnya tidak tergusur oleh bangunan komersial serupa hotel atau lapak
usaha lainnya. Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) kota
Mataram, Lalu Martawang mengatakan, “Komitmen kita di Perda tata ruang itu
untuk memenuhi 20% ruang terbuka publik dan 10% ruang terbuka privat ini
senantiasa kita berusaha wujudkan. Sekarang posisinya adalah 12,48%.” (http://www.tataruangntb.net/,
08/11/2013)
Lain halnya dengan Taman Selagalas yang terletak di
seberang Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Selagalas. Taman ini adalah yang terhijau dari
semuanya. Meski dengan kapasitas mini namun tidak lebih kecil dari Taman
Adipura dan Taman Ampenan, Taman Selagalas mampu menjadi bukti modern di tengah
hamparan sawah. Sangat disayangkan bahwa kenyataan taman yang mirip dengan
Loang Baloq ini tidak memiliki fasilitas tong sampah sama sekali. Meski
pengunjung meningkat setiap waktunya, Pedagang Kaki Lima (PKL) kian menjamur di
sekitar taman, tetap tong sampah penyelamat kebersihan tidak pernah hadir di
tengah-tengah tawa masyarakat yang dengan santai membuang sampah selagi
berkunjung.
Memupuk Empati
Dari sejumlah pemaparan kondisi di tiap taman,
setidaknya hal tersebut bukan hanya menjadi tanggung jawab Pemkot maupun
Pemprov. Sebagai masyarakat yang menikmati oksigen dari tiap taman kota,
hendaklah kita turut membantu dalam mewujudkan tujuan taman kota ini dibangun.
Sikap empati; terlihat sepele namun tidak mudah
dijalankan. Terbukti dengan masih kurangnya kesadaran masyarakat akan penaatan
aturan dan rasa ingin berjuang demi eksistensi taman kota. Jika masyarakat masih berfikir bahwa sampah akan dibersihkan
oleh petugas kebersihan, maka sebaiknya di setiap keluarga ada yang berprofesi
sebagai petugas kebersihan kota. Tidakkah sejak kecil, bahkan dalam mata
pelajaran Kewarganegaraan Sekolah Dasar (SD) kita telah diajarkan bagaimana
menjaga kebersihan dengan tidak membuang sampah sembarangan? Masalah tidak
tersedianya fasilitas tong sampah, kita dapat menyontek kebiasaan dari negara Singapura yang warganya selalu
mengantongi sampahnya jika tidak menemukan tong sampah di sekitarnya.
Pemerintah telah membantu dengan menyediakan aturan
tertulis serta mengadakan petugas kebersihan. Kali ini peran masyarakat
khususnya orangtua untuk membimbing buah hatinya membiasakan positif tersebut.
Begitu pula dengan para pendidik di lingkungan sekolah. Bisa kita bayangkan
jika hal sepele ini ditaati dan dijalankan dengan baik, maka tidak hanya taman
kota yang terjaga kebersihannya, seluruh kota pun akan bebas dari kebersihan.
Taman kota tidak lagi hanya sebagai simbolisasi kebersihan dan kehijauan sebuah
kota, namun menjadi pusat pembentukkan budaya hidup sehat.
Dari empati yang membentuk kebiasaan tersebut kita
dapat menumbuhkan jiwa-jiwa pejuang. Jiwa yang mau bergerak kala tanah
bermainnya dicaplok semen bangunan
permanen seperti yang terjadi di kawasan Taman Udayana dan Taman Loang Baloq. Sehingga
dalam upaya mencapai target 30% sebagaimana amanat UU, Pemkot masih kurang tegas
pada komitmennya untuk menjalankan amanat tersebut. Oleh karena itu, masyarakat
pun harus membantu agar tidak saling menyalahkan ketika terjadi suatu bencana
akibat ketidakterurusan taman kota.
Secara keseluruhan, Pemkot, Pemprov, dan masyarakat
memiliki peran penting dalam memelihara taman kota dengan bidang dan
wewenangnya masing-masing. Jangan biarkan taman kota hanya menjadi miniatur
kota yang mudah diangkat dan diganti dengan miniatur lainnya sesuai keinginan
‘orang lain’. Dengan menumbuhkan jiwa empati masyarakat, semoga taman kota
mampu menjadi taman sesungguhnya dan wadah singgah yang menyejukkan.