Membaca perkembangan Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nomor 17 Tahun 2017 tentang Sistem Zonasi
untuk penempatan peserta didik di sekolah rupanya akan merubah beberapa hal;
salah satunya adalah “podium” ranking yang selama ini memupuk kesenjangan antarsekolah.
Mengerucut
ke contoh kasus sekolah yang ada di Kota Mataram, siapa yang tidak kenal
Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Mataram sebagai sekolah bergengsi? Begitu
juga dengan SMAN 5 Mataram dan SMAN 2 Mataram. Ketiganya, bisa dibilang, adalah
sekolah-sekolah yang menduduki podium ranking gelar sekolah menengah atas
pencetak lulusan cemerlang. Begitu juga dalam lingkup madrasah aliyah negeri
(MAN) dengan podium ranking diduduki oleh MAN 2 Mataram dan sekolah menengah
kejuruan (SMK) yang disabet oleh SMKN 3 Mataram. Podium-podium ini telah
terbentuk sejak lama.
Mengapa
peraturan tersebut diasumsikan dapat meruntuhkan podium? Mari kita cermati
empat poin dari Peraturan Mendikbud No.17/2017: (1) Sekolah yang
diselenggarakan pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang
berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah paling sedikit sebesar
90% (sembilan puluh persen) dari jumlah
keseluruhan peserta didik yang diterima; (2) Domisili calon peserta didik
berdasarkan alamat mereka pada kartu keluarga yang diterbitkan paling lambat 6
(enam) bulan sebelum pelaksanaan PPDB; (3) radius zona terdekat ditetapkan oleh
pemerintah daerah sesuai dengan kondisi daerah tersebut berdasarkan jumlah
ketersediaan daya tampung berdasarkan ketentuan rombongan belajar tiap sekolah
dengan ketersediaan anak usia sekolah di daerah tersebut; (4) Bagi sekolah yang
berada di daerah perbatasan provinsi/kabupaten/kota, ketentuan persentase dan radius
zona terdekat dapat diterapkan melalui kesepakatan secara tertulis antarpemerintah
daerah yang saling berbatasan.
Keempat
poin tersebut akan dilaksanakan pada tahun ajaran baru ini, Juni-Juli 2017.
Jika poin satu diangan-angankan rasionalisasinya, maka beberapa sekolah—di Kota
Mataram—akan berebut peserta didik. Bagaimana tidak, melihat Jalan Pejanggik,
terdapat beberapa sekolah menengah pertama (SMP) yang saling berdekatan. Nasib
yang sama pun akan dialami oleh beberapa SMA di Jalan Pendidikan. Akan tetapi
hal tersebut tidak akan terjadi pada beberapa sekolah di Jalan Lingkar Selatan
yang justru membutuhkan “tetangga” karena minimnya sekolah di lingkungan
tersebut. Sementara di sekitarnya mulai banyak bangunan perumahan—yang nantinya
tentu akan dihuni oleh keluarga.
Terlebih
lagi, kata “diterima” dalam poin ini
mengacu pada proses penerimaan peserta didik yang selama ini menjadikan nilai
ujian nasional (UN) sebagai syaratnya. Andaikata seorang anak SMP yang lulus
tahun ini, berdomisili di Kelurahan Dasan Agung, memiliki nilai cukup memuaskan
namun tidak memenuhi standar syarat SMAN 5 Mataram, maka apa yang akan terjadi?
Secara tempat domisili, ia bisa lulus di sekolah tersebut jika berkiblat ke
peraturan terbaru. Akan tetapi ini menjadi tumpang tindih jika syarat nilai UN
masih diterapkan di SMAN 5 Mataram. Dilema, kan?
Contoh
lainnya, seorang anak SMP yang juga lulus tahun ini, mengantongi nilai UN di
atas rata-rata dan dinyatakan lulus di SMAN 1 Mataram. Sayangnya, ia
berdomisili di Kelurahan Babakan. Maka dengan peraturan yang baru, ia baiknya
bersekolah di SMAN 8 Mataram. Dengan demikian, tujuan Mendikbud untuk meratakan
pendidikan akan tercapai. Namun, pertanyaan selanjutnya, apakah pihak sekolah
dengan rela menerima hal tersebut? maksudnya, kegiatan “pengumpulan” anak-anak
di atas rata-rata melalui penerimaan peserta didik baru ini tidak lagi ada
setelah peraturan Mendikbud dijalankan.
Ini
terdengar seperti sebuah ancaman serius. Sebagai seorang guru, saya merasakan
bagaimana “nikmatnya” mengajar peserta didik dengan kemampuan di atas
rata-rata. Kemampuan tinggi mereka menyerap pelajaran membuat kita sebagai guru
tidak perlu mengeluarkan energi berlebih dalam menyampaikan materi ajar. Lain
halnya dengan peserta didik dengan kemampuan cukup atau bahkan di bawah
rata-rata. Selain menyampaikan materi ajar, kemampuan guru mengenal psikologi
tiap peserta didik menjadi hal yang dipertaruhkan jika ingin kesetaraan
pendidikan terjamin.
Namun,
kita harus jujur: sistem pengelompokkan peserta didik melalui kesenjangan
antarsekolah ini sulit diretas! Sekolah yang sudah nyaman dengan prestasi para
peserta didik tidak ingin “kerja keras”nya bubar begitu saja. Hal ini bertolak
belakang dengan sekolah yang minim anak di atas rata-rata. Mereka akan sangat
berterima kasih pada peraturan ini karena idealnya sekolah merekalah yang telah
bekerja lebih keras mendidik.
Akan
tetapi ada satu hal yang tidak bisa dipungkiri, memang, bahwa lingkungan belajar sangat mempengaruhi proses belajar
peserta didik. Semisal kita hidup di lingkungan yang orang-orangnya banyak
membaca buku, maka kita—secara tidak langsung—akan ikut memegang buku dan mulai
membacanya. Inilah buah manis dari perjuangan para sekolah yang menduduki
podium peringkat tiga besar. Meski para guru agak malas melakukan inovasi
terhadap gaya mengajarnya, namun prestasi peserta didik tetap terjaga berkat
bibit “di atas rata-rata” mereka dan lingkungan baik untuk belajar yang telah
tercipta selama bertahun-tahun.
Bagaimanapun,
terlepas dari itu, ada beberapa hal yang harus diterima oleh kita semua—civitas
akademika sekolah, masyarakat, peserta didik dan orangtuanya—dalam mempersiapkan
diri menghadapi peraturan tersebut. Lingkungan baik untuk belajar dapat
tercipta di setiap sekolah di Kota Mataram jika kita semua bekerjasama untuk
menciptakannya. Peserta didik dan orangtua sebaiknya menghapus pola pikir bahwa
sekolah A atau sekolah B lebih baik dari sekolah C apalagi sekolah D.
Begitu juga dengan para civitas akademika yang
telah bersusah payah membangun lingkungan tersebut; peretasan kesenjangan
antarsekolah baiknya dimulai dari mendukung penggantian sistem penerimaan siswa
baru agar disesuaikan dengan Peraturan Mendikbud No.17/2017. Selain itu, para
masyarakat pun memiliki peran yang tidak kalah pentingnya, yakni berhenti membangun
konstruksi sosial tentang dikotomi peserta didik: anak ini pasti pandai karena
ia bersekolah di A dan anak itu pasti malas karena ia bersekolah di B. Hal ini
terlihat sepele namun berdampak besar bagi psikologi peserta didik. Mereka semua
unik. Mereka semua memiliki kecerdasan di bidangnya masing-masing. Dimana pun
tempat mereka disekolahkan.
ILDA KARWAYU
Komunitas Akarpohon Mataram
(terbit di Harian Suara NTB 21 Mei 2017)