Akhirnya aku menulis ini setelah sibuk dengan urusan
dunia—sosial dan segala moralnya. Kali ini, tentang kita. Iya, kita. Kita tidak
butuh berlama-lama setiap hari bertatap muka hanya untuk menunjukkan pada dunia
bahwa kita adalah sahabat selamanya. Yang penting kita selalu ada satu sama
lain setiap kali dibutuhkan. Yeah,
persahabatan adalah kepentingan. Aku tetap konsisten dengan pernyataan itu,
sesuai dengan filem yang pernah digarap si Boleng: sahabat. Semacam itulah.
Mungkin jika Pakbren tidak meninggal, aku masih akan sibuk
dengan dunia dan tidak menulis kisah ini dengan hati yang tertaut di atas awan,
dan di tanah Bali. Di Lombok, hanya tersisa kita berdua, Ham. Semacam eulogi?
Bukan. Ini bukan eulogi. Meski Pakbren sudah lelap berselimutkan tanah
kelahirannya, ini tetap bukan eulogi.
Berapa lama kita sudah mengatai diri kita sahabat? Delapan
tahun, mungkin. Aku mengingat satu ungkapan yang pernah diucapkan oleh Pakbren
saat buka puasa bersama TeRENG 2012, “Emang
kita temen? Hellauu.. kita sodara, keleeus…” dengan gayanya yang sinis dan
terlihat konyol, ia tetap menyimpan cinta. Untuk kami bertiga. Manusia paling
kaya—hati dan materi—diantara kami bertiga. Manusia paling tidak ingin repot.
Manusia paling pandai membuka mataku—karena aku satu-satunya perempuan dan jika
sedang curhat akan selalu menjadi bulan-bulanan paling empuk.
Kita hampir delapan tahun berproses bersama dalam kehidupan
panggung. Karena kita mulai saling mengenal dari panggung. Dari sekolah teknik.
Haruskah aku mengenang semuanya? Dan mungkin ini akan menjadi eulogi. Tidak,
aku tidak sedang menulis eulogi yang akan dibacakan dalam upacara pemakaman.
Tidak lagi. Atau belum?
Kita, hampir kusadari, tidak memiliki potret bersama—empat
orang gila. Meski kita pernah sama-sama berlakon dalam satu naskah “Tak Ada
Bintang di Dadanya” pada Festival Teater Modern Pelajar (FTMP) 2009. Hamham dan
Boleng sebagai murid durhaka dalam mimpi, Pakbren sebagai guru tua, dan aku
sebagai isteri pak guru tua. Sebegitupun aku mengingat, memang tidak ada.
Kita hanya angkatan 2008 di Teater TeRENG yang berusaha tetap
hidup di lingkaran meski terkadang ombak sosial menenggelamkan kita. Aku tahu,
Boleng dan Hamham adalah yang paling kuat berdiri di atas arus urusan pribadi.
Mereka hampir tetap ada. Pakbren pun demikian, meski tak jarang ia luput. Dan,
yang membuatnya luput bukanlah urusan pribadi, melainkan penyakitnya. Penyakit
yang membuatnya tidak berubah. Tetap mencintai kita semua dalam balutan
kesinisan dan kengotototannya.
Sejujurnya aku tak sanggup lagi mengenangnya lebih jauh. Ini
hanya akan seperti biografi singkat yang diinginkan orang-orang. Namun tidak
olehku sendiri. Aku mengenang kalian bertiga sebagai pelengkap hidup. Aku merasa
tak lagi butuh pendamping hidup bila bersama kalian. Namun tidak mungkin aku
akan menikahi kalian, kan? Tentu tidak. Karena memang cinta yang untuk teman
hidup bukanlah untuk kalian. Entah apa namanya, aku bahagia bersama kalian.
|
Ini di mabes. Awal
masuk kuliah 2011. Taken by Hamhamtaro |
Siapa yang mampu memberikan masukan dan pencerahan paling
akurat tentang laki-laki jika bukan kalian? Hahaa..
aku tidak ingin mengikuti segala jenis saran dari kalian. Tapi di situ, aku
menemukan cara yang tepat memperlakukan lelaki—tentu dengan kompilasi dariku
sebagai perempuan. Selain itu, kacamata laki-laki sangat kubutuhkan untuk
bertahan hidup. And I got it from you guys.
Delapan tahun bukan waktu yang panjang jika kita merasa tidak
akan pergi kemana-mana dan pasti kembali. Kita tidak pernah risau dengan
menghilangnya Boleng ke tanah Sumbawa, atau bahkan ke tanah kelahirannya di NTT
sana. Karena kita tahu, ia akan kembali. Kita tahu ia akan ada di samping kita
lagi. Begitu juga Pakbren yang sejak 2012 mulai sering berobat ke luar daerah.
Hamham sering menjadi orang yang paling keras menjadikanya sebagai objek bullying. Namun itu jelas menunjukkan
bahwa ialah orang yang paling mencintai Pakbren.
Sejak lulus sekolah, kita mengambil jalan terpisah. Seperti simpang
empat yang menarik langkah kita untuk menjauh. Dan, kini, aku sudah tidak mampu
lagi mengenang semuanya. Aku hanya merasa harus menulis. Berharap akan
berlembar-lembar tulisan yang dapat kuhasilkan. Ternyata nihil. Tidak setebal
atrikel jurnal ilmiahku. Kenangan itu telah terpepat di dalam hatiku. Aku hanya
mengurainya sedikit agar nafas dan langkahku menjadi sedikit lapang.
Tahun ini kita benar-benar berpisah. “Awas kamu ndak selesaiin skripsimu tahun ini! apa lagi yang kamu cari
di kampus, hah? Stop dah jadi aktivis-aktivis begitu. Saya tau kamu lama bukan
karena bodoh, pinter dah kamu ayok. tapi pikirin juga kehidupan pribadimu.
Jangan urus mereka terus!” Pakbren, itu kalimat terakhirmu. Dua hari
sebelum aku ujian skripsi. Pun, aku belum sempat menepati janjiku untuk
menemanimu belajar TOEFL, ya? Maafkan aku. Kau pun tak mampu menepati janjimu
untuk hadir di acara wisudaku tahun ini. Aku memaafkanmu.
Seandainya aku lebih cepat, bisa lebih cepat. Mungkin tidak
begini. Kita sudah benar-benar tidak bisa saling membuat janji. Kau sudah tidak
bisa lagi menasehati aku perihal apa pun. Dan aku pun hanya bisa memandangi
kekasihmu yang masih setia hingga saat ini. Kau selalu memujanya di hadapan
kami. Setidaknya itu membuat kami lega, kau mendapatkan perempuan yang tepat.
Dan kini, kami menasbihkan ia sebagai penggantimu. Pengganti kehadiranmu. Kami
merasa kau selalu di sisinya.
Untuk si kribo sombong ini, aku kini benar-benar kehilanganmu
jua. Maaf sudah meninggalkanmu di hari pentingku kemarin. Aku tahu kau sedang
ada di simpang kejadian dalam satu waktu, dan aku tidak keberatan untuk tidak
berharap. Mungkin diantara kita berempat, kitalah dua manusia paling sombong.
Manusia paling berkutat dengan otak—karena Pakbren lebih sering menggunakan
urat dan Hamham lebih membanggakan perutnya. Apapun kisahmu, aku banyak
belajar. Ide-ide, rahasia-rahasia, lika-liku. Segalnya.
“Saya gak perlu ngasih
pelukan hangat sebagai partner/sahabat walaupun saya ingin. Tadi saya ke
kampusmu ama sofi nyariin kamu. Rencananya mau cabutin mawar merah setangkai
dari rangkaian bunganya sofi. Tapi, kamu udah ngacir pulang duluan.
Pencapaianmu harus saya hargai. Kamu hebat, wanita luar biasa. Selamat mamak,
selamat sarjana. Selamat calon guru anak-anakku kelak. Big hug.”
Dilanjutkan dengan pesan berikutnya, “Pamit
da. See you at the top.” Bajingan mana yang berani berangkat ke Bali sehari
sebelum perjanjian? Hanya kau! Pesan singkat yang kuterima setelah pulang
dengan perasaan sok ikhlas karena merasa tidak diingat ternyata mengaduk seluruh
batinku. Tahun ini kita kehilangan Pakbren secara fisik dan jiwa. Kini aku—dan
Hamham—harus kehilangan fisikmu? Yaa Tuhan, ini benar-benar membuatku tersadar
bahwa magnet simpang empat telah berperan dengan semestinya. Pada akhirnya kita
memang akan melangkah sendirian.
Minggu kemarin, di acara buka puasa bersama TeRENG 2016,
Hamham menyentakkan mataku dengan berkata, “Kamu
ini, sekarang pukul-pukul perut saya. Besok kalo saya mati, ini yang kamu
inget.” Memang dasar buntelan! Harus diakui memang kaulah manusia penetral
dari kami semua. Laki-laki dengan selera humor tinggi dan terkadang serupa air
es ketika Pakbren dan Boleng sedang beradu api. Atau sebaliknya? Hahaa.. kau adalah customer service terhebat masalah laki-laki. Sekarang tersisa kita
berdua di sini. Boleng memang harus pulang ke pangkuan ibunya—yang telah rela
melepas anaknya bertahun-tahun untuk tinggal di rumahmu. Mabes. Ya, mabes.
Tenang, Ham. Rumahmu akan tetap menjadi rumah kita semua. Kebaikan dan
ketulusan keluargamu mengajarkan kami arti keluarga yang sebenarnya.
Sungguh, aku tidak mampu lagi menulis apa pun tentang
kita. Ini bukan eulogi.
|
(ki-ka): Pakbren,
Hamhamtaro, Boleng, and me—Mamak at Taman Budaya, aku lupa ini persiapan pentas
apa. (maaf, ada adek iki sebagai sosok astral di belakang). Akhirnya aku
menemukan ini. mungkin tidak murni kami berempat, namun cukup lengkap.
|